9/28/2010

kunci sukses dalam hidup

Kunci sukses dalam hidup

Summary:megaharyani
Kesuksesan akan di dapatkan oleh orang orang yang mau bekerja keras,karena yang akan merubah keadaan kita adalah diri kita sendiri.adpun cara atau kiat kiat sukses d dalam hidup ini yaitu dengan cara:
1.Meyakinkan diri kita bawa saya harus jadi orang yang sukses.
2.Menjadikan pengalaman adalah pelajaran yang harus di cam kan agar sikap dan pemikiran kita lebih matang.
3.Selalu optimis dalam melakukan segala usaha.
4.Berdoa kepada tuhanYME karena tanpa doa segala usaha tanpa ridhonya tak kan menghasilkan apa apa.
5.Selalu positif tinking kepada rekan atau keluarga yang ada di sampimg kita.
6.Lakukan semangat dan kualitas kerja yang konstan agar kerjaan yang kita kerjakan dapat di andalkan.
7.Bekeraja keraslah selagi muda dan nikmatilah hasilnya di hari tua.
Apapun yang kita inginka dapat tercapai apabila kita mau mencapainya dengan semangat dan kerja keras yang berkualitas.

Kunci sukses dalam hidup Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/humanities/1818013-kunci-sukses-dalam-hidup/

9/26/2010


Magister Teknologi Pendidikan

Pendahuluan

Kecenderungan perkembangan masyarakat di masa datang diantisipasi sebagai era teknologi, informasi dan globalisasi yang berakar pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Sistem kehidupan sosial, ekonomi, politik, ilmu, teknologi, seni dan bahkan agama, sangat dipengaruhi oleh perkembangan SDM dan masyarakatnya. Masyarakat atau negara yang mampu mengembangkan SDM yang unggul akan berhasil dalam kerja sama maupun persaingan global, sedangkan sebaliknya, masyarakat dan negara yang tertinggal dalam pengembangan SDM-nya akan mandek, mungkin tergeser bahkan tersingkir dari percaturan global.

Dalam kaitan dengan pengembangan SDM yang unggul, maka kedudukan pendidikan menjadi semakin penting, karena tidak ada negara menjadi maju tanpa pendidikan. Bahkan globalisasi yang melahirkan Knowledge Society (masyarakat ilmu) sangat identik dengan marketing ilmu dan teknologi, dibanding yang lainnya, sehingga pengembangan pendidikan tinggi ke depan tidak dapat dipisahkan dai prediksi perkembangan ekonomi global pada masa yang akan datang.

Beranjak dari pemikiran tersebut di atas, Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) sebagai lembaga yang menyelenggarakan tri darma perguruan tinggi yang didasarkan nilai-nilai keislaman mempunyai kepedulian untuk menjawab tantangan tersebut. Melalui pelahiran program studi magister teknologi pendidikan diharapkan dapat membantu pemerintah menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan penguasaan tentang sistem teknologi pendidikan serta mampu mengembangkan teknologi pendidikan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Visi

Menyiapkan sumber daya manusia pendidikan yang berkualitas yang memadukan zikir dan pikir dalam bidang teknologi pendidikan yang bercirikan: kreatif, inovatif, adaptif dan partisipatif pada bidang keilmuan yang terus berubah dan berkembanq dalam era globalisasi.

Misi

  1. Menyelenggarakan pendidikan yang profesional melalui sistem pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan.
  2. Menghasilkan sumber daya manusia pendidikan profesional yang mengerti bagaimana mengelola institusi pendidikan dengan karakteristik yang variatif.
  3. Membangun komunitas moral dan intelektual yang selalu siap dengan berbagai tantangan dan perubahan.
  4. Melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, bertanggung jawab dan berpihak pada kepentingan masyarakat melalui sistem pendidikan yang profesional dan berkelanjutan.

Tujuan

Memberikan pengalaman studi yang menuju ke arah keahlian akademik dan menghasilkan lulusan magister dalam bidang teknologi pendidikan yang memiliki:

  1. Kemampuan dan penguasaan tentang sistem teknologi pendidikan (technology in education system)
  2. Kemampuan dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi pendidikan

9/23/2010

Peran Teknologi Pendidikan

oleh Muhammad Ilyas Ismail

A. Pendahuluan

Reformasi bagi suatu bangsa dan negara merupakan reformasi dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tidak hanya sekedar sebagai suatu konsep belaka, tetapi harus dapat diwujudkan melalui serangkaian kegiatan pembangunan baik fisik maupun non fisik.

