tag:blogger.com,1999:blog-4451265218200950202024-03-14T05:13:31.314-07:00Sekolah ImpianZaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comBlogger60125tag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-59267594099237944102010-12-24T19:39:00.000-08:002010-12-24T19:41:24.811-08:00Ujian University of CambridgeREFERENSI & RESOURCES<br /><br />Banyak jalan untuk mendapatkan legalitas/sertifikasi/ijazah untuk anak-anak homeschooling. Selain menggunakan jalur pendidikan kesetaraan yang diselenggarakan oleh Depdiknas, anak-anak HS dapat menempuh jalur sertifikasi internasional; salah satunya adalah Ujian yang diselenggaraakn oleh University of Cambridge.<br /><br />GraduationBerikut ini petikan informasi mengenai ujian University of Cambridge yang disarikan dari situs resmi University of Cambridge Examinations :<br /><br />University of Cambridge International Examinations (CIE) adalah sebuah lembaga non-profit yang merupakan bagian dari University of Cambridge. Lembaga ini menyediakan ujian kualifikasi internasional untuk anak usia 14-19 tahun.<br /><br />CIE memiliki banyak kualifikasi dan program, mulai yang bersifat umum (biasanya diambil melalui sekolah), hingga kualifikasi vokasional dan pengembangan profesional untuk para guru.<br /><br /><br />JENJANG UJIAN<br />Ada empat jenjang ujian yang diselenggarakan oleh CIE, yaitu: Primary (5-11 tahun); Lower Secondary (11-14 tahun); Middle Secondary (14-16 tahun); dan Upper Secondary (16-18 tahun).<br /><br />Setiap jenjang memiliki beberapa program. Pada jenjang Primary (kelas 1-6), ada Cambridge International Primary Programme. Materi yang diujikan pada tingkat primary adalah English, Math, dan Science. Ujian pada tingkat Primary diselenggarakan untuk kelas 3, 4, 5, dan 6. Ujian ini bersifat optional. Keterangan lengkap mengenai Primary Level.<br /><br />Pada jenjang Lower Secondary (kelas 7-9)), ada Lower Secondary Programme dan Cambridge Checkpoint. Pada Lower Secondary Programme, yang diujikan adalah Math, English, dan Science. Ujian tingkat 7 dan 8, bersifat optional. Di akhir tingkat (kelas 9), siswa dapat mengikuti ujian Cambridge Checkpoint yang dapat diambil terpisah (tanpa mengikuti ujian tingkat di bawahnya) sebelum mereka melanjutkan ke jenjang IGCSE/O Level. Keterangan lengkap Lower Secondary Level.<br /><br />Pada jenjang Middle Secondary (kelas 10-12), ada Cambridge O Level dan Cambridge IGCSE. The General Certificate of Education (Ordinary Level), atau O Level, adalah ujian akhir sekolah yang diselenggarakan di berbagai negara, seperti Singapore, Brunei, dll. Ujian pada O Level biasanya terdiri 7 sampai 9 mata pelajaran. Nilai yang diperoleh dari ujian O Level diterima di berbagai universitas.<br />Keterangan tentang O Level.<br /><br />IGCSE (The International General Certificate of Secondary Education) adalah salah satu tes yang diakui perguruan tinggi di berbagai penjuru dunia. IGCSE setara dengan O Level. IGCSE disesuaikan untuk kebutuhan multi-kultural, multi-lingual. Materi yang dapat dipilih siswa sangat beragam, ada banyak sekali mata pelajaran yang dapat diambil sesuai kebutuhan/minat siswa.<br />Keterangan tentang Cambridge IGCSE.<br /><br />Untuk jenjang Upper Secondary, ada ujian International A and AS Level. Jenjang ini merupakan kelanjutan IGCSE. Nilai yang bagus pada jenjang ini sangat penting untuk pendaftaran di universitas-universitas penting di dunia. Nilai yang bagus dapat menjadi kredit yang diakui di berbagai universitas di Amerika Serikat dan Kanada. Ujian pada jenjang ini menggunakan berbagai proses untuk melengkapi ujian tertulis, antara lain: lisan, praktek, project; disesuikan dengan mata pelajaran yang diambil. Ujian AS level merupakan setengah dari program A Level dan bersifat pilihan.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-17551603649767631012010-12-24T19:37:00.000-08:002010-12-24T19:38:34.351-08:00SEKOLAH TANPA SEKOLAH : Pendidikan Alternatif di Salatiga (Qoryah Thayyibah)Tak terbayangkan dalam benak kita ada sekolah tanpa pagar, tanpa tiang bendera, tanpa bel, tanpa gedung sekolah, bahkan tanpa plang yang menunjukkan bahwa ada sekolah. Tetapi itulah yang terjadi di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebuah komunitas belajar yang mengusung ide pendidikan alternatif muncul dan mengagetkan dunia pendidikan kita yang carut marut ini. Gaungnya tidak hanya bergema di negeri ini namun sudah terdengar hingga kancah internasional.<br /><br /> Sudah mengendap dalam benak kita bahwa kalau ingin menuntut ilmu berarti kita harus sekolah. Dan itu tidak sepenuhnya salah. Masalahnya, sekolah saat ini tidak hanya menuntut tekad bulat untuk menuntut ilmu, namun juga harus diiringi kesediaan merogoh kocek dalam-dalam. Untuk menyekolahkan anak setingkat SD di sekolah negeri, meski disebut gratis, tetap ada biaya yang harus dikeluarkan orangtua saat awal masuk sekolah berkisar antara 100 hingga 500 ribu rupiah, misalnya untuk seragam, buku, dan lain-lain. Sementara untuk masuk SD swasta, apalagi SD favorit di kota besar, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai jutaan rupiah.<br /><br /> Demikian juga ketika kita ingin menyekolahkan anak di tingkat SMP dan SMA. Biaya yang dikeluarkan tentu lebih tinggi. Kira-kira 500 sampai 1 juta rupiah harus disediakan orangtua pada saat penerimaan siswa baru. Uang sebesar itu tentu tidak terasa besar bagi mereka yang berpenghasilan rutin dengan jumlah jutaan rupiah. Namun bagi mereka yang tidak punya penghasilan tetap tentunya uang sejumlah itu akan sangat membebani hidup. Bayangkan saja, untuk biaya makan sehari-hari saja sudah susah apalagi harus menanggung biaya sekolah yang tidak sedikit.<br /><br /> Keresahan mengenai mahalnya biaya pendidikan pun mendorong Bahruddin, inisiator sekaligus penggerak model pendidikan alternatif di Salatiga mengajukan ide untuk membangun Learning Based Community (pendidikan berbasis komunitas) di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga. 'Sekolah' yang pada awalnya menampung 12 siswa setingkat SMP ini diberi nama Qaryah Thayyibah (QT) yang berarti Desa milik Allah yang dilimpahi keberkahan. Kini QT sudah memiliki 150 siswa setingkat SMP dan SMA.<br /><br /> <br /><br />Belajar sesuai kebutuhan<br /><br /> Pendidikan akternatif yang digagas oleh Bahruddin merupakan konsep yang dia kembangkan sendiri berdasar pengalaman dan buku-buku yang dibacanya. Prinsip dasarnya adalah memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa pun yang mereka sukai. Guru (di QT disebut pendamping) hanya memberikan ide atau masukan, apakah nanti akan diterima anak atau tidak, semua dikembalikan ke siswa.<br /><br /> Konsepnya mirip dengan homeschooling, namun ada beberapa hal yang membedakannya. Pertama, homeschooling masih memiliki kurikulum dan mata pelajaran yang harus dipelajari siswa. Sedang di QT tidak ada acuan mata pelajaran. Semua siswa bebas menentukan apa yang ingin mereka pelajari. Kedua, pelaksanaan homeschooling sering dikritik membatasi interaksi anak dengan orang lain. Sedangkan di QT, lingkungan sekitar dan masyarakatnya adalah 'sekolah' bagi siswa QT. Jadi model pendidikan alternatif dijamin tidak akan mengisolasi siswa dari lingkungannya. Justru mendorong siswa untuk terlibat aktif di lingkungannya.<br /><br /> Karena berbasis pada lingkungan pulalah, siswa QT diharapkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi lingkungan tempat mereka berada. “Ada seorang warga yang mengeluh pada anaknya kalau sekarang ini mau makan makanan yang bergizi harganya serba mahal. Lalu anaknya membawa permasalahan itu ke sekolah, anak-anak berdiskusi dan muncullah ide untuk membuat peternakan belut. Lalu anak-anak belajar tentang budidaya belut lalu sama-sama mereka praktek membudidayakannya,” cerita Bahruddin.<br /><br /> Sungguh berbeda jauh dengan kebanyakan kita yang sudah melahap berbagai pelajaran di sekolah namun tidak mampu memberikan solusi pada permasalahan sekitar. “Selama ini kita kan diajarkan agar banyak menyerap pengetahuan tapi akhirnya kita malah jadi konsumtif alias tidak produktif. Pengetahuan itu seperti vitamin, dibutuhkan untuk tubuh kita secukupnya saja jangan sampai berlebih,” tambah ayah 3 anak ini.<br /><br /> <br /><br />Mandiri dalam belajar<br /><br /> Pendidikan alternatif yang diusung Bahruddin sebenarnya mendidik anak agar mandiri dalam belajar. Ini hal penting yang justru sering tidak kita dapatkan di dunia pendidikan kita. Anak-anak yang pergi ke sekolah setiap pagi, pulang sore hari, 6 hari selama seminggu, kebanyakan datang ke sekolah lebih sebagai formalitas bukan dengan niat murni untuk menuntut ilmu. Sampai di sekolah pun anak memposisikan diri sebagai 'wadah' yang siap menerima apa pun yang diberikan oleh guru. Padahal hakekatnya, anak bukanlah tempat kosong yang tidak berisi apa-apa. Artinya, anak-anak itu sudah memiliki bekal-bekal yang dapat mendorong mereka untuk belajar. Misalnya pengalaman, informasi dari televisi, buku maupun dari tempat lain.<br /><br /> Hal seperti itu tidak terjadi di QT. “Aku kan emang dari awal suka musik. Aku belajar sendiri dengan baca internet dan download video-video tentang musik. Terus aku mau belajar gitar, belajarnya dengan cari di internet gimana caranya main gitar lalu aku coba-coba sendiri sampai bisa. Terus kalau bikin lagu, aku kan punya temen yang bisa buat lagu ya aku belajar sama temenku itu dan ini bisa dilakukan sendiri saja dan kadang kami juga mendatangkan guru juga. Pas mau rekaman juga gitu. Aku ikut temen atau lihat Pak De (paman-red) yang memang pemusik, gimana caranya rekaman. Liat di studio, aku pelajari dan aku bawa ke sini untuk dipelajari sama-sama dengan teman-teman,” ungkap Ikhwan (19), salah seorang lulusan QT.<br /><br /> Hal menarik yang bisa kita dapatkan dari QT ini, anak jadi terbiasa belajar secara mandiri. Bayangkan, jika selama 6 tahun mereka dilatih untuk memilih sendiri apa yang akan mereka pelajari. Juga merumuskan sendiri (bersama teman satu forum) materi yang akan dipelajari dan menyiapkan sendiri segala macam perangkat yang dibutuhkan untuk belajar, maka bisa dipastikan setelah lulus 'sekolah' dia tidak akan kesulitan untuk terus belajar meski sudah tidak berada di lingkungan sekolah.<br /><br /> Sementara fenomena yang sering kita lihat, banyak anak lulus SMA belum memiliki karya, bahkan banyak yang menjadi 'masalah' bagi lingkungannya. Padahal dalam Islam juga ada terminologi bahwa orang yang paling baik adalah orang yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan kata lain orang yang paling baik bisa menyelesaikan permasalahan lingkungannya.<br /><br /> <br /><br />Dibebaskan justru berprestasi<br /><br /> Banyak yang berpikir bahwa untuk berprestasi anak harus diberikan pengarahan dengan ketat. Diikutkan berbagai les dengan jadwal yang padat, tidak banyak bermain-main dan penuh dengan hal serius lainnya. Ternyata hal ini terpatahkan dengan sistem pendidikan alternatif di QT. Dengan ketiadan jadwal pelajaran, tanpa guru, gedung sekolah, laboratorium justru mendorong para siswa untuk kreatif.<br /><br /> “Maia Rosyida, sudah menulis 20 buku. Saat ini umurnya 18 tahun,” ungkap Bahruddin. Saat mulai bersekolah di Qoryah Thayyibah, Maia menyampaikan kalau suka menulis, maka yang dilakukan para pendamping adalah mendukung dan mendorongnya untuk terus menulis. Hasilnya, benar-benar tak terduga, karena si anak didukung melakukan sesuatu yang sesuai minatnya, dalam waktu singkat 20 buku berhasil ditulisnya. Sebagian dijilid, di-copy dan disebarluaskan oleh pihak sekolah, sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit profesional.<br /><br /> Fina, Izza dan Siti, tiga orang siswa QT berhasil menerima penghargaan Creative Kids Award dari Yayasan Creatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Ketiga anak itu membuat karya tulis berjudul “Haruskah UN Dihapus?” Karya tulis itu dibuat sebagai tugas akhir sebelum mereka lulus dari QT.<br /><br /> Belum lagi sejumlah karya berupa hasil penelitian, film, musik yang dibuat oleh siswa-siswa QT. Semua karya tersebut ide orisinal dari si anak dengan masukan para pendamping. Beberapa siswa sudah biasa diminta berbicara di depan para pejabat publik, seperti Hilmy (15) yang diminta berpidato di depan 90 kepala sekolah berprestasi di seluruh Indonesia. Semua karya yang mengagumkan itu bersumber pada sebuah prinsip pendidikan yang membebaskan anak untuk mempelajari apa yang dia suka, sambil tetap mendampingi dan mendukung sebisa mungkin.<br /><br /> <br /><br />Mengelola internet sendiri<br /><br /> Salah satu perangkat yang berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan alternatif QT adalah akses internet penuh 24 jam. Semua siswa 'dibiarkan' mandiri belajar, salah satunya dengan panduan “Om” Google. Akses internet memang ibarat samudra luas tanpa batas yang berisi segala hal, baik yang positif maupun negatif. Di QT, semua siswa bebas mengakses internet, tentunya tetap dengan aturan tertentu. Sebab kebebasan yang bertanggungjawab adalah prinsipnya.<br /><br /> Bagaimana komunitas ini bisa memiliki akses internet 24 jam? Awalnya memang ada seorang pengusaha yang menyediakan internet di komunitas ini. Namun kemudian, komunitas ini memakai jasa internet yang diluncurkan Telkom dan dikelola secara mandiri. Mereka membuat aturan seperti biaya Rp2000 per-jam untuk pemakaiani internet. Dari hasil pengelolaan internet itu mereka mampu membayar tagihan internet plus membayar uang listrik per bulannya.<br /><br /> Dari pengalaman komunitas ini kita bisa belajar bahwa jika anak-anak usia 13-19 tahun yang tinggal di lereng gunung saja bisa mengelola 'sekolah'nya dengan baik, maka sebenarnya hal yang sama bisa juga dilakukan di tempat lain dan oleh siapa pun. Hanya dibutuhkan komitmen yang kuat dan kemauan untuk mewujudkannya. Terasa berat? Bisa jadi, sebagai awalnya. Namun tidak ada kata tidak mungkin jika kita mau mencobanya.<br /><br />Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-87911969936538515412010-12-20T02:20:00.000-08:002010-12-20T02:21:27.470-08:00Teknik Evaluasi BelajarSebelum membicarakan teknik-teknik evaluasi, berikut ini beberapa prinsip yang perlu diperhatikan guru dalam merencanakan evaluasi.<br /><br />1. ObjektivitasGuru harus merencanakan alat evaluasi secara objektif dalam arti benar-benar ingin mengetahui apa yang perlu diketahuinya. Dengan demikian alat evaluasi bentuk soal atau angket harus berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar mencakup: metode, bahan pengajaran, dll. Guru tidak boleh menyusun bahan evaluasi terhadap materi pengajaran yang belum pernah dipelajari oleh peserta didik. Hal demikian bersifat subjektif dan merugikan. Guru juga harus belajar mengesampingkan aspek emosinya (sentimen) dalam relasi dengan peserta didik (kejengkelan atau keakrabannya). Kalau tidak, masalah sentimen ini dapat mempengaruhi proses evaluasi.<br /><br />2. Kegunaan dan RelevansiGuru harus menetapkan alat evaluasi yang betul-betul absah (valid) untuk mengukur kemajuan belajar ataupun program pengajaran. Guru juga harus bersikap adil dalam memberikan jumlah soal atau pertanyaan yang akan dijawab peserta didik, sesuai dengan alokasi waktu. Pengerjaan soal ujian hendaknya tidak melampaui waktu yang dipakai dalam pengajaran.<br /><br />3. MenyeluruhSebaiknya evaluasi yang dilakukan guru jangan bersifat sepihak, dalam arti hanya mengukur kemajuan atau kegagalan peserta didik. Ia juga harus berusaha menilai segi-segi lain yang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar. Misalnya saja masalah kehadiran dan keaktifan diskusi dalam semua pertemuan, serta munculnya kreativitas dan kebersamaan dalam kerja kelompok.<br /><br />BEBERAPA TEKNIK<br /><br />Kita dapat melaksanakan evaluasi belajar ataupun program melalui berbagai teknik/pendekatan. Tentu saja setiap pendekatan memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Di bawah ini beberapa teknik evaluasi yang perlu kita singgung.<br /><br />1. Evaluasi melalui tugas-tugas (PR).Tugas yang diberikan dengan baik dan jelas dapat membantu peserta didik untuk menampilkan kemampuan belajarnya termasuk spiritualitas, pengetahuan dan pengertian, keterampilan serta orisinalitasnya. Oleh karena itu, guru juga harus memberitahukan prosedur penilaian terhadap tugas yang diberikannya, antara lain:- Segi kegunaan tugas harus jelas diketahui oleh peserta didik.- Kesesuaian dengan beban studi.- Prosedur penilaian dan kriterianya.- Prosedur atau teknik kerja.- Perundingan segi waktu pekerjaan (berapa lama).- Kesiapan guru dalam memberikan bimbingan.<br /><br />2. Evaluasi melalui bantuan rekan.Sering rekan pengajar lainnya dapat memberitahukan dengan baik sisi-sisi kekuatan dan kelemahan kita sendiri dalam banyak segi, seperti kerohanian, watak dan sikap, minat, pengetahuan dan keterampilan. Guru dapat merencanakan "alat" bagi keperluan ini, dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas. Sepatutnyalah guru memandang peserta didiknya (khususnya remaja, pemuda dan orang dewasa) sebagai "rekan sekerja" yang dapat membantu dirinya sendiri dalam meningkatkan wawasan dan keterampilan keguruannya.<br /><br />3. Evaluasi berdasarkan ujian.Alat yang sering dipakai dalam kesempatan semacam ini disebut tes. Ada dua jenis utamanya, yakni:a. Tes objektif meliputi pilihan berganda, benar-salah, isian (menjodohkan). Sangat tepat untuk menilai segi-segi kognitif secara cepat dan menyeluruh. Tetapi jenis tes ini tidak dapat melihat segi kreativitas peserta didik dengan tepat.b. Tes esai tertutup disajikan dengan cara memberikan soal untuk dikaji atau dipikirkan berdasarkan bahan pengajaran yang diterima murid. Bentuk ujian semacam ini sangat baik dan mungkin tepat untuk menilai kemampuan belajar, kedalaman, dan ketajaman pengertian peserta didik. Namun, untuk menilainya diperlukan lebih banyak waktu.c. Tes esai terbuka. Yang sangat dipentingkan dalam hal ini adalah kemampuan memahami, aplikasif, analisis, sintesis serta evaluatif peserta didik, dengan menggunakan fakta tertulis (ide, angka-angka, dll.).<br /><br />4. Evaluasi berdasarkan pengamatanHal ini penting dalam rangka mengukur keterampilan dan sikap yang dituntut berkembang dalam diri peserta didik. Karena itu, guru harus menetapkan segi-segi kualitas yang akan diukur (items) termasuk aspek pengetahuan, penguasaan materi, pengertian, kemampuan menggunakan alat, keterampilan kerja, komunikasi, dll.<br /><br />5. Evaluasi berdasarkan interview, termasuk ujian lisan komprehensif.Guru dapat mengukur kemajuan peserta didik dengan cara mengajaknya berbincang-bincang mengenai pokok tertentu. Kemudian guru memberitahu kemajuan dan kelemahan peserta didik berdasarkan hasil wawancara itu. Harus disadari bahwa bentuk semacam ini sering pula mengundang debat emosional dan pembicaraan yang tak tentu arahnya.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-86840378576744078462010-12-20T02:17:00.000-08:002010-12-20T02:18:27.206-08:00MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN KREATIF DAN MENYENANGKANPembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Dalam pembelajaran , guru berhadapan dengan sejumlah peserta didik dengan berbagai macam latar belakang, sikap, dan potensi, yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap kebiasaannya dalam mengikuti pembelajaran. Misalnya masih banyak peserta didik kurang bernafsu untuk belajar dan membolos terutama pada mata pelajaran, dan guru yang menurut mereka sulit atau menyulitkan. Untuk kepentingan tersebut guru dituntut membangkitkan motivasi belajar peserta didik. Karena motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Peserta didik yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan belajar dengan sungguh-sungguh.<br /><br />Untuk membangkitkan motivasi belajar peserta didik, setiap guru sebaiknya memiliki rasa ingin tahu, mengapa dan bagaimana anak belajar dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi-kondisi belajar dalam lingkungannya. Guru juga sebaiknya mampu untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.<br /><br />Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan bagaimana menciptakan suatu pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, sehingga peserta didik termotivasi untuk mengikuti pelajaran di kelas.<br /><br />Untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan diperlukan berbagai keterampilan, diantaranya keterampilan mengajar. Keterampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran, yaitu keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan.<br /><br />Setiap keterampilan mengajar memiliki komponen dan prinsip-prinsip dasar tersendiri. Keterampilan mengajar tersebut dan cara menggunakannya agar tercipta pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan adalah sebagai berikut:<br /><br />A. Menggunakan keterampilan bertanya<br /><br /> Keterampilan bertanya sangat perlu untuk dikuasai oleh guru, karena hampir dalam setiap tahap pembelajaran guru dituntut untuk mengajukan pertanyaan, dan kualitas pertanyaan yang diajukan guru akan menentukan kualitas jawaban peserta didik.<br /><br />Keterampilan bertanya yang perlu dikuasai oleh guru meliputi keterampilan bertanya dasar dan keterampilan bertanya lanjutan.<br /><br />1. Keterampilan bertanya dasar mencakup;<br /><br />a. Pertanyaan yang jelas dan singkat, <br /><br />b. Pemberian acuan yaitu sebelum mengajukan pertanyaan guru perlu memberikan acuan berupa penjelasan singkat yang berisi informasi yang sesuai dengan jawaban yang diharapkan,<br /><br />c. Memusatkan perhatian; pertanyaan juga dapat digunakan untuk memusatkan perhatian peserta didik,<br /><br />d. Memberi giliran dan menyebarkan pertanyaan; guru hendaknya berusaha agar semua peserta didik mendapat giliran dalam menjawab pertanyaan, dan yang lebih penting adalah memberikan kesempatan berpikir kepada peserta didik sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan.<br /><br />2. Keterampilan bertanya lanjutan meliputi;<br /><br />a. Pengubahan tuntunan tingkat kognitif yaitu guru hendaknya mampu mengubah pertanyaan dari hanya sekadar mengingat fakta menuju pertanyaan aspek kognitif lain seperti penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi, <br /><br />b. Pengaturan urutan pertanyaan yaitu pertanyaan yang diajukan hendaknya mulai dari yang sederhana menuju yang paling kompleks secara berurutan,<br /><br />c. Peningkatan terjadinya interaksi yaitu guru hendaknya menjadi dinding pemantul. Jika ada peserta didik yang bertanya, guru tidak menjawab secara langsung, tetapi dilontarkan kembali ke seluruh peserta didik untuk didiskusikan.<br /><br /> B. Memberi penguatan<br /><br /> Penguatan merupakan respons terhadap suatu perilaku yang dapat menimbulkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut. Penguatan dapat dilakukan secara verbal berupa kata-kata dan kalimat pujian dan secara non verbal yang dilakukan dengan gerakan mendekati peserta didik dan kegiatan yang menyenangkan. Penguatan bertujuan untuk meningkatkan perhatian peserta didik terhadap pembelajaran, merangsang dan meningkatkan motivasi belajar dan membina perilaku yang produktif.<br /><br />C. Mengadakan variasi<br /><br /> Mengadakan variasi merupakan keterampilan yang harus dikuasai guru dalam pembelajaran untuk mengatasi kebosanan peserta didik, agar selalu antusias, tekun , dan penuh partisipasi. Variasi dalam kegiatan pembelajaran meliputi;<br /><br />1. Variasi dalam gaya mengajar misalnya variasi suara, gerakan badan dan mimik, mengubah posisi, dan mengadakan kontak pandang dengan peserta didik.<br /><br />2. Variasi dalam penggunaan media dan sumber belajar misalnya variasi alat dan bahan yang dapat dilihat, penggunaan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar.<br /><br />3. Variasi dalam pola interaksi misalnya dalam mengelompokkan peserta didik, tempat kegiatan pembelajaran, dan dalam pengorganisasian pesan ( deduktif dan induktif).<br /><br />D. Menjelaskan<br /><br /> Penggunaan penjelasan dalam pembelajaran memiliki beberapa komponen yang harus diperhatikan, yaitu:<br /><br />1. Perencanaan meliputi isi pesan yang akan disampaikan harus sistematis dan mudah dipahami oleh peserta didik dan dalam memberikan penjelasan harus mempertimbangkan kemampuan dan pengetahuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik.<br /><br />2. Penyajian dapat menggunakan pola induktif yaitu memberikan contoh terlebih dahulu kemudian menarik kesimpulan umum dan pola deduktif yaitu hukum atau rumus dikemukakan lebih dahulu lalu diberi contoh untuk memperjelas rumus dan hukum yang telah dikemukakan.<br /><br />E. Membuka dan menutup pelajaran<br /><br /> Membuka dan menutup pelajaran yang dilakukan secara profesional akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan pembelajaran. Membuka pelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan kesiapan mental dan menarik perhatian peserta didik secara optimal, agar mereka memusatkan diri sepenuhnya pada pelajaran yang akan disajikan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah:<br /><br />1. Menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi yang akan disajikan.<br /><br />2. Menyampaikan tujuan (kompetensi dasar) yang akan dicapai.<br /><br />3. Menyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan tugas-tugas yang harus diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran.<br /><br />4. Mendayagunakan media dan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang akan disajikan.<br /><br />5. Mengajukan pertanyaan, baik untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap pelajaran yang telah lalu maupun untuk menjajaki kemampuan awal berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari.<br /><br /> Menutup pelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui pencapai tujuan dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari serta mengakhiri kegiatan pembelajaran. Untuk menutup pelajaran kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah:<br /><br />1. Menarik kesimpulan mengenai materi yang telah dipelajari (kesimpulan bisa dilakukan oleh guru, oleh peserta didik, atau permintaan guru, atau oleh peserta didik bersama guru).<br /><br />2. Mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan dan keefektifan pembelajaran yang telah dilaksanakan.<br /><br />3. Menyampaikan bahan-bahan pendalaman yang harus dipelajari dan tugas-tugas yang harus dikerjakan (baik tugas individu maupun tugas kelompok) sesuai dengan materi yang telah dipelajari.<br /><br />4. Memberikan post tes baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.<br /><br />F. Membimbing diskusi kelompok kecil<br /><br />Hal-hal yang perlu dipersiapkan guru agar diskusi kelompok kecil dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran adalah:<br /><br />1. Pembentukan kelompok secara tepat<br /><br />2. Memberikan topik yang sesuai<br /><br />3. Pengaturan tempat duduk yang memungkinkan semua peserta didik dapat berpartisipasi secara aktif.<br /><br />G. Mengelola kelas<br /><br /> Pengelolaan kelas merupakan keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas adalah; kehangatan dan keantusiasan, tantangan, bervariasi, luwes, penekanan pada hal-hal positif, dan penanaman disiplin diri.<br /><br /> Keterampilan mengelola kelas memiliki komponen sebagai berikut:<br /><br />1. Penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal<br /><br />a. Menunjukkan sikap tanggap dengan cara; memandang secara seksama, mendekati, memberikan pernyataan dan memberi reaksi terhadap gangguan di kelas.<br /><br />b. Memberi petunjuk yang jelas.<br /><br />c. Memberi teguran secara bijaksana.<br /><br />d. Memberi penguatan ketika diperlukan.<br /><br />2. Keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang optimal<br /><br />a. Modifikasi perilaku yaitu mengajarkan perilaku yang baru dengan contoh dan pembiasaan, meningkatkan perilaku yang baik dengan penguatan, dan mengurangi perilaku buruk dengan hukuman.<br /><br />b. Pengelolaan kelompok dengan cara; peningkatan kerja sama dan keterlibatan, menangani konflik dan memperkecil masalah yang timbul.<br /><br />c. Menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah, misalnya mengawasi secara ketat, mendorong peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya, menjauhkan benda-benda yang dapat mengganggu konsentrasi, dan menghilangkan ketegangan dengan humor. <br /><br />H. Mengajar kelompok kecil dan perorangan<br /><br /> Pengajaran kelompok kecil dan perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik, dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik.<br /><br /> Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan dapat dilakukan dengan:<br /><br />1. Mengembangkan keterampilan dalam pengorganisasian, dengan memberikan motivasi dan membuat variasi dalam pemberian tugas.<br /><br />2. Membimbing dan memudahkan belajar, yang mencakup penguatan, proses awal, supervisi, dan interaksi pembelajaran.<br /><br />3. Pemberain tugas yang jelas, menantang dan menarik.<br /><br />Untuk melakukan pembelajaran perorangan perlu diperhatikan kemampuan dan kematangan berpikir peserta didik agar apa yang disampaikan bisa diserap dan diterima oleh peserta didik.<br /><br />Selain beberapa komponen keterampilan mengajar yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, guru juga harus kreatif, profesional, dan menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut;<br /><br />1. Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.<br /><br />2. Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.<br /><br />3. Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai dengan minat, kemampuan, dan bakatnya.<br /><br />4. Pemberi sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.<br /><br />5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab kepada peserta didik.<br /><br />6. Membiasakan peserta didik untuk saling bersilaturrahmi dengan orang lain.<br /><br />7. Mengembangkan kreativitas peserta didik.<br /><br />Dengan memiliki beberapa keterampilan mengajar yang telah diuraikan di atas diharapkan guru tidak lagi menjadi figur yang menakutkan bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik akan senantiasa memiliki perasaan yang nyaman jika berada dalam proses pembelajaran dan akan senantiasa memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti pembelajaran.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-34956867204698880572010-12-20T02:16:00.000-08:002010-12-20T02:17:24.900-08:00Ragam Metode Pembelajaran InteraktifPembelajaran, Menurut Usman ( 2000 : 4 ) “ … proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu” Proses pembelajaran merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran yang satu sama lain saling berhubungan dalam sebuah rangkaian untuk mencapai tujuan. Menurut Sudjana ( 1989 : 30 ) yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah “ tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian “Metode mengajar yang digunakan guru hampir tidak ada yang sisa-sia, karena metode tersebut mendatangkan hasil dalam waktu dekat atau dalam waktu yang relatif lama. Hasil yang dirasakan dalam waktu dekat dikatakan seabagi dampak langsung (Instructional effect) sedangkan hasil yang dirasakan dalam waktu yang reltif lama disebut dampak pengiring (nurturant effect) biasanya bekenaan dengan sikap dan nilai. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000,194)Macam-macam Metode Pembelajaran :<br /><br />1. METODE CERAMAH Metode ceramah adalah metode yang boleh dikatakan metode tradisonal. Karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dan anak didik dalam interaksi edukatif.<br /><br />a. Kelebihan Metode Ceramah 1) Guru mudah menguasai kelas. 2) Mudah dilaksanakan. 3) Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar. 4) Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar.<br /><br />b. Kekurangan Metode Ceramah 1) Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata). 2) Anak didik yang lebih tanggap dari sisi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya. 3) Bila terlalu lama membosankan. 4) Sukar mengontrol sejauhmana pemerolehan belajar anak didik. 5) Menyebabkan anak didik pasif.<br /><br />2. METODE PROYEK Metode proyek adalah suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar.<br /><br />a. Kelebihan Metode Proyek 1) Dapat merombak pola pikir anak didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan menyeluruh dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. 2) Melalui metode ini, anak didik dibina dengan membiasakan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan terpadu, yang diharapkan praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari.<br /><br />b. Kekurangan Metode Proyek 1) Kurikulum yang berlaku di negara kita saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal, belum menunjang pelaksanaan metode ini; 2) Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini sukar dan memerlukan keahlian khusus dari guru, sedangkan para guru belum disiapkan untuk ini; 3) Harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan anak didik, cukup fasilitas, dan memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan; 4) Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas.<br /><br />3. METODE EKSPERIMEN Metode eksperimen adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Dengan metode ini anak didik diharapkan sepenuhnya terlibat merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta, mengumpulkan data, mengendalikan variabel, dan memecahkan masalah yang dihadapinya secara nyata.<br /><br />a. Kelebihan Metode Eksperimen 1) Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku; 2) Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi, suatu sikap yang dituntut dari seorang ilmuwan; dan 3) Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaannya yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia.<br /><br />b. Kekurangan Metode Eksperimen 1) Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan eksperimen; 2) Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk melanjutkan pelajaran; serta 3) Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi.<br /><br />4. METODE PEMBERIAN TUGAS DAN RESITASI Pemberian tugas dengan arti guru menyuruh anak didik misalnya membaca, tetapi dengan menambahkan tugas-tugas seperti mencari dan membaca buku-buku lain sebagai perbandingan, atau disuruh mengamati orang/masyarakatnya setelah membaca buku itu. Dengan demikian, pemberian tugas adalah suatu pekerjaan yang harus anak didik selesaikan tanpa terikat dengan tempat.<br /><br />a. Kelebihan Metode Pemberian Tugas dan Resitasi 1) Pengetahuan yang anak didik peroleh dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama; dan 2) Anak didik berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab, dan berdiri sendiri.<br /><br />b. Kekurangan Metode Pemberian Tugas dan Resitasi 1) Seringkali anak didik melakukan penipuan di mana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan orang lain tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri; 2) Terkadang tugas itu dikerjakan orang lain tanpa pengawasan; dan 3) Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan indi¬vidual.<br /><br />5. METODE DISKUSI Diskusi adalah memberikan altematif jawaban untuk membantu memecahkan berbagai problem kehidupan. Dengan catatan persoalan yang akan didiskusikan harus dikuasai secara mendalam.<br /><br />a. Kelebihan Metode Diskusi 1) Menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan dan bukan satu jalan (satu jawaban saja). 2) Menyadarkan anak didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik. 3) Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya sendiri dan membiasakan bersikap toleran.<br /><br />b. Kekurangan Metode Diskusi 1) Tidak dapat dipakai pada kelompok yang besar; 2) Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas; 3) Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara; dan 4) Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih for¬mal.<br /><br />6. METODE LATIHAN Metode latihan (driil) disebut juga metode training, yaitu suatu cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga, sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik. Selain itu, metode ini dapat digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan, dan keterampilan.<br /><br />a. Kelebihan Metode Latihan 1) Dapat untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan menggunakan alat-alat. 2) Dapat untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, tanda-tanda/simbol, dan sebagainya. 3) Dapat membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan.<br /><br />b. Kekurangan Metode Latihan 1) Menghambat bakat dan inisiatif anak didik karena anak didik lebih banyak dibawa kepada penyesuaian dan diarahkan kepada jauh dan pengertian. 2) Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. 3) Kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton dan mudah membosankan. 4) Dapat menimbulkan verbalisme.<br /><br />7. PICTURE AND PICTURE Langkah-langkah : 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai 2. Menyajikan materi sebagai pengantar 3. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi 4. Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis 5. Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut 6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai 7. Kesimpulan/rangkuman<br /><br />8. NUMBERED HEAD TOGETHER ((KEPALA BERNOMOR) (SPENCER KAGAN, 1992) Langkah-langkah : 1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor 2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya 3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya 4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka 5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain 6. Kesimpulan<br /><br />9. COOPERTIVE SCRIPT (DANSEREAU CS., 1985)<br /><br />Skrip kooperatif : metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan, bagian-bagian dari materi yang dipelajari Langkah-langkah : 1. Guru membagi siswa untuk berpasangan 2. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan 3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar 4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar : • Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap • Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya 5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas. 6. Kesimpulan Siswa bersama-sama dengan Guru 7. Penutup<br /><br />10. KEPALA BERNOMOR STRUKTUR (MODIFIKASI DARI NUMBER HEADS) Langkah-langkah : 1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor 2. Penugasan diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomor terhadap tugas yang berangkai Misalnya : siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya. 3. Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka 4. Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain 5. Kesimpulan<br /><br />11. JIGSAW (MODEL TIM AHLI) (ARONSON, BLANEY, STEPHEN, SIKES, AND SNAPP, 1978) Langkah-langkah : 1. Siswa dikelompokkan ke dalam = 4 anggota tim 2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda 3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan 4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka 5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh 6. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi 7. Guru memberi evaluasi 8. Penutup<br /><br />12. ARTIKULASI Langkah-langkah : 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai 2. Guru menyajikan materi sebagaimana biasa 3. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan dua orang 4. Menugaskan salah satu siswa dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya 5. Menugaskan siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancaranya 6. Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa 7. Kesimpulan/penutup<br /><br />13. MIND MAPPING Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban Langkah-langkah : 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai 2. Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa dan sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban 3. Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang 4. Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi 5. Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru 6. Dari data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi perbandingan sesuai konsep yang disediakan guru<br /><br />14. MAKE - A MATCH (MENCARI PASANGAN) Langkah-langkah : 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban 2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu 3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang 4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban) 5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin 6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya 7. Demikian seterusnya 8. Kesimpulan/penutup<br /><br />15. THINK PAIR AND SHARE (FRANK LYMAN, 1985) Langkah-langkah : 1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai 2. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru 3. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing 4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya 5. Berawal dari kegiatan tersebut, Guru mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa 6. Guru memberi kesimpulan 7. Penutup<br /><br />16. BERTUKAR PASANGAN Langkah-langkah : 1. Setiap siswa mendapat satu pasangan (guru bisa menunjuk pasangannya atau siswa memilih sendiri pasangannya). 2. Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya. 3. Setelah selesai setiap pasangan bergabung dengan satu pasangan yang lain. 4. Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan, kemudian pasangan yang baru ini saling menanyakan dan mencari kepastian jawaban mereka. 5. Temuan baru yang didapat dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan semula.<br /><br />17. SNOWBALL THROWING Langkah-langkah : 1. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan 2. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi 3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya 4. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok 5. Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit 6. Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian 7. Evaluasi 8. Penutup<br /><br />18. TEBAK KATA Media : Buat kartu ukuran 10X10 cm dan isilah ciri-ciri atau kata-kata lainnya yang mengarah pada jawaban (istilah) pada kartu yang ingin ditebak. Buat kartu ukuran 5X2 cm untuk menulis kata-kata atau istilah yang mau ditebak (kartu ini nanti dilipat dan ditempel pada dahi ataudiselipkan di telinga. Langkah-langkah : 1. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai atau materi ± 45 menit. 2. Guru menyuruh siswa berdiri berpasangan di depan kelas 3. Seorang siswa diberi kartu yang berukuran 10×10 cm yang nanti dibacakan pada pasangannya. Seorang siswa yang lainnya diberi kartu yang berukuran 5×2 cm yang isinya tidak boleh dibaca (dilipat) kemudian ditempelkan di dahi atau diselipkan ditelinga. 4. Sementara siswa membawa kartu 10×10 cm membacakan kata-kata yang tertulis didalamnya sementara pasangannya menebak apa yang dimaksud dalam kartu 10×10 cm. jawaban tepat bila sesuai dengan isi kartu yang ditempelkan di dahi atau telinga. 5. Apabila jawabannya tepat (sesuai yang tertulis di kartu) maka pasangan itu boleh duduk. Bila belum tepat pada waktu yang telah ditetapkan boleh mengarahkan dengan kata-kata lain asal jangan langsung memberi jawabannya. 6. Dan seterusnya CONTOH KARTU Perusahaan ini tanggung-jawabnya tidak terbatas Dimiliki oleh 1 orang Struktur organisasinya tidak resmi Bila untung dimiliki,diambil sendiri NAH … SIAPA … AKU ? JAWABNYA : PERUSAHAAN PERSEORANGAN<br /><br />19. KELILING KELOMPOK Maksudnya agar masing-masing anggota kelompok mendapat kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota lainnya Caranya………….? 1. Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok menilai dengan memberikan pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan 2. Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya 3. Demikian seterusnya giliran bicara bisa dilaksanakan arah perputaran jarum jam atau dari kiri ke kanan<br /><br />20. COURSE REVIEW HORAY Langkah-langkah : 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai 2. Guru mendemonstrasikan/menyajikan materi 3. Memberikan kesempatan siswa tanya jawab 4. Untuk menguji pemahaman, siswa disuruh membuat kotak 9/16/25 sesuai dengan kebutuhan dan tiap kotak diisi angka sesuai dengan selera masing-masing siswa 5. Guru membaca soal secara acak dan siswa menulis jawaban di dalam kotak yang nomornya disebutkan guru dan langsung didiskusikan, kalau benar diisi tanda benar (Ö) dan salan diisi tanda silang (x) 6. Siswa yang sudah mendapat tanda Ö vertikal atau horisontal, atau diagonal harus berteriak horay … atau yel-yel lainnya 7. Nilai siswa dihitung dari jawaban benar jumlah horay yang diperolehZaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-15569849813673530792010-12-20T02:14:00.001-08:002010-12-20T02:15:54.008-08:00SOAL UAS LANDASAN TP ( MTPUIA )Landasan Teknologi Pendidikan (3 sks)<br /><br />Magister Teknologi Pendidikan<br /><br />Universitas As-Syafiiyah<br /><br /> <br /><br />18 Desember 2010<br /><br /> <br /><br />Petunjuk :<br /><br />1. Jangan lupa menulis nama dan NIM Anda.<br /><br />2. Ujian ini bersifat open-book. Anda bisa membuka referensi yang Anda miliki. Tulislah seluruh referensi yang Anda gunakan untuk menjawab soal ujian ini.<br /><br />3. Jawablah pertanyaan berikut dengan jelas, singkat dan padat.<br /><br />4. Jawaban dapat diketik dengan menyerahkan hardcopy atau ditulis tangan pada kertas folio bergaris.<br /><br />5. Selamat bekerja.<br /><br /> SOAL :<br /><br />1. Menurut Anda, apakah yang disebut dengan teknologi ? Berikan satu contoh teknologi yang biasa Anda gunakan dalam bekerja.<br /><br />2. Bagaimanakah Anda membuktikan bahwa teknologi pendidikan bukan hanya ilmu, melainkan juga profesi yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan nasional. Apa kaitannya dengan definisi teknologi pendidikan tahun 1994 dari AECT ?<br /> <br />3. Apakah ‘benang merah’ dari definisi teknologi pendidikan tahun 1977, 2004 (dari AECT) serta definisi Reiser &Dempsey ?<br /> <br />4. Menurut Anda, apakah masalah penting pendidikan di Indonesia yang dapat diteliti / dikembangkan melalui kerangka teknologi pendidikan ? <br /><br />5. Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan e-learning ?Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-86116167552339084092010-12-20T02:13:00.001-08:002010-12-20T02:13:54.692-08:00TEKNOLOGI KINERJA DAN PROSES BELAJARPendahuluan<br /><br />Teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang dengan sangat pesat sehingga sudah merupakan gejala dunia. Teknologi itu sudah menjadi bagian kebudayaan Indonesia sejak dikembangkannya sistem komunikasi satelit domestik.<br /><br />Santika (2007), menyatakan bahwa pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa. Konstruktivisme pada dasarnya telah menjawab tantangan yang pertama dengan meredefinisi belajar sebagai proses konstruktif di mana informasi diubah menjadi pengetahuan melalui proses interpretasi, korespondensi, representasi, dan elaborasi. Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang begitu pesat yang menawarkan berbagai kemudaha-kemudahan baru dalam pembelajaran memungkinkan terjadinya pergeseran orientasi belajar dari outside-guidedself-guided dan dari knowledge-as-possesion menjadi knowledge-as-construction. Lebih dari itu, teknologi ternyata turut pula memainkan peran penting dalam memperbarui konsepsi pembelajaran yang semula fokus pada pembelajaran sebagai semata-mata suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbingan agar mampu melakukan eksplorasi sosial-budaya yang kaya akan pengetahuan, menjadi para pendidik (guru) sebagai potensi sumber daya manusia, harus mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugas profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses pembelajaran bagi setiap orang, dengan dikembangkan dan digunakannya berbagai sumber belajar selaras dengan karakteristik masing-masing pebelajar (leaners) serta perkembangan lingkungan. Karena lingkungan itu senantiasa berubah, maka pendidik harus senantiasa mengkuti perkembangan atau perubahan itu, dan akan selalu dituntut untuk mengembangkan diri dalam perubahan lingkungan dan zaman, termasuk perkembangan ilmu dan teknologi.<br /><br />Untuk menciptakan suatu proses pembelajaran yang efektif dan efisien dan mempunyai daya tarik, maka seorang pendidik haruslah mampu merancang, menerapkan dan mengelola teknologi dalam pembelajaran. Teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya berdasarkan teori. Prawiradilaga (2007) menyatakan bahwa kawasan bidang ini meliputi pengaruh nilai, penelitian, dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Bidang ini berkembang berupa pengetahuan teoritik dan pengetahuan praktis. Setiap kawasan dibentuk oleh : (1) landasan penelitian dan teori; (2) nilai dan perspektif yang berlaku; dan (3) kemampuan teknologi itu sendiri.<br /><br />B. Teknologi Kinerja dan Proses Belajar<br /><br />Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa disamping adanya realitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.<br /><br />Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.<br /><br />Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan belajar situasional (situated learning). Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan.<br /><br />Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu manajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).<br /><br />Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.<br /><br />1. Persepsi dan Belajar<br /><br />Proses belajar tanpa memperhatikan siapa yang belajar. Materi. Lokasi, jenjang pendidikan atau usia pembelajar selalu dipengaruhi oleh persepsi peserta didik. Cara berpikir, minat, atau potensi peserta didik dapat berkembang dengan baik jika memiliki persepsi yang memadai. Prawiradilaga (2007), menyatakan bahwa tujuan belajar sebenarnya adalah mengembangkan persepsi kemudian mewujudkannya menjadi kemampuan-kemampuan yang tercermin dalam cara berpikir (kognitif), bekerja motorik, serta bersikap.<br /><br />1. Pengertian Persepsi.<br /><br />Prawiradilaga (2007), memberikan pengertian persepsi dapat dilihat dari dua faktor penting, yaitu:<br /><br />(1) konsep dasar, yang menyatakan bahwa persepsi merupakan awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi pada setiap kesempatan, disengaja atau tidak.<br /><br />Persepsi terjadi karena setiap manusia memiliki indera untuk menyerap objek-objek serta kejadian disekitarnya. Pada akhirnya, persepsi dapat mempengaruhi cara berpikir, bekerja, serta bersikap pada diri seseorang. Hal ini terjadi karena orang tersebut dalam mencerna informasi dari lingkungan berhasil melakukan adaftasi sikap, pemikiran, atau perilaku terhadap informasi tersebut.<br /><br />(2) Persepsi visual, merupakan proses yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif. (Rieber, 1994). Manuasi terbiasa untuk berpikir secara visual atau memiliki gambaran visual dalam otaknya.<br /><br />b. Peranan Persepsi<br /><br />Persepsi dalam belajar berpengaruh terhadap:<br /><br />(1) Daya ingat, dengan memanfaatkan tanda-tanda visual, seperti simbol, warna, dan bentuk yang diterapkan dalam penyampaian materi, maka materi ajar menjadi lebih mudah dicerna dan mengendap dalam pikiran seseorang.<br /><br />(2) Pembentukan konsep, pengembangan persepsi melalui pengaturan kedalaman materi, spasi, pengaturan laju belajar, dan pengamatan. Selain itu, proses pengolahan informasi berperan besar terhadap proses belajar. Isi dan struktur materi yang baik adalah materi yang menarik, mudah dicerna, sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Pilihan yang cocok atas saluran komunikasi akan melengkapi kemudahan terjadinya proses belajar.<br /><br />(3) Pembinaan sikap, interaksi antara guru (pengajar) sebagai narasumber dengan pembelajar merupakan kunci dari pembinaan sikap. Pengajar dapat membina sikap pembelajar dengan berusaha menjadi panutan (role model) untuknya. Keberhasilan proses belajar dapat tercapai jika pengajar berhasil memberikan `gambaran visual` yang baik begi pembelajar.<br /><br />2. Peran Teknologi Kinerja dalam Proses Belajar<br /><br />Stolovich & Keeps (1992) mendefinisikan teknologi kinerja sebagai suatu terapan atau praktek sebagai hasil evolusi dari pengalaman, rfleksi, perumusan konsep para praktisi teknologi pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu kerja sesorang di tempat ia bekerja.<br /><br />Teknologi kinerja dalam proses belajar merupakan sesuatu yang memfokuskan pada penerapan kinerja seseorang (human) dalam sebuah organisasi belajar dan pengaturan kerjanya dan merupakan teknik atau merode untuk mengelola sistem pembelajaran secara efektif dan efisien. Untuk meningkatkan kinerja seorang guru dalam proses belajar, maka seorang pendidik, dalam hal ini guru harus mampu menganalisis, mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi secara sistemik dan sistematik dalam pengelolaan proses belajar.<br /><br />Seorang guru sebagai teknolog pendidikan yang diaplikasikan dalam prakteknya dalam kinerja, haruslah mampu menerapkan langkah-langkah dalam mengelola proses belajar yang merupakan kawasan dalam pembelajaran:<br /><br />a. Desain<br /><br />Teori sistem umum diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses perancangan.<br /><br />Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.<br /><br />Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya.<br /><br />Teori komunikasi dan penelitian tentang persepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi yang dilakukan Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi : pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.<br /><br />b. Pengembangan<br /><br />Proses pengembangan bergantung pada prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir visual, dan estetika.<br /><br />Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.<br /><br />Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau komposisi..<br /><br />Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu : pengaturan, keseimbangan dan kesatuan.<br /><br />Teori dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.<br /><br />c. Pemanfaatan<br /><br />Pada mulanya gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi. Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi. Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses difusi, yaitu : (1) bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang ada, (3) waktu, dan (4) sistem sosial yang berlaku. Studi Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial, lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan kepada para pengikutnya.<br /><br />d. Pengelolaan<br /><br />Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas pembiayaan.<br /><br />Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989)<br /><br />Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).<br /><br />Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model.<br /><br />Komponen terakhir dari masalah pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi, penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.<br /><br />e. Penilaian<br /><br />Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.<br /><br />Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.<br /><br />Teknologi Pembelajaran yang dikelola dengan kinerja yang baik akan berpengaruh terhadap proses belajar, yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran; (b) individualisasi; (c) efisiensi; (d) penggeneralisasian proses isi lintas; (e) perencanaan terinci; (f) analisis dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h) pemanfaatan pembelajaran bermedia.<br /><br />Kekuatan teknologi pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992). Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam : (a) mengintegrasikan media; (b) menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas, dan bahkan (c) mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.<br /><br /> <br /><br />Teknologi, disamping mampu menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer untuk menunjang tugas perancangan.<br /><br />C. Peran Pendidik Dalam Dunia Pendidikan<br /><br />Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat 5 bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan menurut ayat 6 Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.<br /><br />Proses belajar/mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi dan sampai sejauh mana kita mengubah lingkungan, presentasi dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula proses belajar berlangsung (Lozanov, 1978).<br /><br />Dalam hal ini pengaruh dari peran seorang pendidik sangat besar sekali. Di mana keyakinan seorang pendidik atau pengajar akan potensi manusia dan kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental pendidik atau pengajar berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran peserta didik yang diciptakan pengajar. Pengajar harus mampu memahami bahwa perasaan dan sikap peserta didik akan terlihat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. (Bobbi DePorter : 2001)<br /><br />Proses pendidikan merupakan totalitas ada bersama pendidik bersama-sama dengan anak didik; juga berwujud totalitas pengarahan menuju ke tujuan pendidikan tertentu, disamping orde normatif guna mengukur kebaikan dan kemanfaatan produk perbuatan mendidik itu sendiri. Maka perbuatan mendidik dan membentuk manusia muda itu amat sukar, tidak boleh dilakukan dengan sembrono atau sambil lalu, tetapi benar-benar harus dilandasi rasa tanggung jawab tinggi dan upaya penuh kearifan.<br /><br />Barang siapa tidak memperhatikan unsur tanggung jawab moril serta pertimbangan rasional, dan perbuatan mendidiknya dilakukan tanpa refleksi yang arif, berlangsung serampangan asal berbuat saja, dan tidak disadari benar, maka pendidik yang melakukan perbuatan sedemikian adalah orang lalai, tipis moralnya, dan bisa berbahaya secara sosial. Karena itu konsepsi pendidikan yang ditentukan oleh akal budi manusia itu sifatnya juga harus etis. Tanpa pertanggungjawaban etis ini perbuatan tersebut akan membuahkan kesewenangwenangan terhadap anak-didiknya.<br /><br />Peran seorang pengajar atau pendidik selain mentransformasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anak didik juga bertugas melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 20 Pasal 39 ayat 2.<br /><br />Di samping itu merupakan suatu keharusan bagi setiap pendidik yang bertanggung jawab, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya harus berbuat dalam cara yang sesuai dengan keadaan peserta didik Di mana selain peran yang telah disebutkan di atas, hal yang perlu dan penting dimiliki oleh pendidik yaitu pendidik harus mengetahui psikologis mengenai peserta didik. Dalam proses pendidikan persoalan psikologis yang relevan pada hakikatnya inti persoalan psikologis terletak pada peserta didik, sebab pendidikan adalah perlakuan pendidik terhadap peserta didik dan secara psikologis perlakuan pendidik tersebut harus selaras mungkin dengan keadaan peserta didik.<br /><br />C. Kesimpulan<br /><br />Pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa. Para pendidik (guru) sebagai potensi sumber daya manusia, harus mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugas profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses pembelajaran bagi setiap orang<br /><br />Kawasan teknologi pendidikan dapat meliputi kegiatan yang berkaitan dengan analisis, desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, implementasi dan evaluasi baik proses-proses maupun sumber-sumber belajar, tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia (seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dll) sejauh berkaitan dengan upaya memecahkan masalah belajar dan peningkatan kinerja.<br /><br />Keterkaitan antara teknologi kinerja dan proses belajar yaitu memiliki persamaan yang lebih menekankan pada suatu hasil tertentu, bedanya teknologi kinerja memperhatikan hasil kerja, sedangkan proses belajar mementingkan pencapaian hasil belajar. Teknologi kinerja memiliki prosedur untuk bisa mencapai hasil seperti pemilihan progran, analisi kebuthan, sampai evaluasi, sama halnya dengan proses belajar ia juga mempunyai tat urutan yang terdiri dari masukan, kegiatan dan keluaran. Contohnya menentukan strategi dan cara belajar agar tujuan utama bisa tercapai.<br /><br />Seorang guru sebagai teknolog pendidikan yang diaplikasikan dalam prakteknya dalam kinerja, haruslah mampu menerapkan langkah-langkah dalam mengelola proses belajar yang merupakan kawasan dalam pembelajaran, yaitu desain, Pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan Penilaian<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Seels, B. Barbara dan Richey, C. Rita. 1994. Teknologi Pembelajaran. Definisi dan Kawasannya. Terjemahan: Dewi S. Prawiradilaga. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.<br /><br />Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.<br /><br />Prawiradilaga, D. Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.<br /><br />Prawiradilaga, D.S, dan Siregar, Eveline. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-73235104687582237322010-12-20T02:12:00.001-08:002010-12-20T02:12:39.307-08:00Pembelajaran Berbasis Internet untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di IndonesiaA. Pendahuluan<br /><br />Dalam rangka mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan, perlu pendayagunaan sumber belajar untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Dalam artikel ini terfokus pada internet sebagai sumber belajar. Untuk mewujudkan kualitas pembelajaran tersebut perlu ditempuh upaya yang komprehensif untuk meningkatkan kualitas guru dalam memanfaatkan internet sebagai media pembelajaran.<br /><br /> <br /><br />Berdasarkan isu yang berkembang, pembelajaran di sekolah belum berjalan efektif, bahkan banyak guru yang mengajar tanpa memanfaatkan sumber belajar. Guru tersebut masih berparadigma teacher sentris.<br /><br /> <br /><br />Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat memungkinkan siswa belajar menggunakan internet sebagai sumber belajar. Ironisnya, banyak guru yang belum mengenal internet padahal siswanya sudah banyak yang terbiasa menggunakan internet. Dengan demikian, sudah seharusnya guru mulai memanfaatkan internet sebagai sumber belajar.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />B. Pembahasan<br /><br />Internet merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan saling hubungan antara jaringan-jaringan komputer yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan komputer saling berkomunikasi satu sama lain. Dalam kaitannya dengan sumber belajar, internet merupakan salah satu sumber belajar by utilization karena pembuatannya bukan khusus untuk pembelajaran, namun dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran.<br /><br /> <br /><br />Untuk mengimplementasikan internet dalam pembelajaran, guru dapat memanfaatkan berbagai metode pembelajaran, misalnya diskusi, demonstrasi, problem solving, inkuiri, cooperative learning, dan discovery. Guru memberikan topik tertentu kemudian siswa mencari materi yang berkaitan dengan topik tersebut di internet. Metode pembelajaran tersebut dapat dilakukan secara bervariasi sehingga siswa semakin senang dan tertarik untuk belajar.<br /><br /> <br /><br />Pembelajaran dengan metode diskusi misalnya, dilaksanakan dengan cara guru meminta siswa mendiskusikan tugas yang mereka download dari internet. Dengan metode demonstrasi, siswa memperagakan sebuah video suatu pembelajaran yang diperoleh dari internet (youtube). Juga dengan metode problem solving, inkuiri dan discovery yang memiliki kesamaan filosofis pembelajaran, yakni menekankan pengalaman belajar kepada siswa.<br /><br /> <br /><br />Metode inkuiri yang memiliki tahapan-tahapan seperti yang diungkapkan Eggen & Kauchak (1996:239) The inquiry implemented in five steps, which are (1) Identifying a question or problem, (2) Making hypothesis, (3) Gathering data, (4) Assessing hypothesis, (5) generalizing.<br /><br /> <br /><br />Berdasarkan pendapat Eggen & Kauchak di atas, inkuiri merupakan metode pembelajaran yang mengajarkan siswa bagaimana menyelidiki masalah dan pertanyaan berdasarkan fakta. Terkait dengan e-learning, guru dapat menerapkannya dengan langkah-langkah penerapannya yaitu: identifikasi masalah, membuat hipotesis, memperoleh data dari internet, menguji hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Pembelajaran metode inkuiri menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sehingga pembelajarannya menjadi lebih bermakna. Untuk pembelajaran dengan metode diskusi, menurut Smaldino dkk. (2008:28) membuat siswa saling bertukar pendapat yang dapat menambah pengetahuan.<br /><br /> <br /><br />Namun, perlu diingat bahwasanya teknologi tidak dapat menggantikan kehadiran dan peran guru dalam kelas. Guru memiliki peran yang sebagai pendidik yang mengarahkan siswanya menjadi manusia seutuhnya. Dalam melaksanakan pembelajaran e-learning, memang seyogyanya mempergunakan berbagai metode yang dapat menghindarkan siswa dari kebosanan terhadap belajar di internet. Pembelajaran berbasis internet diharapkan siswa menjadi pembelajar yang terbiasa berpikir kritis, dan wawasan siswa berkembang. Dengan demikian, mutu pendidikan juga akan meningkat. Disarankan kepada pendidik dan pihak yang berwenang agar mulai menyiapkan dan memperkenalkan pembelajaran internet kepada siswa di sekolah.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />C. Kesimpulan<br /><br />Pembelajaran melalui e-learning memang sangat baik agar siswa tidak ketinggalan teknologi dan informasi. Namun, penerapan e-learning harus diawasi oleh guru agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-22334772982544277752010-12-08T16:14:00.001-08:002010-12-08T16:14:24.277-08:00KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAMa. PENDIDIKAN YANG TINGGI (SAKRAL)<br />Pada intinya, pendidikan Islam berusaha mempelajari segala hal untuk lebih mengenal Rob (Allah). Seluruh aspekpeknya didasarkan pada nilai robbaniyah dijabarkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulnya. Dalam hal ini pendidikan Islam merupakan pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang segala hal yang diciptakan dan diajarkanNya sehingga bisa membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan Tempat Tuhan secara tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaanNya. Pendidikan Islam bukan sekedar pemenuhan otak saja, tetapi lebih mengarah kepada penanaman aqidah. Sementaraitu, pendidikan Islam oleh Hassan Langgulung sebagaimana dikutip Azyumardi Azra merupakan suatu proses penyiapan generasi muda, memindahkan pengetahuan dan nilai nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia sebagai khalifah fil ardl untuk beramal di dunia dan memetik hailnya di akhirat<br />b. PENDIDIKAN YANG KOMPREHENSIF DAN INTEGRAL<br />Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam memiliki beberapa karakteristik yang perlu kita pahami bersama dan dijadikan sebagai landasan berpikir serta bergerak dalam kehidupan sehari-hari. Yang pertama, merupakan agama yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Islam tidak mengenal sekat-sekat geografis. Hal ini yang menjadikan Islam sebagai rahmatan li al-’alamin. Hal ini juga sekaligus menegaskan kepada kita bahwa Islam bukanlah agama untuk bangsa Arab saja, seperti yang banyak dikatakan oleh orang-orang sekuler, tapi untuk seluruh umat manusia di segala penjuru dunia.<br />Islam sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya juga berlaku sampai kapan pun, tak peduli di zaman teknologi secanggih apa pun. Islam tetap berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Setelah kita paham akan hal tersebut, maka tidak ada lagi istilah bahwa di zaman modern, ajaran-ajaran Islam sudah tidak relevan lagi.<br /><br />Islam mengatur ajaran yang integral, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari masalah yang paling pribadi hingga kemasyarakatan dan kebangsaan. Mulai dari adab dalam melakukan kegiatan sehari-hari hingga urusan politik nasional dan internasional. Islam tidak hanya berbicara mengenai masalah ideologi saja, tetapi juga mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia di sektor ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan dan sektor lainnya.<br />Bukankah ayat terpanjang yang termaktub dalam al-Quran berisi aturan dalam bermuamalah dan perdagangan (QS Al Baqarah: 282). Islam juga tidak hanya mengatur ajaran tentang hubungan vertikal dengan Allah (hablun minallah) saja, melainkan juga mengatur hubungan kemasyarakatan antar sesama manusia (hablun minannas). Itulah sebabnya dalam rukun Islam sebagai dasar peribadatan bagi kaum muslim, selain diwajibkan shalat sebagai sarana penghambaan secara langsung kepada Allah, juga ada ibadah zakat yang berhubungan dengan kepentingan sesama manusia. Secara empiris, dampak ibadah diharapkan akan menyentuh sisi kesejahteraan masyarakat, tidak hanya peningkatan kualitas spiritual.<br />c. PENDIDIKAN YANG REALISTIS<br />Ada fenomena yang muncul dalam masyarakat, Pendidikan Islam adalah suatu konsep utopis yang tidak mungkin dapat diwujudkan, sungguh ini merupakan pandangan yang keliru tentang pemahaman dalam memahami Pendidikan Islam. Karena Pendidikan Islam berjalan dalam bingkai yang jelas dan realistis terhadap kenyataan dalam masyarakat. Hanya saja, Pendidikan Islam berpijak pada idealisme keislaman yang kadang disalah pahami oleh pihak pelaksana Pendidikan Islam. Akibatnya idalisme Pendidikan Islam tersebut dipandang sebagai lembaga yang mengutamakan nilai-nilai ukhrawi dan tidak peduli dengan kenyataan yang ada tegasnya, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berjalan seiring dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman sebagai landasan berpijaknya. <br /><br />d. PENDIDIKAN YANG BERKONTINUITAS<br />Proses pendidikan tidak mengenal istilah “Usai”. Setiap individu wajib belajar sepanjang hayat (long-life education). Hadits Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa menuntut ilmu wajib dilakukan dari buaian sampai ke liang lahat merupakan konsepsi pendidikan sepanjang hayat dalam makna tidak ada batasan waktu untuk terus belajar mendalami ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Konsepsi pendidikan sepanjang hayat telah menjadi dasar pijakan dan sekaligus pembuktian dari berbagai konsp pendidikan lain. Seperti yang dinyatakan oleh Sternberg ketika pendekatan triarchic diterapkan pada pendidikan sepanjang hayat ternyata memunculkan gagasan baru tentang hakekat kemampuan intelektual atau bagaimana kemampuan itu diukur (Sternberg,1997).<br />e. PENDIDIKAN YANG SEIMBANG<br />Ajaran Islam menekankan aspek keseimbangan dalam segala hal. Seimbang dalam mengoptimalkan potensi akal, ruh dan jasad. Dalam Islam ditegaskan, seorang manusia akan mencapai sukses dalam kehidupannya, manakala bisa mengintegrasikan seluruh potensinya dengan kadar yang seimbang, baik segi intelektual, emosional, fisikal dan spiritual. Keseimbangan dalam menjalankan aktivitas dunia tanpa mengesampingkan aktivitas yang berorientasi akhirat. Ini adalah salah satu implementasi dari keimanan seseorang akan adanya hari akhir.<br />Setiap aktivitas yang kita jalankan hendaknya selalu didasari oleh motivasi ibadah dan keikhlasan untuk Allah Swt, agar segala yang kita lakukan tidak hanya bermakna duniawi, tetapi juga berarti bagi kehidupan akhirat kelak. Prinsip itu yang melatar-belakangi adanya doa-doa dalam setiap aktivitas kita sehari-hari, sehingga setiap kegiatan yang secara lahiriah bersifat duniawiyah pun akan bernilai ibadah di sisi Allah Swt. Tak ada yang sia-sia atau hanya berdampak jangka pendek bagi seroang Muslim. Keseimbangan juga perlu dijaga dalam hal kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga seorang manusia tidak berkembang menjadi seorang individualis. Sebagaimana Rasulullah Saw pernah bersabda dalam haditsnya, bahwa “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Kontribusi sosial menjadi ukuran dari lurusnya komitmen individual kita.<br /><br />f. PENDIDIKAN YANG TUMBUH DAN BERKEMBANG<br />Pengembangan Ilmu Pengetahuan yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Nabi Muhammad saw sangat membenci orang yang memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tidak mau memberi dan mengembangkan kepada orang lain (HR. Ibn al-Jauzy). Selain itu pendidikan Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist wajib dikembangkan dan diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu sesuai kebutuhan manusia selama tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam.<br /><br />g. PENDIDIKAN YANG GLOBAL/INTERNASIONAL<br />Islam selalu sesuai untuk semua bangsa, zaman dan semua keadaan. Sebagai agama yang universal (rahmatan lil alamin) Islam dapat diterima oleh semua golongan, suku, bangsa karena Allah sudah menurunkan Al Quran yang isinya tentang segala hal yang akan diperlukan manusia pada jaman dulu, sekarang, dan masa yang akan datang, oleh siapapun, dimanapun.<br /><br />KESIMPULAN<br /> Karakteristik Pendidikan Islam menggambarkan dengan jelas keunggulan Pendidikan Islam dibanding dengan pendidikan lainnya. Karena pendidikan dalam Islam mempunyai iokatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Maka jelas bahwa Pendidikan Islam tidak menutup mata terhadapperkembangan yang ada ditengah masyarakat, termasuk perkembangan sains dan tekhnologi, hanya saja Pendidikan Islam tidak larut dalam perkembangan yang nyata-nyata yang bertentangan dengan syariat-syariat IslamZaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-56045156880889324462010-12-08T16:06:00.000-08:002010-12-08T16:07:59.691-08:00INOVASI TEKNOLOGI PEMBELAJARANBAB II<br />PEMBAHASAN<br />A. Rasionalisasi Inovasi Teknologi Pembelajaran<br />Pendidikan merupakan sumber kemajuan bangsa yang sangat menentukan daya saing bangsa, dengan demikian sektor pendidikan harus terus menerus ditingkatkan mutunya. Fakta saat ini menunjukkan bahwa faktor kesenjangan pendidikan menjadi salah satu faktor utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Kesenjangan mutu pendidikan tidak hanya disebabkan oleh karena faktor sarana dan prasarana yang belum memadai, tetapi juga oleh sumber daya yang terbatas, dan kurikulum yang belum siap menyongsong masa depan.<br />Penerapan dan pengembangan kurikulum mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah adalah langkah strategis dalam menyongsong pendidikan di Indonesia. Sebagaimana kebijakan yang ada dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.Kurikulum TIK bukan sekedar mengikuti trend global melainkan suatu langkah strategis dalam upaya meningkatkan akses dan mutu layanan pendidikan kepada masyarakat.<br />TIK sebagai bagian dari subject matter yang harus dipelajari oleh peserta didik dan TIK juga mempengaruhi sistem serta model pengembangan kurikulum. Dengan demikian lahirnya model-model pembelajaran yang berbasis TIK seperti e-learning, virtual learning, Computer Based Training, Open Distance Learning tidak terpisah dari kurikulum sebagai desain sekaligus model implementasi dari bentuk-bentuk pembelajaran tersebut.<br /> <br />B. Peranan TIK dalam Pembelajaran<br />Pada era TIK sekarang ini paradigma pembelajaran telah bergeser dari pembelajaran tradisioanal menuju pembelajaran berbasis perkembangan teknologi.<br /> Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang sekarang ini memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan, khususnya dalam pembelajaran. Terjadi perubahan dalam proses pembelajaran, yaitu pembelajaran yang biasanya dilakukan terbatas di ruang kelas dengan jadwal yang sudah ditentukan berkembang menjadi dimanapun dan kapanpun. Pembelajaran yang biasanya melibatkan fasilitas yang berupa material/fisik seperti buku berkembang dengan memanfaatkan fasilitas jaringan kerja (network) dengan memanfaatkan teknologi komputer dan internetnya, sehingga terbentuk peserta didik on line atau saluran.<br /> Mengintegrasikan TIK kedalam pembelajaran antara lain untuk meningkatkan mutu belajar peserta didik. TIK yang sifatnya inovatif dapat meningkatkan apa yang sedang dilakukan sekarang, serta apa yang belum dilakukan ketika mulai menggunakan teknologi informasi komunikasi. Oleh karena itu pengajar hendaknya memanfaatkan seluruh kemampuan dan potensi teknologi untuk meningkatkan pembelajaran, terutama melakukan pembaruan dalam upaya mengembangkan proses belajar peserta didik.<br /><br />Memanfaatkan TIK dalam pembelajaran, antara lain:<br />1. Pengajar dan peserta didik mampu mengakses kepada teknologi informasi dan komunikasi.<br />2. Pengajar memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, karena pengajar berperan sebagai peserta didik yang harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Tujuannya untukmeningkatkan kualitas professional dan kompetensinya.<br />3. Tersedia materi pembelajaran yang berkualitas dan bermakna (meaningful).<br /><br />Pembelajaran dengan muatan TIK akan berjalan efektif jika peran pengajar dalam pembelajaran adalah fasilitator pembelajaran atau yang memberikan kemudahan peserta didik untuk belajar bukan lagi sebagai pemberi informasi. Pengajar bukan satu-satunya sumber informasi yang disampaikan dengan ceramah menyampaikan fakta, data, atau informasi saja. Pengajar tidak hanya mengajar mentransfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga dapat belajar dari peserta didik. Pengajar bukan instruktur yang memberikan perintah atau mengarahkan kepada peserta didik melainkan menjadi mitra belajar (partner) sehingga memungkinkan siswa tidak segan untuk berpendapat, bertanya, bertukar fikiran dengan pengajar.<br />Proses pembelajaran dengan memanfaatkan TIK memerlukan bimbingan dari pengajar untuk memfasilitasi pembelajaran peserta didik dengan efektif. Pengajar memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya dan menciptakan kondisi bagi peserta didik untuk mengembangkan cara - cara belajarnya sendiri sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, bakat, atau minatnya. Selain itu pengajar berperan sebagai programmer, yaitu selalu kreatif dan inovatif mengahasilkan berbagai karya inovatif berupa program atau perangkat keras/lunak yang akan digunakan untuk membelajarkan peserta didik.<br />Peran peserta didik dalam pembelajaran bukan objek yang pasif yang hanya menerima informasi dari pengajar, namun lebih aktif, kreatif, dan partisipan dalam proses pembelajaran. Peserta didik tidak hanya mengingat fakta-fakta atau mengungkapkan kembali informasi yang diterimanya dari pengajar, namun mampu mengahsilkan atau menemukan berbagai informasi atau ilmu pengetahuan.Pembelajaran yang dilakukan peserta didik tidak hanya kegiatan perorangan (individu) namun juga pembelajaran berkelompok secara kooperatif dengan peserta didik lainnya.<br />Disamping faktor pengajar dan peserta didikfaktor lainnya yang mendukung adalah lingkungan pembelajaran yang berpusat pada pengajar berubah menjadi berpusat pada peserta didik. Suasana pembelajaranpun bersifat kondusif karena tidak ada jarak antara pengajar dan peserta didik.<br /><br />C. Pengembangan Sistem e-learning<br />Teknologi e-learning<br />Beberapa produk teknologi e-learning meliputi:<br />1. Audio Conferencing <br />AudioConferencing merupakan salah satu teknologi e-learning interaktif paling sederhana dan relative murah untuk penyelenggaraan distance learning. Audio Conferencing adalah interaksi atau konferensi langsung dalam bentuk audio (suara) antara dua orang atau lebih berada pada tempat yang berbeda. Teknologi yang digunakan adalah sarana telepon. Dalam pelaksanaan audio conferencing dibutuhkan perangkat tambahan (audio conferencing bridge) yang dapat mengurangi gangguan (noise) maupun interaksi pada sistem.<br /><br />2. Videobroadcasting<br />Videobroadcasting merupakan salah satu teknologi e-learning interaktif yang bersifat satu arah (komunikasi linier). Penggunaan program e-learning dengan program videobroadcasting lebih banyak digunkan daripada videoconferencing. Hal ini terjdi karena sifat video broadcasting yang audiovisual. Dalam prinsip belajar diungkapkan bahwa belajar akan lebih berhasil jika melibatkan banyak indera. Sasaran pesertanya dalam jumlah besar (massal) dan menyebar (dispersed). Sebagai media transaksi pada umumnya menggunakan media satelit. Peserta menggunakan media pembelajaran melalui videobroadcasting dengan cara melihat dan mendengar pesawat televisi yang terhubung ke stasiun (broadcaster) tertentu melalui antena penerima biasa antenna parabola yang dilengkapi decoder khusus.<br /><br />3. Videoconferencing<br />Teknologi multimedia videobroadcasting dapat memungkinkan seluruh peserta didik melihat, mendengar, dan bekerja sama secara langsung. Sesuai dengan namanya, fungsi videobroadcsting memberikan visualisasdi secara langsung dan lengkap kepada seluruh pesrta didik dengan menggunakan multi media (audio, video, dan data)<br /><br />4. Jenis Aplikasi E-learning berbasis Open Source<br />Jenis aplikasi e-learning antara lain adalah moodle dan Atutor.<br />a. Moodle<br />Salah satu jenis aplikasi open source adalah moodle. Moodle adalah paket software yang diproduksi untuk kegiatan blajar berbasis internet. Website moodle pertama kali dikembangkan oleh Martin Dagiamas yang mempertahankan moodle sebagai paket software e-learning dengan free (gratis) dan open source (terbuka source programnya). Moodle terus mengembangkan rancangan sistem dan desain user interface setiap minggunya (up to date). Oleh karena itu moodle tersedia dapat dapat digunakan secara bebas sebagai produk open source. Istilah moodle diambil dari singkatan Modular Object Oriented Dynamic Learning Environment, yang berarti tempat belajar dinamis dengan menggunakan model berorientasi objek.<br />Dengan demikian merujuk pada paket lingkungan pendidikan berbasis web yang dinamis dan dikembangkan dengan konsep berorientasi objek. Moodle bisa di down load secara gratis. Dalam penyediaannya moodle memberikan paket software yang lengkap. Dalam penyediaannya moodle memberikan paket <br /><br />software yang lengkap(Moodfle+ Apache+MySQL+PHP). Moodle yang terbaru adalah versi 1.4.3.<br /> Gambar 1. Moodle<br /><br />Kelebihan Moodle<br />1) Penggunaannya tepat untuk kelas on-line dan hasil belajarnya relatife sama baiknya dengan hasil belajar langsung secara tatap muka dengan pengajar. Pengajar mempunyai hak istimewa, sehingga dapat memodifikasi bahan pelajaran. Pengajar dapat mengatur pelajaran dan dapat memilih bentuk/metode pembelajaran yang sesuai seperti berdasarkan mingguan,berdasarkan topic atau bentuk diskusi.<br />2) Menggunakan teknologi sederhana, sehingga efisien, mudah, dan relatif murah.<br />3) Programnya mudah di- install dan cukup memerlukan satu database yang diperlukannya.<br />4) Pelajaran dilengkapi dengan tampilan penjelasan. Selain itu pelajaran itu dapat dipilah menjadi beberapa katagori dan mendukung banyak pelajaran.<br />5) Keamanan yang kuat.<br />6) Menyediakan paket untuk berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, sehingga setiap pengguna dapat memilih bahasa yang digunakan , bisa bahasa Indonesia, Inggeris, china, Perancis, dan sebagainya.<br />Dengan system e-learning berbasis open source (moodle), diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja pengajar serta pemahaman peserta didik terhadap materi-materi pembelajaran.<br />b. Atutor<br />Autor adalah Web-base Open Source Learning Control Management System (LCMS)yang di desain dengan aksessibilitas dan kemampuan adaptasi.Atutor merupakan paket sofrware yang diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet dan website, administrator dapat meng-install atau dapat meng-updateAtutor dengan cepat dan singkat. Pengajar dapat dengan cepat, memaketkan,mendistribusikan materi pelajaran, dan mengadakan kursus on- line-nya sendiri. Peserta didik belajar dalam lingkungan yang berbeda-beda. Atutor dapat di down load secara gratis.<br />http:/AvgCdJlQ/s1600-h/ATUTOR.jpg<br /><br />Gambar 2. Atutor<br />5. E- learning dan Intelligent Tutoring System<br />Intelligent Tutoring System (ITS) atau sistem cerdas pembelajaran (tutorial) adalah strategi pembelajaran yang menerangkan urutan isi materi pembelajaran, umpan balik (feed back) yang diterima dan bahan ajar atau dijelaskan. e-learning diharapkan dapat dugubakan meningkatkan kualitas pembelajaran (Sri Hartati, 2008:81).<br />Strategi pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran yang dapat mengatasi berbagai masalah dalam pendidikan hendaknya terus dikembangkan, antara lain dengan adanya sarana pendukung bagi system pendidikan yaitu pembuatan perangkat lunak untuk menghasilkan sebuah systeme-learning yang mengimplementasikan penerapan ITS. Pengembangan system e-learning dengan mengimplementasikan penerapan ITS dapat membuat proses pembelajaran jauh lebih efektif dan mudah untuk disesuaikan denga perkembangan proses pembelajaran. Meningkatnya penampilan belajar peserta didik akan mendukung perolehan pengetahuan atau keterampilan baru, melalui pemanfaatan waktu yang efisien.<br /><br />D. Aplikasi TIK untuk e- learning<br />Perkembangan teknologi informasi komunikaSI (TIK) yang menghasilkan internet dengan Word Wide Web (WWW) dan silabus on-line didalamnya disambut baik oleh dunia pendidikan. Sumber pembelajaran berbasis TIK ini menjadi dapat terakses oleh masyarakat banyak dan memberikan nilaiyang berarti. Aplikasi TIK untuk e-learning dapat berupa situs pembelajaran, e mail dan silabus on-line.<br /><br />a. Situs Pembelajaran<br />Penerapan e-learning melalu jaringan internet menempatkan materi pada situs pembelajaran tertentu. Berbagai fasilitas situs pembelajaran pada internet dapat diakses oleh peserta didik secara mandiri untuk keperluan pembelajaran karena didalamnya memuat tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, sumber daya web (melaui searching), perpustakaan digital, pengajar, peserta didik, atau informasi lainnya. Seperti tentang jadwal pelajaran atau ujian, peta konsep pembelajaran dan yang lainnya. Web site e-learning dan web lainnya harus dapat diakses kapan saja dan dimana saja.<br />Berikut adalah beberapa prinsip dalam membuat situs pembelajaran atau website e-learning yang perlu diperhatikan:<br />a) Merumuskan tujuan pembelajaran<br />b) Mengenalkan materi pembelajaran<br />c) Memberikan bantuan dan kemudahan bagi peserta didik untuk mempelajari materi pembelajaran<br />d) Memberikan bantuan dan kemudahan bagi peserte didik untuk mengerjakan tugas-tugas dan perintah dan arahan yang jelas. Pengajar selalu memberikan pengawasan dan beimbingan terhadap pekerjaan peserta didik tersebut.<br />e) Materi pembelajaran yang disampaikan sesuai standar yang berlaku secara umum, dan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.<br />f) Materi pembelajaran disampaikan dengan sistematis dan mampu memberikan motivasi belajar, serta pada bagian akhir setiap materi pembelajaran dibuat rangkumannya.<br />g) Materi pembelajaran disampaikan sesuai dengan kenyataan. Sehingga mudah difahami, diserap, dan dipraktekan langsung oleh peserta didik. Apalagi jika peserta didik sendiri yang merumuskan materi pembelajaran dan cara penyampaiannya.<br />h) Motede penjelasannya efektif, jelas, dan mudah dipahami oleh pesrta didik dengan disertai ilustrasi contoh, demonstrasi, video, dan sebagainya.<br />i) Sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran diatas perlu dilakukan evaluasi dan meminta umpan balik (feedback) dari peserta didik.<br /><br />b. Elekronik-mail (e-mail) atau surat elektronik<br />Proses pembelajaran dengan memanfaatkan e-mail akan memungkinkan peserta didik untuk dapat berkomunikasi dan saling mentransfer informasi dengan orang-orang diseluruh dunia. Melalui e-mail peserta didik mempunyai kesempatan mendapatkan informasi dan kominikasi lebih luas lagi. Pengajar pun bisda menggunakan e-mail untuk berkomunikasi dengan peserta didik sebagai jurnal dialog dan juga dengan pengajar lainnya.<br />Melalui jaringan internet, e-mail dapat dimanfaatkan untuk berkorespondensi antara pengajar dengan peserta didik, pengajar dengan pengajar lainnya, atau peserta didik dengan peserta didik. Pengajar bisa memberikan informasi, menerima tugas/pekerjaan, atau mengoreksi hasil pejerjaan peserta didik tanpa harus bertemu muka keduanya. Begitu pula komunikasi antar peserta didik menjadi lebih mudah tanpa terkendala oleh tempat, ruang, dan waktu. Peserta didik bisa membaca dan menulis sesuai dengan minat dan kebutuhannya, kepada siapa saja dan sumber mana saja yang diperlukannya.<br />E-mail digunakan oleh pengajar on-line. E-mail menjadi jembatan antara peserta didik dan pengajar. Beberapa institusi mengharapkan pengajar merespon pesan e-mail peserta didik dalam waktu 24 sampai 48 jam. Gagasan yang baik adalah mengecek e-mail setiap hari.<br /><br />c. Silabus on-line<br />Panduan prose pembelajaran antara pengajar dan peserta didik telah disediakan dalam silabus. Seluruh peserta didik dan orang tua bisa memantaunya di silabus on-line. Denmgan silabus on-line ini diharapkan dapat terjalin hubungan yang serasi dan kontrol yang baik diantara sekolah, masyarakat, dan dunia kerja.<br /><br /><br />E. E-Learning dan Distance Learning<br />1. Pengertian e-learning<br />Paradigma system pendidikan yang semula yang berbasis tradisional dengan mengandalkan tatap muka, beralih menjadi sistem pendidikan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dengan sentuhan teknologi informasi khususnya dunia cyber (maya). Sistem pendidikan yang berbasis dunia cyber yang dimaksudkan disebut dikenal dengan istilah e-learning.<br />Terminologi e-learning cukup banyak dikemukakan dalam berbagai sudut pandang, namun pada dasarnya mengarah pada pengertian yang sama Huruf e pada e-learning berarti elektronik yang kerap disepadankan dengan kata virtual (maya). Dari hal ini kemudian muncul istilah virtual learning (pembelajaran di dunia maya). Sedangkan kata learning sering diartikan dengan belajar pendidikan (education) atau pelatihan (training). Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika. Fokus e-learning adalah pada learning (belajar) dan bukan pada e (electronic). E-learning juga berarti proses transformasi pembelajaran dari Instructor Centric ke Learner Centric. (Effendi, BobSoelaeman : 2006). <br /><br />Gambar 3. Proses Pembelajaran e-learning<br />E-Learning sering disebut pula dengan online course Dalam berbagai literatur , e learning didefinisikan sebagai berikut:<br />E-Learning is a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as a phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmission, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also commonly reffered to as online courses (Soekartiwi, Haryono, Librero, 2002 ).<br />Dengan demikian maka e-learning atau pembelajaran melalui online adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau computer. E-learning merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan network (jaringan). Ini berarti dengan e-learning memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada peserta didik menggunakan media teknologi informasi dan komunikasi berupa computer dan jaringan internet dan intranet. Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari, yang sering dijumpai adalah kombinasi dari teknologi audio/data, video/data, audio/video.Teknologi ini juga sering dipakai di pendidikan jarak jauh (distance education). Interaksi antara guru dan murid bisa dilaksanakan melalui caralangsung (Synchronous) atau tidak langsung (a-synchronous) yaitu pesan direkam dahulu sebelum digunakan.<br /><br />2. Ciri-ciri e-learning<br />Berdasarkan paparan diatas, maka ciri khas e-learning yaitu tidak tergantung pada waktu dan ruang (tempat). Pembelajaran dapat dilakukan dimana saja. Dengan teknologi informasi, e-learning mampu menyediakan bahan ajar dan menyimpan instruksi pembelajaran yang dapat diakses kapanpun dan dari manapun. E- learning tidak membutuhkan ruangan (tempat) yang luas sebagaimana ruang kelas konvensional. Dengan demikian teknologi ini telah memperpendek jarak antara pengajar dan peserta didik.<br /><br />3. Kelebihan dan kekurangan e-learning<br /><br />Kelebihan e-learning <br />Pembelajaran e-learning banyak memiliki kelebihan, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Elanghoan, 1999, Soekartawi, 2002, Muvlihil,1997;Utarini, 1997), antara lain sebagai berikut :<br />• Tersedianya fasilitas e-moderating dimana guru dan siswa dapat bekomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat, dan waktu;<br />• Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai seberapa jauh bahan ajar dipelajari;<br />• Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan dimana saja kjalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan dikomputer;<br />• Bila siswa memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajari, ia dapat melakukan akses di internet;<br />• Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas;<br />• Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif;<br />• Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional, bagimereka yang sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di luiar negeri, dan sebagainya.<br /><br />Disamping itu, Bates dan Wulf (1996) menambahkan bahwa pembelajaran e-learning memiliki kelebihan:<br />• Meningkatkan interaksi pembelajaran (enchance interactivity)<br />Apabila dirancang secara cermat, pembelajaran melalui internet dapat meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara pesert didik dengan bahan belajar, peserta didik dengan guru, dan antara sesama peserta didik. Hal ini berbeda dengan pembelajaran yang bersifat konvensional. Tidak semua peserta didik dalam pembelajaran konvensional dapat berani atau mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau menyampaikan pendapatnya didalam diskusi. Pada pembelajaran yang bersifat konvensional, kesempatan yang ada atau yang disediakan guru untuk berdiskusi atau bertanya jawab sangat terbatas. Biasanya kesempatan yang terbatas ini juga cenderung hanya didominasi oleh beberapa pesereta didik yang cepat tanggap dan tidak mempunyai sifat pemalu. Keadaan yangdemikian sejalan dengan pemikiran Margaret Loftus (Loftus, 2001) yang mengatakan bahwa “in a real classroom, a few students may dominate the discussions, and shy individuals don’t stand a chance. By contrast, both the shy and pushy can speak up online.”<br />• Mempermudah interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja (time and place flexibility)<br />Mengingat sumber belajar yang sudah dikemas secara elektronik dan tersedia diakses oleh peserta didik melalui internet, maka peseta didik dapat melakukan interaksi dengan sumber ini kapan saja dan dimanapun berada (Kerka, 1996,;Bates, 1995; Wulf, 1996)<br /><br /> Tugas-tugas kegiatan pembelajaran yang biasanya diserahkan kepada guru yang biasanya harus menunggu sampai ada janji untuk bertemu, dapat langsung diserahkan begitu selesai dikerjakan.<br />• Memiliki jangkauan yanglebih luas (potential to reach a global audience)<br />Pembelajaran yang fleksibel dari sisi waktu dan tempat, maka jumlah peserta didik yang dapat dijangkau kegiatan pembelajaran elektronik melalui internet semakin lebih banyak atau terbuka secara luas. Informasi (knowledge) mudah diakses lebih luas (dari jarak jauh) dan lengkap, tidak terbatas oleh waktu karena bisa dilakukan kapan saja, oleh siapa saja, dan dimana saja.<br />• Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran (easy updating of content as well as archivable capabilities)<br />Fasilitas yang tersedia dalam teknologi internet dan berbagai software yang terus berkembang turut membantu mempermudah pengembangan bahan belajar elektronik. Demikian juga penyempurnaan atau pemutahiran bahan belajar yang telah dikemas dapat dilakukan secara periodik dengan cara yang lebih mudah sesuai dengan tuntutan materi keilmuannya. Disamping itu, pemutakhiran penyajian materi pembelajaran dapat dilakukan, baik yang didasarkan atas umpan balik dari peserta didik maupun atas hasil penilaian guru selaku penanggung jawab/Pembina materi pembelajaran.<br /><br />Kekurangan e-learning<br />Pembelajaran e-learning ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam 1997), antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:<br />• Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antara siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam prosaes belajar mengajar;<br />• Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial;<br />• Proses belajar mengajarnya cenderung kearah pelatihan daripada pendidikan;<br />• Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT;<br />• Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal;<br />• Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon, ataupun komputer );<br />• Kurangnya mereka yang mengetahui dan memiliki keterampilan soal-soal internet; dan<br />• Kurangnya penguasaan bahasa computer.<br /><br /> <br />Tabel 1. Beberapa Contoh Perguruan Tinggi yang menggunakan e-learning<br />No Negara Nama Perguruan Tinggi<br />1 Filipina University of Philippines<br />Open University<br />De La Sale University<br />Asian Instute Management<br />2 Indonesia Universitas Terbuka<br />Universitas Petra<br />Universitas Bina Nusantara<br />3 Malaysia Universitas Tun Abdul Razak<br />Universitas Terbuka Malaysia<br />Univ ersitas Sains Malaysia<br />4 Thailand Kassesart University<br />STOU<br />Asian Institute of Technology<br />5 Australia Curtin University of Technology<br />Deakin University<br />University of New England<br />6 New Zealand Unibersity of Wellington<br />Massaey University<br />University of the South Pacific<br />7 Cina Hongkong Open University<br />Shanghai TV University<br />Tsinghua University<br />8 USA Idaho University<br />University of Utah<br />Oregon State Univbersity<br />9 Eropa Fern University (Jerman)<br />Open University (Inggris)<br />University Of West Hungary<br />10 Kanada Simon Frisher University<br />University of British Columbia<br /><br /> <br />4. Distance Learning<br />a. Pengertian<br />Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 dan SK Mendiknas no. 107/U/2001 tentang Perguruan Tinggi Jarak Jauh (PTJJ) secara lebih spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Ini merupakan salah satu bentuk pembelajarannya dengan menggunakan e-learning.<br />Distance learning adalah bentuk pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan menggunakan modul yang tercetak yang digunakan untuk korespondensi dan pembelajaran yang berbasis TIK, seperti televisi, radio, dan computer serta internetnya. <br />Distance Learning atau belajar jarak jauh merupakan suatu sistem pembelajaran yang menitik beratkan pada proses belajar mandiri secara aktif berdasarkan paket belajar (modul) dengan bimbingan tutorial yang diselenggarakan dari jarak jauh dan satuan waktu tertentu untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan jenis, sifat, dan jenjang pendidikan yang telah ditetapkan.<br /><br />b. Prinsip Distance Learning (Belajar Jarak Jauh)<br />Belajar jarak jauh mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:<br />a) Tujuan yang jelas. Perumusan tujuan harus jelas, spesifik, teramati, dan terukur untuk mengubah perilakupoeserta didik.<br />b) Relevan dengan kebutuhan. Program belajar jarak jauh relevan dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dunia kerja, atau lembaga pendidikan.<br />c) Mutu pendidikan. Pengembangan Program Jarak Jauh merupakan upaya meningkatkan mutu pendidikan yaitu mutu proses pembelajaran yang ditandai dengan proses pembelajaran lebih aktif atau mutu lulusan lebih produktif.<br />d) Efisiensi dan efektifitas program. Pengembangan program Belajar Jarak Jauh harus mempertimbangkan efisiensi pelaksanaan dan efektifitas produk program. Efisiensi mencakup penghematan dalam penggunaan tenaga, biaya, sumber, dan waktu, serta sedapat mungkin menggunakan hal-hal yang tersedia.<br />e) Efektifitas. Memperhatikan hasil-hasil yang telah dicapai oleh lulusan, dampaknya terhadap program dan terhadap masyarakat.<br />f) Pemerataan. Hal ini berkaitan dengan pemerataan dan perluasan kesempatan belajar, khususnya bagi yang tidak sempat mengikuti pendidikan formal karena lokasinya jauh atau sibuk kerja.<br />g) Kemandirian. Kemandirian baik dalam pengelolaan, pembiayaan, maupun dalam kegiatan belajar.<br />h) Keterpaduan. Keterpaduan yang dimaksud disini adalah keterpaduan berbagai aspek seperti keterpaduan mata pelajaran secara multi disipliner.<br />i) Kesinambungan. Penyelenggaraan Belajar Jarak Jauh tidak incidental dan sementara, tetapi dikembangkan secara berlanjut dan terus menerus.<br /><br />c. Karakteristik Belajar Jarak Jauh<br />Belajar Jarak Jauh memiliki karakteristik, sebagai berikut:<br />a) Menjangkau peserta didik dimanapun berada.<br />b) Proses belajar dilakukan secara mandiri.<br />c) Sumber belajar adalah bahan-bahan yang dikembangkan secara sengaja sesuai bahan kebutuhan dengan tetap berpedoman pada kurikulum.<br />d) Interaksi pembelajaran bisa dilaksanakan secara langsung dalam satu pertemuan. Bisa pula secara tidak langsung dengan bantuan tutor dalam forum tutorial.<br />e) Waktu yang digunakan tepat sesuai waktu dan program yang ditentukan.<br />f) Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik.<br />g) Program disusun disesuaikan dengan jenjang, jenis, dan sifat pendidikan.<br />h) Penilaian dilakukan sendiri (self evaluation)<br /><br /><br />d. Prinsip & Bentuk Program Belajar Jarak Jauh<br />Penyusunan program belajar jarak jauh memperhatikan prinsip-prinsip berikut :<br />a) Bertujuan meningkatkan mutu kemampuan para peserta didik sesuai dengan bidang kemampuan, minat, dan bakatnya masing-masing agar lebih mampu meningkatkan mutu dirinya sendiri.<br />b) Memperluas kesempatan belajar dan meningkatkan jenjang pendidikan para peserta.<br />c) Meningkatkan efisiensi dalam system penyampaian melalui media modular dengan bantuan radio pendidikan, film, video, media pendukung lain.<br />d) Berdasarkan kebutuhan lapangan dan kondisi lingkungan.<br />e) Berdasarkan kesadaran dan keinginan peserta didik dan menekankan pada belajar mandiri yang berdasar pada aktualisasi diri, percaya diri bergantung pada kemampuan sendiri agar berhasil dalam studinya.<br />f) Dikembangkan dalam paket terpadu dan dilaksanakan secara terpadu dalam tingkat kelembagaan.<br /><br /><br /><br /> <br /><br /> Gambar 4. Jaringan PTJJ<br /><br />e. Sistem Komponen Belajar Jarak Jauh<br />Pembelajaran jarak jauh disebut pembelajaran system terbuka, karena memberikan kesempatan kepada siapapun untuk belajar. Disamping itu peraturan yang diberlakukan tidak seketat kelas konvensional. Peserta didik tidak diwajibkan hadir di kelas seperti untuk mengikuti proses pembnelajaran seperti biasanya. <br />Sistem belajar jarak jauh diselenggarakan dengan maksud agar peserta didik dapat belajar mandiri.Bantuan terkadang dari pembimbing, yaitu guru dan tutor. Peserta didik belajar melalui teori, pikiran,perasaan, atau karya-karya yang telah dituangkan dalam buku teks, modul, majalah, surat kabar, atau program-program (software) yang disajikan media berbasis TIK. Penyelenggaraan system belajar jarak jauh meliputi mata pelajaran, ahli pengembangan materi pembelajaran, dan ahli media pembelajaran yang menyusun dan mengembangkan kurikulum. Mereka mempersiapkan, merancang, menyusun, dan memproduksi materi pelajaran.<br />Program cetak dan program media yang dihasilkan ini diberikan kepada peserta didik untuk dipelajari, baik secara individual maupun kelompok.<br /><br />Komponen system belajar jarak jauh, meliputi:<br />a. Peserta Didik<br />Tujuan peserta didik mengikuti system belajar jarak jauh, antara lain ingin mendapatkan ijazah, untuk mengisi waktu, hiburan, atau tertarik dengan programnya.<br />Materi Pembelajaran<br />Materi pembelajaran dirancang khusus untuk keperluan system belajar jarak jauh sesuai kebutuhan peserta.<br />b. Pembimbing, Tutor, Fasilitator<br />Tugas pembimbung, tutor, dan fasilitator adalah memberikan bantuan kerpada pesewrta didik sewaktu-waktu secara berkala ketikapeserta didik menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas, latihan, atau soal.<br />c. Tempat Belajar<br />Karena peserta didik tidak wajib dating ke sekolah,maka peserta didik bisa belajar dimana saja, <br />d. Sistem Evaluasi<br />Peserta didik belajar tanpa diawasi oleh pembimbing, olehkarena itu untuk menentukan apakah telah menguasai materi pembelajaran atau belum, peserta didik harus mengajukan kepada pembimbing untuk diuji. Namun peserta didik bisa pula melakukan tes mandiri (self test/evaluation). Dalam hal ini peserta didik mengerjakan soal tanpa pengawasan. Dirinya sendiri yang menilai jawaban benar atau salah berdasarkan kunci jawaban.<br /><br />e. Pendayagunaan Komputer dalam program BJJ<br />Komputerisasi program belajar jarak jauh bukan saja menjadi suatu kebutuhan, akan tetapi sekaligus merupakan suatu keharusan, baik dallam administrasi maupuin dalam edukasi. Pertimbangannya adalah :<br />a. Data dan informasi tentang peserta didik dan tutor membutuhkan ketelitian dan ketepatan yang maksimal, agar dapat segera dapat dikombinasikan dalam waktu relatif cepat.<br />b. Pelaksanaan kegiatan kurikuler, bimbingan tutorial, kegiatan penilaian,pengadaan dan pemakaian bahan bacaan serta alat bantu dan kegiatan pembelajaran lebih menekankan belajar mandiri, sehingga perlu pendataan dan pengolahan yang cepat dan akurat.<br />c. Pendayaan computer dalam BJJ merupakan salah satu saran/prasarana yang penting guna lebih memperlancar sistem komunikasi informasi.<br />d. Kebutuhan inovasi, penyesuaian dan pengembangan sistem pendidikan nasional dewasa ini meminta perhatian yang sungguh-sungguh dalam pendaya gunaan TIK.<br /><br />f. Kelebihan Belajar Jarak Jauh<br />Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat dikemukakan kelebihan belajar jarak jauh sebagai berikut:<br />a) Menjangkau target yang telah ditentukan.<br />b) Memberikan kesempatan yang luas dalam rangka pelayanan terhadap perbedaan individual peserta didik.<br />c) Tidak membutuhkan ruangan kelas khusus dan semua jenis perlengkapannya.<br />d) Tidak memerlukan guru khusus yang bertugas mengajar secara berkesinambungan.<br />e) Bahan belajar sudah disiapkan dalam bentuk modul yang disiapkan oleh pengelola.<br />f) Memberikan kesempatan uang luas kepada peserta didik untuk belajar mandiri secara aktif, sehingga diharapkan mereka lebih mantap pemahamnnya melalui kegiatan internal, diskusi dan pemantapam diri.<br />g) Lebih efisien dan ekonomis, karena wakru belajarnya tidak terstruktur. Peserta didik yang telah bekerja tidak perlu meninggalkan pekerjaannya.<br />h) Pengembangan kurikulum didasarkan pada kebutuhan lapangan, sehingga tidak perlu sama dengan kurikulum lembaga pendidikan formal lainnya.<br /><br /><br />g. Kelemahan<br />Beberapa kelemahan yang menjadi kendala BJJ meliputi :<br />a) Persiapan dan perencanaan program lengkap dengan semua perangkatnya ,memerlukan waktu dan pembiayaan yang cukup banyak serta mendyagunakan tenaga ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.<br />b) Menuntut peserta didik belajar mandiri, sehingga memerlukan motivasi belajar tinggi.<br />c) Peserta didik tidak dapat berinteraksi dan berkomuniklasi langsung dengan pengajar, misalnya untuk minta penjelasan atau jawaban atas sesuatu pertanyaan yang diajukan. Bimbingan hanya bisa dilakukan secara tutorial yang dilaksanakan secara berkala.<br />d) Modul disusun secara terpusat sehingga besar kemungkinan bahan yang diusajikan kurang relevan dengan kebutuhan peserta didik setempat, atau kepentingan peserta didik. Bahan kurang menarik, karena tulisannya tidak jelas, bahasa sulit dipahami, kurang contoh atau ilustrasi dan sebagainya.<br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br />Dalam era global ini setuju atau tidak, mau atau tidak mau, harus berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.“Gagap” teknologi (gaptek) akan menghambat atau memperlambat penguasaan terhadap informasi. Dengan demikian akan terlambat memperoleh kesempatan-kesempatan untuk maju.<br />Informasi sudah menjadi komoditi layaknya barang ekonomi lain. Peran informasi kian besar dan nyata dalam dunia modern ini. Hal ini disebabkan karena masyarakat sekarang menuju pada era informasi (information age) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society).<br />Maraknya Pemanfaatan e-learning khususnya internet dalam kegiatan pembelajaran merupakan bentuk bahwa para peserta didik telah mengaplikasikan salah satu dari empat pilar dalam pendidikan yang direkomendasikan oleh UNESCO yaitu learning to know , yaitu proses belajar untuk mengetahui, mamahami, dan menghayati cara-cara untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik sebagai bekal ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran ini memungkinkan peserta didik mampu mengetahui, memahami, dan menerapkan, serta mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan. Pada diri peserta didik akan tertanam sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan mendorong untuk selalu mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah yang mampu mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari kehidupannya. Peserta didik belajar dengan cerdas memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.<br /><br /> DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Munir, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta, 2008<br />Prawiradilaga, Dewi, Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008<br />Miarso, Yusuf Hadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2009Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-88327841607226268962010-12-08T16:00:00.000-08:002010-12-08T16:02:04.254-08:00KEINOVATIVAN ORGANISASILANDASAN TEORITIK TENTANG PONDOK PESATREN <br />A. Konsep Administrasi Pendidikan <br /><br /> Dilihat dari sisi pengertiannya, administrasi pendidikan memiliki arti yang <br />cukup luas, walaupun hal ini berbeda dalam menggaris bawahi perbedaan yang <br />muncul di kalangan para ahli tentang perbedaan antara administrasi dan <br />manajemen, terutama dilihat dari ruang lingkupnya, dan hal ini dipengaruhi pula <br />oleh perbedaan paham antara ahli manajemen dan ahli administrasi. <br /><br /> Administrasi pendidikan merupakan perpaduan dari dua suku kata, yakni <br />“administrasi” dan “pendidikan”, adapun pengertian administrasi itu sendiri <br />memiliki arti; melayani, membantu, mengarahkan, dan hal ini diambil dari “ad” <br />dan “ministrare”, sehingga administrasi dalam pengertian ini adalah melayani <br />secara iontensif, adapun dari kata administrare terbentuk kata benda <br />“administration” dan kata “administravus” yang kemudian masuk ke dalam <br />bahasa Inggris yakni “administration”(Hadari Nawawi, 1982; 5), selain dikenal <br />juga dengan “administratie” yang berasal dari bahasa Belanda, namun memiliki <br />arti yang terlalu sempit, sebab hanya terbatas pada aktivitas ketatausahaan, yaitu <br />suatu kegiatan dalam penyusunan dan pencatatan keterangan yang diperoleh <br />secara sistematis, sehingga fungsinya pun berusaha untuk mencatat hal-hal yang <br />terjadi di dalam organisasi sebagai bahan laporan bagi pemimpin, dengan <br />demikian, maka administrasi merupakan kegiatan tulis menulis, mengirim, dan <br />menyimpan keterangan, hal ini berkaitan erat dengan beberapa pengertian para <br />ahli, diantaranya; <br /><br />a. Engkoswara, mengartikan bahwa administrasi pendidikan adalah ilmu <br />yang mempelajari penataan sumber daya manusia, yaitu kurikulum, dan <br />fasilitas untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal dan pencapaian <br />suasana yang baik bagi manusia dalam mencapai tujuan pendidikan, <br />sehingga unsur utama yang dikembangkan adalah efektifitas, efisiensi, dan <br />produktivitas dalam proses. <br />b. Ngalim Purwanto, mengartikan administrasi pendidikan ialah segenap <br />proses pengarahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personal, <br />spiritual, dan material yang berhubungan dengan pencapaian tujuan <br />pendidikan, sehingga unsur utama yang dikembangkan adalahg integritas, <br />pengorganisasian, dan koordinasi. <br />c. Hadari Nawawi, mengartikan administrasi pendidikan ialah rangkaian <br />kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah <br />orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang <br />diselenggarakan dalam lingkungan tertentu, terutama dalam lembaga <br />pendidikan formal, (hadari Nawawi, 1982; 11). <br /><br /><br />Mengacu kepada pengertian diatas, maka penulis cenderung menggaris <br />bawahi pengertian administrasi sebagai suatu usaha dalam mengembangkan <br />sumber daya, baik sumber daya manusia ataupun sumber daya lain yang berfungsi <br />dalam pencapaian tujuan tertentu dari suatu organisasi, sehingga dengan <br />demikian, maka pengertian administrasi pendidikan merupakan suatu penataan <br />sumber daya manusia guna meningkatkan dan menggali sumber daya lainnya <br />dalam rangka pencapaian tujuan suatu lembaga pendidikan. <br /><br /><br /><br />Dari pengertian yang luas tersebut, maka berdampak bagi perluasan makna <br />administrasi itu sendiri, artinya bukan hanya menyangkut suatu masalah <br />organisasi pendidikan semata, melainkan dapat pula pengertiannya serta <br />pengaflikasiannya bagi lembaga lain seperti pesantren, sehingga dalam lingkup <br />seperti ini, maka pesantren dalam penataannya dapat menggunakan istilah ilmu <br />administrasi yang berkewenangan untuk mengembangkan manajemen modern, <br />sehingga dalam pencapaian tujuan pesantren baik dari segi proses ataupun hasil <br />senantiasa dapat mempertimbangkan fungsi efektifitas, efisiensi dan juga <br />produktivitas. <br /><br />B. Kajian Atas Definisi Pondok Pesantren <br /><br />Kata pondok senantiasa dihubungkan dengan kata pesantren, hal ini <br />mengandung suatu pengertian bahwa diantara kedua kata tersebut memiliki arti <br />yang erat kaitannya antara yang satu dengan lainnya terutama berkaitan dengan <br />sebutan atas nama dan tempat, bahkan ketika disebut salah satu kata pondok <br />mungkin konotasi orang akan menyebutnya dengan sebuah penginapan, tetapi <br />ketika orang akan menyebutnya dengan sebuah penginapan, tetapi ketika orang <br />menyebutnya dengan sebutan pesantren, maka di dalamnya orang akan <br />memberikan suatu tanggapan dan suatu kepastian bahwa ada pondokan di <br />dalamnya, dan terdapat suatu model pengajaran yang menggali nilai-nilai <br />rohaniah dan nilai-nilai ilahiah, yang lebih kongkrit lagi mengarah kepada nilai-<br />nilai religus (Islam). <br /><br />Kata pesantren sebenarnya merupakan kata jadian yang berasal dari dua <br />suku kata, yang kata dasarnya adalah santri dan kata ini mendapat sisipan berupa <br /><br /><br /><br />awalan “pe” dan akhiran “an”, yang selanjutnya menjadi “pe-santri-an” yang <br />artinya tempat santri yang kini lajim disebut dengan pesantren (Manfred Ziemek, <br />1986; 16). <br /><br />Banyak ragam dan corak dalam mengartikan istilah kata santri, dari sekian <br />banyak hali tata bahasa memberikan suatu ketegasan bahwa asal kata santri <br />berasal dari bahasa Tamil yang hal ini dapat diartikan sebagai “guru ngaji” <br />(Zamaksyari Dhofier, 1982; 18), pendapat lain mengatakan bahwa santri itu <br />sebenarnya berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti “cantrik”, yang memiliki <br />makna sebagai orang-orang yang tinggal bersama dengan seorang resi dalam <br />suatu pertapaan tertentu guna memperoleh petunjuk kebahagiaan , yang <br />selanjutnya pengertian ini menggeser makna dasar kata tersebut yang selanjutnya <br />menjadi santri, yakni orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu di pondok <br />pesantren. <br /><br />Adapun kata pondok ketika dibubuhkan dengan kata pesantren <br />dimaksudkan guna mendapatkan penjelasan yang kongkrit dan dapat di tangkap <br />pesannya, dan dalam hal ini kata pondok tersebut ada yang mengatakan berasal <br />dari bahasa arab punduk yang artinya hotel atau asrama (Zamakhsyari Dhofier, <br />1982; 16). <br /><br />Lain halnya dengan pengertian menurut tata bahasa Indonesia itu sendiri <br />yang cenderung memberikan suatu definisi bahwa pondok adalah rumah untuk <br />sementara waktu yang dikenal dengan sebutanrumah singgah (Poerwadarminta, <br />1985; 764), sedangkan Leonardo D Marsam (1983; 207) memberikan suatu <br />definisi bahwa pondok adalah rumah kecil atau rumah tempat mengaji. <br /><br /><br /><br />Mengkaji beberapa definisi yang dikemukakan di bagian terdahulu, maka <br />dalam hal ini Departemen Agama Republik Indonesia memberikan suatu <br />pengertian tersendiri mengenai arti pondok pesantren, yaitu; <br /><br />. <br />Yang dimaksud dengan “pondok pesantren” adalah lembaga pendidikan <br />dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan <br />pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem bandongan <br />dan sorogan), dimana seorang kyai mengajar santri-nya berdasarkan atas <br />kajian kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-<br />ulama besar sejak abad pertenghan, sedangkan para santri biasanya tinggal <br />dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut. <br />. <br />Yang dimasaksud dengan “pesantren” adalah lembaga pendidikan dan <br />pengajaran agama Islam yang ada pada dasarnya sama dengan pondok <br />pesantren tersebut diatas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di <br />komplek pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa <br />sekeliling pesantren tersebut (santrik kalong), dimana cara dan methode <br />pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, <br />yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu, <br />misalnya hari jum’at, minggu dan lain-lainya. <br />. <br />Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan lembaga gabungan antara <br />sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran <br />agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan dengan para <br />santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam <br />istilah modern memenuhi criteria pendidikan formal bentuk madrasah dan <br /><br /><br /><br /><br />bahkan sekolah umum dalam berbagai bnetuk tingkatan dan aneka <br />kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing (Marwan <br />Saridjo, 1983; 9). <br /><br /><br />Dari beberapa pendapat diatas menunjukan suatu pengertian yang cukup <br />serius dari kedua kata diatas (pondok pesantren), terdapat dua unsure yang <br />mendasar dari semua kegiatan yang dikelola di dalamnya, yaitu unsure pendidikan <br />dan pengajaran agama Islam dengan menggunakan sistem yang dianggap