Reformasi adalah pembangunan tatanan kehidupan yang bertumpu pada kepentingan bangsa dan bukan pada egoistis para penentu kebijakan pembangunan. Reformasi membutuhkan perubahan prilaku, cita-cita, dan nilai yang membangun kebersamaan, suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa ( Tilaar, 1999)

Pendidikan sebagai salah satu aspek kehidupan bangsa, tidaklah luput dari gerakan reformasi, suatu gerakan yang menginginkan perwujudan nyata cita-cita bangsa yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur.

Gerakan itu tentunya memberikan beban yang amat berat bagi sektor pendidikan. Sektor pendidikan harus manpu menunjukkan jati dirinya sebagai ujung tombak perwujudan cita-cita bangsa.

Reformasi dalam sektor pendidikan haruslah dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang sebaik-baiknya khususnya bagi penyelenggaraan proses belajar mengajar. Hal ini sebenarnya telah menjadi suatu komitmen bangsa dari dulu hingga sekarang, namun masih sangat perlu adanya upaya yang lebihh nyata dan konsisten dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti pembenahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan terutama pada pelaksanaan proses belajar mengajar. Pembenahan yang dimaksud diarahkan pada terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan efesien serta penerapan teknologi pendidikan sebagai salah satu usaha untuk mengatasi masalah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan secara maksimal.

Peranan pendidikan selama ini perlu dibenahi dengan landasan kebijakan strategi; merumuskan dan melaksanakan strategi pendidikan baru atau mereformasi sistem pendidikan dan mendayagunakan peran teknologi pendidikan (Miarso, 1988)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengankat pertanyaan kunci yakni apakah peran teknologi pendidikan dan efektivitas PBM merupakan suatu tuntutan reformasi pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka pembahasan akan dimulai dengan menyajikan peran teknologi pendidikan, makna reformasi pendidikan, efektivitas proses belajar mengajar,

B.Peran Teknologi Pendidikan

1. Pengertian

Boleh dikatakan hampir tiap hari kita mendengar dan membaca kata ” teknologo”. Misalnya kata teknologi pertanian, teknologi pertambangan, teknologi komputer atau teknologi canggi, dan sekarang ada kata teknologi pendidikan. Apakah sebenarnya teknologi pendidikan itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penulis terlebih dahulu mengemukakan kata teknologi. Apa sebenarnya teknologi itu? Kalau mendengar kata teknologi sering kali orang mengaitkan dengan mesin, seolah-olah teknologi hanya berkaitan dengan permesinan. Teknologi merupakan perpaduan yang kompleks dari manusia dan mesin, ide, prosedur, dan pengelolaan (Hoban, dalam AECT, 1977)

Kata teknologi seolah tak lepas dari ilmu pengetahuan kare meman pada hakekatnya teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan lain yang terorganisir ke tugas-tugas praktis (Galbraith, dalam AECT, 1977).

Teknologi adalah penerapan sistimik dan sistematik dari konsep ilmu perilaku dan ilmu fisika serta pengetahuan lain untuk memecahkan suatu masalah ( Gentry, dalam Anglin, 1991).

Apapun batasan teknologi yang dipakai, pada dasarnya teknologi bersifat bebas nilai baik buruknya terletan pada manusia yang menggunakannya. Teknologi mengarah pada efesiensi dan efektivitas serta pengupayaan pada nilai tambah.

Teknologi juga tidak dapat dilepaskan dari masalah karena pada hakekatnya teknologi ada untuk memecahkan masalah tersebut. Pemecahan teknologi terhadap suatu masalah besar kemungkinan akan menimbulkan masalah lain, ini tidak berarti bahwa teknologi harus dihindari.

Bagaimana dengan teknologi pendidikan? Teknologi Pendidikan dapat dipandang sebagai produk maupun sebagai proses. Sebagai suatu produk teknologi pendidikan lebih mudah dipahami karena sifatnya yang kongkrit.