unik, <br />yaitu kedaulatan penuh dibawah kepemimpinan seorangKyai. <br /><br />Sistem pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan dalam pondok <br />pesantren berbeda dengan model pendidikan lainnya, walaupun pada beberapa sisi <br />memiliki kesamaan, diantara perbedaan-perbedaan tersebut diikat dalam suatu <br />sistem, dimana masing-masing sistem memiliki keterkaitan yang erat, unsure <br />terkait didalamnya yaitu; terdiri dari unsure-unsur organic, yaitu para pelaku <br />pendidikan yang di dalamnya terdiri dari; pimpinan, guru, murid, dan pengurus, <br />adapun yang dimaksud dengan anorganik yaitu terdiri dari; tujuan, filsafat dan tata <br />nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar-mengajar, <br />penerimaan murid dan tenaga kependidikan, teknologi kependidikan, dana, <br />sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainny adalam mengelola sistem <br />kependidikan (Mastuhu, 1994; 19), adapun dalam pengertian lain dikembangkan <br />bahwa yang dimaksud dengan sistem tersebut pesantren dibentuk atas lima faktor, <br />yaiut; tujuan pendidikan, anak didik, pendidikan, alat pendidikan dan lingkungan <br />(Abu Ahmadi, 1985; 41), sedangkan yang dikembangkan oleh Marimba (1987; <br /><br /><br /><br />19) berupa; adanya kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, pendidik, peserta <br />didik, bimbingan yang dilakukan secara sadar, dan alat yang dipergunakan. <br /><br />Dari sekian banyak sistem yang ada, maka pada prinsipnya dapat <br />dikelompokan sebagai berikut: <br /><br />a. Aktor atau pelaku yang terdiri dari; kyai, ustad, santri, dan pengurus <br />b. Sarana perangkat keras yang terdiri dari masjid, rumah kyai, rumah dan <br />asrama ustadz, pondok atau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, <br />tanah untuk berolah raga dan sebagainya. <br />c. Perangkat lunak, yang terdiri atas; tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata <br />tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi, cara pengajaran, keterampilan, <br />pusat pengembangan masyarakat, dan alat pendidikan lainnya. <br /><br /><br />Disamping beberapa mekanisme dan sistem yang dikembangkan dimuka, <br />maka dikenalkan pula beberapa kajian mengenai sistem pengajaran, dimana <br />pengajaran tersebut merupakan bagian pokok atas dikembangkannya beberapa <br />kajian atas pondok pesantren, hal ini dapat digolongkan pada beberapa cara <br />pengajaran yaitu: <br /><br />a. Sistem hafalan; yaitu cara belajar ini merupakan landasan utama bagi <br />santri untuk mengafal beberapa kaidah atau pelajaran yang diberikan. <br />b. Sistem bandongan, hal ini merupakan sistem belajar pertama yang <br />dikembangkan oleh kyai, yang selnjutnya biasanya dibentuk ke dalam <br />kelompok belajar, dan biasanya pengajarannya pun menggunakan bahasa <br />Arab yang selanjutnya diterjemahkan kedalam bahasa setempat. <br /><br /><br /><br /><br />c. Sistem sorogan, hal ini merupakan sistem belajar individual, dimana <br />seorang kyai berhadapan langsung dengan santri, sehingga terjadi <br />komunikasi dua arah antara santri dengan kyai. <br />d. Sistem halaqoh, biasanya pada pengajaran model ini dikembangkan <br />dengan cara diskusi dalam memahami berbagai kitab guan mendapatkan <br />berbagai kesimpulan atas beberapa permasalahan yang berkembang dalam <br />diskusi tersebut. <br /><br /><br />Dalam bahasa yang lain dikembangkan pula sistem pengajaran wetonan, <br />yaitu sitem pengajaran dengan menggunakan methode kuliah, dimana para santri <br />mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan kitab <br />kuning dengan cara kuliah, dan santri menyimak kitab masing-masing dan <br />membuat catatan, istilah wetonan ini berasal dari kata Jawa yang berarti waktu, <br />dan biasanya pengajar ini dilaksanakan pada hari jum’at, minggu dan hari-hari <br />lainnya yang dianggap baik. <br /><br />C. Inovasi dalam Tubuh Pondok Pesantren <br /><br />Pada sebagian masyarakat tradisional sebernarnya sudah ada <br />kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan suatu pembaharuan, namun karena <br />keterbatasan ruang lingkup terutama pengetahuan serta beberapa kesempatan yang <br />kurang dimiliki oleh masyarakat tradisional, maka perubahan-perubahan tersebut <br />cenderung lamban bila dibandingkan dengan masyarakat modern, demikian <br />halnya yang terjadi pada masyarakat pesantren tradisional yang cenderung <br />dianggap lamban dalam melakukan berbagai inovasi atas kekurangan-kekurangan <br />yang selama ini membelenggu sistem yang ada. <br /><br /><br /><br />Masyarakat Islam tradisional di Jawa dianggap statis dan demikian kuat <br />terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama di abad pertengahan, sebenarnya telah <br />mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, akan tetapi <br />perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, bahkan demikian rumit <br />dan cenderung lebih tersimpan dalam suatu sistem yang menyelimutinya, <br />sehingga perubahan-perubahan tersebut tidak bisa nampak ke permukaan, <br />walaupun sebenarnya terjadi di hadapan mata sendiri, kecualai bagi mereka yang <br />mencermati perubahan-perubahan tersebut secara seksama terutama di kalangan <br />pemikir-pemikir Islam. <br /><br />Lebih lanjut dikemukakan oleh Snouck bahwa sebenarnya Islam <br />tradisional yang dalam aspek pendidikan mengimplementasikan sistem <br />pendidikan pesantren ke dalam kegiatan belajar-mengajar hal ini sudah dianggap <br />terbiasa melakukan perubahan-perubahan. <br /><br />Adapun penyebab utama dari ketidak terbukaannya sistem perubahan <br />tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap pesantren memang sangat hati-<br />hati dalam menentukan pilihan, sehingga selektifitas tersebut banyak pengamat <br />mengatakan bahwa pesantren telah bersikap sangat tertutup, selektifitas tersebut <br />sebenarnya dapatlah dimaklumi karena biasanya didasarkan atas beberapa <br />pertimbangan yang paling utama adalah pertimbangan keagamaan serta komunitas <br />sosial. <br /><br />Dari beberapa sikap pesantren yang dmikian tertutup itu dimungkinkan <br />atas pengaruh jajahan Hindia Belanjda yang telah lama membelenggu, sehingga <br />akibatnya pesantren telah memilih jalan k0-operatif dengan berbagai pihak <br /><br /><br /><br />khususnya pada saat itu dengan pihak penjajah, dari kondisi yang demikian itulah <br />sehingga menyebabkan pesantren lebih selektif dalam melakukan suatu <br />perubahan. <br /><br />Akan tetapi perhitungan tahun 1950-an bahwa telah terjadi exodus para <br />anak didik ke sekolah-sekolah umum (Slamet Efendi, 1983; VXI), kenyataan-<br />kenyataan seperti ini merupakan akibat langsung dari semakin besarnya pengaruh <br />lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah dimata <br />masyarakat. <br /><br />Exodus anak didik tersebut tentu saja secara tidak langsung dapat <br />mempengaruhi pesantren pada peradaban berikutnya mengalami suatu kesuraman, <br />walaupun banyak lagi faktor-faktor lain yang menjadi penyebab, seperti <br />banyaknya Kyai yang memanfaatkan ajang politik dan birokrat guna sebagai <br />saluran aktifitas sosial keagamaan, dengan sendirinya, maka pergeseran nilaipun <br />semakin kian menjadi. <br /><br />Exodus anak didik juga dapat ditafsirkan sebagai pertanda adanya <br />pergeseran aspirasi dan tujuan serta tuntutan masyarakat dari orientasi murni <br />keilmuan dan keagamaan menuju suatu tarap kehidupan yang birokratik dan <br />menuju orientasi materialistis dan politis. <br /><br />Pesantren dalam kiprahnya telah memberikan pelajaran-pelajaran agama <br />Islam tanpa mengharapkan imbalan dan balasan jasa seperti adanya ijajah dan <br />sejenisnya yang dapat dijadikan alat guna untuk mendapatkan kepastian <br />pekerjaan, tetapi sebaliknya sekolah-sekolah umum terlalu banyak memberikan <br />pengharapan yang pasti akan pekerjaan yang akan dinikmati di kemudian hari. <br /><br /><br /><br />Disamping faktor diatas, pembaharuan dalam tubuh pesantren dipengaruhi <br />pula oleh faktor ideologis, kebutuhan memperbaiki kualitas dan terakhir <br />pertimbangan strategis, faktor ideologis dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan <br />Islam yang senantiasa memberikan pegangan kepada masyarakat untuk berpegang <br />teguh kepada ajaran agama Islam untuk dijadikan dasar ketika melakukan suatu <br />hal, ajaran Islam ini secara tegas mentolelir adanya pembaharuan. <br /><br />Sedangkan faktor strategis merupakan kebutuhan lembaga untuk semakin <br />memperbaiki diri, dan faktor ini erat kaitannya dengan masalah perjalanan <br />lembaga pendidikan Islam, yaitu dengan melihat sendiri hasil yang dicapai oleh <br />tingkat pendidikan dan pengajaran santri kurang maksimal, terutama dalam <br />pasaran dunia kerja, dan hal ini dapat dilakukan dengan melakukan ko-operatif <br />dan non-ko-operatif dengan pihak lain yang dapat dijadikan rekan atau mitra <br />dalam melakukan kerjasama. <br /><br />Adapun faktor kualitas merupakan suatu tuntutan masa depan pesantren <br />agar output atau lulusan pesantren agar dianggap semakin mampu untuk bersaing <br />dengan pasar kerja dan untuk hidup layak di masyarakat. <br /><br />Pembaharuan ada seringkali diidentikan dengan istilah modernisasi, kata <br />seperti ini merupakan pengalihan bahasa dari Latin yang diadopsi kedalam bahasa <br />Indonesia, yaitu asal kata modernus (modo berarti baru saja), atau dalam bahasa <br />sekarang mutakhir (Foeler, 1973; 778), adapun menurut bahasa Inggris kata <br />modern diartikan dengan “of the present or recent time” (berkenaan dengan masa <br />kini), yang dalam hal ini dapat diartikan pula sebagai “a person on think of <br /><br /><br /><br />modern times and though “ yang berarti manusia, benda atau pemikiran Moslem <br />(Guralink, 1987; 387). <br /><br />Adapun kata pembaharuan itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang <br />berarti tajdid, dengan demikian, maka pembaharuan itu sendiri merupakan <br />pengertian atas segala sesuatu yang dianggap baru, dan hal ini memang baru <br />ditemukan dan tidak pernah tersentuh oleh orang lain atau sesuatupun, dalam <br />pengertian lain tajdid diartikan pula dengan <br /><br />. <br />Pengembalian semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman <br />awal Islam, dan gerakan ini mengorientasikan pada usaha-usaha <br />pemurnian. <br />. <br />Dapat pula diartikan sebagai upaya pengimplementasikan ajaran Islam <br />sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, dan gerak yang <br />memperjuangkan ide-ide ini adalah disebut dengan gerakan pembaharuan <br />atau renewel (Jaenuri, 1995; 41). <br /><br /><br />Pandangan modernisasi dalam Islam cenderung mengarah kepada salah <br />satu akibat pada kemajuan yang terjadi di Barat dan ditambah lagi dapat merubah <br />dasar-dasar keagamaan yang fundamental, kemudian cenderung mengarah kepada <br />weternisasi yang berakibat pada kehidupan dan paham materialistis (Anshari, <br />1983; 196). <br /><br />Pembaharuan dalam tubuh pesantren berarti dapat diartikan secara luas <br />yaitu terjadi salah satu perubahan pada gerak dan ide yang kesemuanya <br />merupakan gerak rentetan aksi yang dilancarkan secara sadar guna merumuskan <br />bahkan membentuk kembali pola dan tatanan yang telah mengalami perubahan-<br /><br /><br /><br />perubahan, baik yang bersifat revolusioner ataupun yang dialami secara bertahap, <br />(Bahasoen. 1984; 107). <br /><br />Mengakar pada permasalahan diatas, maka inovasi dalam tubuh pesantren <br />dapat diartikan sebagai penataan kembali lembaga pendidikan tersebut melalui <br />penyempurnaan diberbagai bidang, khusus dalam penelitian ini, maka penulis <br />lebih cenderung mendekatkan diri pada disiplin ilmu manajemen, dengan <br />penataan kembali bidang ini, maka kebijakanpun akan semakin berjalan dengan <br />baik dan kinerja pesantren semakin menggeliat dan tidak hanya dipandang sebelah <br />mata. <br /><br />Asumsi diatas membawa kepada suatu titik perhatian bahwa dengan <br />menajemen kepemimpinan yang professional mendorong pesantren untuk <br />melakukan kinerjanya dengan baik, bukti pertama untuk kemajuan tersebut <br />terletak pada unsure dasar Kyai sebagai figure kepemimpinan dalam pesantren <br />tersebut. <br /><br />Menitik beratkan figure kepemimpinan Kyai sebaga sosok panutan <br />masyarakat, maka suatu inovasi yang dilakukan oleh pesantren pun tiak akan <br />terlepas dari berbagai komponen pendukung lainya, dalam hal ini terutama <br />keinovatifan pesantren sebagai suatu organisasi sosial. <br /><br />Beberapa ratus penelitian tentang keinovatifan organisasi telah dibahas <br />dan bahakan diselesaikan pada decade 1970-an, maka ada salah satu jenis <br />penelitian difusi yang berbeda dalam organisasi dimulai, yang menitik beratkan <br />pada proses inovasi di dalam organisasi. <br /><br /><br /><br />Penelitian keinovatifan organisasi membantu menjelaskan karakteristik <br />dari organisasi yang inovatif, maka dengan berlandasakan pada paradigma <br />dibawah ini, akan dapat diukur sampai sejauhmanakah pesantren telah melakukan <br />berbagai inovasi baik berhubungan dengan manajerial ataupun dengan berbagai <br />bentuk kebijakan yang digariskan oleh Kyai, organisasi yang lebih besar lebih <br />inovatif justru ada ketika individu-individu dengan status sosial yang lebih tinggi <br />sehingga memungkinkan derajat orisinialitas yang jujur terjadi dalam penelitian <br />keinovatifan organisasi, walaupun methodeologi penelitiannya secara langsung <br />diambil dari penelitian keinovatifan untuk tingkat individual. <br /><br />Keinovatifan pesantren sebagai suatu organisasi tidak akan terlepas dari <br />beberapa variabel bebas, yakni pertama karakteristik individu pemimpin <br />pesantren, dan kedua karakteristik struktur organisasi interna pesantren, ketiga <br />karakteristik struktur organisasi eksternal pesantren, disini kita melihat variabel <br />bebas berhubungan dengan keinovatifan organisasi sebagai variabel terikat, <br />(mimbar ilmiah X N0 39, 2000; 13), model seperti ini bisa dilihat pada gambar <br />berikut : <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /><br /><br />Gambar: 6 <br /><br />Variabel Pendukung Inovasi Organisasi <br /><br /> Variabel bebas Variabel Terikat <br /><br />1. Karakteristik Individual <br />(Pemimpin) Sikap terhadap <br />perubahan (+) <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />1. Karakteristik Struktur <br />Organisasi Internal : <br /><br />1) Sentralisasi ( - ) <br />2) Kompleksitas ( + ) <br />3) Formalisasi ( - ) <br />4) Saling keterkaitan ( + ) <br />5) Kelenturan organisasi ( + ) <br />6) Ukuran ( + ) <br /><br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> Keinovatifan <br /><br /> Organisasi <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />1. Karakteristik Struktur <br />Organisasi Eksternal : <br /><br /> Keterbukaan sistem ( + ) <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Karakteristik struktur organisasi pesantren didasarkan atas beberapa <br />elemen, diantaranya; sentrelisasi, kompleksitas, formalisasi, saling keterkaitan, <br />kelenturan organisasi, sentralisasi biasanya ditemukan berhubungan erat secara <br /><br /><br /><br />negatif dengan keinovatifan, artinya hal ini dapat dilihat bahwa semakin <br />kekuasaan dipusatkan dalam organisasi, maka ada kecenderungan semakin kurang <br />inovasi organisasi tersebut, banyak sudah gagasan baru dalam suatu organisasi <br />dibatasi bila ada sedikit pemimpin kuat yang mendominasi sistem tersebut, <br />misalnya dalam suatu organisasi yang sentralistis seperti pesantren, pucuk <br />pimpinan kurang baik dalam mengidentifikasi masalah-masalah pada tingkat <br />operasional atau mengajurkan inovasi-inovasi yang relevan untuk memenuhi <br />kebutuhan-kebutuhan, walaupun permulaan suatu inovasi dalam organisasi <br />pesantren bisa mendorong penerapan dari inovasi, pertama kali keputusan inovasi <br />tersebut dibuat. <br /><br />Disamping sentralisasi kekuasaan sebagai variabel pendorong keinovatifan <br />organisasi, maka kompleksitas juga merupakan suatu sistem yang tidak dapat <br />diabaikan, kompleksitas tersbut merupakan derajat dimana anggota-anggota suatu <br />organisasi memiliki tingkat pengetahuan dan keahlian yang telatif tinggi, biasanya <br />diukur melalui rentangan jabatan dan keahlian serta derajat profesionalismenya <br />yang terungkap melalui latihan-latihan resmi, kompleksitas mendorong anggota <br />organisasi untuk menyusun dan menawarkan inovasi-inovasi, tetapi hal tersebut <br />bisa mempersulit kesepakatan tentang bagaimana mengaplikasikannya, sehingga <br />hal ini membutuhkan fomalisasi sebagai bentuk penerapan kebijakan menuju <br />suatu keinofatifan. <br /><br />Formalisasi adalah merupakan derajat dimana suatu organisasi <br />menekankan ketaatan terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur dalam peran <br />kinerja para anggota organisasi, formalisasi semacam ini berlaku pula untuk <br /><br /><br /><br />mengalangi pertimbangan inovasi oleh anggota organisasi yang mendorong <br />penerapan inovasi tersebut, sehingga bagaimanapun suatu model kebijakan yang <br />dilakukan oleh pemimpin suatu organisasi akan mempengaruhi kinerja para <br />anggotanya, oleh sebab itu keterkaitan masing-masing anggota organisasi <br />dibutuhkan dalam pengukuran keinovatifan organisasi. <br /><br />Saling keterkaitan itu sendiri merupakan derajat dimana unit-unit dalam <br />suatu sistem sosial dihubungkan oleh jaringan-jaringan interpersonal, gagasan-<br />gagasan baru dapat saja mengalir secara mudah diantara anggota organisasi jika <br />organisasi iut sendiri memiliki keterkaitan jatingan yang tinggi, sebab secara <br />langsung variabel ini akan menghubungkannya dengan keinovatifan organisasi. <br /><br />Pesantren sebagai sosok organisasi yang memiliki jaringan yang luas <br />terutama dengan masyarkat, hendaknya memiliki kemudahan dalam <br />merefleksikan keinovatifannya, namun pada kenyataannya pesantren sebagai <br />salah satu sosok organisasi yang kaku yang pada satu sisi sering menekankan <br />kebutuhan dan gagasan yang bahkan masyarakat sendiri kurang memahami akan <br />bentuk kebijakan tersebut sebab hal ini behubungan langsung dengan sosok dan <br />figure seorang Kyai yang mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga lajimnya <br />suatu kebijakan seorang kyai, maka kebijarkan tersebut tidak dapat ditawar lagi <br />bahkan merupakan keputusan pinal, sehingga pengukuran keinovatifan pesantren <br />dapat diukur dan di dukung pula oleh kelenturan pesantren itu sendiri. <br /><br />Kelenturan pesantren sebagai suatu organisasi merupakan derajat dimana <br />sumber-sumber yang tidak terikat (netral), tersedia di dalam pesantren tersebut, <br />hal ini dimaksudkan bahwa pesantren sebagai suatu organisasi secara positif <br /><br /><br /><br />berhubungan dengan keinovatifan organisasi, khususnya untuk inovasi biaya <br />tinggi, sehningga ukuran keinovatifan biasanya diukur pula oleh ukuran suatu <br />organiasai secara konsisten, sebab hal ini ditemukan memiliki hubungan yang <br />positif dengan keinovatifannya, maka dapat dijelaskan bahwa semakin besar <br />organisasi, maka akan semakin inovatif (Mimbar Ilmiah, 2000, 39). <br /><br />Mengapa para peneliti secara konsisten menemukan bahwa ukuran <br />merupakan satu dari predictor yang paling baik dari keinovatifan organisasi ?, hal <br />ini dilihat bahwa ukuran merupakan suatu variabel mudah untuk diukur, dengan <br />suatu taraf ketepatan yang relatif tinggi, sehingga ukuran dimasukkan untuk <br />menjadi salah satu kejian tentang penelitian keinovatifan suatu organisasi, juga <br />dalam sisi lain bahwa ukurang merupakan suatu wakil dari beberapa dimensi yang <br />mengantar kepada inovasi organisasi; sumber total sumber yang lamban, keahlian <br />teknis, dan para anggota organisasi merupakan pendukung berikutnya bagi suatu <br />inovasi, sisi lain ada variabel yang tidak di identifikasikan ini belum dipahami <br />secara jelas atau diukur secara tepat dalam kebanyakan penelitian. <br /><br />Hasil dari beberapa penelitian tentang keinovatifan organisasi menunjukan <br />korelasi yang agak rendah dari setiap variabel bebas dengan keinovatifan <br />aoganisasi, hal ini di dasarkan atas satu pertimbangan bahwa setiap variabel <br />struktur organisasi bisa berhubungan dengan inovasi dalam satu arah selama <br />permulaan tahap proses inovasi, dan dalam arah yang berlawanan selama <br />implementasi, sentralisasi yang rendah, kompleksitas yang tinggi dan formalisasi <br />yang rendah membantu permulaan proses. Suatu inovasi organisasi, akan tetapi <br /><br /><br /><br />karakteristik structural ini menyelitkan suatu organisasi untuk menerapkan inovasi <br />tersebut (Zaltman, dkk 1997; 45). <br /><br />Selain beberapa faktor pendung inovasi seperti diterangkan di atas, berikut <br />ini ada beberapa faktor pendukung yang berpengaruh terhadap inovasi, terutama <br />dilihat dari faktor eksternal dan internalnya. <br /><br />Gambar: 7 <br /><br />Faktor Eksternal dan Internal <br /><br />Yang Mempengaruhi Inovasi Organisasi <br /><br /> <br /><br /> Faktor manusia <br /><br />(sistem sosial internal) <br /><br /> <br /><br /> Sistem <br /><br /> Sosial <br /><br /> <br /><br /> Faktor sosial <br /><br />(sistem sosial eksternal) <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> Sistem mempengaruhi <br /><br /> Adminstrasi kegiatan <br /><br /> organisasi <br /><br /> <br /><br />Struktur <br /><br /> <br /><br /> Sistem <br /><br /> Teknologi <br /><br /> <br /><br />Teknologi <br /><br /> <br /><br />Gambar diatas menunjukan bahwa setiap usaha merencanakan untuk <br />melakukan suatu perubahan memerlukan persiapan, dan yang bersifat teknik yang <br />mengelilingi organisasi, sistem sosial ditentukan oleh manusia, yakni sistem sosial <br />internal dan sistem sosial eksternal individu yang mempengaruhi sistem <br /><br /><br /><br />kepribadiannya, sedangkan sistem yang bersifat teknik yakni sistem tekhnologi <br />yang sangat ditentukan oleh struktur dan keberadaan tekhnologi itu sendiri. <br /><br />Sebagai salah satu contoh inovasi yang dilakukan oleh sistem pendidikan <br />di Indonesia banyak sekali baik secara mikro maupun makro, seperti dengan <br />diberlakukannya SKS di pendidikan tinggi yang dimulai pada awal tahun 1982, <br />sehingga hal ini mengacu kepada teori inovasi pendidikan melalui berbagai <br />tahapan dan uji coba. <br /><br />Inovasi sebagai suatu sistem terbuka di dukung pula oleh beberapa <br />komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, dengan <br />menentukan pilihan inovasi sebagai suatu analisa atas sistem terbuka dari adanya <br />perkembangan ilmu pengetahuan, maka hal ini dapat dilakukan melalui analisis <br />kebutuhan organisasi akan inovasi, proses, dan evaluasi. <br /><br />1. Analisis Kebutuhan Inovasi Organisasi <br /><br />Inovasi organisasi dimodifikasi agar sesuai dengan organisasi, selain itu <br />struktur organisasi dapat diubah untuk mengakomodasi inovasi tersebut, kadang-<br />kadang suatu unit organisasi baru di buat agar tanggap tehadap inovasi tersebut, <br />seperti ketika organisasi memasang suatu perangkat tekhnologi baru seperti <br />komputer, dalam kasus seperti ini inovasi bisa mempengaruhi struktur dari <br />keseluruhan organisasi, seperti ketika salah satu pesant diterima, maka dengan <br />sendirinya setiap anggota organisasi memiliki akses komunikasi langsung dengan <br />sempurna. <br /><br />Penerapan dari suatu sistem inovasi tekhnologi dalam suatu organisasi <br />terdiri dari adaptasi bersama inovasi dan organisasi tersebut, khususnya setiap <br /><br /><br /><br />perubahan selama sub implementasi. Inovasi tidak hanya beradaptasi dengan <br />penyusunan organisasional dan industrial yang ada, tetapi mereka juga mengubah <br />struktur dan praktek dari lingkungan tersebut, (Van Den Ven, 1986). <br /><br />Adaptasi bersama ini harus terjadi karena inovasi apapun hampir tidak <br />sesuai secara persis dengan organisasi di mana inovasi itu akan digunakan, oleh <br />sebab itu, maka dalam hal ini diperlukan suatu kreatifitas untuk menghindari, <br />bahkan mengatasi ketidak sesuaian yang terjadi antara inovasi dengan organisasi. <br /><br />Tekhnologi sering dianggap sebagai suatu kekuatan eksternal dan objektif <br />yang dapat mempengaruhi struktur organisasi, suatu pandangan yang lebih baru <br />dan realistic terhadap tekhnologi dalam suatu sistem organisasi, suatu pandangan <br />baru akan lebih menitik beratkan pada posisi hasil yang dicapai dari interaksi <br />manusia. <br /><br />Tahapan redefinisi dan restrukturisasi dalam proses inovasi suatu organisasi <br />terdiri dari konstruksi sosial, dimana persepsi tentang masalah organisasi dan <br />inovasi muncul secara bersamaan dan diubah satu sama lain, jika inovasi berasal <br />dari dalam organisasi, maka individu-individu menganggapnya sebagai familiar <br />dan cocok karena hal tersebut mudah bagi mereka untuk menentukan dan <br />memberikan makna kepada gagasan baru, demikian halnya jika inovasi dilakukan <br />oleh sumber-sumber luar tetapi tetap bersifat fleksibel dan bisa di reinvensi, maka <br />anggota-anggota dapat didefinisikan gagasan baru itu sehingga menjadi milik <br />mereka sendiri. <br /><br />Inovasi yang berhubungan dengan perangkat tekhmologi tidak semalanya <br />menciptakan kepastian, sebab terkadang yang tidak menyenangkan dalam suatu <br /><br /><br /><br />sistem yang sering menimbulkan resistensi terhadap tekhnologi tersebut terutama <br />dalam aflikasinya. <br /><br />Gerwin (1988) menemukan sesuai yang bermanfaat untuk mengidentifikasi <br />tiga jenis ketidak pastian yang berbeda-beda dalam meneliti tekhnologi <br />manufaktur yang berbantuan dengan tekhnologi, seperti komputer “ketidak <br />pastian teknis, yakni derajat dimana ada kesulitan bagi suatu organisasi dalam <br />menentukan langkah reabilitas, kemampuan, dan ketetapan, dari teknologi baru <br />tersebut”. <br /><br />Inovasi dalam suatu organisasi terutama diselidiki dengan mengkorelasikan <br />variabel-variabel bebas dengan keinovatifan organisasi dengan analisis data cross <br />sectional suatu temuan dalam penelitian keinovatifan organisasi bahwa dalam <br />suatu organisasi diminta untuk memberikan data, namun demikian ditemukan <br />koreksi rendah antara variabel-variabel karakteristik dengan keinovatifan <br />organisasi, dan jenis penelitian ini saat sekarang sudah ketinggalan zaman. <br /><br />2. Proses Inovasi dalam Organisasi. <br /><br />Proses inovasi dalam suatu organisasi sudah ditelusuri oleh para ahli difusi <br />guna mengidentifikasi urutan utama dari suatu keputusan, tindakan dan juga <br />peristiwa-peristiwa dalam proses ini, data tentang proses suatu inovasi dapat <br />diperoleh dengan mensistensikan persepsi dari inovasi, catatan-catatan tertulis <br />tentang penerimaan organisasi dan sumber-sumber data lain. <br /><br />Asumsi umum dari penelitian tentang inovasi dalam organisasi adalah <br />bahwa variabel-variabel organisasi berlaku tehadap perilaku inovasi bersama-<br />sama dengan anggota-anggota organisasi, maka koreksi organisasi dari penelitian-<br /><br /><br /><br />penelitian proses inovasi ini menambahkan sejenis perlengkapan intelektual untuk <br />analisis ini, dalam penelitian seperti ini organisasi sering dilihat sebagai <br />penghalang bahkan penolak inovasi, sekurng-kurangnya masalah yang biasanya <br />ditemui dalam usaha untuk menerapkan suatu inovasi dalam usaha untuk <br />mengaflikasikan inovasi tersebut. <br /><br />Inovasi sebagai suatu proses memiliki lima langkah utama yang hendak <br />ditempuh dalam merefleksikan inovasi tersebut, yakni : <br /><br />a. Agenda Setting <br /><br /><br />Hal ini terjadi dalam proses inovasi ketika suatu masalah organisasional <br />umum bisa menciptakan suatu kebutuhan bagi suatu inovasi didefinisikan, proses <br />agenda setting berlangsung pada setiap saat dalam setiap sistem tersebut, hal <br />tersebut merupakan suatu keharusan sehingga sistem mengetahui apa yang sedang <br />berlangsung pada setiap saat dalam setiap sistem tersebut, agenda setting adalah <br />cara dimana kebutuhan-kebutuhan, masalah-masalah, isu-isu mencul melalui <br />sistem dan diprioritaskan untuk diperhatikan dalam suatu hierarki (Dearing dan <br />Rogers). <br /><br />b. Penyesuaian <br /><br /><br />Penyesuaian didefinisikan sebagai tahap dalam proses inovasi dimana suatu <br />masalah dari agenda organisasi disesuaikan dengan suatu inovasi, dan <br />penyesuaian ini direncanakan dan dirancang, pada tahapan berikut proses inovasi <br />menjadi masalah bersama-sama membentuk permulaan yang didefinisikan <br />sebagai semua pengumpulan informasi, pengkonseptualisasi dan perencanaan <br />untuk penerimaan suatu inovasi yang menimbulkan keputusan untuk <br /><br /><br /><br />menerimanya, sub proses inpelementasi terdiri dari tiga tahapan yakni; redifinisi, <br />larifikasi, dan rutinisasi. <br /><br />c. Redifinisi <br /><br /><br />Hal ini terjadi bila inovasi direinvensi untuk mengakomodasi kebutuhan <br />dan struktur organisasi dan struktur organisasi tersebut dimodifikasi agar sesuai <br />dengan inovasi tersebut. Inovasi dan organisasi diharapkan untuk berubah, <br />sekurang-kurangnya pada taraf tertentu, selama tahap redifnisi dalam tahap <br />inovasi, namun demikian suatu penelitian terhadap beberapa proses dalam tiga <br />organisasi oleh Tyre dan Orlikowski (1994) menemukan bahwa hanya sedikit <br />kesempatan yang tersedia dalam suatu organisasi dimana inovasi dimodifikasi. <br /><br />d. Klarifikasi <br /><br /><br />Klarifikasi terjadi bila inovasi digunakan secara luas dalam suatu <br />organisasi, sehingga makna dari gagasan barunya secara berangsur-angsur <br />menjadi lebih jelas bagi para anggota organisasi tersebut, penerapan suatu inovasi <br />yang terlalu cepat pada tahap klarifikasi sering menimbulkan hasil-hasil yang bisa <br />membawa malapetaka. <br /><br />Efek samping yang tidak diharapkan atau ketidak pahaman terhadap <br />inovasi bisa terjadi, jika diidentifikasi dengan jelas, maka tindakan korektif bisa <br />dilakukan, pengaturan yang stabil dibuat untuk inovasi dalam organisasi pada <br />tahap klarifikasi dalam proses inovasi, inovasi menjadi dimasukan kedalam <br />struktur organisasi. <br /><br /><br /><br />Tahap klarifikasi dalam proses inovasi di dalam suatu organisasi terdiri dari <br />konstruksi sosial bila suatu gagasan baru diimplementasikan pertama kali dalam <br />suatu organisasi tersebut. <br /><br />e. Rutinisasi <br /><br /><br />Rutinisasi terjadi bila inovasi dimasukan kedalam kegiatan-kegiatan reguler <br />organisasi dan inovasi kehilangan identitas khasnya, pada tahapan ini , proses <br />inovasi dalam suatu organisasi menjadi lengkap, pada anggota organisasi sudah <br />berfikit lagi tentang inovasi itu sebagai suatu gagasan baru, ia sudah diserap <br />sepenuhnya kedalam kegiatan-kegiatan rutin organisasi. <br /><br />3. Penelitian Atas Inovasi Organisasi <br /><br />Setiap organisasi memiliki order dan tatanan untuk mengatur hubungan <br />timbal balik fungsional diantara perbagai unit kerja, sehingga akibatnya apabila <br />ada perubahan yang terjadi dalam satu unit kerja maka otomatis akan <br />mempengaruhiunit lainnya, bentuk perubahan dimaksud adalah perubahan <br />hierarki dan wewenang, peranan individu dalam pekerjaan, penataan kembali <br />hubungan kerja melalui jaringan komunikasi formal, tampilan jenis pekerjaan dan <br />penciptaan kerja baru yang disebabkan oleh kehadiran tekhnologi. <br /><br />Pendekatan humanistic terhadap inovasi nampaknya sampai saat sekarang <br />merupakan salah satu pendekatan yang dianggap efektif untuk suatu inovasi <br />dalam organisasi apapun, sebab dengan pendekatan semacam ini keterlibatan <br />masing-masing anggota akan semakin dekat dan semakin mempermudah bagi <br />terlaksananya inovasi. Demikian halnya dengan inovasi kepemimpinan yang <br />dilakukan oleh organisasi seperti pesantren akan lebih menyentuh dan lebih <br /><br /><br /><br />memudahkan untuk melakukan inovasi di maksud bila sentuhan dan pendekatan <br />humanistic lebih dikedepankan, adapun pendekatan selama ini yang dipergunakan <br />oleh pesantren adalah suatu pendekatan kharismatik, sehingga nampaknya <br />mengalami suatu kesulitan ketika pesantren harus melakukan suksesi, dan pada <br />intinya di dalam pesantren sampai saat sekarang tidak melakukan suksesi secara <br />formal sebab kepemimpinan didasarkan atas turun temurun dan kekeluargaan. <br /><br />Hal diatas merupakan salah satu kendala yang akan dihadapi pesantren di <br />kemudian hari, terlebih jika pengganti mendatang tidak seperti pemimpin terdhulu <br />terutama dalam kharismatiknya, dari analisa penulis, pesantren kurang cermat <br />dalam melakukan suksesi bahkan tidak pernah membuka peluang untuk orang lain <br />untuk masuk kedalam dinasti pesantren tersebut, sehingga akibat yang muncul <br />yaitu pesantren harus dengan siap diri membuka peluang bagi pihak eksternal <br />yang memang sejalan dengan ide pesantren untuk melakukan pergantian <br />kepemimpinan dan bila tidak, maka hendaknya pesantren mempersiapkan diri <br />jauh calon pemimpin untuk masa mendatang, dan jika hal ini dilakukan, maka <br />pesantren ditakutkan hanya akan tinggal sebuah nama. <br /><br />Dalam hal ini ada sedikitnya beberapa pertimbangan bagi pesantren untuk <br />melakukan pergantian kepemimpinan, yakni ; (a) Berikan kesempatan untuk pihak <br />luar dalam berperanserta dalam proses pergantian kepemimpinan tersebut (b) <br />bersikaplah lebih fleksibel (c) memberikan antusiasme dan penghargaan akan <br />gagasan inovasi <br /><br />D. Beberapa Studi tentang Manajemen <br /><br />a. Fleksibilitas, Efektifitas, dan Efisiensi Manajemen <br /><br /><br /><br />Manajemen yang baik ialah manajemen yang tidak jauh menyimpang dari <br />konsep, dan yang sesuai dengan obyek yang ditangani serta tempat organisasi itu <br />berada. Sebagai bagian dari suatu ilmu, seharusnya manajemen itu tidak boleh <br />menyimpang dari konsep manejemen yang sudah ada. <br /><br />Dalam teori majajemen modern, manajemen yang baik setidaknya <br />mencakup tiga sifat, yaitu fleksibel manajemen, efektifa manajemen dan efisien <br />manajemen. Manajemen yang dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi <br />dan kondisi disebut manajemen yang fleksibel, (Made Pidarta, 1992: 18). <br />Manajemen ini tidak kaku, ia dapat berlangsung dalam kondisi dan situasi yang <br />berbeda-beda. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru, tuntutan-tuntutan <br />masyarakat yang berubah dari semula, perubahan-perubahan nilai masyarakat, dan <br />sebagainya tidak akan menghentikan aktivitas manajer ini. Manajemen akan <br />berjalan terus dengan rivisi di sasa-sini. Hal ini menjamin kelangsungan hidup <br />organisasi. Oleh sebab itu para manajer perlu mengusahakan manajemennya agar <br />bersifat fleksibel. <br /><br />Ada sejumlah nilai yang pada umumnya bisa diterima dalam manajemen. <br />Nilai-nilai yang dimaksud ialah kebahagiaan, ketaatan pada hokum, konsistensi, <br />integritas, dan kesetiaan (Massie, 1973 28). Kebahagian ialah nilai tertinggi, <br />bukan saja pada manajemen melainkan pada setiap aktivitas manusia. Sebab <br />seseorang yang berasa bahagia akan melakukan kegiatan sepenuh hati dengan <br />menomorduakan imbalan materi. Manajer yang bahagia merasa pekerjaannya <br />sebagai sesuatu yang indah, yang memikat dirinya, yang mempesona hatinya <br /><br /><br /><br />untuk bekerja tanpa mengenal lelah. Ia mampu menikmati estetika manejemen, <br />manajemen menjadi hobinya. <br /><br />Ketaatan kepada hukum sebagaimana didambakan oleh para pecinta <br />hukum, juga diharapkan terjadi pada manajemen. Sebab manajemen itu sendiri <br />pada hakikatnya menciptakan hukum untuk organisasinya sendiri, berupa <br />peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan. Ciptaan ini perlu ditaati bila ingin <br />administrasi berjalan dengan lancar. (Made, 1992 : 18). <br /><br />Menurut Made Pidarta, nilai konsestensi hampir sama dengan nilai ketaatan <br />kepada hukum dan kesetiaan. Sebab perilaku dan tatakerja para personalia <br />organisasi termasuk para manajer sudah diatur oleh peraturan organisasinya. <br />Diharapkan mereka semua setia kepada peraturan ini dengan cara mematuhinya. <br />Perilaku dan tata kerja yang setia atau patuh kepada peraturan menunjukan <br />konsistensinya akan peraturan itu. Kalau kesetiaan dan kepatuhan itu berlangsung <br />lama maka terjadilah konsistensi yang berkelanjutan. Akan tetapi perlu <br />diperhatikan juga bahwa dalam penerapan manajemen memerlukan sikap kreatif <br />di samping ketajaman hipotesis tentang sifat budaya manusia dan masyarakat <br />dimana manajemen itu akan diterapkan. Sehingga kalau mengabaikan hal ini akan <br />terperosok dalam situasi dilematis, atau jebakan yang tidak terpikirkan sebelum <br />terjadi. (Tim Pembina al-Islam dan Kemuhammadiyahan, 1990 : 133). <br /><br />Integritas pribadi adalah suatu nilai yang sangat diperlukan terutama oleh <br />para pemimpin. Pemimpin yang baik harus memiliki berkepribadian yang utuh <br />agar dapat memikat orang lain, orang menjadi simpati padanya, orang tertarik <br />dengan pembicaraannya, orang terkesima olehnya, (Buchari Alma, 2002 :54). <br /><br /><br /><br />Agar ia dapat diterima dengan baik oleh para anggotanya, maka ia perlu memiliki <br />integritas pribadi. Suatu pribadi yang bisa berbaur dengan pribadi-pribadi lain, <br />suatu kemampuan ini bersumber dari kemampuan menghargai orang lain, <br />menghayati perasaan orang lain, toleransi dan bekerjasama. Sesorang manajer <br />adalah juga seorang pemimpin, maka ia perlu memiliki integritas pribadi. <br /><br />Menurut Evans (1981 : 39), seorang manajer harus memiliki otoritas dan <br />akuntibilitas. Keduanya harus berimbang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila <br />otoritas saja yang dimiliki manajer akan bertindak sewenang-wenang, sebaliknya <br />bila ia hanya memiliki akuntibilitas ia tidak akan mengejar apa-apa. Akuntibilitas <br />adalah lebih dari hanya sekedar tanggung jawab akan penyelesaian tugas yang <br />dibebankan oleh atasan, ialah penyelesaian tugas-tugas yang memberi kepuasan <br />kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama para atasan. Agar bisa <br />belakukan pekerjaan seperti ini perlu dukungan dari orang-orang yang patut diajak <br />berinteraksi. <br /><br />Kearah mana manejemen pendidikan itu harus ditujukan? Made Pidarta, <br />seorang ahli menajemen pendidikan memberikan uraian bahwa di samping <br />seorang manajer sudah diberi otoritas oleh atasannya, ia sebaiknya seorang <br />professional dalam bidangnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu <br />memenej organisasinya dengan baik, efektif dan efisien di samping fleksibel. <br /><br />b. Manajemen Pesantren pada Aspek Teknis (Managemen by Techniques) <br /><br />Manajemen pada aspek teknis ialah usaha para manajer menangani teknik-<br />teknik yang ada dalam organisasinya, agar teknik-teknik itu dapat digunakan <br />seoptimal mungkin dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Teknik-teknik baru <br /><br /><br /><br />dikembangkan pula untuk menjawab tantangan perubahan zaman, baik dalam <br />tekniknya itu sendiri maupun dalam usaha memenuhi tuntutan lingkungan dan <br />inovasi. ( Made Pidarta: 1992 : 90). <br /><br />Dalam hal ini adalah bagaimana manajemen yang dikembangkan oleh <br />pondok pesantren dapat memberikan konstribusi yang produktif, kualitatif dan <br />bermanfaat. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis akan mencoba menguraikan <br />tentang manejemen pesantren pada aspek teknis pengolahan organisasinya. Akan <br />tetapi sebelum lebih jauh mengungkap bagaimana manajemen pesantren pada <br />aspek teknisnya, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar <br />tentang manajemen dan kepemimpinan itu sendiri. <br /><br />1. Manajemen <br /><br />Istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris management. Istilah ini <br />terjadi dari akar kata manus, tangan, yang berkaitan dengan kata menagerie yang <br />berari beternak. Menegerie juga berarti sekumpulan binatang liar yang <br />dikendalikan di dalam kandang. Kata manus dipengaruhi oleh kata ménage yang <br />datang dari bahasa Perancis kuno mesnage. Kata ini berasal dari bahasa Latin <br />mansionaticum yang berarti pengelolaan rumah besar. Jadi dipandang dari segi <br />arti kata, manajemen berarti pengelolaan, (Taliziduhu Nadraha, 1988: 91). Kamus <br />istilah Manajemen (1978) mengartikan manajemen sebagai (1) proses penggunaan <br />suberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran, dan (2) pejabat pemimpin yang <br />bertanggung jawab atas jalannya perusahaan atau organisasi. <br /><br />Dalam The History of Management Thought (1972), clued S. George, Jr. <br />mengungkapkan bahwa peninggalan sejarah berupa catatan tertulis yang terdapat <br /><br /><br /><br />di bekas kerajaan Sumeria berusi sekitar 5000 tahun SM, adalah sumbangan <br />pertama di bidang manajemen . Negeri Sumeria ini terletak di bagian paling <br />selatan Mesopotamia, dekat bekas muara sungai Tigris dan Euphrates. Berbagai <br />peninggalan sejarah lainnya di bagian-bagian dunia ini menunjukan kemampuan <br />bangsa-bangsa untuk memobilisasi sumber-sumber, baik sumberdaya alam, <br />maupun sumber daya manusia. <br /><br />Mc Corkle, Jr. dan Archibald dalam Management and Leadership in <br />Higher Education (1982), menyebutkan tiga fungsi manajemen, yaitu <br />perencanaan dinamik, manajemen sumber-sumber, dan evaluasi. Menurut siklus <br />seperti di bawah ini : <br /><br /> <br /><br />Dynamic <br /><br />Planning <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Multiyer <br /><br />Resaurce <br /><br />Management <br /><br />Performance <br /><br />Evaluation <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Siklus Management menurut McCorkle dan Archibald <br /><br />Sondang P. Siagian, sebagaimana dikutip Malayu SP. Hasibulah (1997: 2), <br />memberikan definisi manajemen adalah kemampuan dan ketrampilan untuk <br />memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-<br />kegiatan orang lain. <br /><br />Herbert G. Hicks dan C. Ray Gullett dalam Management (1983: 7) <br />berpendapat “managing is the procces of getting things done by and thorough <br />others”. Definisi ini merupakan modifikasi dan pengembangan difinisi yang <br /><br /><br /><br />dibuat oleh Mary Parker Follett, “the art of getting things done through peole”. <br />“Things” dalam definisi Hicks dan Gullett disebut “resulls” oleh Donnelly, <br />Gibson, dan Ivancevich dalam Fundementals of Management (1981: 4). Mereka <br />mendefinisikan manajemen sebagai berikut : <br /><br />“Management consists of activites underlaken by one or more <br />persons to coordinate the activities of other pesons to achieve <br />results not achievable by any one person acting alone.” <br /><br />Dinamakan “organizationgoals” oleh James A.F. Stoner dan Charles <br />Wankel dalam Management (1986: 4). Definisi manajemen menurut <br />kedua penulis tersebut demikian: <br /><br />“Management is the procces of planning, organizing, leading, <br />and controlling the efforts of organization member and of using <br />all other organizational resources to, achieve stated <br />organizational goals.” <br /><br />Dari sekian definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa <br />manajemen bertolak dari suatu tujuan tertentu, yang disebut tujuan organisasi. <br />Untuk mencapai tujuan organisasi itu diperlukan kegiatan, yaitu “activities of <br />other pesons” dalam definisi Donnelly, Giboson, dan Ivancervich, yang dapat <br />disebut kegiatan operasional. Kegiatan operasional ini perlu dikoordinasikan, <br />dipimpin, dan dikontrol, dan sumber-sumber organisasional digali, disiapkan, dan <br />digunakan (Stoner dan Wankel). Kegiatan-kegiatan itulah yang disebut kegiatan <br />manajerial. <br /><br /><br /><br />Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam manajemen peranan unsure <br />manusia menjadi penentu, karena manusialah yang menetapkan sasaran, <br />merencanakan dan selalu berperan aktif pada setiap kegiatan yang dilakukan. <br />Manusia mutlak harus berperan aktif dalam semua kegiatan supaya alat-alat <br />canggih yang dimiliki organisasi ataupun perusahaan bermanfaat untuk <br />merealisasi tujuan. <br /><br />2. Kepemimpinan <br /><br />a. Definisi dan Hakikat Kepemimpinan <br /><br />Definisi sebagai rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri konsep <br />yang menjadi pokok pembicaraan, sempat menimbulkan selisih pendapat di antara <br />para pakar. Di satu pihak berpendapat membicarakan definisi akan sungguh-<br />sungguh merupakan maut, definisi tentang suatu pokok persoalan di perlukan. <br />(Wahjosumodjo, 1999: 16). <br /><br />Demikian pula walaupun ada di antara para pakar berpendapat definisi <br />suatu pokok pembicaraan (subject matter) tidak akan dapat membantu banyak <br />tujuan, tetapi satu pendekatan yang memiliki alasan kuat, tampil bahwa definisi, <br />memberikan satu landasan pemahaman fenomena untuk dipelajari. <br /><br />Dari definisi sesuatu pokok permasalahan (subject matter) akan diperoleh <br />keterangan atau frase yang mengungkapkan makna, atau ciri-ciri utama dari <br />subject matter tersebut, baik berupa orang, benda, proses atau kegiatan. (1999: <br />16). <br /><br />Oleh karena itu, banyak definisi diberikan tentang kepemimpinan. Namun <br />sebelum lebih jauh mengemukakan tentang apa itu kepemimpinan ada baiknya <br /><br /><br /><br />lebih dulu mengetahui siapa yang disebut pemimpin (leader) dan kepemimpinan <br />(leadership). Sebab, pada dasarnya antara pemimpin (leader) dengan <br />Kepemimpinan (leadership) itu berbeda sifatnya. <br /><br />Malayu S.P. Hasibuan memberikan difinisi pemimpin adalah <br /><br />“Pemimpin ialah seseorang yang mempergunakan wewenang dan <br />kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung <br />jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan.” <br />(1997: 3). <br /><br />John Pliffner : <br /><br />Leadership is the art of coordinating and motivating individual and <br />group to acieve the desire end.” <br /><br />(Kepemimpinan adalah seni untuk mengkornidasikan dan <br />memberikan dorongan terhadap individu-individu atau kelompok <br />untuk mencapai tujuan yang diinginkan) <br /><br />Menurut George R. Terry, Leadership is the activity of influencing <br />people to strive willingly for group objectives. <br /><br />Harold Koontz and Cyril O’Donneli state that leadership is influencing <br />people to follow in the achievement of a common goal. (Hersey & Blanchard, <br />1997: 84) <br /><br />Jadi kepemimpinan diterjemahkan ke dalam istilah : sifat-sifat, perilaku <br />pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama <br />antar peran, kedudukan dari satu jabatan administrative, dan persepsi dari lain-lain <br />tentang legitimasi pengaruh. <br /><br /><br /><br />Dalam suatu definisi terkandung suatu makna atau nilai-nilai yang dapat <br />dikembangkan lebih jauh, sehingga suatu definisi dapat diperoleh suatu pengetian <br />yang jelas dan menyeluruh tentang sesuatu. Satu di antara definisi kepemimpinan <br />yang bermacam-macam tersebut, mengemukakan : <br /><br />“ Leadership is interpersonal influence exercised in a <br />situation, and directed through the communication process, <br />toward attainment of a specified goal of goal.” <br />( Tannembaum, Weshler & Massarik, 1961: 24) <br /><br />Dari definisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi <br />yang bersifat umum dan sekaligus perbedaan yang bersifat umum pula, seperti : <br /><br />Pertama di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi <br />antara dua orang atau lebih, Kedua didalam melibatkan proses <br />mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengajar (international <br />inluence) digunakan oleh pemimpin terhadap para bawahan, <br />sedangkan kelainan yang bersifat umum, kata Wahjosumidjo (1999 <br />: 18) antara lain : 1) siapa yang mempergunakan pengaruh, 2) tujuan <br />dari pada usaha untuk mempengaruhi; dan 3) cara pengaruh itu <br />dipergunakan. Di samping itu juga, pemimpin yang baik harus <br />memiliki kecakapan untuk mengantisipasi masa depan, <br />memanfaatkan peluang dan kesempatan, jujur dan terbuka, memiliki <br />technical skill, conceptual skills, priority skills, dan kepribadiannya <br />yang menjadi panutan bagi para bawahan. (Malayu S.P. Hasibuan, <br />1997 : 4). <br /><br /><br /><br />Dari berbagai definisi kepemimpinan yang telah dikemukakan di atas, <br />Hersey dan Blanchard menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses dalam <br />mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam situasi tertentu untuk <br />mencapai tujuan. Berdasarkan kesimpulan ini maka proses kepemimpinan <br />dirumuskan dengan formula sebagai berikut : <br /><br />L = f ( l, f, s) <br /><br />Keterangan : L = Leadership (Kepemimpinan) <br /><br /> F = Funcion (Fungsi) <br /><br /> l = Leader (Pemimpin) <br /><br /> f = Follower (Pengikut / yang dipimpin) <br /><br /> s = Situation (situasi) <br /><br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setidaknya ada 3 <br />variabel utama yang tercakup di dalam kepemimpinan (leadership) <br />dan pemimpin (leader): <br /><br />1. Kepemimpinan melibatkan orang lain seperti bawahan atau para <br />pengikut <br />2. Kepemimpinan menyangkut distribusi kekuasaan <br />3. Kepemimpinan menyangkut penanaman pengaruh dalam rangka <br />mengarahkan para bawahan <br /><br /><br /><br /><br />Namun yang dimaksud dengan “kepemimpinan” dalam tulisan ini adalah <br />kepemimpinan pesantren. Mastuhu lebih senang kalau kepemimpinan pesantren <br />itu adalah “seni” memanfaatkan seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren <br />untuk mencapai tujuan pesantren, (Mastuhu, 1999: 105). Oleh karena itu, <br /><br /><br /><br />kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan yang lebih difokuskan pada <br />kepemimpinan pesantren kaitannya dengan teori kepemimpinan modern. <br /><br />Mastuhu dalam buku yang berjudul Memberdayakan Sistem Pendidikan <br />Islam, melihat bahwa gaya kepemimpinan pesantren terdiri dari berbagai corak, <br />dari yang kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter paternalistic ke diplomatic- <br />partisipatik, dan laissez faire ke birokratik. <br /><br />Kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan yang bersandar kepada <br />kepecayaan santri atau masyarakat umum sebagai jama’ah, bahwa kyai yang <br />merupakan pemimpin pesantren mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan. <br />Sementara itu, kepemimpinan pesantren rasionalistik adalah kepemimpinan yang <br />bersandar pada keyakinan dan pandangan santri atau jamaahnya, bahwa kyai <br />mempunyai kekuasaan karena ilmu pengetahuan yang dalam dan luas. (mastuhu, <br />1999: 106). <br /><br />Teori-teori kepemimpinan yang disinggung dalam uraian ini, yang <br />dipandang erat relevansinya dengan manajemen pendidikan, adalah : Teori <br />Kewibawaan, Teori Sifat, Teori Perilaku, dan Teori Kontingensi. <br /><br />a. Pendekatan Kewibawaan (Power Influence Approach) <br /><br /><br />Menurut pendekatan ini, di katakan bahwa keberhasilan pemimpin <br />dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada <br />pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin <br />menggunakan kewibawaan tersebut kepada bawahan. <br /><br /><br /><br />Pendekatan ini menekankan sifat timbal balik, proses saling <br />mempengaruhi dan pentingnya pertukaran hubungan kerja sama antara para <br />pemimpin dengan bawahan (Warjosumidjo, 1999: 20). <br /><br />Berdasarkan hasil penelitian French dan Raven terdapat pengelompokan <br />sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal. <br /><br />- Reward Power (Kekuasaan Penghargaan). <br /><br />Reward Power merupakan interaksi antara bawahan dan pimpinan. <br />Bawahan mengerjakan sesuatu agar memperoleh penghargaan yang dimiliki oleh <br />pemimpin. Dalam hubungan ini ada penghargaan yang diberikan kepada para <br />perantara atau pun bawahan (baca: karyawan) oleh pihak pemimpin. Jika muncul <br />perilaku tertentu yang dikehendaki oleh pemimpin atau oleh produsen maka <br />diberikan penghargaan tersebut. <br /><br />- Coercive Power (Kekuasaan Memaksa) <br /><br />Kekuasaan ini digunakan oleh produsen untuk memaksa distributor atau <br />perantara agar dapat bekerja sama dengan baik. Kadang-kadang perantara sangat <br />tergantung kehidupan bisnisnya dari produsen. Akan tetapi, adakalanya produsen <br />tergantung kepada distributor. Dengan kata lain, bawahan mengerjakan sesuatu <br />agar dapat terhindar dari hukuman yang dimiliki oleh pemimpin. <br /><br />- Legitimate Power (Kekuasaan Sah) <br /><br />Dalam hal ini ada semacam kontrak formal yang diikuti oleh perantara <br />atau distributor. Antara produsen dan distributor memiliki kekuatan yang sah yang <br />merupakan hal dan kewajiban masing-masing. Artinya, bawahan melakukan <br /><br /><br /><br />sesuatu karena pemimpin memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan <br />bawahan mempunyai kewajiban untuk menuruti atau mematuhinya. <br /><br />- Expert Power (Kekuasaan Ahli) <br /><br />Kekuasaan ahli dapat dikatakan sebagai bentuk dari kekuasaan yang <br />efektif untuk memaksa orang lain mau bekerja sama. Dalam hal ini, bawahan <br />mengerjakan sesuatu karena bahwa pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan <br />keahlian serta mengetahui apa yang diperlukan. <br /><br />- Referent Power (Kekuasaan Referen) <br /><br />Dalam bahasa bisnis, kekuasaan referen (referent power) sangat dihormati <br />oleh perantara dan perantara merasa bangga diajak kerjasama oleh produsen <br />karena produsen ini memiliki wibawa dan nama baik yang cukup terekenal. Jadi, <br />bentuk kekuasaan model ini adalah bawahan melakukan sesuatu karena bawahan <br />merasa kagum terhadap pemimpin, bawahan merasa kagum atau membutuhkan <br />untuk menerima restu pemimpin, dan mau berperilaku pula seperti pemimpin. <br /><br />b. Pendekatan Sifat (Taits Approach) <br /><br />Teori membahas inti persoalan tentang sifat-sifat, ciri-ciri, atau perangai <br />yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Penelitian tentang sifat-sifat pemimpin <br />telah dilakukan oleh berbagai pakar kepemimpinan terhadap “orang-orang besar” <br />yang pernah dan sedang memimpin. Di antara kesimpulan hasil penelitian itu <br />mengemukakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu dibawa sejak lahir, atau <br />diwariskan. Kesimpulan ini melahirkan suatu anggapan bahwa pemimpin itu <br />dilahirkan dan tidak dibentuk (leaders are born an not made). (Sujana, 1992: 19). <br /><br /><br /><br />Bisa jadi antara pemimpin dan bukan pemimpin dapat dilihat dengan <br />mengidentifikasi sifat-sifat kepribadiannya. Pendekatan psikologi ini untuk <br />sebagian didasarkan atas pengakuan umum bahwa perilaku individu untuk <br />sebagaian ditentukan oleh struktur kepribadian. (Oteng Sutisna, 1982: 241). <br /><br />Pendekatan sifat-sifat menyatakan bahwa terdapat sifat-sifat tertentu pada <br />pemimpin antara lain: memiliki kekuatan fisik dan keramahan. Seorang pemimpin <br />memiliki tingkat inteligensi yang tinggi. Hanya dalam mengungkapkan sifat-sifat <br />ini sering kali muncul pertentangan sifat seperti dinyatakan seorang pemimpin <br />harus ramah tapi tegas, suka merenung tapi aktif, orangnya harus stabil emosional <br />tapi fleksibel, berkeras hati tapi kooperatif. Ada sifat kepribadian yang dapat <br />dipandang berhubungan positif dengan perilaku pemimpin dan mempunyai <br />korelasi tinggi ialah: popularitas, keaslian, adaptabilitas, ambisi, ketekunan, status <br />social, status ekonomi, mampu berkomunikasi. (Buchari Alma, 2001: 128). <br /><br />Menurut Andy Undap (1983: 29), seorang pemimpin setidaknya harus <br />memiliki sifat-sifat kepribadian sebagai berikut: Pendidikan luas, Kematangan <br />mental, Sifat ingin tahu, Kemampuan analitis, Memiliki daya ingat yang kuat, <br />Integratif, Keterampilan berkomunikasi, Keterampilan mendidik, Rasional dan <br />objektif, Pragmatisme, Ada naluri prioritas, Pandai mengatur waktu, <br />Kesederhanaan, Sifat Keberanian, Kemaun mendengar. <br /><br />Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin. Keberhasilan <br />pemimpin ditandai oleh daya kecakapan luas biasa yang dimiliki oleh pemimpin <br />seperti tidak kenal lelah atau penuh energi, intuisi yang tajam, tinjauan ke masa <br /><br /><br /><br />depan yang tidak sempit, dan kecakapan meyakinkan yang sangat menarik. <br />(irresistible persuasive skill). <br /><br />Akan tetapi dalam teori sifat ini terdapat tiga kelemahan yang mendasa. <br />Pertama, tidak ada persesuaian atau kesamaan pendapat di antara para pakar <br />tentang rincian sifat-sifat atau ciri-ciri kepemimpinan. Kedua,terlalu sulit untuk <br />menetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki seseorang pemimpin karena setiap <br />orang memiliki keunikan masing-masing. Ketiga, situasi dan kondisi tertentu <br />memerlukan kepemimpinan yang memiliki sifat dan ciri tertentu pula sesuai <br />dengan tuntutan situasi dan kondisi tersebut. <br /><br />c..Pendekatan Perilaku (The Behoviral Aproach) <br /><br />Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati <br />atau yang dilakukan oleh para pemimpin dari sifat-sifat pribadi atau sumber <br />kewibawaan yang dimilikinya. <br /><br />Berdasarkan teori ini, (Hersey dan Blanchard, 1982), perilaku atau <br />perbuatan seorang pemimpin cenderung mengarah kepada dua hal yaitu <br />konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi ialah perilaku pemimpin untuk <br />memperhatikan kepentingan bawahan. Ciri-ciri perilaku konsiderasi adalah ramah <br />tamah, mendukung dan membela bawahan, mau berkonsultasi, mau <br />mendengarkan bawahan, mau menerima usulah bawahan, memikirkan <br />kesejahteraan bawahan, dan memperlakukan bawahan setingkat dengan dirinya. <br /><br />Sedangkan struktur inisiasi ialah perilaku pemimpin yang cenderung lebih <br />mementingkan tujuan organisasi. Ciri-ciri perilaku struktur inisiasi adalah <br />memberikan kritik terhadap pelaksanaan tugas yang tidak baik, senantiasa <br /><br /><br /><br />memberi tahukan tentang sesuatu yang harus dilakukan bawahan, selalu <br />memberikan petunjuk kepada bawahan tentang cara melakukan tugas, menetapkan <br />standar tertentu tentang tugas pekerjaan, meminta bawahan untuk selalu <br />mengikuti standar yang telah ditetapkan, dan selalu mengawasi optimasi <br />kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas. <br /><br />Kecenderungan di atas dapat digambarkan sebagai berikut : <br /><br />Gambar 9 <br /><br />Kecenderungan Konsiderasi <br /><br />Dan Struktur Inisiasi <br /><br />Tinggi <br /><br />S. rendah <br /><br />K. tinggi <br /><br />S. tinggi <br /><br />K. tinggi <br /><br />S. rendah <br /><br />K. rendah <br /><br />T. tinggi <br /><br />K. rendah <br /><br /><br /><br /> Rendah STRUKTUR INISIASI Tinggi <br /><br />Keterangan : K = konsiderasi <br /><br /> S = Struktur Inisiasi <br /><br />Berdasarkan gambar di atas, orang-orang yang menjadi pemimpin dapat <br />dibagi ke dalam empat kelompok. Diantara meraka mungkin ada yang memiliki <br />nilai tinggi pada konsiderasi dan nilai rendah pada struktur inisiasi, mungkin pula <br />sebaliknya. Pemimpin yang ideal adalah yang mempunyai nilai tinggi pada <br />konsiderasi dan struktur inisiasi. Demikian inti hasil penelitian University of <br />Minchigan. Sedangkan menurut penelitian University of Ohio, kecenderungan <br />konsiderasi sama dengan perilaku yang berpusat pada bawahan uapaya pesantren <br />dalam mempersiapkan kader pemimpin untuk pelimpahan wewenang baik dalam <br /><br /><br /><br />memimpin juga dalam mengelola pesantren yang hal ini bertumpu pada kemajuan <br />pesantren di kemuadian hari. <br /><br />E. Ide dan Perubahan Organisasi <br /><br />1. Proses Perubahan yang Direncanakan <br /><br /><br />Pada prinsipnya suatu perubahan yang terjadi pada organisasi sebenarnya <br />diarahkan pada efektifitas organisai itu sendiri, bukan merupakan pemecahan <br />yang tetap untuk mencapai sesuatu, akan tetapi sebuah proses perkembangan <br />untuk bertahan agar tetap aktif, tentu saja perubahan pada struktur dan <br />perkembangan desain organisasi seharusnya tidak menjadikan kendala bagi <br />perkembangan organisasi. <br /><br />Organisasi memang memerlukan suatu perubahan, walupun tersebut dapat <br />terjadi karena dua hal, yaitu karena faktor kebetulan saja dan faktor yang <br />direncanakan, sesuatu perubahan yang terjadi karena direncanakan dengan <br />perubahan yang tidak disengaja, maka pengelolaannya pun akan berbeda, hal ini <br />memerlukan penanganan yang cukup serius diantara keduanya. <br /><br />Sasaran perubahan yang direncanakan adalah berfungsi untuk <br />mempertahankan organisasi agar tetap dalam eksistensinya dan guna <br />kelancarannya. Selama organisasi mengalami suatu perubahan, maka <br />konsekuensinya organisasi tersebut akan mengalami dua kemungkinan, yaitu <br />mungkin akan manambah atau mengurangi keefektifannya. <br /><br />Jenis peubahan yang diuji cobakan akan bervariasi, dan hal ini akan <br />bergantung pada tujuan utama yang hendak dicapai, baik pada tingkat individual <br />maupun pada tingkat kelompok akan berdampak berbeda pula bagi perkembangan <br /><br /><br /><br />inovai suatu organisai, perubahan yang dimaksud di sini adalah merupakan suatu <br />perubahan yang terjadi pada struktur, sehingga baik langsung ataupun tidak <br />langsung akan berdampak pada pola wewenang yang berubah, askes informasi <br />yang diperoleh, alokasi imbalan yang diterima dan sebaginya, pertimbangan-<br />pertimbangan semacam ini dirasakan bertumpu pada satu sisi saja atau satu sekor <br />saja. <br /><br />2. Desain Perubahan Organisasi <br /><br />Suatu proses perubahan akan diprakarsai oleh kekuatan-kekuatan tertentu, <br />kekuatan tersebut dijalankan didalam tubuh organisasi oleh seorang agen <br />perubahan, agen tersebut memilih apa yang harus dilakukan dan bagaimana <br />melakukannya, dan hal ini membutuhkan tiga langkah atau tiga perencanaan, <br />yaitu : mencairkan (unfreezing) status quo bergerak menuju suatu keadaan yang <br />dianggap baru, dan membekukan kembali (refeezing) keadaan yang baru guna <br />menjadikan lebih permanen, dan berikutnya merujuk kepada taktik yang akan <br />digunakan oleh agen pembaharuan. <br /><br />Perubahan dalam suatu organisasi akan dimungkinkan berupa identifikasi <br />peluang yang akan dimanfaatkan oleh pihak manajemen, namun dari kebanyakan <br />peluang itu berupa antisipasi dari reaksi atas suatu masalah, peluang tersebut bisa <br />ada dalam organisasi tesebut, juga bisa diluar organisasi tersebut. <br /><br />Faktor yang dapat memprakarsai perubahan struktur tak terhitung <br />jumlahnya, akan tetapi yang harus dipertimbangkan adalah awal mula terciptanya <br />suatu perubahan, dan hal ini dapat berasal dari beberapa hal, seperti yang <br />diungkapkan oleh Robbins dalam (Jusuf Udaya, 1995; 432) diantaranya; <br /><br /><br /><br />Perubahan tujuan, konsisten dengan strategi imperative, jika organisasi memilih <br />untuk pindah dari pemarakarsa menjadi pengikut, strukturnya mungkin harus <br />lebih mekanistik. <br /><br />3. Stabilitas Perubahan <br /><br />Inovasi dalam sebuah organisasi profil dan non-profil akan jauh berbeda, <br />walaupun pada beberapa sisi mengalami suatu kesamaan, pekik utama dari <br />lembaga atau organisasi berpegang pada berinovasi atau mati (Kenneth, 1988; <br />50), dalam organisasi semacam ini inovasi terkait erat dengan keefektifan <br />organisasi, akan tetapi yang harus dipertanyakan adalah apakah inovasi sama <br />dengan perubahan, dan tipe organisasi manakah yang terbaik rancangannya untuk <br />dapat medorong inovasi. <br /><br />Apa saja yang berbeda merupakan peruibahan, tetapi inovasi adalah <br />penggunaan gagasan-gagasan baru bagi organisasi yang menerimanya, <br />(Bacharach, 1982; 132), semua inovasi, oleh karenanya merupakan sebuah <br />perubahan, namun tidak semua perubahan bersifat inovasif, perubahan yang <br />inovatif mengarahkan lembaga pada pembukaan peluang baru bagi organisasi <br />terseubt, sehingga akan lebih berpengaruh pada pihak lain khususnya anggota <br />organisasi. <br /><br />Inovasi biasanya merupakan salah satu bentuk dari dua bentuk yang ada; <br />teknologi dan administrastif (Fariborz Damanpour, 1987; 677), inovasi teknologis <br />adalah apa yang kebanyakan ada dib benak kita jika berpikir tentang perubahan <br />yang bersifat inovatif, inovasi mencakup penggunaan alat, teknik kelengkapan <br />atau bahkan sistem yang baru. <br /><br /><br /><br />Mengakar pada permasalahn diatas, maka inovasi dianggap sesuatu yang <br />penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya ialah menjaga stabilitas perubahan <br />tersebut agar dapat diterima diberbagai kalangan, khususnya internal organisasi. <br /><br />F. Profesionalisasi dan Birokrasi dalam Lembaga Pendidikan <br /><br />Profesi merupakan suatu status yang mengarah kepada bukti kinerja atas <br />bidang pekerjaan yang digeluti, sebagai suatu profesi status pekerjaan telah <br />mengalami suatu proses yang menuju kearah perkembangan yang dinamis <br />sehingga memenuhi persyaratan indeal type ( Vollmer, 1996; 2 ). Profesi biasanya <br />berkaitan erat dengan beberapa jenis pekerjaan atau bidang keahlian, diantaranya; <br />dokter insinyur, pengacara, walaupun hal ini merupakan penglihatan dari <br />kacamata inividual, akan tetapi biasanya profesionalisasi dalam lembaga <br />pendidikan lebih cenderung mengarah kepada birokrat dan hal ini biasanya <br />dibuktikan dalam perilaku kesehariannya yang biasa disebut dengan salaried <br />professional <br /><br />Suatu taksonomi pendidikan tenaga professional dibedakan atas (1) <br />prservic techer education (2) inservice teacher education (3) continuing education <br />(4) continued education (5) staff development (Konecki dan Stein 1978; 42) <br />Preservice education diartikan dengan program pendidikan persiapan jabatan guru <br />yang dilaksanakan pada tingkat perguruan tinggi yang lamanya empat atau lima <br />tahun, sedangkan inservice education dipersiapkan untuk meningkatkan <br />kemampuan professional guru yang merupakan program penataran yang lamanya <br />satu hari atau dengan satu tahun, dan continuing education diartikan dengan upaya <br />pendidikan yang dilakukan sendiri oleh seseorang sesuai dengan minat dan <br /><br /><br /><br />kebutuhannya dalam rangka pertumbuhan jabatan profesionalnya, sedangkan <br />continued education merupakan program pendidikan lanjutan atas spesialisasi <br />keahlian seseorang dalam rangka meningkatkan dan memperdalam pengetahuan <br />dan kemampuannya melalui pendidikan pascasarjana, dan staff development <br />merupakan peningkatkan kemampuan professional seseorang yang berhubungan <br />dengan mutu pelayanannya terhadap orang lain. <br /><br />Melihat hal ini semua, maka pesantren termasuk keadaan katagori <br />taksonomi pendidikan, sebab hal ini dikembangkan oleh sendiri dan dibesarkan <br />melalui minat sendiri juga kemauan yang selalu didasarkan atas kemampuan diri <br />serta dorongan publik yang membutuhkan keberadaan lembaga tersebut. <br /><br />G. Kajian atas Teori Kepemimpinan <br /><br />Kajian atas studi kepemimpinan telah banyak dilakukan oleh berbagai <br />kalangan dan betapa banyaknya kepemimpinan yang ditawarkan, dan hal ini <br />tidaklah terlepas dari unsure dasar yang menjadi patokan baik tercetusnya konsep <br />tersebut, hal ini dimaksudkan bahwa konsep kepemimpinan yang muncul <br />senantiasa di dasarkan atas sumber kajian dan metodologi yang mendasarinya. <br /><br />Namun dari sekian banyaknya studi kepemimpinan dihadapkan pada suatu <br />titik pembenahan yaitu mengkaji permasalahan kepemimpinan hendaknya <br />dipandang dari sudut pandang yang komperhenshif, artinya tidak hanya <br />memandang secara sempit, yaitu hanya sekitar sifat pribadi dan perilaku, tetapi <br />lebih luas lagi dipandang sebagai suatu rangkaian persoalan yang dapat dijadikan <br />standar dalam mengkaji masalah bidang kepemimpinan. <br /><br /><br /><br />Sebenarnya persoalan kepemimpinan diarahkan pada tiga faktor utama <br />yaitu : <br /><br />. <br />How one become a leader <br />. <br />How leader behave <br />. <br />What makes the leader effective <br /><br /><br />Ketiga pertanyaan diatas dapat ditarik dari suatu keterangan yang <br />dikemukakan oleh E. Fiedler dan Martin M. Chamers, dalam pengantar bukunya <br />yang berjudul Leadrship effective management, dan hal ini sebenarnya merupakan <br />suatu kajian yang mengarah kepada sektor kepemimpinan dilihat dari unsure <br />hakikat, walaupun hampir dari sekian banyak studi atas pendekatan penelitian <br />kepemimpinan lebih diarahkan pada; pendekatan kewibawaan, pendekatan sifat, <br />dan pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional. <br /><br />Pendekatan kewibawaan itu sendiri mengarah kepada sisi keberhasilan <br />kepemimpinan yang mementingkan dan mengutamakan kewibawaan untuk <br />keberhasilan organisasi yang dipimpinnya, walaupun sebenarnya hal ini bisa <br />terjadi melalui dua paradigma yang berbeda, pertama kewibawaan biasanya akan <br />muncul dengan sendirinya ketika anggota organisasi memandang pemimpinnya <br />sebagai sosok yang ideal, kahrismatik dan penuh kewibawaan, sehingga dalam <br />kepemimpinannya anggota organisasi dianggap cukup dengan meniru <br />keberhasilan pemimpinnya, adapun yang kedua dilihat dari sudut pandang <br />eksternal yang memandang bahwa kewibawaan tersebut muncul dari pendapat <br />luar yang menganggap bahwa memang suatu organisasi dapat dipimpin oleh <br /><br /><br /><br />orang yang memiliki kewibawaan yang tinggi, dan model seperti ini biasanya <br />lebih cenderungkepada kepemimpinan pesantren. <br /><br />Timbulnya kajian atas kewibawaan kepemimpinan beragam, hal ini <br />tergantung kepada pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh peneliti, <br />seperti yang diungkapkan dalam penelitian French dan Raven yang <br />mengungkapkan beberapa definisi, kewibawaan dan mengarah kepada asal mula <br />timbulnya kewibawaan tersebut, dan hal ini dilihat dari beberapa unsur; <br /><br />a. Reward Fower, istilah ini lebih cenderug mendekati kepada kinerja <br />bawahan yang ingin mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya <br />dari atasan. <br />b. Coersive Power, merupakan suatu pembelaan diri atas pekerjaan agar <br />terhindar dari sangsi yang suatu saat akan dijatuhkan oleh pemimpinnya. <br />c. Legitimate Power, merupakan suatu perilaku mutlak dari seorang <br />pemimpin yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, <br />dan memenej suatu peraturan, dan dalam hal ini bawahan harus <br />mematuhinya. <br />d. Expert power, merupakan suatu keyakinan yang dibentuk oleh bawahan <br />dengan suatu anggapan bahwa tidak semata–mata pemimpinnya <br />mengeluarkan suatu aturan untuk ditaati, kalau pemimpinnya tidak <br />memiliki pengetahuan yang cukup komprehenshif dan memadai. <br />e. Referent power, lebih mengarah kepada perilaku bawahan yang <br />menganggap bahwa sebagai bawahan dia memiliki rasa kekaguman yang <br /><br /><br /><br /><br />mendalam kepada pemimpinnya, sehingga bahkan lebih cenderung ingin <br />berperilaku seperti pemimpinnya. <br /><br /><br />Megacu kepada rangkaian kepustakaan diatas, maka pendekatan <br />kewibawaan lebih cenderung mengarah kepada rasa percaya diri yang dalam dari <br />seorang pemimpin guna menjalankan roda organisasinya, walaupun sebenarnya <br />pendekatan seperti ini tidak menutup kemungkinan terbina melalui pendekatan <br />sifat. <br /><br />Unsur perbedaan yang mendasar dengan pendekatan sifat, ditandai oleh <br />kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin dalam menjalankan roda <br />kepemimpinannya, sehingga pemimpin yang demikian ditandai oleh kemajuan <br />kinerja yang sangat tinggi, dan lebih ditandai oleh kemajuan dalam bidang visi <br />dan misi dalam memajukan organisasinya, dan ditandai pula oleh kecakapan atau <br />skill yang menarik dan energik. <br /><br />Ciri yang paling mendasar dari pendekatan seperti ini lebih cenderung <br />kepada beberapa sifat pribadi yang melekat, seperti ditandai oleh ciri-ciri fisik <br />(physical characteristic), kepribadian (personality), dan kemampuan serta <br />kecakapan (ability). <br /><br />Dengan demikian maka keberhasilan kepemimpinan melalui pendekatan <br />sifat tidak hanya didasarkan atas sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin semata, <br />melainkan didasarkan pula atas keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam <br />menjalankan roda kepemimpinannya. <br /><br />Adapun yang dimaksud dengan pendekatan perilaku, lebih didasarkan atas <br />pentingnya perilaku yang dapat diamati atau yang dilakukan oleh para pemimpin <br /><br /><br /><br />dari sifat-sifat atau sumber kewibawaan yang dimilikinya. Kemampuan perilaku <br />secara konsepsional telah berkembang kedalam berbagai macam cara dan <br />tingkatan abstraksi, perilaku seorang pemimpin yang mengutamakan unsur sifat <br />biasanya digambarkan atas istilah pola aktivitas. <br /><br />Dengan mempergunakan pendekatan perilaku, maka besar kemungkinan <br />akan memunculkan peranan manajerial dalam mengelola organisasi, walaupun <br />lebih menekankan pada unsur-unsur aktivitas diri dalam mengembangkannya, <br />dalam arti yang luas lebih menekankan pada sifat-sifat yang melekat pada dirinya, <br />bukan hanya sebagai sosok pemimpin semata, melainkan sebagai sosok individual <br />lebih mewarnainya. <br /><br />Pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan unsur ini lebih <br />menekankan kepada pendekatan kepemimpinan yang merupakan campuran antara <br />pendekatan kewibawaan dengan pendekatan sifat, melalui pendekatan perilaku <br />maka akan dikembangkan pula perilaku kepemimpinan yang merupakan <br />campuran struktur inisiasi dan konsederasi. <br /><br />Struktur inisiasi menunjukkan prilaku kepemimpinan yang <br />menggambarkan hubungan kerja dengan bawahan baik secara pribadi maupun <br />secara kelompok adapun pendekatan konsederasi menunjukkan perilaku yang <br />bersahabat saling adanya kepercayaan, saling hormat menghormati dan terjadinya <br />kekompakan antar masing-masing anggota. <br /><br />Adapun yang dimaksud dengan pendekatan situasional lebih menekankan <br />pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk <br />mengukur atau memprediksi ciri-ciri tersebut, dan membantu pimpinan dengan <br /><br /><br /><br />garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan atas kombinasi dari <br />kemungkinan yang bersifat kepribadian, sehingga lajim teori ini disebut dengan <br />pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional. <br /><br />Teori kontigensi bukan hanya merupakan hal yang penting bagi <br />kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, akan tetapi <br />membantu pula para pemimpin potensial dengan konsep-konsep yang bermanfaat <br />dalam menilai situasi yang beragam dan menunjukkan perilaku kepemimpinan <br />yang tepat berdasarkan situasi (Wahjosumidjo, 1999; 29), lebih lanjut dikatakan <br />Wahjo ada beberapa model pendekatan kepemimpinan situasional, yaitu model <br />Fiedler (1974), model House’s Patf Goal (1974), model Vroom-Yetton (1973), <br />dan model situasi (1977). <br /><br />Dalam pandangan lain, Mar’at (1982; 8-18) yang disadur dari buku <br />Handbook’s of Leadership (R.M. Stongdill) mengemukakan bahwa : <br /><br />. <br />Kepemimpinan sebagai fakus proses-proses kelompok <br />. <br />Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya <br />. <br />Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain <br />. <br />Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh <br />. <br />Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku <br />. <br />Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi <br />. <br />Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan <br />. <br />Kepemimpinan sebagai alat mencapai suatu tujuan <br />. <br />Kepemimpinan sebagai akibat dari interkasi <br />. <br />Kepemimpinan sebagai perbedaan peran <br /><br /><br /><br /><br />. <br />Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur <br /><br /><br />Pengelompokan tersebut diatas menunjukan bahwa para ahli bidang <br />pendidikan memberikan pandangan yang berbeda tentang hakikat kepemimpinan, <br />hal ini didasarkan atas sudut pandang berdasarkan disiplin ilmu yang berbeda <br />pula, sebagaian yang menganggap kepemimpinan sebagai kepribadian, mencoba <br />menerangkan mengapa beberapa individu lebih mampu mempraktekkan <br />kepemimpinan dari pada individu yang lain, adapun yang sebagian mengartikan <br />kepemimpinan sebagai suatu seni untuk mempengaruhi orang lain, hal ini <br />memberikan suatu batasan sebab hal ini berhubungan dengan perilaku seseorang <br />yang diharapkan akan mampu mempengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini <br />bawahannya. <br /><br />Sisi lain yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai pemaksaan atau <br />pendesakan secara tak langsung, sedangkan yang menganggap kepemimpinan <br />sebagai pengguna pengaruh, menganggap bahwa pemimpin adalah seseorang <br />yang menggunakan pengaruh positifnya untuk menggerakkan orang lain agar <br />dapat bekerja sama dengannya dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. <br /><br />Mereka yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai tindakan atau <br />perilaku, menganggap bahwa karena adanya perilaku kepemimpinan, maka <br />muncullah tindakan orang lain yang searah dengan keinginannya, adapun <br />kepemimpinan diarahkan sebagai hubungan kekuasaan, memandang bahwa <br />kepemimpinan sebagai suatu bentuk dari hubungan pengaruh dan <br />mempengaruhinya, bahkan dalam hal ini cenderung untuk lebih <br />mentranspormasikan leadershif opportunity ke dalam kekuasaan yang terbuka. <br /><br /><br /><br />Sisi lain yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai suatu alat untuk <br />mencapai tujuan, memandang bahwa kepemimpinan itu memiliki nilai <br />instrumental, kepemimpinan menghasilkan peran-peran tertentu yang harus <br />dimainkan dan dapat mempersatukan kelompok dalam rangka pencapaian tujuan <br />utama. <br /><br />Adapun yang memandang kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi, <br />menganggap bahwa kepemimpinan tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari <br />proses interaksi yang berlangsung dengan sendirinya, kepemimpinan dapat terjadi <br />bila dikehendaki dan dipandang perlu oleh para anggotanya. <br /><br />Lain halnya dengan para ahli yang memandang tentang kepemimpinan <br />sebagai pembeda peran, menganggap bahwa kepemimpinan itu muncul sebagai <br />suatu cara berinteraksi yang melibatkan perilaku oleh dan untuk individu, <br />sehingga pada akhirnya dijadikan salah satu sandra untuk memainkan peran <br />sebagai pemimpin. <br /><br />Dari berbagai pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa inti <br />kepemimpinan adalah; <br /><br />a. Kepemimpinan merupakan suatu gaya yang mengarah kepada kemampuan <br />individu, yakni kemampuan dari seorang pemimpin, sedangkan <br />manajemen lebih mengarah kepada sistem dan mekanisme kerjanya. <br />b. Kepemimpinan merupakan kualitas hubungan atau interaksi antara yang <br />dipimpin dan bawahannya. <br /><br /><br /><br /><br />c. Kepemimpinan menggantungkan diri dari sumber-sumber yang ada dalam <br />dirinya, sehingga kemampuan dan kesanggupan untuk mencapai tujuan <br />lebih efektif. <br />d. Bahkan kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si <br />pemimpin, walaupun akhirnya juga mengarah kepada ketercapaian tujuan <br />organisasi. <br />e. Kepemimpinan lebih bersifat hubungan personal yang berpusat kepada diri <br />si pemimpin, pengikut dan situasi. <br /><br /><br />Disamping inti pengertian dari kepemimpinan, seperti yang disimpulkan <br />diatas, ada beberapa faktor yang terkandung dalam kepemimpinan tersebut, yakni; <br />(a) adanya pemimpin, (b) kelompok yang dipimpin, (c) tujuan dan sasaran, (d) <br />aktifitas, (e) interaksi, (f) kekuasaan. <br /><br />Adapun tentang teori kepemimpinan dibahas dan dikembangkan menjadi <br />enam teori; yakni; (a) trori-teori interaksi harapan, (b) teori humanistik, (c) teori <br />orang-orang terkemuka, (d) teori situasi personal, (e) teori lingkungan, dan (f) <br />teori pertukaran. <br /><br />Teori interaksi harapan didasarkan atas tiga variabel, yakni; aktivitas, <br />interaksi dan sentimen, figur kepemimpinan dalam hal ini harus dapat melakukan <br />suatu aktivitas yang dapat menghubungkan antara bentuk kegiatan yang satu <br />dengan bentuk kegiatan yang lain, dimana sentimen dapat dibentuk sebagai suatu <br />sarana dalam menjembatani hubungan dengan bawasannya. <br /><br />Teori humanistik itu sendiri berfungsi sebagai pola pengaturan kebiasaan <br />individu untuk dapat merealisasikan motivasi bawahannya agar dapat bersama-<br /><br /><br /><br />sama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lajim dikatakan <br />bahwa teori ini merupakan pendekatan antara pemimpin dengan bawahan sebagai <br />suatu anggota keluarga. <br /><br />Kelompok teori orang terkemuka dirancang berdasarkan cara indiktif <br />dengan mempelajari sifat-sifat yang dominan atas keberhasilan tugas yang <br />dijalankan, terutama kemampuan untuk memimpin, diasumsikan bahwa <br />pemimpin-pemimpin yang berhasil memainkan peranan dengan memiliki sifat-<br />sifat dan kualitasnya adalah superior, teori ini disebut juga teori sifat. <br /><br />Adapun situasi personal lebih mengarah kepada adanya suatu anggapan <br />bahwa individu memiliki kemampuan dan kecakapan tertentu, sikap dan perilaku <br />yang dapat mengoperasikan aktivitas-aktivitasnya berdasarkan kondisi saat itu, <br />masalah kepemimpinan ditentukan juga oleh kepribadian pemimpin itu sendiri, <br />kelompok yang dipimpinnya, dan juga kejadian-kejadikan yang timbul pada saat <br />itu, dan interaksi antara pemimpin dengan bawahannya dibentuk sifat-sifat <br />tertentu. <br /><br />Sedangkan teori lingkungan sosial yang merupakan tantangan untuk dapat <br />diatasi, selain itu bahkan seorang pemimpin tergantung pada zaman dimana ia <br />hidup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dianggap relevan dengan <br />situasi saat itu, situasai lingkungan sosial merangsang agar para pemimpin <br />melakukan kegiatan-kegiatan yang relevan dengan problem-problem yang hidup <br />pada waktu tertentu seperti misalnya perang atau krisis akan muncul, maka akan <br />muncul kepemimpinan yang relevan pada saat tersebut. <br /><br /><br /><br />Lain halnya dengan teori pertukaran yang menyebabkan interaksi sosial <br />akan menghasilkan bentuk perubahan dimana para anggotanya akan berpartisipasi <br />aktif, kepemimpinan seperti ini banyak diharapkan mengadakan interaksi untuk <br />menunjang keberhasilan dari kepemimpinannya sehingga para anggotanya merasa <br />dihargai dan adanya kepuasan serta penghargaan terhadap pemimpin, dengan <br />demikian maka terjalinlah keseimbangan yang cukup positif antara yang dipimpin <br />dengan kepemimpinannya. <br /><br />Dari keenam teori diatas, maka dirangkum menjadi tiga bagian yakni (1) <br />pendekatan perilaku kepemimpinan, (2) pendekatan sifat dan (3) pendekatan <br />situasional, kedua pendekatan tersebut banyak dikembangkan oleh para ahli, <br />namun yang sesuai dengan pembahasan penelitian ini yang menitik beratkan pada <br />sistem dipergunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kontingensi atau <br />situasional. <br /><br />Sebab dari pendekatan semacam itu, maka akan memungkinkan muncul <br />beberapa teori yang tergolong pada pendekatan berikut; (a) model kepemimpinan <br />Vroom dan Yetton, (b) model jalur tujuan (c) model kepemimpinan tiga dimensi <br />(d) model Tannenbaum (e) model kepemimpinan kontingensi (f) model <br />kepemimpinan social learning (g) model kepemimpinan situasional. <br /><br />Lebih lanjut model-model tersebut dikembangkan pada penjelasan <br />walaupun sebenarnya tidak ada model atau urutan tertentu yang dikembangkan <br />oleh para penulis. <br /><br />Model Vroom dan Yetton (1977) menitik beratkan model <br />kepemimpinannya pada suatu cara yang lebih dikenal dengan keputusan dan <br /><br /><br /><br />pelaksanaannya, model ini dikembangkan dengan cara menunjukkan cara-cara <br />atau macam-macam situasi dimana berbagai tingkatan pengambilan keputusan <br />yang partisipasif dapat disesuaikan. Cribbin (1982; 24) mengemukakan kriteria <br />pengambilan dengan gaya Vroom dan Yetton dalam berbagai bentuk pertanyaan <br />diantaranya yaitu, apakah ada persyaratan mutu, apakah bawahan ikut mencapai <br />tujuan organisasi, apakah ada kemungkinan terjadi perselisihan mengenai <br />penyelesaian yang lebih disukai, apakah masalah itu terstruktur, bagaimanakah <br />informasi berperan, apakah bawahan akan menerima sepenuhnya tentang <br />keputusan , dll. <br /><br />Balam menggaris bawahi masalah pertanyaan sekaligus teori yang <br />dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, maka Fiedler memberikan batasan yang <br />menyatakan bahwa tidak ada gaya yang ideal yang refresentatif dalam situasi, <br />oleh sebab itu fleksibilitas pemimpin benar-benar dituntut untuk menyelesaikan <br />berbagai kasus yang terjadi. <br /><br />Dari rangkaian ketiga pendapat diatas, maka strategi yang dapat <br />dikembangkan adalah dengan menggunakan sistem pertama konsultatif, artinya <br />hal ini menyangkut pembenahan masalah itu kepada orang-orang yang dianggap <br />relevan dan mengumpulkan usul serta harapan juga gagasan meraka sebelum <br />mengambil suatu keputusan, kedua dengan menggunakan pendekatan kelompok, <br />sebab hal ini akan lebih mudah untuk mentolelir berbagai permasalahan yang <br />sedang terjadi sehingga dengan kesepakatan kelompok, maka akan lebih mudah <br />mencapai konsensus yang mengarah kepada kesepakatan bersama antara atasan <br />dengan bawahannya tentang kesepakatan sesuatu baik yang sedang dan akan <br /><br /><br /><br />terjadi guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ketiga otokkrtais, hal ini <br />menyangkut pemecahan suatu masalah oleh manajer itu sendiri, sehingga lajim <br />pada model pengambilan keputusan seperti ini pemimpin memiliki otoritasi <br />sendiri, dan disaat seperti inilah pigur kepemimpinan dibutuhkan harus benar-<br />benar orang yang dapat mengendalikan lajunya organisasi untuk mendaptkan <br />data-data tertentu dari bawahannya sebelum melakukan keputusan tersebut. <br /><br />Adapun model jalur-jalur merupakan satu–satunya model kepemimpinan <br />yang mengedepankan keinginan yang dikembangkan bawahnnya dan bagaimana <br />perilaku pemimpin, maka akan tercermin dari bawahannya, model yang <br />dikembangkan dalam kepemimpinan seperti ini lebih tertuju kepada motivasi, <br />sebab kepemimpinan ini sangat erat hubungannya dengan motivasi kerja di satu <br />pihak dan di pihak lain berhubungan dengan kekuasaan. <br /><br />Dasar model tujuan motivasi menitik beratkan pada sikap orang, <br />kepuasaan kerja, perilaku serta usahanya dalam pekerjaan di maksud, dan perilaku <br />tersebut dapat disimpulkan melalui sampai beberapa jauh pekerjaan atau perilaku <br />itu dapat dilihat dan kesenangan yang diperoleh. <br /><br />Martin Evans dan robert House dalam fath goal theory of leadershif <br />(1968,1971) mengemukakan bahwa pada prinsipnya teori ini merupakan suatu <br />model pengembangan menuju perilaku pemimpin atas motivasi, kepuasan kerja, <br />serta penampilannya atas motivasi, kepuasan kerja, serta penampilannya atas <br />bawahannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi. <br /><br />Teori jalur-jalur bergantung kepada tiga konsep yakni; (a) valensi, (b) <br />insrumentalis dan ekseptensi (Evans, 1968), lalu ditambah lagi dengan peranan <br /><br /><br /><br />manajer serta aktifitas bawahan, dan teori ini lajim disebut dengan teori lima <br />dimensi. Pendapat lain yang dikembangkan oleh Cribbin (1982; 21-22) <br />mengemukakan bahwa teori lima dimensi diurutkan dengan (a) valence (b) <br />instrumentality (c) expectancy (d) peran manajer (f) bawahan dan situasi. <br /><br />Sungguh sudah merupakan suatu kelayakan bahwa bagaimanapun orang <br />bekerja sudah barang tentu mengharapkan imbalan yang setimpal, semakin besar <br />imbalan yang diterima, maka akan semakin besar pula dia menunjukan dedikasi <br />dengan pekerjaan yang dilakukannya, hal inilah yang dimaksud dengan dimensi <br />valance. <br /><br />Dimensi berikutnya yang dikembangkan adalah hubungan timbal balik <br />antara satu dimensi dengan dimensi lainnya, walaupun sebenarnya kenaikan gaji <br />dan berbagai macam tujuan bukanlah merupakan tujuan utama akan tetapi hal ini <br />berakibat bagi baiknya kualitas keluarganya, oleh sebab itu dimensi semacam ini <br />lebih dikenal sebagai perangsang bagi karyawan untuk semakin mempertinggi <br />kenirjanya dan dedikasinya terhadap pekerjaan, dan sekaligus sebagai perangsang <br />(instrumenally). <br /><br />Adapun dimensi lain yang dikembangkan oleh manajer adalah dengan <br />mempertimbangkan gaya perilaku kepemimpinan yang menggantungkan kepada <br />situasi, sedangkan yang dimaksud dengan model ekpenctancy atau harapan adalah <br />dengan melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan job yang di pegang dan <br />kriterian yang diinginkan oleh pemimpin, maka kemungkinan besar ia akan <br />mendapatkan balasan atau imbalan yang setimpal, dan semacam ini merupakan <br /><br /><br /><br />harapan dimensi kelima selalu mengakar pada pujian, interaksi, dan <br />keramahtamahan yang menimbulkan kepuasan kerja karyawan. <br /><br />Lain halnya dengan teori tiga dimensi yang menyatakan bahwa suatu <br />model kepemimpinan akan efektif bila dipahami dalam konteks situasi <br />kepemimpinannya, artinya apapun model kepemimpinan tetap diarahkan pada <br />situasi bagaimana model tersebut harus diterapkan, sehingga berhubungan dengan <br />hal tersebut, Raddin (1970) memberikan suatu pegangan bahwa teori tiga dimensi <br />merupakan penambahan komponen efektifitas pada dua dimensi kepemimpinan <br />yang sudah ada. <br /><br />Ada empat gaya yang dikembangkan dalam model tiga dimensi seperti ini, <br />yaitu related hal ini mengandung pengertian bahwa hubungan tinggi rendah akan <br />menjadi efektif, dan bila hak ini dijalin dengan baik, maka akan menjadi gaya <br />diveloper, sehingga akibat yang ditimbulkan akan memberikan kepercayaan <br />penuh kepada karyawan untuk berkembang sesuai dengan job dan keterampilan <br />yang dimiliki oleh masing-masing idividu, akan tetapi bila tidak efektif, maka <br />akan menjadi gaya missionary artinya hanya tertarik pada adanya harmoni, <br />bahkan terkadang tidak rela mengorbankan hubungan meskipun untuk suatu <br />tujuan yang akan dicapai. <br /><br />Gaya dedicated, hal ini mengandung pengertian bahwa tugas tinggi dan <br />hubungan rendah, bila terjadi efektifitas hubungan, maka akan menjadi suatu gaya <br />yang disebut dengan “ benevolent autocrat “ artinya kerja yang sangat berstruktur <br />jelas untuk masing-masing anggota stafnya, akan tetapi sebaliknya, bila gaya ini <br />tidak efektif maka akan menimbulkan suatu gaya yang disebut dengan autocrat, <br /><br /><br /><br />hal ini dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya <br />mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri, baik dalam kapasitas dirinya sebagai <br />personal terlebih sebagai layaknya seorang pemimpin, sehingga gaya seperti ini <br />tidak akan memikirkan bawahannya. <br /><br />Adapun gaya integrated lebih menekankan pada sisi tugas yang tinggi <br />dan hubungan tinggi pula, dan akibat yang ditimbulkan bila gaya ini berjalan <br />dengan efektif, maka akan menimbulkan gaya executive yang memberikan <br />kontribusi pada organisasi dengan ditandai oleh adanya pemenuhan kebutuhan <br />kelompok dalam menetapkan tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi sebaliknya <br />gaya ini kurang berjalan dengan efektif, maka akan menimbulkan gaya <br />compromiser hal ini ditandai dengan adanya suatu proses kompromi di dalam <br />memecahkan masalah yang sedang dihadapi antara tugas dan hubungan sehingga <br />akan selalu berorintasi pada hasil yang dicapai. <br /><br />Berbeda dengan gaya separated, yang mengetengahkan hubungan yang <br />rendah dan tugas yang rendah pula, sehingga bila hal ini dijalankan dengan <br />efektif, maka akan menjadi gaya bereucrat yakni mengedepankan kekuasaan <br />untuk mencapai tujuan yang hendak diraih, sehingga kurang memperhatikan <br />pertimbangan-pertimbangan yang mencakup kebutuhan anggotanya, maka akan <br />menimbulkan gaya diserter yaitu ditandai dengan memberikan struktur yang jelas <br />dan dukungan moral pada waktu diperlukan. <br /><br />Berbeda dengan model kepemimpinan Tannenbaum dan Schnidt, model <br />ini mungkin salah satu dari sekian banyak yang memiliki keunikan, sebab satu sisi <br /><br /><br /><br />terkadang dalam kepemimpinannya bersifat demkratis, tetapi pada satu sisi lain <br />terkadang bersifat otokratis. <br /><br />Bersifat otokratis ketika dihadapkan pada kewenangan seorang pemimpin <br />yang berhak bahkan memiliki hak dalam memberikan penekanan berbagai model <br />kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan kepada bawahannya, sebab hal ini <br />berhubungan dengan keputusan yang hendak ditetapkan, akan tetapi gaya ini <br />berubah menjadi demokratis, ketika berhadapan dengan kewenangan-kewenangan <br />serta hak dan juga kewajiban yang dimikili oleh bawahan, bahkan gaya ini ketika <br />dihadapkan pada demokratis cenderung memberikan kebebasan-kebebasan pada <br />bawahannya untuk memutuskan suatu permasalahan akan tetapi sesuai dengan <br />batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh atasan. <br /><br />Dari rangkaian model yang dikembangkan bervariasi antara demokratisasi <br />dan otokratisasi, maka memberikan dampak kepada pengembangan model lain, <br />yakni; <br /><br />. <br />Pemimpin memberikan pemikiran serta ide yang dapat mengundang <br />pertanyaan-pertanyaan bagi bawahannya. <br />. <br />Pemimpin membuat suatu keputusan dan kemudian mengumumkannya <br />kepada bawahan, dan gaya ini cenderung bersifat komando sehingga tugas <br />bawahan hanya menunggu hasil intruksi dari atasan. <br />. <br />Pemimpin menjual keputusan, model ini juga sama dengan model otoritas <br />pemimpin yang cenderung memaksakan kehendaknya kepada bawahan, <br />sehingga ruang gerak bagi karyawan ketika dihadapkan pada kasus seperti <br />ini cenderung sempit. <br /><br /><br /><br /><br />. <br />Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang memungkinkan <br />daat diubah, bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka <br />pembuatan keputusan, sementara otoritas pemimpin sudah mulai dikurangi <br />penggunaannya. <br />. <br />Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan membuat <br />keputusan model ini jelas, otoritas pemimpin dipergunakan sedikit <br />mungkin, sebaliknya kebebasan karyawan atau bawahan dalam <br />berpartisipasi membuat suatu keputusan sudah banyak dipergunakan. <br />. <br />Pemimpin merumuskan batasan-batasannya dan meminta kelompok <br />bawahan membuat keputusan, partisipasi bawahan dalam kesempatan ini <br />lebih besar dibandingkan dengan model diatas. <br />. <br />Pemimpin mengijinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam <br />batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin, model ini terletak pada <br />titik esktrim penggunaan otoritas pada model diatas, (M. Thoha, 1983; 53-<br />54). <br /><br /><br />Oleh sebab diatas, maka dalam rangka pemilihan suatu model yang <br />dianggap efektif dalam situasi tertentu, hendaknya selalu mempergunakan <br />pertimbangan-pertimbangan dibawah ini, yaitu; kekuatan individu, kekuatan <br />bawahan, dan kekuatan dalam situasi, Oteng Sutisna(1983 ; 271), memberikan <br />batasan bahwa pemimpin harus senantiasa fleksibel dalam memilah serta memilih <br />ketiga komponen diatas dalam mengambil suatu kebijakan, dan inilah model <br />pemimpin yang baik. <br /><br /><br /><br />Model kepemimpinan berikutnya adalah kontingensi, hal ini didasarkan <br />atas tiga cakupan utama, yakni; (a) hubungan antara bawahan dengan pemimpin <br />yang merupakan variabel terpenting dalam suatu organisasi apapun, sebab <br />pengaruh yang kuat menimbulkan efek yang kuat pula bagi model kepemimpinan <br />yang diembannya, sehingga kepribadian pemimpin dalam hal ini sangat dituntut <br />untuk dapat diterapkan kepada bawahannya, dengan berbekal kepribadian yang <br />kuat, maka tingkat ketaat bawahan akan semakin meningkat, (b) struktur tugas, <br />hal ini cenderung berhubungan dengan job diserifition masing-masing individu, <br />dalam kapasitas seperti ini, maka instruksi seorang pimpinan akan merupakan alat <br />bagi terciptanya tingkat kealifikasi, (c) kekuasaan kedudukan yang merupakan <br />hak dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memutuskan <br />dan mengembangkan suatu model kebijakan. <br /><br />Memutuskan perhatian kepada otoritas seorang pemimpin, hendaknya <br />memperhatikan pula gaya dikembangkan melalui social learning, sebab hal ini <br />merupakan suatu model yang menjamin kelangsungan interaksi antara pemimpin, <br />lingkungan, dan perilaku sendiri, sehingga hal ini dapat memberikan dasar yang <br />jelas bagi suatu konsep kepemimpinan , (M. Thoha, 1983 ;48). <br /><br />Social learning merupakan suatu methode yang penekannya mengarah kepada <br />perilaku pemimpin, kelangsungan dan iteraksi timbal balik diantara semua <br />variabel yang tersedia, bawahan ikut serta dalam menentukan arah secara bersama <br />sama dengan pimpinan guna pencapaian hasil yang telah menjadi suatu <br />kesepakatan bersama, bahkan dalam hal ini bawahan memperhitungkan berbagai <br /><br /><br /><br />kemungkinan-kemungkinan lingkungan kognisi yang dapat memperantarakan, <br />lebih lanjut pendekatan ini memiliki anggapatn bahwa : <br /><br />. <br />Pemimpin bersama-sama dengan bawahan berusaha untuk menentukan <br />cara-cara yang dianggap efektif guna mengatur perilaku individu dengan <br />harapan mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. <br />. <br />Pemimpin bersama-sama dengan bawahan untuk merumuskan berbagai <br />permasalahan yang sedang dihadapi oleh organisasi, dan dengan menitik <br />beratkan pada perilaku individu bawahan. <br />. <br />Pemimpin cenderung mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapi <br />baik secara masalah umum organisasi ataupun masalah mikro. <br /><br /><br />Dengan pengembangan model social learnina pimpinan dan bawahan <br />berusaha secara bersama-sama untuk memperlajari perilaku masing-masing <br />individu guna tercapainya interaksi yang saling memberi dan menerima guan <br />tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi, dengan demikian maka <br />model social learning tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi di dukung pula oleh <br />model lain yang berusaha untuk melihat segala sesuatu berdasarkan situasi yang <br />sedang terjadi saat itu, maka dengan melihat ini, pendekatan kepemimpinan yang <br />bersifat situasional memiliki peranan yang dianggap penting. <br /><br />Teori kepemimpinan situasional merupakan suatu perkembangan yang <br />dianggap terkini dan merupakan rekayasa baru dalam ilmu pengetahuan dan ilmu <br />manajemen modern, walaupun sebenarnya teori ini dikembangkan oleh Paul <br />Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977 ; 160), yang kemudian lebih dikenal <br />dengan sebutan “ Life cycle theory laedershif.”. <br /><br /><br /><br />Lebih lanjut Hersey dan Blanchard mengemukakan bahwa pada prinsipnya <br />teori ini dikembangkan melalui prinsip-prinsip seperti berikut, model <br />kepemimpinan seperti ini didasarkan atas hubungan garis lengkung diantara; <br />kadar bimbingan dan arahan yang diberikan oleh pemimpin, kadar dukungan <br />sosioemosional yang disediakan pemimpin, dan level kematangan yang dimiliki <br />oleh pemimpin (Hersey dan Blanchard; 1986 ; 178). <br /><br />Dalam teori ini, bimbingan dan arahan merupakan kebutuhan masing-<br />masing tiap individu dan adanya kesadaran yang saling terbuka dari masing-<br />masing anggota untuk saling mengingatkan, terlebih di dukung oleh keinginan <br />pemimpin yang memiliki jiwa dan dedikasi yang tinggi terhadap karyawan. <br /><br />Dukungan sosioemosional pula merupakan suatu kebutuhan yang dapat <br />membantu dalam pembentukan baik perilaku maupun emosional dari masing-<br />masing anggota organisasi, dan penekanan utamanya diawali oleh adanya <br />sosioemosional yang stabil dan baik yang dikembangkan oleh pemimpin, <br />sehingga dengan demikian, maka tujuan utama organisasi akan semakin cepat <br />tercapai. <br /><br />Demikian pula dengan kematangan yang diartikan sebagai kemampuan <br />dan kemauan para pengikut untuk bertanggung jawab dan mengarahkan perilaku <br />mereka sendiri, kematangan disini memiliki arti yang sangat spesifik yakni <br />diartikan bahwa tidak semua orang memiliki keterampilan yang mapan pada <br />semua faktor, akan tetapi hanya mungkin memiliki keahlian pada satu sisi saja, <br />dengan keahlian ini maka tingkat kematangan individu akan semakin menguat, <br />dan dengan kematangan ini, maka terlibat pula komponen lain, seperti, orang yang <br /><br /><br /><br />memiliki motif berprestasi, memiliki karakteristik umum tertentu, kemampuan <br />dalam merumuskan pencapaian tujuan-tujuan yang cukup tinggi, berkaitan dengan <br />istilah tanggungjawab dapat dilihat dari dua konsep, yaitu; individu yang tidak <br />mau dan tidak mampu untuk bertanggungjawab, dan individu yang mau tetapi <br />mampu untuk bertanggungjawab, individu yang mampu tetapi tidak mau <br />bertanggung jawab, dan individu mau dan mamapu untuk bertanggung jawab, sisi <br />lain yang ikut membentuk kematangan adalah berkaitan dengan pendidikan atau <br />pengalaman, berkaitan dengan untuk melakukan tugas yang diangga relevan, dan <br />berkaitan dengan variabel-variabel situasional. <br /><br />Dari demikian banyak dan macam ragam serta model kepemimpinan <br />merupakan dukungan teori atas pondok pesantren yang diharapkan mampu untuk <br />membuka diri dengan interpensi dari luar guna mempersiapkan kader <br />kepemimpinan di masa mendatang, sebab dengan menutup diri campur tangan <br />dari pihak luar, maka kemungkinan pemimpinnya di masa mendatang ataupun <br />terlebih dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan tersebut. <br /><br />Sebenarnya berbagai gaya kepemimpinan telah di tawarkan dalam kajian <br />ini, nama, namun demikian adanya yang cenderung menonjol dalam mekanisme <br />kepemimpinan seorang kyai adalah cenderung otoriter, kharismatik dan monoton, <br />sedangkan sampai kapan model kepemimpinan semacam ini akan bertahan, <br />mungkin akan mewakili bila pemimpin ke satu, ke dua dan berikutnya sama <br />memiliki sifat kharismatik, akan tetapi jika tidak maka akan mengganjal <br />kemanjuan pesantren. <br /><br /><br /><br />H. Studi Atas Penelitian Terdahulu <br /><br />Membahas suatu model dan gaya kepemimpinan nampaknya peneliti <br />makin tertuju kepada dunia pesantren, hal ini memang dianggap menarik sehingga <br />bermunculan peneliti yang membahas tentang kepemimpinan pesantren karena <br />model dan gaya kepemimpinan yang ada di pesantren merupakan suatu model <br />yang dianggap unik, sebab hal ini biasanya dilakukan dengan turun temurun dan <br />hanya berputar sekitar keluarga pesantren. <br /><br />Penelitian terdahulu yang dikembangkan oleh Mastuhu (1999; 123) <br />memberikan suatu keterangan yang menandai bahwa pesantren yang rata-rata <br />milik pribadi, serta kepemimpinannya adalah dilakukan dengan model <br />pelimpahan kepemimpinan dari dan ke pendiri, ke anak menantu-cucu-santri <br />senior, artinya ahli waris pertama tetap yang memegang tonggak kepemimpinan <br />terletak pada tangan pertama yaitu akan dari seorang kyai dan sampai urutan <br />berikutnya, seperti yang diterangkan di atas. <br /><br />Hal ini masih mungkin dapat dilakukan bila seorang Kiai memiliki anak <br />laki-laki, akan tetapi bila tidak memiliki anak yang dianggap sanggup untuk <br />memimpin pesantren tersebut, maka biasanya dilimpahkan pada santri seniornya, <br />sedangkan dalam kasus sperti ini, terkadang santri seniornya lebih memilih untuk <br />mendirikan pesantren sendiri. <br /><br />Ketika kasusnya dihadapkan pada kenyataan seperti ini, maka berakhirlah <br />pesantren yang bersangkutan karena tidak ada yang meneruskannya, seperti dapat <br />dilihat dari kasus pergantian pesantren Tebuireng, di awali dari ponok pesantren <br />Nggendeng, yang didirikan oleh Kiai Usman pada pertengahan abad ke 19, <br /><br /><br /><br />kemudian diteruskan oleh menantunya, Kiai Asy’ari dengan mendirikan pondok <br />pesantren di Keras pada tahun 1876-an, dan popularitas pndok pesantren <br />Nggendeng akhirnya menurun bahkan akhirnya tutup, yang akhirnya <br />kemunculannya kembali di gantikan oleh putranya dengan merintis kembali oleh <br />Muhamad Hasyim dengan mendirikan pondok pesantren baru yang lebih dikenal <br />dengan pondok pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari, <br />popularitas pesantren Keras menurun pula, yang akhirnya setelah pendirinya <br />K.H. Hasyim Asy’ari meninggal, maka dilanjutkan oleh K.H. A. Wahid Hasyim <br />(1974-1950), kemudian karena Wahid Hasyim pindah ke Jakarta sehingga dengan <br />berbagai kesibukannya, maka dilanjutkan olwh saudaranya K.H. A. Karim <br />Hasyim, yang hanya sempat memimpin sampai dengan satu tahun karena <br />meninggal dunia, selanjutnya pimpinan pesantren di ganti oleh saudara iparnya, <br />K.H. Ahmad Baidhawi (1951-1952), dan demikian pula tidak bertahan lama, lalu <br />dilimpahkan ke keturunan pendiri utama, yaitu, K.H. A. Khaliq Hasyim (1952-<br />1965), dan setelah beliau meninggal dilanjutkan oleh saudaranya K.H. Yusuf <br />Hasyim sampai dengan sekarang. <br /><br />Berbeda dengan riwayat kepemimpinan yang dikembangkan oleh pondok <br />pesantren Sukorejo, yang pendiri utamanya adalah K.H. Raden Syamsoel Arifin <br />(1914-1951), lalu digantikan oleh putranya K.H. Raden As’ad Syamsoel Arifin <br />(1951-1988) dan sekarang dilanjutkan oleh K.H. Fawaid, yaitu oleh putranya. <br /><br />Demikian halnya dengan pesantren Gontor Ponorgo, saat ini ada dua dari <br />trimurti kepemimpinan pondok pesantren Gontor Ponorogo, yaitu keturunan <br />langsung dari pendiri pesantren, hal ini terjadi karena masih dekatnya periode dari <br /><br /><br /><br />genersi kesatu ke generasi lainnya, sehingga pengaruhnya dari pendiri pertama <br />masih terasa kuat, dan sekaligus sebagai pernyataan terima kasih dan rasa <br />penghormatan kepada pendirinya, dan karena dua ari trimurti sekarang ini <br />memiliki tingkat pendidikan tinggi, salah satunya adalah bergelar magister, <br />sehingga suksesi itu karena faktor pendidikan keturunan keluarga pesantren ikut <br />mewarnainya. <br /><br />Kasus diatas memberikan suatu kejelasan bahwa faktor utama yang harus <br />di perhatikan oleh keluarga pesantren adalah mengutamakan pendidikan <br />keturunan pesantren yang nantinya akan dipersiapkan untuk melanjutkan tahta <br />kepemipimpinan berikutnya telah dipersiapkan secara matang guna menghadapi <br />berbagai kemungkinan yang akan terjadi, yakni terutama ketika Kiai dari pendiri <br />pesantren tersebut meninggal dunia, dan sinyalemen ini sekaligus merupakan <br />suatu ulasan atas hasil yang diharapkan dari studi teoritis terdahulu,yaitu <br />mengenai suksesi kepemimpinan Kiai di pesantren. <br /><br />Suksesi kepemimpinan yang dijadikan sumber dalam penelitian ini adalah <br />di fokukan di wilayah kota Cirebon, sebab disamping masih membutuhkan <br />berbagai perhatian dari praktisi, peneliti, dan masyarakat akademik serta <br />masyaraat umum yang senantiasa memberikan perhatian yang cukup serius guna <br />kemajuan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di masa mendatang, <br />sehingga akibat yang akan muncul ketika hal ini terabaikan oleh berbagai pihak <br />tersebut, maka tidak mustahil pesantren akan mengalami nasib yang sama dengan <br />pesantren terdahulu, yakni mengalami kemandegan karena tidak adanya pimpinan <br /><br /><br /><br />berikutnya yang melanjutkan tampuk kepemimpinan pesantren di masa <br />mendatang. <br /><br />I. Wilayah Kajian Penelitian Administrasi Pendidikan <br /><br /> Kajian penelitian yang dibahas adalah termasuk ke dalam kajian bidang <br />administrasi pendidikan, dan ruang lingkupnya meliputi bidang kegitan, pertama, <br />manajemen administrative (administrative management), dimana kegiatan pada <br />bidang ini disebut juga dengan management administrative function yang <br />memiliki tujuan mengrahkan agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan semua orang <br />dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan kedua, <br />adalah manajemen operatif (operative management) dan kegiatan yang dilakukan <br />pada bidang ini adalah disebut juga dengan management by operative , dan <br />wilayah kerjanya meliputi sekitar pengadaan, pengarahan, dan pembinaan agar <br />dalam mengerjakan kegiatan organisasi yang menjadi tugas masing-masing dapat <br />dilaksanakan tidak hanya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi <br />juga dapat berjalan dengan tepat dan benar. <br /><br /> Dalam keterangan lain dikatakan mengenai ruang lingkup administrasi <br />pendidikan, yaitu meliputi pendekatan yang bersifat teoritik, dimana hal ini <br />berhubungan erat dengan perilaku dalam melaksanakan kegiatan administrasi <br />sekolah, dan berbagai kegiatan serta pendekatan yang bersifat teoritik dapat <br />digunakan untuk menganalisa administrasi pendidikan sepanjang hal demikian <br />konsisten untuk menjadi landasan pedoman kerja administrasi pendidikan. <br /><br /> Engkoswara (1987; 42-43) mengemukakan bahwa administrasi meliputi <br />wilayah kerja yang bertujuan untuk mempelajari penataan sumber yang ada, <br /><br /><br /><br />dimana di dalamnya meliputi penataan dalam bidang manusia, atau personel, <br />kurikulum atau sumber belajar lainnya yang berupa fasilitas guna mendukung <br />keberhasilan belajar secara optimal. <br /><br /> Pada dasarnya administrasi pendidikan merupakan suatu media untuk <br />mencapai tujuan pendidikan secara produktif, yaitu efektif dan efisien, dimana <br />ruang lingkup efisien itu sendiri meliputi, pertama, kegairahan dan motivasi <br />belajare yang tinggi, kedua, semangat kerja yang besar, ketiga, kepercayaan <br />berbagai pihak, keempat, pembiayaan yang hemat dan tenaga yang <br />sekecilmungkin tetapi mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya, sedangkan <br />efektifitas itu sendiri meliputi; pertama, masukan yang berarti, kedua, keluaran <br />yang bermutu, ketiga, ilmu keluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat <br />yang sedang membangun, keempat, luaran yang memadai. <br /><br /> Kriteria keberhasilan diatas memerlukan suatu proses administrasi <br />pendidikan, minimal meliputi perilaku manusia berorganisasi dalam kebudayaan <br />yang dapat dinyatakan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, pengsawan, serta <br />pembinaan terhadap sumber daya pendidikan lainnya. <br /><br /> Di awal telah diterangkan bahwa kajian kepemimpinan merupakan bagian <br />dari ilmu manajemen yang berguna bagi peningkatan mutu proses menuju hasil <br />yang optimal bagi suatu kinerja organisasi, dan hal ini termasuk kedalam bagian <br />yang dibahas oleh pesantren, juga termasuk kealam katagori yang dikehendaki <br />oleh bidang administrasi pendidikan, yakni bagaimana efektifitas pembuatan <br />model re-generasi kepemimpinan di pesantren, dengan terciptanya itu semua, <br /><br /><br /><br />maka proses percepatan inovasi kepemimpinan di pesantren akan tetap tercipta <br />sesuai dengan norma kebijakan manajemen modern. <br /><br /> Pada akhirnya, utaian teoritik diatas menunjukkan kepada salah satu <br />prinsip kebersamaan tujuan, baik berupa tujuan Kiai yang dibentuk melalui visi <br />dan misinya lewat pesantren, juga pemberdayaan masyarakat yang dibentuk <br />berdasarkan tuntutan, harapan, dan desakan suatu perubahan menuju sesuatu yang <br />dianggap lebih baik dan dapat menjamin stabilitas organisasi pesantren. <br /><br />J. Analisis Hasil Antara Teori dengan Lapangan <br /><br /> Kajian teoritik memberikan gambaran bahwa penataan sistem <br />kepemimpinan pondok pesantren memerlukan suatu model penanganan yang cukp <br />serius (terintegrasi, dan komprehenshif), baik ditinjau dari sudut administrasi <br />pendidikan maupun manajemen pemberdayaan masyarakat, maka pesantren <br />sebagai suatu lembaga pendidikan yang berakar dari masyarakat memerlukan <br />peningkatan efektifitas dan efisiensi kinerjal lembaga guna mendapatkan hasil <br />yang optimal, hal ini sangat erat hubungannya dengan pertama, potensi strata <br />masyarakat, kedua, saluran interaksi masyarakat dan pemerintah, ketiga, peranan <br />aspirasi dan saluran masyarakat, keempat, pemberdayaan peranserta, dan katagori <br />tersebut mengarah kepada produktivitas kinerja lembaga pesantren, baik dilihat <br />dari sudut personel Kiai sebagai pengasuh pesantren dan pemegang terpenting <br />sebuah kebijakan, juga sebgai kelompok atau organisasi pesantren. <br /><br /> Mengacu kepada teori diatas, maka dapat ditarik suatu benang merah <br />mengenai sistem suksesi kepemimpinan Kiai di pesantren berikut manajemen <br />pemberdayaan masyarakat, antara lain meliputi; <br /><br /><br /><br />. <br />Efektifitas pergantian kepemimpinan Kiai di pesantren sangat erat <br />hubungannya dengan masalah siapa dan bagaimana sosok penggantinya, <br />dan hal inilah yang cenderung memiliki kendala yang cukup berarti, sebab <br />penilaianmasyarakat dengan bergatinya pemimpin pesantren, maka akan <br />memberikan alasan yang tersendiri bagi terbentuknya sebuah kepercayaan <br />yang baru, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup panjang. <br />. <br />Tingkat pemberdayaan masyarakat tidak terlepas dari bagaimana intensitas <br />keterlibatan masyarakat berperanserta dalam merumuskan suatu model <br />kebijakan, sebab selama ini masyarakat termasuk golongan yang <br />termarjinalkan oleh pesantren, walaupun pada teorinya lembaga <br />pendidikan islam seperti pesantren termasuk kedalam lembaga milik <br />masyarakat, dimana hidup dan matinya pun masyarakat ikut <br />menentukannya, namun pada kenyataannya lembaga ini termasuk sulit <br />sekali dijangkau oleh masyarakat, terutama dalam merumuskan model <br />kebijakan pesantren. <br />. <br />Inovasi kepemimpinan Kiai sebenarnya tidak terlepas dari pemegang <br />teguh kebijakan Kiai itu sendiri, oleh sebab itu wlaupun pada landasan <br />teorinya sistem suksesi di dalam pesantren di serahkan kepada masyarakat, <br />namun pada kenyataannya Kiai memegang teguh kendali pelimpahan <br />wewenang tersebut. <br /><br /><br />Hubungan yang dilakukan oleh Kiai sebagai administrator di <br />pesantren hendaknya memperhatikan kelemahan dan keunggulan serta prestasi <br />kerja yang selama ini dicapai oleh pesantren tersebut, terutama dalam menjalin <br /><br />kerjasama dengan pihak lain, dalam hal ini masyarakat, sehingga dengan <br />demikian, maka pesantren juga berfungsi dalam mengadakan kontak kerjasama <br />dengan pihak masyarakat (Made Pidarta, 1986; 367). <br /><br /> Selanjutnya, tugas utama yang diemban oleh masyarakat dalam rangka <br />menerima amanat dari pesantren sebagai penerus gerak langkah dan majunya <br />pesantren, sehingga dapat dianalisa bagaimanapun baiknya suatu model kebijakan <br />Kiai di pesantren, namunketika hal ini tidak dapat diterima oleh masyarakat, <br />makaakan mengalami hambatan yang cukup berarti, demikian pula sebaliknya <br />dengan model perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat ketika Kiai sebagai <br />pemegang teguh kebijakan pesantren masih menutup diri,maka akan mengalami <br />kesluitan bagi tingkat perkembangan dan kemajuan pesantren.