Tidaklah mengherankan bila begitu mendengar kata teknologi pendidikan orang dengan cepat mengaitkannya dengan OHP, pesawat radio, kaset audio, televisi, film, dan proyektor film. Teknologi pendidikan lebih luas dari sekedar media pendidikan, baik perangkat keras ( Hardware) maupun perangkat lunak ( Software). Jadi media pendidikan hanyalah sebagian dari konsep teknologi pendidikan (AECT, 1977)

Sebagai suatu proses teknologi pendidikan lebih abstrak sifatnya. Teknologi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan terpadu melibatkan orang, prosudur, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar manusia (AECT, 1977).

Sejalan dengan konsep teknologi, maka teknologi pendidikan ada karena adanya masalah dalam pendidikan. Telah diketahui bersama bahwa paling tidak ada empat masalah pokok dalam pendidikan saat ini yakni; pemerataan kesempatan belajar, peningkatan mutu, peningkatan efesiensi, dan keterkaitan antara pendidikan, kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Dengan kondisi seperti itu tidaklah mengherankan apabila output pendidikan hingga saat ini masih saja kurang menggembirakan. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang bisa dilakukan oleh teknologi pendidikan untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan tersebut?

2. Kemampuan Teknologi Pendidikan

Miarso (1988) mengemukakan bahwa teknologi pendidikan dapat didefenisikan kemampuannya dengan dua cara; Pertama dengan melakukan pengkajian empirik, dan kedua dengan melakukan analisis konseptual. Sedangkan The National Task Force on Educational Technology (1986,16) melaporkan hasil pengkajiannyantentang kegunaan teknologi pendidikan sebagai berikut: a) Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang efesien dari cara-cara konvensional; b) Mengajarkan konsep dan keterampilan penalaran pada peringkat tinggi yang sulit dikembangkan tanpa bantuan teknologi; c) Mengembangkan pemehaman tentang teknologi informasi serta kegunaanya bagi masyarakat dan dunia kerja; d) Memungkinkan guru untuk mengelola lingkungan belajar, dimana belajar dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa, serta kemampuan mereka untuk mencapai penguasaan yang dipreskripsikan; serta e) Mengembangkan keterampilan dalam menggunakan komputer dan teknologi lain yang berkaitan.

Penerapan teknologi pendidikan dalam pendidikan hendaknya membuat proses pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada khususnya lebih efisien, lebih efektive dan memberikan nilai tambah yang positif.

Efektif dan efesien berarti upaya pendidikan yang dilakukan hendaknya dapat mencapai tujuan yang telah digariskan dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu. Kondisi seperti tersebut di atas dimungkinkan karena teknologi pendidikan memiliki beberapa potensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Ely dalam Sadiman (2000) sebagai berikut:

a. Meningkatkan produktivitas pendidikan dengan jalan : 1) Mempercepat laju belajar; 2) Membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik; dan 3) Mengurangi beban guru dalam menyejikan informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar anak. Dengan demikian guru akan lebih banyak berfungsi sebagai manager pembelajaran.

b. Memberikan pendidikan yang sifatnya lebih individual denganjalan: 1) Mengurangi kontrol guru yang kaku dan konvensional, 2) Memberikan kesempatan anak belajar secara maksimal, 3) Dapat melayani karakteristik individu yang berbeda-beda, karena adanya berbagai pilihan sumber belajar.

c. Memberikan dasar yang ilmiah pada pengajaran dengan jalan: 1) Perencanaan program pengajaran yang lebih sistimatis; dan 2) Pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi penelitian tentang prilaku manusia.

d. Lebih memantapkan pengajaran dengan jalan: 1) Meningkatkan kemampuan guru dengan berbagai media komunikasi, dan 2) Penyajian data informasi secara lebih kongkrit.

e. Kemungkinan belajar secara seketika, karena dapat : 1) Mengurangi juran pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah, 2) Memberikan pengetahuan langsung apa yang ada di luar sekolah dapat dibawa masuk ke kelas.

f. Memungkinkan penyajian pendidikan secara lebih luas, terutama dengan adanya media dengan jalan: 1) Pemanfaatan bersama secara lebih luas tenaga atau kejadian yang langkah, dan

Penyajian informasi yang tembus batas geofrafi.

Teknologi pendidikan mempunyai potensi dan peran yang besar dalam meningkatkan mutu pendidikan, tidak saja mutu outputnya tetapi juga proses inputnya. Hal ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Sadiman (2000) dengan teknologi pendidikan akan dapat dihasilkan berbagai produk berupa media pendidikan baik cetak maupun non cetak, yang pada gilirannya media ini nanti akan memperkaya variasi sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas.

Treichler dalam Dwyer (1978) mengemukakan bahwa pada diri manusia yang normal proses belajar terjadi paling banyak lewat indra lihat (mata) yaitu sekitar ( 83% ), hanya sekitar ( 11% ) lewat indra pendengaran (telinga), dan sisanya terbagi dalam tiga indra yang lain. Sementara itu Sadiman (2000) mengemukakan bahwa pada umumnya orang muda mengingat apa yang mereka lihat dan dengar (50%), kalau lihat saja (30%), dengar saja (20%), dan yang mereka baca (10%).

Sedangkan Arsyad yang mengetif pendapat Baugh dalam Achsin (1986) mengemukakan bahwa kurang lebih (90%) hasil belajar seseorang diproleh melalui indra pandang, dan hanya sekitar (5%) diproleh melalui indra dengar, dan (5%) lagi dengan indra lainnya. Sementara prosentase hasil belajar yang diproleh menurut Dale (1969) dalam Arsyad (2000) memperkirakan bahwa berkisar (75%) pengetahuan yang diproleh melalui indra lihat, (13%) melalui indra dengar, dan sekitar (12%) melalui indra lainnya.

Proses belajar mengajar yang cendrung bersifat verbalistik, pada hal diketahui bahwa cara belajar seperti itu mempunyai hambatan yang besar. Hal ini telah dikemukakan oleh Edgar Dale dalam kerucuk Pengalamannya, bahwa cara yang paling kongkrit untuk belajar adalah dengan mengalami secara langsung apa yang dipelajari, sedangkan yang paling abstrak adalah bila hanya dengan kata-kata (verbal).

Diantara kedua ektrim tersebut dijumpai rentangan berbagai cara penyampaian pengalaman belajar. Lihat Sudjana (1989), Sadiman (1993), Hamalik (1994), Nasution (1994), dan Arsyad (2000).

Berdasar uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya teknologi pendidikan dapat berperan serta dalam meningkatkan komponen-komponen sistem pendidikan, mulai dari masukan mentah, masukan instrumental hingga keproses balajar mengajarnya. Dengan penggunaan teknologi pendidikan yang mempunyai potensi besar dan dapat berperan serta dalam membantu meningkatkan mutu pendidikan.

C. Makna Reformasi Pendidikan

Secara umum istilah reformasi pendidikan dapat diartikan sebagai usaha perubahan untuk memperbaiki keadaan. Istilah ini dipertukarkan dengan istilah; pembaharuan, perubahan, perbaikan, restrukturisasi, atau pembangunan. Semua istilah itu mengandung makna yang sama, yaitu melakukan penyesuaian atas sistem yang ada sekarang.

Cakupan pengertian yang sangat luas, karena dapat ditafsirkan dengan berbagai indikator tindakan. Misalnya dapat ditafsirkan dengan : Mengganti pimpinan dengan pimpinan baru yang lebih sesuai (Aspiratif), menambah anggaran untuk kegiatan seperti untuk pendidikan, peningkatan produktivitas lembaga, meningkatkan kualitas produk atau hasil, memberi kesempatan pendidikan yang lebih luas, dan lain sebagainya.

Menurut Banathy (1991), apa yang dimaksudkan dengan reformasi seringkali hanya merupakan ” doing More of the same”. Usaha ini kemudian ditingkatkan dengan ” Doing more of the same, but doing it better”, yang merupakan usaha peningkatan efisiensi. Usaha-usaha ini dikategorikan sebagai usaha reformasi gelombang pertama.

Usaha pada gelombang kedua adalah peningkatan efektifitas pendidikan dengan mengatur kembali komponen sistem yang ada dan mendistribusikan tanggung jawab. Usaha pada gelombang ketiga yang dikenal dengan transformasi yaitu pengkajian seluruh sistem dan menciptakan desain baru. Pendapat senada dikemukakan oleh Reigeluth (1988) yang mengambil analogi pendapat Toffler ” The third wave of civilization” pada gelombang pertama merupakan masyarakat pertanian dikenal sistem pendidikan seperti yang ada sekarang ini, sedangkan pada gelombang ketiga yang merupakan masyarakat teknologi elektronik dan informasi, dengan sisten pendidikan harus didesain ulang sesuai dengan tuntutan zaman.

Reigeluth (1997:3) mengemukakan bahwa paradikma sistematis mengandung arti adanya perubahan fundamental atas segala aspek pendidikan. Dalam pengertian sistem, perubahan pada satu aspek dalam sistem, akan mempengaruhi aspek lain agar sistem tetap berfungsi. Perubahan itu harus meliputi semua jajaran pendidikan, mulai dari jajaran kelas, sekolah, daerah, masyarakat, pemerintah.

Pemikiran yang dikemukakan Reigeluth ini merupakan pemikiran lanjutan atas apa yang dikemukakan oleh Banathy (1991:86) yang mengkategorikan jajaran pendidikan kedalam empat lapis, yaitu lapisw pengalaman belajar sebagai lapis pertama, lapis kedua adalah sistem pembelajaran yang mengusahakan terselenggaranya pengalaman belajar, lapis ketiga adalah pengelolaan yang menunjang terselenggaranya sistem pembalajaran, lapis keempat adalah kelembagaan yang mengatur seluruh sistem pendidikan. Dan setiap lapis jajaran pendidikan tersebut harus dapat ditentukan tujuannya, maksudnya, hasilnya.

Usaha reformasi pendidikan menurut Banathy (19991) adalah harus dilakukan dengan menentukan perioritas mana yang akan digarap. Pada masyarakat yang menganut sistem pendidikan nasional yang memusat atau sentralistik, perioritas biasanya diletakkan pada lapis lembaga pemerintahan.

Tujuan pendidikan pada lapis ini adalah membudayakan atau mengindoktroktrinasi peserta didik. Dan konsekuensinya pada lapis pengalaman belajar adalah ditujukan pada seragmnya respons pesrta didk terhadap pelajaran. Usaha reformasi yang dilakukan pada lapis ini pada hakikatnya hanya merupakan ”doing more of the same” (menambah gedung sekolah, menambah jumlah guru, menambah anggaran, dan sebagainya).

Banathy (1991, 88) menjelaskan lebih lanjut bahwa usaha reformasi pendidikan adalah perioritas diletakkan pada lapis pengelolaan, maka tujuannya adalah meningkatkan pengelolaan kegiatan operasional pendidikan.

Konsekuensinya pada lapisan lembaga pemerintah adalah membudayakan dan memdidik peserta didik, dan pada lapis pengalaman belajar ditujukan pada respon peserta didik terhadap pembelajaran. Bilamana perioritas diletakkan pada lapis pengalaman belajar, maka tujuan pada lapis ini adalah menguasai tugas belajar dan manpu mengatasi persoalan belajar. Konsekuensinya pada lapis kelembagaan atau pemerintah adalah ditujukan pada jaminan ketersediaan sumber guna menunjang pengalaman belajar.

Bertolak dari paparan diatas penulis memahami bahwa inti dari reformasi pendidikan adalah pemberdayaan yaitu meliputi pemberdayaan peserta didik, pemberdayaan guru, dan pemberdayaan tenaga kependidikan lain, serta pemberdayaan masyarakat, maka perioritas reformasi pendidikan harus diletakkan pada lapis pengalaman belajar. Bila kita mengamati pelaksanaan pendidikan selama ini maka dapat disimpulkan bahwa yang diberdayakan dalam pelaksanaan pendidikan adalah pemerintah pusat yang menentukan segalanya. Sedangkan para pelaksana kependidikan dan peserta didik yang ada di lapangan harus ”menari” berdasarkan gendang yang ditabuh.

Miarso (1998) menyatakan bahwa arah reformasi pendidikan yang benar secara konseptual adalah memberikan perioritas pada lapis sistem pembelajaran atau lapis pengalaman belajar. Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan investasi sumber daya manusia (SDM) jangka panjang dan berlangsung seumur hidup, maka reformasi pendidikan secara menyeluruh tidak mungkin dilaksanakan dalam jangka waktu yang pendek. Dalam jangka pendek dapat dilakukan pengmbilan keputusan atas perioritas reformasi. Tetapi keputusan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan berkelanjutan dalam jangka menengah maupun panjang.

Pendidikan merupakan usaha yang terpenting adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang handal. Sumber daya manusia yang handal adalah merupakan produk utama pendidikan namun pentingnya peranan pendidikan dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) kurang mendapat perhatian nyata dari masyarakat maupun pemerintah.

Berbagai tuntutan reformasi yang dikumandangkan akhir-akhir ini terutama yang meliputi bidang politik, ekonomi, hukum. Namun disayangkan kurangnya atau jarang sekali terdengar tuntutan untuk reformasi dalam bidang sosial khususnya pendidkan. Padahal pendidikan sangat menentukan tatanan politik, ekonomi, dan hukum.

Kalau tidak didukung oleh manusia yang tidak berkepribadian, maka tatanan itu tidak banyak gunanya. Kepribadian itu sendiri merupakan obyek folmal endidikan, yaitu manusia dengan ciri beriman, taqwa, cerdas, terampil,jujur, dan berkepekaan sosial, serta cuinta tanah air.

D. Efektivitas Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan inti dari keseluruhan sistem pendidikan, karena merupakan syarat mutlak bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sebagai inti, maka kesuksesan dalam penyelenggaraannya haruslah mendapatkan perhatian dan penaganan secara sungguh-sungguh. Kegagalan penyenggaraan proses belajar mengajar akan memberikan pengaruh yang besar terhadap keseluruhan sistem pendidikan.

Proses belajar mengajar itu sendiri berintikan kegiatan belajar, dalam arti proses belajar mengajar harus manpu mengupayakan bagaimana siswa belajar. Karena inti dari proses belajar mengajar adalah siswa belajar, maka efektivitasnya sangat bergantung pada efektivitas siswa dalam belajar (J. Mappiare, 19989). Demikian pentingnya kegiatan belajar, sehingga Muhibbin Syah (1995) mengemukakan bahwa tanpa belajar tak pernah ada pendidikan, karena bagian terbesar proses pendidikan adalah diarahkan pada tercapainya proses perubahan pada diri manusia.

Pembenahan proses belajar mengajar harus diarahkan kepada bagaimana siswa dapat belajar seefektif dan seoptimal mungkin dalam rangka mewujukan perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Efektivitas proses belajar menekankan pada suatu usaha yang akan melahirkan aktivitas belajar yang efektif. Belajar yang efektif pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas belajar yang optimal pada diri siswa (J. Mappiare, 1989; Hamalik, 1993; A. Suparman, 1996).

Dalam rangka menciptakan efektivitas proses belajar bagi siswa, guru diharapkan meminimalkan (mengurangi) metode ceramah, karena metode tersebut mengurangi terbentuknya kemanpuan dan kebiasaan berfikir kritis dan kreatif bagi siswa. Terciptanya kegiatan belajar yang efektif bagi siswa merupakan syarat mutlak diperolehnya hasil belajar yang optimal.

Penerapan strategi belajar mengajar yang menekankan pada keefektifan siswa dalam belajar, akan menyebabkan siswa dapat menggunakan seluruh kemanpuan dasar yang dimilikinya untuk melakukan berbagai kegiatan belajar yang dipersyaratkan. Berkaitan dengan itu, guru diharapkan dapat berfungsi :

a. Motivator, yakni merangsang dan memotivasi agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar yang dipersyaratkan.

b. Fasilitator, yakni mengarahkan dan mengupayakan kemudaha-kemudahan bagi siswa dalam belajar dalam rangka mewujudkan tujuan tujuan pengajaran; dan

c. Konselor, yakni senantiasa pembimbing siswa dalam melaksanakan serangkaian kegiatan belajar yang dipersyaratkan, sehingga siswa aedidni mungkin dapat terhindar dalam berbagai kesulitan-kesulitan yang mungkin ditemukan dalam proses belajarnya (A.Rohani dan A.Ahmadi, 1995).

Tangyong dkk (1985) mengemukakan bahwa proses belajar siswa aktif akan tercipta apabila :

a. Guru memberikan informasi dan masalah, diikuti dengan penegasan untuk memecahkannya.

b. Guru memberikan jawaban berdasarkan hasil pemikiran yang dikembangkan dari siswa; dan

c. Guru memberikan umpan balik atas berbagai tanggapan siswa.

Pada dasarnya mengajar merupakan sutu usaha menstimulasi dan membimbing siswa untuk mencapai perubahan tingkah laku yang seoptimal mungkin. Untuk tuntutan itu, guru harus dapat mengajar secara efektif bagi siswanya dalam arti guru harus secara intensif menstimuli. Slameto dalam (J. Mappiare, 1989) mengemukakan bahwa mengajar yang efektif itu adalah mengajar yang dapat membawa siswa belajar yang efektif artinya siswa beraktifitas mencari, menemukan, dan melihat pokok masalah serta berusaha memecahkannya.

Dengan demikian, mengajar yang efektif harus mampu membangkitkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. Karena dengan partisipasi, siswa akan mengalami, menghayati dan menarik pelajaran dari pengalamannya itu, sehingga hasil belajar merupakan bagian dari dirinya, perasaannya, dan pemikirannya. Hasil belajar yang demikian akan lebih lestari disamping itu kreatifitas siswa lebih terbina dan dikembangkan (Thomas Gordon, 1990)

Pengajaran dari sudut Proses (by Procee), adalah suatu pengajaran dikategorikan efektif jika pengajara itu berlangsung secara interaktif yang dinamis sehingga memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya melalui kegiatan belajar berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pengajaran dasri sudut hasil (by Product), adalah suatu pengajaran dikatakan efektif jika siswa dapat mewujudkan tujuan pengajaran baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Sujana, 1988; Uzer Usman, 1992).

Mengkaji kriteria tersebut diatas, menunjukkan bahwa pengajaran yang efektif menitikberatkan pada penciptaan aktivitas belajar siswa seoptimal mungkin. Guru harus selalu berusah menfasilitasi atau menciptakan kondisi yang kondusif agar siswa dapat belajar secara aktif atas kesadaran dan kemauannya sendiri.

Efektifitas pendidikan dan pengajaran sering diukur dengan tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pengertian ini mengandung pokok pikiran bahwa pendidikan dan pengajaran haruslah:

a. Bersistem (sistematis), yaitu penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran secara sistematis, mulai dari tahap perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan.

b. Sensitif terhadap kebutuhanakan tugas belajar dan kebutuhan pembelajaran.

c. Jelas tujuannya dan kerena itu dapat dihimpun usaha untuk mencapainya.

d. Bertolak dari kemampuan atau kekuatan mereka yang bersangkutan yakni; peserta didik, pendidik, masyarakat dan pemerintah (Sriyono, 1992; Sardiman AM, 1990; Mariso, 1988)

Bertolak dari penjelasan diatas maka penulis memahami bahwa, pemahaman akan pengertian dan pandangan mengajar akan banyak mempengaruhi peranan dan aktifitas guru dalam mengajar. Sebaliknya, aktifitas guru dalam mengajar serta aktifitas siswa dalam belajar sangat bergantung pula pada pemahaman guru terhadap mengajar. Mengajar bukan sekedar proses penyampaian ilmu pengetahuan, melainkan mengandung berbagai aspeknya yang cukup kompleks.

Sumber : http://ilyasismailputrabugis.blogspot.com/2009/11/peran-teknologi-pendidikan.html

9/20/2010

SETETES EMBUN PENYEJUK DALAM KEGERSANGAN SPIRITUAL

Mengapa banyak orang yang berilmu tetapi merasa hidupnya gersang dan tak makna?dan mengapa kita harus menguasai seluruh ilmu jika pada akhirnya tidak bermanfaat bagi diri sendiri apalagi orang lain?. Pertanyaan “men-gelisahkan” itu senantiasa mengusik hati salah seorang murid Imam Al Ghazali.
Kegelisahan ini akhirnya mendorongnya menulis surat kepada gurunya—Imam Ghazali— untuk membuatkan ringkasan tentang ilmu yang bermanfaat. Permintaan tulus dari seorang murid ini akhirnya mendorong Imam Al Ghazali menulis sebuah kitab terkenal yang berjudul kitab Ayyuhal-Walad.
Dunia moderen yang begitu cepat bergulir, diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat pula. Puncak keberhasilan IPTEK adalah manusia berhasil menginjakkan kakinya di bulan—meski diwakili oleh Niel Amstrong levat misi Apollo beberapa tahun silam. Tetapi dalam kejayaan IPTEK tersebut timbul persoalan baru yang disebut Daniel Bell sebagai “kegersangan intelektual spiritual”.
Ilmu serasa tak bermakna dan tak berarti dalam kehidupan. Orang yang berilmu, tetapi ia tidak menemukan apa-apa dalam ilmunya selain kegersangan dan kehampaan. Kaum eksistensial melukiskan posisi manusia ini “dalam kesadaran naif dan eksistensi semu” yang tiada berujung. Akhirnya, lahirlah intelektual-intelektual yang disebut Bergson sebagai ilmuwan yang kehilangan elan vital dalam kehidupannya.
Persoalan ini terjadi karena manusia kehilangan spirit ketuhanan dalam dirinya, hilangnya amal dari ilmu dan hilangnya ilmu dari amal. Untuk mengatasi kegersangan intelektual spiritual tersebut, Al Ghazali dalam kitabnya tersebut memberikan beberapa wasiat diantaranya: pertama, manusia harus senantiasa meneladani ahklaq Rasulullah SAW.

Meneladani pribadi rasul bukan tanpa sebab, semata-mata karena diri dalam beliau terpancar akhlak serta budi pekerti yang luhur tiada tandingannya. Sampai-sampai, seorang orientalis barat bernama Mout Gomory Watt begitu gandrung terhadapnya.
Bahkan dengan jujur George Bernad Shaw —juga seorang orientalis— melukiskan jika rasul hadir pada zaman modern, niscaya beliau dapat mengatasi segala persoalan kehidupan dan membawa kehidupan umat manusia ke arah kebahagian.
Kedua, memanfaatkan waktu secara tepat. Al Quran surat Al-Ashar 1-3 dengan tegas menjelaskan pentingnya penggunaan waktu secara tepat. Hidup akan terasa bermakna manakala kita menghargai waktu.
Ketiga, mengamalkan ilmu dengan ikhlas. Jika menjadi seorang guru, ia harus ikhlas mengamalkan ilmunya kepada murid-muridnya tanpa embel-embel apapun. Laksana ibu pada anaknya dan laksana orang membuang hajat. Transfer ilmu guru pada murid tidak hanya secara kognitif, tetapi seluruh pribadi guru idealnya mewarnai kehidupan muridnya.
Menurut Al Ghazali, seorang guru haruslah berusaha mewarisi budi pekerti Rasulullah SAW. Bandingkan dengan guru-guru yang mengajar saat ini, di mana hubungan antara guru dengan murid hanya diukur dari sudut finansial saja, tanpa ada rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang telah diajarkannya.
Keempat, menghiasi malam dengan shalat tahajud. Menurut tradisi Tao saat sepertiga malam terakhir energi yang akan aktif hingga pada titik optimal. Energi yang adalah energi aktif alam raya ini. Oleh karena itu penganut ajaran Tao menggunakan waktu tersebut untuk melatih chi kung dan taichi —yaitu menyerap energi yang seoptimal mungkin. Efeknya, tubuh menjadi sehat dan pikiran menjadi jernih. Sangat tepat bila Rasulullah menganjurkan umatnya untuk melakukan zikir dan tafakur. Kegiatan tersebut membuat tubuh kita menyerap energi yang sehingga hati menjadi tentram dan kreatifitas pun meningkat pula. (hal 89)
Kelima, investasikan dunia untuk akhirat, artinya menjadikan seluruh kegiatan di dunia sebagai amalan untuk kehidupan di akhirat kelak. Kelima, menjaga tuhan dalam hati dan menyerahkan hidup pada kehendak-Nya. Artinya menjadikan tuhan sebagai kekasih di atas segala-galanya. Karena tuhan sudah menjadi kekasih kita, maka kita akan melakukan apa saja untuk kekasih kita tersebut. Tak ada seseorang yang akan menolak manakala diminta berkorban untuk pujaan hatinya.
Membaca buku ini laksana menemukan oase di padang pasir yang tandus, kita akan disuguhi nasihat luhur yang diterjemahkan dengan konteks kehidupan nyata. Hasilnya, penghayatan yang sangat sempurna. Meskipun buku ini hanya merupakan “penafsiaran kontekstual” atas kitab Ayyuhal-Walad kaya Imam Ghazali tetapi cukup membumi dengan kehidupan sehari-hari sehingga bisa menjadi embun penyejuk dalam kegersangan sepiritual manusia modern.[]