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-992182543658123662010-12-08T15:59:00.002-08:002010-12-08T16:00:55.927-08:00KEINOVATIVAN ORGANISASILANDASAN TEORITIK TENTANG PONDOK PESATREN <br />A. Konsep Administrasi Pendidikan <br /><br /> Dilihat dari sisi pengertiannya, administrasi pendidikan memiliki arti yang <br />cukup luas, walaupun hal ini berbeda dalam menggaris bawahi perbedaan yang <br />muncul di kalangan para ahli tentang perbedaan antara administrasi dan <br />manajemen, terutama dilihat dari ruang lingkupnya, dan hal ini dipengaruhi pula <br />oleh perbedaan paham antara ahli manajemen dan ahli administrasi. <br /><br /> Administrasi pendidikan merupakan perpaduan dari dua suku kata, yakni <br />“administrasi” dan “pendidikan”, adapun pengertian administrasi itu sendiri <br />memiliki arti; melayani, membantu, mengarahkan, dan hal ini diambil dari “ad” <br />dan “ministrare”, sehingga administrasi dalam pengertian ini adalah melayani <br />secara iontensif, adapun dari kata administrare terbentuk kata benda <br />“administration” dan kata “administravus” yang kemudian masuk ke dalam <br />bahasa Inggris yakni “administration”(Hadari Nawawi, 1982; 5), selain dikenal <br />juga dengan “administratie” yang berasal dari bahasa Belanda, namun memiliki <br />arti yang terlalu sempit, sebab hanya terbatas pada aktivitas ketatausahaan, yaitu <br />suatu kegiatan dalam penyusunan dan pencatatan keterangan yang diperoleh <br />secara sistematis, sehingga fungsinya pun berusaha untuk mencatat hal-hal yang <br />terjadi di dalam organisasi sebagai bahan laporan bagi pemimpin, dengan <br />demikian, maka administrasi merupakan kegiatan tulis menulis, mengirim, dan <br />menyimpan keterangan, hal ini berkaitan erat dengan beberapa pengertian para <br />ahli, diantaranya; <br /><br />a. Engkoswara, mengartikan bahwa administrasi pendidikan adalah ilmu <br />yang mempelajari penataan sumber daya manusia, yaitu kurikulum, dan <br />fasilitas untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal dan pencapaian <br />suasana yang baik bagi manusia dalam mencapai tujuan pendidikan, <br />sehingga unsur utama yang dikembangkan adalah efektifitas, efisiensi, dan <br />produktivitas dalam proses. <br />b. Ngalim Purwanto, mengartikan administrasi pendidikan ialah segenap <br />proses pengarahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personal, <br />spiritual, dan material yang berhubungan dengan pencapaian tujuan <br />pendidikan, sehingga unsur utama yang dikembangkan adalahg integritas, <br />pengorganisasian, dan koordinasi. <br />c. Hadari Nawawi, mengartikan administrasi pendidikan ialah rangkaian <br />kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah <br />orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang <br />diselenggarakan dalam lingkungan tertentu, terutama dalam lembaga <br />pendidikan formal, (hadari Nawawi, 1982; 11). <br /><br /><br />Mengacu kepada pengertian diatas, maka penulis cenderung menggaris <br />bawahi pengertian administrasi sebagai suatu usaha dalam mengembangkan <br />sumber daya, baik sumber daya manusia ataupun sumber daya lain yang berfungsi <br />dalam pencapaian tujuan tertentu dari suatu organisasi, sehingga dengan <br />demikian, maka pengertian administrasi pendidikan merupakan suatu penataan <br />sumber daya manusia guna meningkatkan dan menggali sumber daya lainnya <br />dalam rangka pencapaian tujuan suatu lembaga pendidikan. <br /><br /><br /><br />Dari pengertian yang luas tersebut, maka berdampak bagi perluasan makna <br />administrasi itu sendiri, artinya bukan hanya menyangkut suatu masalah <br />organisasi pendidikan semata, melainkan dapat pula pengertiannya serta <br />pengaflikasiannya bagi lembaga lain seperti pesantren, sehingga dalam lingkup <br />seperti ini, maka pesantren dalam penataannya dapat menggunakan istilah ilmu <br />administrasi yang berkewenangan untuk mengembangkan manajemen modern, <br />sehingga dalam pencapaian tujuan pesantren baik dari segi proses ataupun hasil <br />senantiasa dapat mempertimbangkan fungsi efektifitas, efisiensi dan juga <br />produktivitas. <br /><br />B. Kajian Atas Definisi Pondok Pesantren <br /><br />Kata pondok senantiasa dihubungkan dengan kata pesantren, hal ini <br />mengandung suatu pengertian bahwa diantara kedua kata tersebut memiliki arti <br />yang erat kaitannya antara yang satu dengan lainnya terutama berkaitan dengan <br />sebutan atas nama dan tempat, bahkan ketika disebut salah satu kata pondok <br />mungkin konotasi orang akan menyebutnya dengan sebuah penginapan, tetapi <br />ketika orang akan menyebutnya dengan sebuah penginapan, tetapi ketika orang <br />menyebutnya dengan sebutan pesantren, maka di dalamnya orang akan <br />memberikan suatu tanggapan dan suatu kepastian bahwa ada pondokan di <br />dalamnya, dan terdapat suatu model pengajaran yang menggali nilai-nilai <br />rohaniah dan nilai-nilai ilahiah, yang lebih kongkrit lagi mengarah kepada nilai-<br />nilai religus (Islam). <br /><br />Kata pesantren sebenarnya merupakan kata jadian yang berasal dari dua <br />suku kata, yang kata dasarnya adalah santri dan kata ini mendapat sisipan berupa <br /><br /><br /><br />awalan “pe” dan akhiran “an”, yang selanjutnya menjadi “pe-santri-an” yang <br />artinya tempat santri yang kini lajim disebut dengan pesantren (Manfred Ziemek, <br />1986; 16). <br /><br />Banyak ragam dan corak dalam mengartikan istilah kata santri, dari sekian <br />banyak hali tata bahasa memberikan suatu ketegasan bahwa asal kata santri <br />berasal dari bahasa Tamil yang hal ini dapat diartikan sebagai “guru ngaji” <br />(Zamaksyari Dhofier, 1982; 18), pendapat lain mengatakan bahwa santri itu <br />sebenarnya berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti “cantrik”, yang memiliki <br />makna sebagai orang-orang yang tinggal bersama dengan seorang resi dalam <br />suatu pertapaan tertentu guna memperoleh petunjuk kebahagiaan , yang <br />selanjutnya pengertian ini menggeser makna dasar kata tersebut yang selanjutnya <br />menjadi santri, yakni orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu di pondok <br />pesantren. <br /><br />Adapun kata pondok ketika dibubuhkan dengan kata pesantren <br />dimaksudkan guna mendapatkan penjelasan yang kongkrit dan dapat di tangkap <br />pesannya, dan dalam hal ini kata pondok tersebut ada yang mengatakan berasal <br />dari bahasa arab punduk yang artinya hotel atau asrama (Zamakhsyari Dhofier, <br />1982; 16). <br /><br />Lain halnya dengan pengertian menurut tata bahasa Indonesia itu sendiri <br />yang cenderung memberikan suatu definisi bahwa pondok adalah rumah untuk <br />sementara waktu yang dikenal dengan sebutanrumah singgah (Poerwadarminta, <br />1985; 764), sedangkan Leonardo D Marsam (1983; 207) memberikan suatu <br />definisi bahwa pondok adalah rumah kecil atau rumah tempat mengaji. <br /><br /><br /><br />Mengkaji beberapa definisi yang dikemukakan di bagian terdahulu, maka <br />dalam hal ini Departemen Agama Republik Indonesia memberikan suatu <br />pengertian tersendiri mengenai arti pondok pesantren, yaitu; <br /><br />. <br />Yang dimaksud dengan “pondok pesantren” adalah lembaga pendidikan <br />dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan <br />pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem bandongan <br />dan sorogan), dimana seorang kyai mengajar santri-nya berdasarkan atas <br />kajian kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-<br />ulama besar sejak abad pertenghan, sedangkan para santri biasanya tinggal <br />dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut. <br />. <br />Yang dimasaksud dengan “pesantren” adalah lembaga pendidikan dan <br />pengajaran agama Islam yang ada pada dasarnya sama dengan pondok <br />pesantren tersebut diatas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di <br />komplek pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa <br />sekeliling pesantren tersebut (santrik kalong), dimana cara dan methode <br />pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, <br />yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu, <br />misalnya hari jum’at, minggu dan lain-lainya. <br />. <br />Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan lembaga gabungan antara <br />sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran <br />agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan dengan para <br />santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam <br />istilah modern memenuhi criteria pendidikan formal bentuk madrasah dan <br /><br /><br /><br /><br />bahkan sekolah umum dalam berbagai bnetuk tingkatan dan aneka <br />kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing (Marwan <br />Saridjo, 1983; 9). <br /><br /><br />Dari beberapa pendapat diatas menunjukan suatu pengertian yang cukup <br />serius dari kedua kata diatas (pondok pesantren), terdapat dua unsure yang <br />mendasar dari semua kegiatan yang dikelola di dalamnya, yaitu unsure pendidikan <br />dan pengajaran agama Islam dengan menggunakan sistem yang dianggap unik, <br />yaitu kedaulatan penuh dibawah kepemimpinan seorangKyai. <br /><br />Sistem pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan dalam pondok <br />pesantren berbeda dengan model pendidikan lainnya, walaupun pada beberapa sisi <br />memiliki kesamaan, diantara perbedaan-perbedaan tersebut diikat dalam suatu <br />sistem, dimana masing-masing sistem memiliki keterkaitan yang erat, unsure <br />terkait didalamnya yaitu; terdiri dari unsure-unsur organic, yaitu para pelaku <br />pendidikan yang di dalamnya terdiri dari; pimpinan, guru, murid, dan pengurus, <br />adapun yang dimaksud dengan anorganik yaitu terdiri dari; tujuan, filsafat dan tata <br />nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar-mengajar, <br />penerimaan murid dan tenaga kependidikan, teknologi kependidikan, dana, <br />sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainny adalam mengelola sistem <br />kependidikan (Mastuhu, 1994; 19), adapun dalam pengertian lain dikembangkan <br />bahwa yang dimaksud dengan sistem tersebut pesantren dibentuk atas lima faktor, <br />yaiut; tujuan pendidikan, anak didik, pendidikan, alat pendidikan dan lingkungan <br />(Abu Ahmadi, 1985; 41), sedangkan yang dikembangkan oleh Marimba (1987; <br /><br /><br /><br />19) berupa; adanya kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, pendidik, peserta <br />didik, bimbingan yang dilakukan secara sadar, dan alat yang dipergunakan. <br /><br />Dari sekian banyak sistem yang ada, maka pada prinsipnya dapat <br />dikelompokan sebagai berikut: <br /><br />a. Aktor atau pelaku yang terdiri dari; kyai, ustad, santri, dan pengurus <br />b. Sarana perangkat keras yang terdiri dari masjid, rumah kyai, rumah dan <br />asrama ustadz, pondok atau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, <br />tanah untuk berolah raga dan sebagainya. <br />c. Perangkat lunak, yang terdiri atas; tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata <br />tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi, cara pengajaran, keterampilan, <br />pusat pengembangan masyarakat, dan alat pendidikan lainnya. <br /><br /><br />Disamping beberapa mekanisme dan sistem yang dikembangkan dimuka, <br />maka dikenalkan pula beberapa kajian mengenai sistem pengajaran, dimana <br />pengajaran tersebut merupakan bagian pokok atas dikembangkannya beberapa <br />kajian atas pondok pesantren, hal ini dapat digolongkan pada beberapa cara <br />pengajaran yaitu: <br /><br />a. Sistem hafalan; yaitu cara belajar ini merupakan landasan utama bagi <br />santri untuk mengafal beberapa kaidah atau pelajaran yang diberikan. <br />b. Sistem bandongan, hal ini merupakan sistem belajar pertama yang <br />dikembangkan oleh kyai, yang selnjutnya biasanya dibentuk ke dalam <br />kelompok belajar, dan biasanya pengajarannya pun menggunakan bahasa <br />Arab yang selanjutnya diterjemahkan kedalam bahasa setempat. <br /><br /><br /><br /><br />c. Sistem sorogan, hal ini merupakan sistem belajar individual, dimana <br />seorang kyai berhadapan langsung dengan santri, sehingga terjadi <br />komunikasi dua arah antara santri dengan kyai. <br />d. Sistem halaqoh, biasanya pada pengajaran model ini dikembangkan <br />dengan cara diskusi dalam memahami berbagai kitab guan mendapatkan <br />berbagai kesimpulan atas beberapa permasalahan yang berkembang dalam <br />diskusi tersebut. <br /><br /><br />Dalam bahasa yang lain dikembangkan pula sistem pengajaran wetonan, <br />yaitu sitem pengajaran dengan menggunakan methode kuliah, dimana para santri <br />mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan kitab <br />kuning dengan cara kuliah, dan santri menyimak kitab masing-masing dan <br />membuat catatan, istilah wetonan ini berasal dari kata Jawa yang berarti waktu, <br />dan biasanya pengajar ini dilaksanakan pada hari jum’at, minggu dan hari-hari <br />lainnya yang dianggap baik. <br /><br />C. Inovasi dalam Tubuh Pondok Pesantren <br /><br />Pada sebagian masyarakat tradisional sebernarnya sudah ada <br />kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan suatu pembaharuan, namun karena <br />keterbatasan ruang lingkup terutama pengetahuan serta beberapa kesempatan yang <br />kurang dimiliki oleh masyarakat tradisional, maka perubahan-perubahan tersebut <br />cenderung lamban bila dibandingkan dengan masyarakat modern, demikian <br />halnya yang terjadi pada masyarakat pesantren tradisional yang cenderung <br />dianggap lamban dalam melakukan berbagai inovasi atas kekurangan-kekurangan <br />yang selama ini membelenggu sistem yang ada. <br /><br /><br /><br />Masyarakat Islam tradisional di Jawa dianggap statis dan demikian kuat <br />terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama di abad pertengahan, sebenarnya telah <br />mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, akan tetapi <br />perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, bahkan demikian rumit <br />dan cenderung lebih tersimpan dalam suatu sistem yang menyelimutinya, <br />sehingga perubahan-perubahan tersebut tidak bisa nampak ke permukaan, <br />walaupun sebenarnya terjadi di hadapan mata sendiri, kecualai bagi mereka yang <br />mencermati perubahan-perubahan tersebut secara seksama terutama di kalangan <br />pemikir-pemikir Islam. <br /><br />Lebih lanjut dikemukakan oleh Snouck bahwa sebenarnya Islam <br />tradisional yang dalam aspek pendidikan mengimplementasikan sistem <br />pendidikan pesantren ke dalam kegiatan belajar-mengajar hal ini sudah dianggap <br />terbiasa melakukan perubahan-perubahan. <br /><br />Adapun penyebab utama dari ketidak terbukaannya sistem perubahan <br />tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap pesantren memang sangat hati-<br />hati dalam menentukan pilihan, sehingga selektifitas tersebut banyak pengamat <br />mengatakan bahwa pesantren telah bersikap sangat tertutup, selektifitas tersebut <br />sebenarnya dapatlah dimaklumi karena biasanya didasarkan atas beberapa <br />pertimbangan yang paling utama adalah pertimbangan keagamaan serta komunitas <br />sosial. <br /><br />Dari beberapa sikap pesantren yang dmikian tertutup itu dimungkinkan <br />atas pengaruh jajahan Hindia Belanjda yang telah lama membelenggu, sehingga <br />akibatnya pesantren telah memilih jalan k0-operatif dengan berbagai pihak <br /><br /><br /><br />khususnya pada saat itu dengan pihak penjajah, dari kondisi yang demikian itulah <br />sehingga menyebabkan pesantren lebih selektif dalam melakukan suatu <br />perubahan. <br /><br />Akan tetapi perhitungan tahun 1950-an bahwa telah terjadi exodus para <br />anak didik ke sekolah-sekolah umum (Slamet Efendi, 1983; VXI), kenyataan-<br />kenyataan seperti ini merupakan akibat langsung dari semakin besarnya pengaruh <br />lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah dimata <br />masyarakat. <br /><br />Exodus anak didik tersebut tentu saja secara tidak langsung dapat <br />mempengaruhi pesantren pada peradaban berikutnya mengalami suatu kesuraman, <br />walaupun banyak lagi faktor-faktor lain yang menjadi penyebab, seperti <br />banyaknya Kyai yang memanfaatkan ajang politik dan birokrat guna sebagai <br />saluran aktifitas sosial keagamaan, dengan sendirinya, maka pergeseran nilaipun <br />semakin kian menjadi. <br /><br />Exodus anak didik juga dapat ditafsirkan sebagai pertanda adanya <br />pergeseran aspirasi dan tujuan serta tuntutan masyarakat dari orientasi murni <br />keilmuan dan keagamaan menuju suatu tarap kehidupan yang birokratik dan <br />menuju orientasi materialistis dan politis. <br /><br />Pesantren dalam kiprahnya telah memberikan pelajaran-pelajaran agama <br />Islam tanpa mengharapkan imbalan dan balasan jasa seperti adanya ijajah dan <br />sejenisnya yang dapat dijadikan alat guna untuk mendapatkan kepastian <br />pekerjaan, tetapi sebaliknya sekolah-sekolah umum terlalu banyak memberikan <br />pengharapan yang pasti akan pekerjaan yang akan dinikmati di kemudian hari. <br /><br /><br /><br />Disamping faktor diatas, pembaharuan dalam tubuh pesantren dipengaruhi <br />pula oleh faktor ideologis, kebutuhan memperbaiki kualitas dan terakhir <br />pertimbangan strategis, faktor ideologis dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan <br />Islam yang senantiasa memberikan pegangan kepada masyarakat untuk berpegang <br />teguh kepada ajaran agama Islam untuk dijadikan dasar ketika melakukan suatu <br />hal, ajaran Islam ini secara tegas mentolelir adanya pembaharuan. <br /><br />Sedangkan faktor strategis merupakan kebutuhan lembaga untuk semakin <br />memperbaiki diri, dan faktor ini erat kaitannya dengan masalah perjalanan <br />lembaga pendidikan Islam, yaitu dengan melihat sendiri hasil yang dicapai oleh <br />tingkat pendidikan dan pengajaran santri kurang maksimal, terutama dalam <br />pasaran dunia kerja, dan hal ini dapat dilakukan dengan melakukan ko-operatif <br />dan non-ko-operatif dengan pihak lain yang dapat dijadikan rekan atau mitra <br />dalam melakukan kerjasama. <br /><br />Adapun faktor kualitas merupakan suatu tuntutan masa depan pesantren <br />agar output atau lulusan pesantren agar dianggap semakin mampu untuk bersaing <br />dengan pasar kerja dan untuk hidup layak di masyarakat. <br /><br />Pembaharuan ada seringkali diidentikan dengan istilah modernisasi, kata <br />seperti ini merupakan pengalihan bahasa dari Latin yang diadopsi kedalam bahasa <br />Indonesia, yaitu asal kata modernus (modo berarti baru saja), atau dalam bahasa <br />sekarang mutakhir (Foeler, 1973; 778), adapun menurut bahasa Inggris kata <br />modern diartikan dengan “of the present or recent time” (berkenaan dengan masa <br />kini), yang dalam hal ini dapat diartikan pula sebagai “a person on think of <br /><br /><br /><br />modern times and though “ yang berarti manusia, benda atau pemikiran Moslem <br />(Guralink, 1987; 387). <br /><br />Adapun kata pembaharuan itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang <br />berarti tajdid, dengan demikian, maka pembaharuan itu sendiri merupakan <br />pengertian atas segala sesuatu yang dianggap baru, dan hal ini memang baru <br />ditemukan dan tidak pernah tersentuh oleh orang lain atau sesuatupun, dalam <br />pengertian lain tajdid diartikan pula dengan <br /><br />. <br />Pengembalian semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman <br />awal Islam, dan gerakan ini mengorientasikan pada usaha-usaha <br />pemurnian. <br />. <br />Dapat pula diartikan sebagai upaya pengimplementasikan ajaran Islam <br />sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, dan gerak yang <br />memperjuangkan ide-ide ini adalah disebut dengan gerakan pembaharuan <br />atau renewel (Jaenuri, 1995; 41). <br /><br /><br />Pandangan modernisasi dalam Islam cenderung mengarah kepada salah <br />satu akibat pada kemajuan yang terjadi di Barat dan ditambah lagi dapat merubah <br />dasar-dasar keagamaan yang fundamental, kemudian cenderung mengarah kepada <br />weternisasi yang berakibat pada kehidupan dan paham materialistis (Anshari, <br />1983; 196). <br /><br />Pembaharuan dalam tubuh pesantren berarti dapat diartikan secara luas <br />yaitu terjadi salah satu perubahan pada gerak dan ide yang kesemuanya <br />merupakan gerak rentetan aksi yang dilancarkan secara sadar guna merumuskan <br />bahkan membentuk kembali pola dan tatanan yang telah mengalami perubahan-<br /><br /><br /><br />perubahan, baik yang bersifat revolusioner ataupun yang dialami secara bertahap, <br />(Bahasoen. 1984; 107). <br /><br />Mengakar pada permasalahan diatas, maka inovasi dalam tubuh pesantren <br />dapat diartikan sebagai penataan kembali lembaga pendidikan tersebut melalui <br />penyempurnaan diberbagai bidang, khusus dalam penelitian ini, maka penulis <br />lebih cenderung mendekatkan diri pada disiplin ilmu manajemen, dengan <br />penataan kembali bidang ini, maka kebijakanpun akan semakin berjalan dengan <br />baik dan kinerja pesantren semakin menggeliat dan tidak hanya dipandang sebelah <br />mata. <br /><br />Asumsi diatas membawa kepada suatu titik perhatian bahwa dengan <br />menajemen kepemimpinan yang professional mendorong pesantren untuk <br />melakukan kinerjanya dengan baik, bukti pertama untuk kemajuan tersebut <br />terletak pada unsure dasar Kyai sebagai figure kepemimpinan dalam pesantren <br />tersebut. <br /><br />Menitik beratkan figure kepemimpinan Kyai sebaga sosok panutan <br />masyarakat, maka suatu inovasi yang dilakukan oleh pesantren pun tiak akan <br />terlepas dari berbagai komponen pendukung lainya, dalam hal ini terutama <br />keinovatifan pesantren sebagai suatu organisasi sosial. <br /><br />Beberapa ratus penelitian tentang keinovatifan organisasi telah dibahas <br />dan bahakan diselesaikan pada decade 1970-an, maka ada salah satu jenis <br />penelitian difusi yang berbeda dalam organisasi dimulai, yang menitik beratkan <br />pada proses inovasi di dalam organisasi. <br /><br /><br /><br />Penelitian keinovatifan organisasi membantu menjelaskan karakteristik <br />dari organisasi yang inovatif, maka dengan berlandasakan pada paradigma <br />dibawah ini, akan dapat diukur sampai sejauhmanakah pesantren telah melakukan <br />berbagai inovasi baik berhubungan dengan manajerial ataupun dengan berbagai <br />bentuk kebijakan yang digariskan oleh Kyai, organisasi yang lebih besar lebih <br />inovatif justru ada ketika individu-individu dengan status sosial yang lebih tinggi <br />sehingga memungkinkan derajat orisinialitas yang jujur terjadi dalam penelitian <br />keinovatifan organisasi, walaupun methodeologi penelitiannya secara langsung <br />diambil dari penelitian keinovatifan untuk tingkat individual. <br /><br />Keinovatifan pesantren sebagai suatu organisasi tidak akan terlepas dari <br />beberapa variabel bebas, yakni pertama karakteristik individu pemimpin <br />pesantren, dan kedua karakteristik struktur organisasi interna pesantren, ketiga <br />karakteristik struktur organisasi eksternal pesantren, disini kita melihat variabel <br />bebas berhubungan dengan keinovatifan organisasi sebagai variabel terikat, <br />(mimbar ilmiah X N0 39, 2000; 13), model seperti ini bisa dilihat pada gambar <br />berikut : <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /><br /><br />Gambar: 6 <br /><br />Variabel Pendukung Inovasi Organisasi <br /><br /> Variabel bebas Variabel Terikat <br /><br />1. Karakteristik Individual <br />(Pemimpin) Sikap terhadap <br />perubahan (+) <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />1. Karakteristik Struktur <br />Organisasi Internal : <br /><br />1) Sentralisasi ( - ) <br />2) Kompleksitas ( + ) <br />3) Formalisasi ( - ) <br />4) Saling keterkaitan ( + ) <br />5) Kelenturan organisasi ( + ) <br />6) Ukuran ( + ) <br /><br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> Keinovatifan <br /><br /> Organisasi <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />1. Karakteristik Struktur <br />Organisasi Eksternal : <br /><br /> Keterbukaan sistem ( + ) <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Karakteristik struktur organisasi pesantren didasarkan atas beberapa <br />elemen, diantaranya; sentrelisasi, kompleksitas, formalisasi, saling keterkaitan, <br />kelenturan organisasi, sentralisasi biasanya ditemukan berhubungan erat secara <br /><br /><br /><br />negatif dengan keinovatifan, artinya hal ini dapat dilihat bahwa semakin <br />kekuasaan dipusatkan dalam organisasi, maka ada kecenderungan semakin kurang <br />inovasi organisasi tersebut, banyak sudah gagasan baru dalam suatu organisasi <br />dibatasi bila ada sedikit pemimpin kuat yang mendominasi sistem tersebut, <br />misalnya dalam suatu organisasi yang sentralistis seperti pesantren, pucuk <br />pimpinan kurang baik dalam mengidentifikasi masalah-masalah pada tingkat <br />operasional atau mengajurkan inovasi-inovasi yang relevan untuk memenuhi <br />kebutuhan-kebutuhan, walaupun permulaan suatu inovasi dalam organisasi <br />pesantren bisa mendorong penerapan dari inovasi, pertama kali keputusan inovasi <br />tersebut dibuat. <br /><br />Disamping sentralisasi kekuasaan sebagai variabel pendorong keinovatifan <br />organisasi, maka kompleksitas juga merupakan suatu sistem yang tidak dapat <br />diabaikan, kompleksitas tersbut merupakan derajat dimana anggota-anggota suatu <br />organisasi memiliki tingkat pengetahuan dan keahlian yang telatif tinggi, biasanya <br />diukur melalui rentangan jabatan dan keahlian serta derajat profesionalismenya <br />yang terungkap melalui latihan-latihan resmi, kompleksitas mendorong anggota <br />organisasi untuk menyusun dan menawarkan inovasi-inovasi, tetapi hal tersebut <br />bisa mempersulit kesepakatan tentang bagaimana mengaplikasikannya, sehingga <br />hal ini membutuhkan fomalisasi sebagai bentuk penerapan kebijakan menuju <br />suatu keinofatifan. <br /><br />Formalisasi adalah merupakan derajat dimana suatu organisasi <br />menekankan ketaatan terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur dalam peran <br />kinerja para anggota organisasi, formalisasi semacam ini berlaku pula untuk <br /><br /><br /><br />mengalangi pertimbangan inovasi oleh anggota organisasi yang mendorong <br />penerapan inovasi tersebut, sehingga bagaimanapun suatu model kebijakan yang <br />dilakukan oleh pemimpin suatu organisasi akan mempengaruhi kinerja para <br />anggotanya, oleh sebab itu keterkaitan masing-masing anggota organisasi <br />dibutuhkan dalam pengukuran keinovatifan organisasi. <br /><br />Saling keterkaitan itu sendiri merupakan derajat dimana unit-unit dalam <br />suatu sistem sosial dihubungkan oleh jaringan-jaringan interpersonal, gagasan-<br />gagasan baru dapat saja mengalir secara mudah diantara anggota organisasi jika <br />organisasi iut sendiri memiliki keterkaitan jatingan yang tinggi, sebab secara <br />langsung variabel ini akan menghubungkannya dengan keinovatifan organisasi. <br /><br />Pesantren sebagai sosok organisasi yang memiliki jaringan yang luas <br />terutama dengan masyarkat, hendaknya memiliki kemudahan dalam <br />merefleksikan keinovatifannya, namun pada kenyataannya pesantren sebagai <br />salah satu sosok organisasi yang kaku yang pada satu sisi sering menekankan <br />kebutuhan dan gagasan yang bahkan masyarakat sendiri kurang memahami akan <br />bentuk kebijakan tersebut sebab hal ini behubungan langsung dengan sosok dan <br />figure seorang Kyai yang mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga lajimnya <br />suatu kebijakan seorang kyai, maka kebijarkan tersebut tidak dapat ditawar lagi <br />bahkan merupakan keputusan pinal, sehingga pengukuran keinovatifan pesantren <br />dapat diukur dan di dukung pula oleh kelenturan pesantren itu sendiri. <br /><br />Kelenturan pesantren sebagai suatu organisasi merupakan derajat dimana <br />sumber-sumber yang tidak terikat (netral), tersedia di dalam pesantren tersebut, <br />hal ini dimaksudkan bahwa pesantren sebagai suatu organisasi secara positif <br /><br /><br /><br />berhubungan dengan keinovatifan organisasi, khususnya untuk inovasi biaya <br />tinggi, sehningga ukuran keinovatifan biasanya diukur pula oleh ukuran suatu <br />organiasai secara konsisten, sebab hal ini ditemukan memiliki hubungan yang <br />positif dengan keinovatifannya, maka dapat dijelaskan bahwa semakin besar <br />organisasi, maka akan semakin inovatif (Mimbar Ilmiah, 2000, 39). <br /><br />Mengapa para peneliti secara konsisten menemukan bahwa ukuran <br />merupakan satu dari predictor yang paling baik dari keinovatifan organisasi ?, hal <br />ini dilihat bahwa ukuran merupakan suatu variabel mudah untuk diukur, dengan <br />suatu taraf ketepatan yang relatif tinggi, sehingga ukuran dimasukkan untuk <br />menjadi salah satu kejian tentang penelitian keinovatifan suatu organisasi, juga <br />dalam sisi lain bahwa ukurang merupakan suatu wakil dari beberapa dimensi yang <br />mengantar kepada inovasi organisasi; sumber total sumber yang lamban, keahlian <br />teknis, dan para anggota organisasi merupakan pendukung berikutnya bagi suatu <br />inovasi, sisi lain ada variabel yang tidak di identifikasikan ini belum dipahami <br />secara jelas atau diukur secara tepat dalam kebanyakan penelitian. <br /><br />Hasil dari beberapa penelitian tentang keinovatifan organisasi menunjukan <br />korelasi yang agak rendah dari setiap variabel bebas dengan keinovatifan <br />aoganisasi, hal ini di dasarkan atas satu pertimbangan bahwa setiap variabel <br />struktur organisasi bisa berhubungan dengan inovasi dalam satu arah selama <br />permulaan tahap proses inovasi, dan dalam arah yang berlawanan selama <br />implementasi, sentralisasi yang rendah, kompleksitas yang tinggi dan formalisasi <br />yang rendah membantu permulaan proses. Suatu inovasi organisasi, akan tetapi <br /><br /><br /><br />karakteristik structural ini menyelitkan suatu organisasi untuk menerapkan inovasi <br />tersebut (Zaltman, dkk 1997; 45). <br /><br />Selain beberapa faktor pendung inovasi seperti diterangkan di atas, berikut <br />ini ada beberapa faktor pendukung yang berpengaruh terhadap inovasi, terutama <br />dilihat dari faktor eksternal dan internalnya. <br /><br />Gambar: 7 <br /><br />Faktor Eksternal dan Internal <br /><br />Yang Mempengaruhi Inovasi Organisasi <br /><br /> <br /><br /> Faktor manusia <br /><br />(sistem sosial internal) <br /><br /> <br /><br /> Sistem <br /><br /> Sosial <br /><br /> <br /><br /> Faktor sosial <br /><br />(sistem sosial eksternal) <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> Sistem mempengaruhi <br /><br /> Adminstrasi kegiatan <br /><br /> organisasi <br /><br /> <br /><br />Struktur <br /><br /> <br /><br /> Sistem <br /><br /> Teknologi <br /><br /> <br /><br />Teknologi <br /><br /> <br /><br />Gambar diatas menunjukan bahwa setiap usaha merencanakan untuk <br />melakukan suatu perubahan memerlukan persiapan, dan yang bersifat teknik yang <br />mengelilingi organisasi, sistem sosial ditentukan oleh manusia, yakni sistem sosial <br />internal dan sistem sosial eksternal individu yang mempengaruhi sistem <br /><br /><br /><br />kepribadiannya, sedangkan sistem yang bersifat teknik yakni sistem tekhnologi <br />yang sangat ditentukan oleh struktur dan keberadaan tekhnologi itu sendiri. <br /><br />Sebagai salah satu contoh inovasi yang dilakukan oleh sistem pendidikan <br />di Indonesia banyak sekali baik secara mikro maupun makro, seperti dengan <br />diberlakukannya SKS di pendidikan tinggi yang dimulai pada awal tahun 1982, <br />sehingga hal ini mengacu kepada teori inovasi pendidikan melalui berbagai <br />tahapan dan uji coba. <br /><br />Inovasi sebagai suatu sistem terbuka di dukung pula oleh beberapa <br />komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, dengan <br />menentukan pilihan inovasi sebagai suatu analisa atas sistem terbuka dari adanya <br />perkembangan ilmu pengetahuan, maka hal ini dapat dilakukan melalui analisis <br />kebutuhan organisasi akan inovasi, proses, dan evaluasi. <br /><br />1. Analisis Kebutuhan Inovasi Organisasi <br /><br />Inovasi organisasi dimodifikasi agar sesuai dengan organisasi, selain itu <br />struktur organisasi dapat diubah untuk mengakomodasi inovasi tersebut, kadang-<br />kadang suatu unit organisasi baru di buat agar tanggap tehadap inovasi tersebut, <br />seperti ketika organisasi memasang suatu perangkat tekhnologi baru seperti <br />komputer, dalam kasus seperti ini inovasi bisa mempengaruhi struktur dari <br />keseluruhan organisasi, seperti ketika salah satu pesant diterima, maka dengan <br />sendirinya setiap anggota organisasi memiliki akses komunikasi langsung dengan <br />sempurna. <br /><br />Penerapan dari suatu sistem inovasi tekhnologi dalam suatu organisasi <br />terdiri dari adaptasi bersama inovasi dan organisasi tersebut, khususnya setiap <br /><br /><br /><br />perubahan selama sub implementasi. Inovasi tidak hanya beradaptasi dengan <br />penyusunan organisasional dan industrial yang ada, tetapi mereka juga mengubah <br />struktur dan praktek dari lingkungan tersebut, (Van Den Ven, 1986). <br /><br />Adaptasi bersama ini harus terjadi karena inovasi apapun hampir tidak <br />sesuai secara persis dengan organisasi di mana inovasi itu akan digunakan, oleh <br />sebab itu, maka dalam hal ini diperlukan suatu kreatifitas untuk menghindari, <br />bahkan mengatasi ketidak sesuaian yang terjadi antara inovasi dengan organisasi. <br /><br />Tekhnologi sering dianggap sebagai suatu kekuatan eksternal dan objektif <br />yang dapat mempengaruhi struktur organisasi, suatu pandangan yang lebih baru <br />dan realistic terhadap tekhnologi dalam suatu sistem organisasi, suatu pandangan <br />baru akan lebih menitik beratkan pada posisi hasil yang dicapai dari interaksi <br />manusia. <br /><br />Tahapan redefinisi dan restrukturisasi dalam proses inovasi suatu organisasi <br />terdiri dari konstruksi sosial, dimana persepsi tentang masalah organisasi dan <br />inovasi muncul secara bersamaan dan diubah satu sama lain, jika inovasi berasal <br />dari dalam organisasi, maka individu-individu menganggapnya sebagai familiar <br />dan cocok karena hal tersebut mudah bagi mereka untuk menentukan dan <br />memberikan makna kepada gagasan baru, demikian halnya jika inovasi dilakukan <br />oleh sumber-sumber luar tetapi tetap bersifat fleksibel dan bisa di reinvensi, maka <br />anggota-anggota dapat didefinisikan gagasan baru itu sehingga menjadi milik <br />mereka sendiri. <br /><br />Inovasi yang berhubungan dengan perangkat tekhmologi tidak semalanya <br />menciptakan kepastian, sebab terkadang yang tidak menyenangkan dalam suatu <br /><br /><br /><br />sistem yang sering menimbulkan resistensi terhadap tekhnologi tersebut terutama <br />dalam aflikasinya. <br /><br />Gerwin (1988) menemukan sesuai yang bermanfaat untuk mengidentifikasi <br />tiga jenis ketidak pastian yang berbeda-beda dalam meneliti tekhnologi <br />manufaktur yang berbantuan dengan tekhnologi, seperti komputer “ketidak <br />pastian teknis, yakni derajat dimana ada kesulitan bagi suatu organisasi dalam <br />menentukan langkah reabilitas, kemampuan, dan ketetapan, dari teknologi baru <br />tersebut”. <br /><br />Inovasi dalam suatu organisasi terutama diselidiki dengan mengkorelasikan <br />variabel-variabel bebas dengan keinovatifan organisasi dengan analisis data cross <br />sectional suatu temuan dalam penelitian keinovatifan organisasi bahwa dalam <br />suatu organisasi diminta untuk memberikan data, namun demikian ditemukan <br />koreksi rendah antara variabel-variabel karakteristik dengan keinovatifan <br />organisasi, dan jenis penelitian ini saat sekarang sudah ketinggalan zaman. <br /><br />2. Proses Inovasi dalam Organisasi. <br /><br />Proses inovasi dalam suatu organisasi sudah ditelusuri oleh para ahli difusi <br />guna mengidentifikasi urutan utama dari suatu keputusan, tindakan dan juga <br />peristiwa-peristiwa dalam proses ini, data tentang proses suatu inovasi dapat <br />diperoleh dengan mensistensikan persepsi dari inovasi, catatan-catatan tertulis <br />tentang penerimaan organisasi dan sumber-sumber data lain. <br /><br />Asumsi umum dari penelitian tentang inovasi dalam organisasi adalah <br />bahwa variabel-variabel organisasi berlaku tehadap perilaku inovasi bersama-<br />sama dengan anggota-anggota organisasi, maka koreksi organisasi dari penelitian-<br /><br /><br /><br />penelitian proses inovasi ini menambahkan sejenis perlengkapan intelektual untuk <br />analisis ini, dalam penelitian seperti ini organisasi sering dilihat sebagai <br />penghalang bahkan penolak inovasi, sekurng-kurangnya masalah yang biasanya <br />ditemui dalam usaha untuk menerapkan suatu inovasi dalam usaha untuk <br />mengaflikasikan inovasi tersebut. <br /><br />Inovasi sebagai suatu proses memiliki lima langkah utama yang hendak <br />ditempuh dalam merefleksikan inovasi tersebut, yakni : <br /><br />a. Agenda Setting <br /><br /><br />Hal ini terjadi dalam proses inovasi ketika suatu masalah organisasional <br />umum bisa menciptakan suatu kebutuhan bagi suatu inovasi didefinisikan, proses <br />agenda setting berlangsung pada setiap saat dalam setiap sistem tersebut, hal <br />tersebut merupakan suatu keharusan sehingga sistem mengetahui apa yang sedang <br />berlangsung pada setiap saat dalam setiap sistem tersebut, agenda setting adalah <br />cara dimana kebutuhan-kebutuhan, masalah-masalah, isu-isu mencul melalui <br />sistem dan diprioritaskan untuk diperhatikan dalam suatu hierarki (Dearing dan <br />Rogers). <br /><br />b. Penyesuaian <br /><br /><br />Penyesuaian didefinisikan sebagai tahap dalam proses inovasi dimana suatu <br />masalah dari agenda organisasi disesuaikan dengan suatu inovasi, dan <br />penyesuaian ini direncanakan dan dirancang, pada tahapan berikut proses inovasi <br />menjadi masalah bersama-sama membentuk permulaan yang didefinisikan <br />sebagai semua pengumpulan informasi, pengkonseptualisasi dan perencanaan <br />untuk penerimaan suatu inovasi yang menimbulkan keputusan untuk <br /><br /><br /><br />menerimanya, sub proses inpelementasi terdiri dari tiga tahapan yakni; redifinisi, <br />larifikasi, dan rutinisasi. <br /><br />c. Redifinisi <br /><br /><br />Hal ini terjadi bila inovasi direinvensi untuk mengakomodasi kebutuhan <br />dan struktur organisasi dan struktur organisasi tersebut dimodifikasi agar sesuai <br />dengan inovasi tersebut. Inovasi dan organisasi diharapkan untuk berubah, <br />sekurang-kurangnya pada taraf tertentu, selama tahap redifnisi dalam tahap <br />inovasi, namun demikian suatu penelitian terhadap beberapa proses dalam tiga <br />organisasi oleh Tyre dan Orlikowski (1994) menemukan bahwa hanya sedikit <br />kesempatan yang tersedia dalam suatu organisasi dimana inovasi dimodifikasi. <br /><br />d. Klarifikasi <br /><br /><br />Klarifikasi terjadi bila inovasi digunakan secara luas dalam suatu <br />organisasi, sehingga makna dari gagasan barunya secara berangsur-angsur <br />menjadi lebih jelas bagi para anggota organisasi tersebut, penerapan suatu inovasi <br />yang terlalu cepat pada tahap klarifikasi sering menimbulkan hasil-hasil yang bisa <br />membawa malapetaka. <br /><br />Efek samping yang tidak diharapkan atau ketidak pahaman terhadap <br />inovasi bisa terjadi, jika diidentifikasi dengan jelas, maka tindakan korektif bisa <br />dilakukan, pengaturan yang stabil dibuat untuk inovasi dalam organisasi pada <br />tahap klarifikasi dalam proses inovasi, inovasi menjadi dimasukan kedalam <br />struktur organisasi. <br /><br /><br /><br />Tahap klarifikasi dalam proses inovasi di dalam suatu organisasi terdiri dari <br />konstruksi sosial bila suatu gagasan baru diimplementasikan pertama kali dalam <br />suatu organisasi tersebut. <br /><br />e. Rutinisasi <br /><br /><br />Rutinisasi terjadi bila inovasi dimasukan kedalam kegiatan-kegiatan reguler <br />organisasi dan inovasi kehilangan identitas khasnya, pada tahapan ini , proses <br />inovasi dalam suatu organisasi menjadi lengkap, pada anggota organisasi sudah <br />berfikit lagi tentang inovasi itu sebagai suatu gagasan baru, ia sudah diserap <br />sepenuhnya kedalam kegiatan-kegiatan rutin organisasi. <br /><br />3. Penelitian Atas Inovasi Organisasi <br /><br />Setiap organisasi memiliki order dan tatanan untuk mengatur hubungan <br />timbal balik fungsional diantara perbagai unit kerja, sehingga akibatnya apabila <br />ada perubahan yang terjadi dalam satu unit kerja maka otomatis akan <br />mempengaruhiunit lainnya, bentuk perubahan dimaksud adalah perubahan <br />hierarki dan wewenang, peranan individu dalam pekerjaan, penataan kembali <br />hubungan kerja melalui jaringan komunikasi formal, tampilan jenis pekerjaan dan <br />penciptaan kerja baru yang disebabkan oleh kehadiran tekhnologi. <br /><br />Pendekatan humanistic terhadap inovasi nampaknya sampai saat sekarang <br />merupakan salah satu pendekatan yang dianggap efektif untuk suatu inovasi <br />dalam organisasi apapun, sebab dengan pendekatan semacam ini keterlibatan <br />masing-masing anggota akan semakin dekat dan semakin mempermudah bagi <br />terlaksananya inovasi. Demikian halnya dengan inovasi kepemimpinan yang <br />dilakukan oleh organisasi seperti pesantren akan lebih menyentuh dan lebih <br /><br /><br /><br />memudahkan untuk melakukan inovasi di maksud bila sentuhan dan pendekatan <br />humanistic lebih dikedepankan, adapun pendekatan selama ini yang dipergunakan <br />oleh pesantren adalah suatu pendekatan kharismatik, sehingga nampaknya <br />mengalami suatu kesulitan ketika pesantren harus melakukan suksesi, dan pada <br />intinya di dalam pesantren sampai saat sekarang tidak melakukan suksesi secara <br />formal sebab kepemimpinan didasarkan atas turun temurun dan kekeluargaan. <br /><br />Hal diatas merupakan salah satu kendala yang akan dihadapi pesantren di <br />kemudian hari, terlebih jika pengganti mendatang tidak seperti pemimpin terdhulu <br />terutama dalam kharismatiknya, dari analisa penulis, pesantren kurang cermat <br />dalam melakukan suksesi bahkan tidak pernah membuka peluang untuk orang lain <br />untuk masuk kedalam dinasti pesantren tersebut, sehingga akibat yang muncul <br />yaitu pesantren harus dengan siap diri membuka peluang bagi pihak eksternal <br />yang memang sejalan dengan ide pesantren untuk melakukan pergantian <br />kepemimpinan dan bila tidak, maka hendaknya pesantren mempersiapkan diri <br />jauh calon pemimpin untuk masa mendatang, dan jika hal ini dilakukan, maka <br />pesantren ditakutkan hanya akan tinggal sebuah nama. <br /><br />Dalam hal ini ada sedikitnya beberapa pertimbangan bagi pesantren untuk <br />melakukan pergantian kepemimpinan, yakni ; (a) Berikan kesempatan untuk pihak <br />luar dalam berperanserta dalam proses pergantian kepemimpinan tersebut (b) <br />bersikaplah lebih fleksibel (c) memberikan antusiasme dan penghargaan akan <br />gagasan inovasi <br /><br />D. Beberapa Studi tentang Manajemen <br /><br />a. Fleksibilitas, Efektifitas, dan Efisiensi Manajemen <br /><br /><br /><br />Manajemen yang baik ialah manajemen yang tidak jauh menyimpang dari <br />konsep, dan yang sesuai dengan obyek yang ditangani serta tempat organisasi itu <br />berada. Sebagai bagian dari suatu ilmu, seharusnya manajemen itu tidak boleh <br />menyimpang dari konsep manejemen yang sudah ada. <br /><br />Dalam teori majajemen modern, manajemen yang baik setidaknya <br />mencakup tiga sifat, yaitu fleksibel manajemen, efektifa manajemen dan efisien <br />manajemen. Manajemen yang dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi <br />dan kondisi disebut manajemen yang fleksibel, (Made Pidarta, 1992: 18). <br />Manajemen ini tidak kaku, ia dapat berlangsung dalam kondisi dan situasi yang <br />berbeda-beda. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru, tuntutan-tuntutan <br />masyarakat yang berubah dari semula, perubahan-perubahan nilai masyarakat, dan <br />sebagainya tidak akan menghentikan aktivitas manajer ini. Manajemen akan <br />berjalan terus dengan rivisi di sasa-sini. Hal ini menjamin kelangsungan hidup <br />organisasi. Oleh sebab itu para manajer perlu mengusahakan manajemennya agar <br />bersifat fleksibel. <br /><br />Ada sejumlah nilai yang pada umumnya bisa diterima dalam manajemen. <br />Nilai-nilai yang dimaksud ialah kebahagiaan, ketaatan pada hokum, konsistensi, <br />integritas, dan kesetiaan (Massie, 1973 28). Kebahagian ialah nilai tertinggi, <br />bukan saja pada manajemen melainkan pada setiap aktivitas manusia. Sebab <br />seseorang yang berasa bahagia akan melakukan kegiatan sepenuh hati dengan <br />menomorduakan imbalan materi. Manajer yang bahagia merasa pekerjaannya <br />sebagai sesuatu yang indah, yang memikat dirinya, yang mempesona hatinya <br /><br /><br /><br />untuk bekerja tanpa mengenal lelah. Ia mampu menikmati estetika manejemen, <br />manajemen menjadi hobinya. <br /><br />Ketaatan kepada hukum sebagaimana didambakan oleh para pecinta <br />hukum, juga diharapkan terjadi pada manajemen. Sebab manajemen itu sendiri <br />pada hakikatnya menciptakan hukum untuk organisasinya sendiri, berupa <br />peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan. Ciptaan ini perlu ditaati bila ingin <br />administrasi berjalan dengan lancar. (Made, 1992 : 18). <br /><br />Menurut Made Pidarta, nilai konsestensi hampir sama dengan nilai ketaatan <br />kepada hukum dan kesetiaan. Sebab perilaku dan tatakerja para personalia <br />organisasi termasuk para manajer sudah diatur oleh peraturan organisasinya. <br />Diharapkan mereka semua setia kepada peraturan ini dengan cara mematuhinya. <br />Perilaku dan tata kerja yang setia atau patuh kepada peraturan menunjukan <br />konsistensinya akan peraturan itu. Kalau kesetiaan dan kepatuhan itu berlangsung <br />lama maka terjadilah konsistensi yang berkelanjutan. Akan tetapi perlu <br />diperhatikan juga bahwa dalam penerapan manajemen memerlukan sikap kreatif <br />di samping ketajaman hipotesis tentang sifat budaya manusia dan masyarakat <br />dimana manajemen itu akan diterapkan. Sehingga kalau mengabaikan hal ini akan <br />terperosok dalam situasi dilematis, atau jebakan yang tidak terpikirkan sebelum <br />terjadi. (Tim Pembina al-Islam dan Kemuhammadiyahan, 1990 : 133). <br /><br />Integritas pribadi adalah suatu nilai yang sangat diperlukan terutama oleh <br />para pemimpin. Pemimpin yang baik harus memiliki berkepribadian yang utuh <br />agar dapat memikat orang lain, orang menjadi simpati padanya, orang tertarik <br />dengan pembicaraannya, orang terkesima olehnya, (Buchari Alma, 2002 :54). <br /><br /><br /><br />Agar ia dapat diterima dengan baik oleh para anggotanya, maka ia perlu memiliki <br />integritas pribadi. Suatu pribadi yang bisa berbaur dengan pribadi-pribadi lain, <br />suatu kemampuan ini bersumber dari kemampuan menghargai orang lain, <br />menghayati perasaan orang lain, toleransi dan bekerjasama. Sesorang manajer <br />adalah juga seorang pemimpin, maka ia perlu memiliki integritas pribadi. <br /><br />Menurut Evans (1981 : 39), seorang manajer harus memiliki otoritas dan <br />akuntibilitas. Keduanya harus berimbang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila <br />otoritas saja yang dimiliki manajer akan bertindak sewenang-wenang, sebaliknya <br />bila ia hanya memiliki akuntibilitas ia tidak akan mengejar apa-apa. Akuntibilitas <br />adalah lebih dari hanya sekedar tanggung jawab akan penyelesaian tugas yang <br />dibebankan oleh atasan, ialah penyelesaian tugas-tugas yang memberi kepuasan <br />kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama para atasan. Agar bisa <br />belakukan pekerjaan seperti ini perlu dukungan dari orang-orang yang patut diajak <br />berinteraksi. <br /><br />Kearah mana manejemen pendidikan itu harus ditujukan? Made Pidarta, <br />seorang ahli menajemen pendidikan memberikan uraian bahwa di samping <br />seorang manajer sudah diberi otoritas oleh atasannya, ia sebaiknya seorang <br />professional dalam bidangnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu <br />memenej organisasinya dengan baik, efektif dan efisien di samping fleksibel. <br /><br />b. Manajemen Pesantren pada Aspek Teknis (Managemen by Techniques) <br /><br />Manajemen pada aspek teknis ialah usaha para manajer menangani teknik-<br />teknik yang ada dalam organisasinya, agar teknik-teknik itu dapat digunakan <br />seoptimal mungkin dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Teknik-teknik baru <br /><br /><br /><br />dikembangkan pula untuk menjawab tantangan perubahan zaman, baik dalam <br />tekniknya itu sendiri maupun dalam usaha memenuhi tuntutan lingkungan dan <br />inovasi. ( Made Pidarta: 1992 : 90). <br /><br />Dalam hal ini adalah bagaimana manajemen yang dikembangkan oleh <br />pondok pesantren dapat memberikan konstribusi yang produktif, kualitatif dan <br />bermanfaat. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis akan mencoba menguraikan <br />tentang manejemen pesantren pada aspek teknis pengolahan organisasinya. Akan <br />tetapi sebelum lebih jauh mengungkap bagaimana manajemen pesantren pada <br />aspek teknisnya, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar <br />tentang manajemen dan kepemimpinan itu sendiri. <br /><br />1. Manajemen <br /><br />Istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris management. Istilah ini <br />terjadi dari akar kata manus, tangan, yang berkaitan dengan kata menagerie yang <br />berari beternak. Menegerie juga berarti sekumpulan binatang liar yang <br />dikendalikan di dalam kandang. Kata manus dipengaruhi oleh kata ménage yang <br />datang dari bahasa Perancis kuno mesnage. Kata ini berasal dari bahasa Latin <br />mansionaticum yang berarti pengelolaan rumah besar. Jadi dipandang dari segi <br />arti kata, manajemen berarti pengelolaan, (Taliziduhu Nadraha, 1988: 91). Kamus <br />istilah Manajemen (1978) mengartikan manajemen sebagai (1) proses penggunaan <br />suberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran, dan (2) pejabat pemimpin yang <br />bertanggung jawab atas jalannya perusahaan atau organisasi. <br /><br />Dalam The History of Management Thought (1972), clued S. George, Jr. <br />mengungkapkan bahwa peninggalan sejarah berupa catatan tertulis yang terdapat <br /><br /><br /><br />di bekas kerajaan Sumeria berusi sekitar 5000 tahun SM, adalah sumbangan <br />pertama di bidang manajemen . Negeri Sumeria ini terletak di bagian paling <br />selatan Mesopotamia, dekat bekas muara sungai Tigris dan Euphrates. Berbagai <br />peninggalan sejarah lainnya di bagian-bagian dunia ini menunjukan kemampuan <br />bangsa-bangsa untuk memobilisasi sumber-sumber, baik sumberdaya alam, <br />maupun sumber daya manusia. <br /><br />Mc Corkle, Jr. dan Archibald dalam Management and Leadership in <br />Higher Education (1982), menyebutkan tiga fungsi manajemen, yaitu <br />perencanaan dinamik, manajemen sumber-sumber, dan evaluasi. Menurut siklus <br />seperti di bawah ini : <br /><br /> <br /><br />Dynamic <br /><br />Planning <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Multiyer <br /><br />Resaurce <br /><br />Management <br /><br />Performance <br /><br />Evaluation <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Siklus Management menurut McCorkle dan Archibald <br /><br />Sondang P. Siagian, sebagaimana dikutip Malayu SP. Hasibulah (1997: 2), <br />memberikan definisi manajemen adalah kemampuan dan ketrampilan untuk <br />memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-<br />kegiatan orang lain. <br /><br />Herbert G. Hicks dan C. Ray Gullett dalam Management (1983: 7) <br />berpendapat “managing is the procces of getting things done by and thorough <br />others”. Definisi ini merupakan modifikasi dan pengembangan difinisi yang <br /><br /><br /><br />dibuat oleh Mary Parker Follett, “the art of getting things done through peole”. <br />“Things” dalam definisi Hicks dan Gullett disebut “resulls” oleh Donnelly, <br />Gibson, dan Ivancevich dalam Fundementals of Management (1981: 4). Mereka <br />mendefinisikan manajemen sebagai berikut : <br /><br />“Management consists of activites underlaken by one or more <br />persons to coordinate the activities of other pesons to achieve <br />results not achievable by any one person acting alone.” <br /><br />Dinamakan “organizationgoals” oleh James A.F. Stoner dan Charles <br />Wankel dalam Management (1986: 4). Definisi manajemen menurut <br />kedua penulis tersebut demikian: <br /><br />“Management is the procces of planning, organizing, leading, <br />and controlling the efforts of organization member and of using <br />all other organizational resources to, achieve stated <br />organizational goals.” <br /><br />Dari sekian definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa <br />manajemen bertolak dari suatu tujuan tertentu, yang disebut tujuan organisasi. <br />Untuk mencapai tujuan organisasi itu diperlukan kegiatan, yaitu “activities of <br />other pesons” dalam definisi Donnelly, Giboson, dan Ivancervich, yang dapat <br />disebut kegiatan operasional. Kegiatan operasional ini perlu dikoordinasikan, <br />dipimpin, dan dikontrol, dan sumber-sumber organisasional digali, disiapkan, dan <br />digunakan (Stoner dan Wankel). Kegiatan-kegiatan itulah yang disebut kegiatan <br />manajerial. <br /><br /><br /><br />Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam manajemen peranan unsure <br />manusia menjadi penentu, karena manusialah yang menetapkan sasaran, <br />merencanakan dan selalu berperan aktif pada setiap kegiatan yang dilakukan. <br />Manusia mutlak harus berperan aktif dalam semua kegiatan supaya alat-alat <br />canggih yang dimiliki organisasi ataupun perusahaan bermanfaat untuk <br />merealisasi tujuan. <br /><br />2. Kepemimpinan <br /><br />a. Definisi dan Hakikat Kepemimpinan <br /><br />Definisi sebagai rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri konsep <br />yang menjadi pokok pembicaraan, sempat menimbulkan selisih pendapat di antara <br />para pakar. Di satu pihak berpendapat membicarakan definisi akan sungguh-<br />sungguh merupakan maut, definisi tentang suatu pokok persoalan di perlukan. <br />(Wahjosumodjo, 1999: 16). <br /><br />Demikian pula walaupun ada di antara para pakar berpendapat definisi <br />suatu pokok pembicaraan (subject matter) tidak akan dapat membantu banyak <br />tujuan, tetapi satu pendekatan yang memiliki alasan kuat, tampil bahwa definisi, <br />memberikan satu landasan pemahaman fenomena untuk dipelajari. <br /><br />Dari definisi sesuatu pokok permasalahan (subject matter) akan diperoleh <br />keterangan atau frase yang mengungkapkan makna, atau ciri-ciri utama dari <br />subject matter tersebut, baik berupa orang, benda, proses atau kegiatan. (1999: <br />16). <br /><br />Oleh karena itu, banyak definisi diberikan tentang kepemimpinan. Namun <br />sebelum lebih jauh mengemukakan tentang apa itu kepemimpinan ada baiknya <br /><br /><br /><br />lebih dulu mengetahui siapa yang disebut pemimpin (leader) dan kepemimpinan <br />(leadership). Sebab, pada dasarnya antara pemimpin (leader) dengan <br />Kepemimpinan (leadership) itu berbeda sifatnya. <br /><br />Malayu S.P. Hasibuan memberikan difinisi pemimpin adalah <br /><br />“Pemimpin ialah seseorang yang mempergunakan wewenang dan <br />kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung <br />jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan.” <br />(1997: 3). <br /><br />John Pliffner : <br /><br />Leadership is the art of coordinating and motivating individual and <br />group to acieve the desire end.” <br /><br />(Kepemimpinan adalah seni untuk mengkornidasikan dan <br />memberikan dorongan terhadap individu-individu atau kelompok <br />untuk mencapai tujuan yang diinginkan) <br /><br />Menurut George R. Terry, Leadership is the activity of influencing <br />people to strive willingly for group objectives. <br /><br />Harold Koontz and Cyril O’Donneli state that leadership is influencing <br />people to follow in the achievement of a common goal. (Hersey & Blanchard, <br />1997: 84) <br /><br />Jadi kepemimpinan diterjemahkan ke dalam istilah : sifat-sifat, perilaku <br />pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama <br />antar peran, kedudukan dari satu jabatan administrative, dan persepsi dari lain-lain <br />tentang legitimasi pengaruh. <br /><br /><br /><br />Dalam suatu definisi terkandung suatu makna atau nilai-nilai yang dapat <br />dikembangkan lebih jauh, sehingga suatu definisi dapat diperoleh suatu pengetian <br />yang jelas dan menyeluruh tentang sesuatu. Satu di antara definisi kepemimpinan <br />yang bermacam-macam tersebut, mengemukakan : <br /><br />“ Leadership is interpersonal influence exercised in a <br />situation, and directed through the communication process, <br />toward attainment of a specified goal of goal.” <br />( Tannembaum, Weshler & Massarik, 1961: 24) <br /><br />Dari definisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi <br />yang bersifat umum dan sekaligus perbedaan yang bersifat umum pula, seperti : <br /><br />Pertama di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi <br />antara dua orang atau lebih, Kedua didalam melibatkan proses <br />mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengajar (international <br />inluence) digunakan oleh pemimpin terhadap para bawahan, <br />sedangkan kelainan yang bersifat umum, kata Wahjosumidjo (1999 <br />: 18) antara lain : 1) siapa yang mempergunakan pengaruh, 2) tujuan <br />dari pada usaha untuk mempengaruhi; dan 3) cara pengaruh itu <br />dipergunakan. Di samping itu juga, pemimpin yang baik harus <br />memiliki kecakapan untuk mengantisipasi masa depan, <br />memanfaatkan peluang dan kesempatan, jujur dan terbuka, memiliki <br />technical skill, conceptual skills, priority skills, dan kepribadiannya <br />yang menjadi panutan bagi para bawahan. (Malayu S.P. Hasibuan, <br />1997 : 4). <br /><br /><br /><br />Dari berbagai definisi kepemimpinan yang telah dikemukakan di atas, <br />Hersey dan Blanchard menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses dalam <br />mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam situasi tertentu untuk <br />mencapai tujuan. Berdasarkan kesimpulan ini maka proses kepemimpinan <br />dirumuskan dengan formula sebagai berikut : <br /><br />L = f ( l, f, s) <br /><br />Keterangan : L = Leadership (Kepemimpinan) <br /><br /> F = Funcion (Fungsi) <br /><br /> l = Leader (Pemimpin) <br /><br /> f = Follower (Pengikut / yang dipimpin) <br /><br /> s = Situation (situasi) <br /><br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setidaknya ada 3 <br />variabel utama yang tercakup di dalam kepemimpinan (leadership) <br />dan pemimpin (leader): <br /><br />1. Kepemimpinan melibatkan orang lain seperti bawahan atau para <br />pengikut <br />2. Kepemimpinan menyangkut distribusi kekuasaan <br />3. Kepemimpinan menyangkut penanaman pengaruh dalam rangka <br />mengarahkan para bawahan <br /><br /><br /><br /><br />Namun yang dimaksud dengan “kepemimpinan” dalam tulisan ini adalah <br />kepemimpinan pesantren. Mastuhu lebih senang kalau kepemimpinan pesantren <br />itu adalah “seni” memanfaatkan seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren <br />untuk mencapai tujuan pesantren, (Mastuhu, 1999: 105). Oleh karena itu, <br /><br /><br /><br />kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan yang lebih difokuskan pada <br />kepemimpinan pesantren kaitannya dengan teori kepemimpinan modern. <br /><br />Mastuhu dalam buku yang berjudul Memberdayakan Sistem Pendidikan <br />Islam, melihat bahwa gaya kepemimpinan pesantren terdiri dari berbagai corak, <br />dari yang kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter paternalistic ke diplomatic- <br />partisipatik, dan laissez faire ke birokratik. <br /><br />Kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan yang bersandar kepada <br />kepecayaan santri atau masyarakat umum sebagai jama’ah, bahwa kyai yang <br />merupakan pemimpin pesantren mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan. <br />Sementara itu, kepemimpinan pesantren rasionalistik adalah kepemimpinan yang <br />bersandar pada keyakinan dan pandangan santri atau jamaahnya, bahwa kyai <br />mempunyai kekuasaan karena ilmu pengetahuan yang dalam dan luas. (mastuhu, <br />1999: 106). <br /><br />Teori-teori kepemimpinan yang disinggung dalam uraian ini, yang <br />dipandang erat relevansinya dengan manajemen pendidikan, adalah : Teori <br />Kewibawaan, Teori Sifat, Teori Perilaku, dan Teori Kontingensi. <br /><br />a. Pendekatan Kewibawaan (Power Influence Approach) <br /><br /><br />Menurut pendekatan ini, di katakan bahwa keberhasilan pemimpin <br />dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada <br />pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin <br />menggunakan kewibawaan tersebut kepada bawahan. <br /><br /><br /><br />Pendekatan ini menekankan sifat timbal balik, proses saling <br />mempengaruhi dan pentingnya pertukaran hubungan kerja sama antara para <br />pemimpin dengan bawahan (Warjosumidjo, 1999: 20). <br /><br />Berdasarkan hasil penelitian French dan Raven terdapat pengelompokan <br />sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal. <br /><br />- Reward Power (Kekuasaan Penghargaan). <br /><br />Reward Power merupakan interaksi antara bawahan dan pimpinan. <br />Bawahan mengerjakan sesuatu agar memperoleh penghargaan yang dimiliki oleh <br />pemimpin. Dalam hubungan ini ada penghargaan yang diberikan kepada para <br />perantara atau pun bawahan (baca: karyawan) oleh pihak pemimpin. Jika muncul <br />perilaku tertentu yang dikehendaki oleh pemimpin atau oleh produsen maka <br />diberikan penghargaan tersebut. <br /><br />- Coercive Power (Kekuasaan Memaksa) <br /><br />Kekuasaan ini digunakan oleh produsen untuk memaksa distributor atau <br />perantara agar dapat bekerja sama dengan baik. Kadang-kadang perantara sangat <br />tergantung kehidupan bisnisnya dari produsen. Akan tetapi, adakalanya produsen <br />tergantung kepada distributor. Dengan kata lain, bawahan mengerjakan sesuatu <br />agar dapat terhindar dari hukuman yang dimiliki oleh pemimpin. <br /><br />- Legitimate Power (Kekuasaan Sah) <br /><br />Dalam hal ini ada semacam kontrak formal yang diikuti oleh perantara <br />atau distributor. Antara produsen dan distributor memiliki kekuatan yang sah yang <br />merupakan hal dan kewajiban masing-masing. Artinya, bawahan melakukan <br /><br /><br /><br />sesuatu karena pemimpin memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan <br />bawahan mempunyai kewajiban untuk menuruti atau mematuhinya. <br /><br />- Expert Power (Kekuasaan Ahli) <br /><br />Kekuasaan ahli dapat dikatakan sebagai bentuk dari kekuasaan yang <br />efektif untuk memaksa orang lain mau bekerja sama. Dalam hal ini, bawahan <br />mengerjakan sesuatu karena bahwa pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan <br />keahlian serta mengetahui apa yang diperlukan. <br /><br />- Referent Power (Kekuasaan Referen) <br /><br />Dalam bahasa bisnis, kekuasaan referen (referent power) sangat dihormati <br />oleh perantara dan perantara merasa bangga diajak kerjasama oleh produsen <br />karena produsen ini memiliki wibawa dan nama baik yang cukup terekenal. Jadi, <br />bentuk kekuasaan model ini adalah bawahan melakukan sesuatu karena bawahan <br />merasa kagum terhadap pemimpin, bawahan merasa kagum atau membutuhkan <br />untuk menerima restu pemimpin, dan mau berperilaku pula seperti pemimpin. <br /><br />b. Pendekatan Sifat (Taits Approach) <br /><br />Teori membahas inti persoalan tentang sifat-sifat, ciri-ciri, atau perangai <br />yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Penelitian tentang sifat-sifat pemimpin <br />telah dilakukan oleh berbagai pakar kepemimpinan terhadap “orang-orang besar” <br />yang pernah dan sedang memimpin. Di antara kesimpulan hasil penelitian itu <br />mengemukakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu dibawa sejak lahir, atau <br />diwariskan. Kesimpulan ini melahirkan suatu anggapan bahwa pemimpin itu <br />dilahirkan dan tidak dibentuk (leaders are born an not made). (Sujana, 1992: 19). <br /><br /><br /><br />Bisa jadi antara pemimpin dan bukan pemimpin dapat dilihat dengan <br />mengidentifikasi sifat-sifat kepribadiannya. Pendekatan psikologi ini untuk <br />sebagian didasarkan atas pengakuan umum bahwa perilaku individu untuk <br />sebagaian ditentukan oleh struktur kepribadian. (Oteng Sutisna, 1982: 241). <br /><br />Pendekatan sifat-sifat menyatakan bahwa terdapat sifat-sifat tertentu pada <br />pemimpin antara lain: memiliki kekuatan fisik dan keramahan. Seorang pemimpin <br />memiliki tingkat inteligensi yang tinggi. Hanya dalam mengungkapkan sifat-sifat <br />ini sering kali muncul pertentangan sifat seperti dinyatakan seorang pemimpin <br />harus ramah tapi tegas, suka merenung tapi aktif, orangnya harus stabil emosional <br />tapi fleksibel, berkeras hati tapi kooperatif. Ada sifat kepribadian yang dapat <br />dipandang berhubungan positif dengan perilaku pemimpin dan mempunyai <br />korelasi tinggi ialah: popularitas, keaslian, adaptabilitas, ambisi, ketekunan, status <br />social, status ekonomi, mampu berkomunikasi. (Buchari Alma, 2001: 128). <br /><br />Menurut Andy Undap (1983: 29), seorang pemimpin setidaknya harus <br />memiliki sifat-sifat kepribadian sebagai berikut: Pendidikan luas, Kematangan <br />mental, Sifat ingin tahu, Kemampuan analitis, Memiliki daya ingat yang kuat, <br />Integratif, Keterampilan berkomunikasi, Keterampilan mendidik, Rasional dan <br />objektif, Pragmatisme, Ada naluri prioritas, Pandai mengatur waktu, <br />Kesederhanaan, Sifat Keberanian, Kemaun mendengar. <br /><br />Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin. Keberhasilan <br />pemimpin ditandai oleh daya kecakapan luas biasa yang dimiliki oleh pemimpin <br />seperti tidak kenal lelah atau penuh energi, intuisi yang tajam, tinjauan ke masa <br /><br /><br /><br />depan yang tidak sempit, dan kecakapan meyakinkan yang sangat menarik. <br />(irresistible persuasive skill). <br /><br />Akan tetapi dalam teori sifat ini terdapat tiga kelemahan yang mendasa. <br />Pertama, tidak ada persesuaian atau kesamaan pendapat di antara para pakar <br />tentang rincian sifat-sifat atau ciri-ciri kepemimpinan. Kedua,terlalu sulit untuk <br />menetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki seseorang pemimpin karena setiap <br />orang memiliki keunikan masing-masing. Ketiga, situasi dan kondisi tertentu <br />memerlukan kepemimpinan yang memiliki sifat dan ciri tertentu pula sesuai <br />dengan tuntutan situasi dan kondisi tersebut. <br /><br />c..Pendekatan Perilaku (The Behoviral Aproach) <br /><br />Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati <br />atau yang dilakukan oleh para pemimpin dari sifat-sifat pribadi atau sumber <br />kewibawaan yang dimilikinya. <br /><br />Berdasarkan teori ini, (Hersey dan Blanchard, 1982), perilaku atau <br />perbuatan seorang pemimpin cenderung mengarah kepada dua hal yaitu <br />konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi ialah perilaku pemimpin untuk <br />memperhatikan kepentingan bawahan. Ciri-ciri perilaku konsiderasi adalah ramah <br />tamah, mendukung dan membela bawahan, mau berkonsultasi, mau <br />mendengarkan bawahan, mau menerima usulah bawahan, memikirkan <br />kesejahteraan bawahan, dan memperlakukan bawahan setingkat dengan dirinya. <br /><br />Sedangkan struktur inisiasi ialah perilaku pemimpin yang cenderung lebih <br />mementingkan tujuan organisasi. Ciri-ciri perilaku struktur inisiasi adalah <br />memberikan kritik terhadap pelaksanaan tugas yang tidak baik, senantiasa <br /><br /><br /><br />memberi tahukan tentang sesuatu yang harus dilakukan bawahan, selalu <br />memberikan petunjuk kepada bawahan tentang cara melakukan tugas, menetapkan <br />standar tertentu tentang tugas pekerjaan, meminta bawahan untuk selalu <br />mengikuti standar yang telah ditetapkan, dan selalu mengawasi optimasi <br />kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas. <br /><br />Kecenderungan di atas dapat digambarkan sebagai berikut : <br /><br />Gambar 9 <br /><br />Kecenderungan Konsiderasi <br /><br />Dan Struktur Inisiasi <br /><br />Tinggi <br /><br />S. rendah <br /><br />K. tinggi <br /><br />S. tinggi <br /><br />K. tinggi <br /><br />S. rendah <br /><br />K. rendah <br /><br />T. tinggi <br /><br />K. rendah <br /><br /><br /><br /> Rendah STRUKTUR INISIASI Tinggi <br /><br />Keterangan : K = konsiderasi <br /><br /> S = Struktur Inisiasi <br /><br />Berdasarkan gambar di atas, orang-orang yang menjadi pemimpin dapat <br />dibagi ke dalam empat kelompok. Diantara meraka mungkin ada yang memiliki <br />nilai tinggi pada konsiderasi dan nilai rendah pada struktur inisiasi, mungkin pula <br />sebaliknya. Pemimpin yang ideal adalah yang mempunyai nilai tinggi pada <br />konsiderasi dan struktur inisiasi. Demikian inti hasil penelitian University of <br />Minchigan. Sedangkan menurut penelitian University of Ohio, kecenderungan <br />konsiderasi sama dengan perilaku yang berpusat pada bawahan uapaya pesantren <br />dalam mempersiapkan kader pemimpin untuk pelimpahan wewenang baik dalam <br /><br /><br /><br />memimpin juga dalam mengelola pesantren yang hal ini bertumpu pada kemajuan <br />pesantren di kemuadian hari. <br /><br />E. Ide dan Perubahan Organisasi <br /><br />1. Proses Perubahan yang Direncanakan <br /><br /><br />Pada prinsipnya suatu perubahan yang terjadi pada organisasi sebenarnya <br />diarahkan pada efektifitas organisai itu sendiri, bukan merupakan pemecahan <br />yang tetap untuk mencapai sesuatu, akan tetapi sebuah proses perkembangan <br />untuk bertahan agar tetap aktif, tentu saja perubahan pada struktur dan <br />perkembangan desain organisasi seharusnya tidak menjadikan kendala bagi <br />perkembangan organisasi. <br /><br />Organisasi memang memerlukan suatu perubahan, walupun tersebut dapat <br />terjadi karena dua hal, yaitu karena faktor kebetulan saja dan faktor yang <br />direncanakan, sesuatu perubahan yang terjadi karena direncanakan dengan <br />perubahan yang tidak disengaja, maka pengelolaannya pun akan berbeda, hal ini <br />memerlukan penanganan yang cukup serius diantara keduanya. <br /><br />Sasaran perubahan yang direncanakan adalah berfungsi untuk <br />mempertahankan organisasi agar tetap dalam eksistensinya dan guna <br />kelancarannya. Selama organisasi mengalami suatu perubahan, maka <br />konsekuensinya organisasi tersebut akan mengalami dua kemungkinan, yaitu <br />mungkin akan manambah atau mengurangi keefektifannya. <br /><br />Jenis peubahan yang diuji cobakan akan bervariasi, dan hal ini akan <br />bergantung pada tujuan utama yang hendak dicapai, baik pada tingkat individual <br />maupun pada tingkat kelompok akan berdampak berbeda pula bagi perkembangan <br /><br /><br /><br />inovai suatu organisai, perubahan yang dimaksud di sini adalah merupakan suatu <br />perubahan yang terjadi pada struktur, sehingga baik langsung ataupun tidak <br />langsung akan berdampak pada pola wewenang yang berubah, askes informasi <br />yang diperoleh, alokasi imbalan yang diterima dan sebaginya, pertimbangan-<br />pertimbangan semacam ini dirasakan bertumpu pada satu sisi saja atau satu sekor <br />saja. <br /><br />2. Desain Perubahan Organisasi <br /><br />Suatu proses perubahan akan diprakarsai oleh kekuatan-kekuatan tertentu, <br />kekuatan tersebut dijalankan didalam tubuh organisasi oleh seorang agen <br />perubahan, agen tersebut memilih apa yang harus dilakukan dan bagaimana <br />melakukannya, dan hal ini membutuhkan tiga langkah atau tiga perencanaan, <br />yaitu : mencairkan (unfreezing) status quo bergerak menuju suatu keadaan yang <br />dianggap baru, dan membekukan kembali (refeezing) keadaan yang baru guna <br />menjadikan lebih permanen, dan berikutnya merujuk kepada taktik yang akan <br />digunakan oleh agen pembaharuan. <br /><br />Perubahan dalam suatu organisasi akan dimungkinkan berupa identifikasi <br />peluang yang akan dimanfaatkan oleh pihak manajemen, namun dari kebanyakan <br />peluang itu berupa antisipasi dari reaksi atas suatu masalah, peluang tersebut bisa <br />ada dalam organisasi tesebut, juga bisa diluar organisasi tersebut. <br /><br />Faktor yang dapat memprakarsai perubahan struktur tak terhitung <br />jumlahnya, akan tetapi yang harus dipertimbangkan adalah awal mula terciptanya <br />suatu perubahan, dan hal ini dapat berasal dari beberapa hal, seperti yang <br />diungkapkan oleh Robbins dalam (Jusuf Udaya, 1995; 432) diantaranya; <br /><br /><br /><br />Perubahan tujuan, konsisten dengan strategi imperative, jika organisasi memilih <br />untuk pindah dari pemarakarsa menjadi pengikut, strukturnya mungkin harus <br />lebih mekanistik. <br /><br />3. Stabilitas Perubahan <br /><br />Inovasi dalam sebuah organisasi profil dan non-profil akan jauh berbeda, <br />walaupun pada beberapa sisi mengalami suatu kesamaan, pekik utama dari <br />lembaga atau organisasi berpegang pada berinovasi atau mati (Kenneth, 1988; <br />50), dalam organisasi semacam ini inovasi terkait erat dengan keefektifan <br />organisasi, akan tetapi yang harus dipertanyakan adalah apakah inovasi sama <br />dengan perubahan, dan tipe organisasi manakah yang terbaik rancangannya untuk <br />dapat medorong inovasi. <br /><br />Apa saja yang berbeda merupakan peruibahan, tetapi inovasi adalah <br />penggunaan gagasan-gagasan baru bagi organisasi yang menerimanya, <br />(Bacharach, 1982; 132), semua inovasi, oleh karenanya merupakan sebuah <br />perubahan, namun tidak semua perubahan bersifat inovasif, perubahan yang <br />inovatif mengarahkan lembaga pada pembukaan peluang baru bagi organisasi <br />terseubt, sehingga akan lebih berpengaruh pada pihak lain khususnya anggota <br />organisasi. <br /><br />Inovasi biasanya merupakan salah satu bentuk dari dua bentuk yang ada; <br />teknologi dan administrastif (Fariborz Damanpour, 1987; 677), inovasi teknologis <br />adalah apa yang kebanyakan ada dib benak kita jika berpikir tentang perubahan <br />yang bersifat inovatif, inovasi mencakup penggunaan alat, teknik kelengkapan <br />atau bahkan sistem yang baru. <br /><br /><br /><br />Mengakar pada permasalahn diatas, maka inovasi dianggap sesuatu yang <br />penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya ialah menjaga stabilitas perubahan <br />tersebut agar dapat diterima diberbagai kalangan, khususnya internal organisasi. <br /><br />F. Profesionalisasi dan Birokrasi dalam Lembaga Pendidikan <br /><br />Profesi merupakan suatu status yang mengarah kepada bukti kinerja atas <br />bidang pekerjaan yang digeluti, sebagai suatu profesi status pekerjaan telah <br />mengalami suatu proses yang menuju kearah perkembangan yang dinamis <br />sehingga memenuhi persyaratan indeal type ( Vollmer, 1996; 2 ). Profesi biasanya <br />berkaitan erat dengan beberapa jenis pekerjaan atau bidang keahlian, diantaranya; <br />dokter insinyur, pengacara, walaupun hal ini merupakan penglihatan dari <br />kacamata inividual, akan tetapi biasanya profesionalisasi dalam lembaga <br />pendidikan lebih cenderung mengarah kepada birokrat dan hal ini biasanya <br />dibuktikan dalam perilaku kesehariannya yang biasa disebut dengan salaried <br />professional <br /><br />Suatu taksonomi pendidikan tenaga professional dibedakan atas (1) <br />prservic techer education (2) inservice teacher education (3) continuing education <br />(4) continued education (5) staff development (Konecki dan Stein 1978; 42) <br />Preservice education diartikan dengan program pendidikan persiapan jabatan guru <br />yang dilaksanakan pada tingkat perguruan tinggi yang lamanya empat atau lima <br />tahun, sedangkan inservice education dipersiapkan untuk meningkatkan <br />kemampuan professional guru yang merupakan program penataran yang lamanya <br />satu hari atau dengan satu tahun, dan continuing education diartikan dengan upaya <br />pendidikan yang dilakukan sendiri oleh seseorang sesuai dengan minat dan <br /><br /><br /><br />kebutuhannya dalam rangka pertumbuhan jabatan profesionalnya, sedangkan <br />continued education merupakan program pendidikan lanjutan atas spesialisasi <br />keahlian seseorang dalam rangka meningkatkan dan memperdalam pengetahuan <br />dan kemampuannya melalui pendidikan pascasarjana, dan staff development <br />merupakan peningkatkan kemampuan professional seseorang yang berhubungan <br />dengan mutu pelayanannya terhadap orang lain. <br /><br />Melihat hal ini semua, maka pesantren termasuk keadaan katagori <br />taksonomi pendidikan, sebab hal ini dikembangkan oleh sendiri dan dibesarkan <br />melalui minat sendiri juga kemauan yang selalu didasarkan atas kemampuan diri <br />serta dorongan publik yang membutuhkan keberadaan lembaga tersebut. <br /><br />G. Kajian atas Teori Kepemimpinan <br /><br />Kajian atas studi kepemimpinan telah banyak dilakukan oleh berbagai <br />kalangan dan betapa banyaknya kepemimpinan yang ditawarkan, dan hal ini <br />tidaklah terlepas dari unsure dasar yang menjadi patokan baik tercetusnya konsep <br />tersebut, hal ini dimaksudkan bahwa konsep kepemimpinan yang muncul <br />senantiasa di dasarkan atas sumber kajian dan metodologi yang mendasarinya. <br /><br />Namun dari sekian banyaknya studi kepemimpinan dihadapkan pada suatu <br />titik pembenahan yaitu mengkaji permasalahan kepemimpinan hendaknya <br />dipandang dari sudut pandang yang komperhenshif, artinya tidak hanya <br />memandang secara sempit, yaitu hanya sekitar sifat pribadi dan perilaku, tetapi <br />lebih luas lagi dipandang sebagai suatu rangkaian persoalan yang dapat dijadikan <br />standar dalam mengkaji masalah bidang kepemimpinan. <br /><br /><br /><br />Sebenarnya persoalan kepemimpinan diarahkan pada tiga faktor utama <br />yaitu : <br /><br />. <br />How one become a leader <br />. <br />How leader behave <br />. <br />What makes the leader effective <br /><br /><br />Ketiga pertanyaan diatas dapat ditarik dari suatu keterangan yang <br />dikemukakan oleh E. Fiedler dan Martin M. Chamers, dalam pengantar bukunya <br />yang berjudul Leadrship effective management, dan hal ini sebenarnya merupakan <br />suatu kajian yang mengarah kepada sektor kepemimpinan dilihat dari unsure <br />hakikat, walaupun hampir dari sekian banyak studi atas pendekatan penelitian <br />kepemimpinan lebih diarahkan pada; pendekatan kewibawaan, pendekatan sifat, <br />dan pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional. <br /><br />Pendekatan kewibawaan itu sendiri mengarah kepada sisi keberhasilan <br />kepemimpinan yang mementingkan dan mengutamakan kewibawaan untuk <br />keberhasilan organisasi yang dipimpinnya, walaupun sebenarnya hal ini bisa <br />terjadi melalui dua paradigma yang berbeda, pertama kewibawaan biasanya akan <br />muncul dengan sendirinya ketika anggota organisasi memandang pemimpinnya <br />sebagai sosok yang ideal, kahrismatik dan penuh kewibawaan, sehingga dalam <br />kepemimpinannya anggota organisasi dianggap cukup dengan meniru <br />keberhasilan pemimpinnya, adapun yang kedua dilihat dari sudut pandang <br />eksternal yang memandang bahwa kewibawaan tersebut muncul dari pendapat <br />luar yang menganggap bahwa memang suatu organisasi dapat dipimpin oleh <br /><br /><br /><br />orang yang memiliki kewibawaan yang tinggi, dan model seperti ini biasanya <br />lebih cenderungkepada kepemimpinan pesantren. <br /><br />Timbulnya kajian atas kewibawaan kepemimpinan beragam, hal ini <br />tergantung kepada pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh peneliti, <br />seperti yang diungkapkan dalam penelitian French dan Raven yang <br />mengungkapkan beberapa definisi, kewibawaan dan mengarah kepada asal mula <br />timbulnya kewibawaan tersebut, dan hal ini dilihat dari beberapa unsur; <br /><br />a. Reward Fower, istilah ini lebih cenderug mendekati kepada kinerja <br />bawahan yang ingin mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya <br />dari atasan. <br />b. Coersive Power, merupakan suatu pembelaan diri atas pekerjaan agar <br />terhindar dari sangsi yang suatu saat akan dijatuhkan oleh pemimpinnya. <br />c. Legitimate Power, merupakan suatu perilaku mutlak dari seorang <br />pemimpin yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, <br />dan memenej suatu peraturan, dan dalam hal ini bawahan harus <br />mematuhinya. <br />d. Expert power, merupakan suatu keyakinan yang dibentuk oleh bawahan <br />dengan suatu anggapan bahwa tidak semata–mata pemimpinnya <br />mengeluarkan suatu aturan untuk ditaati, kalau pemimpinnya tidak <br />memiliki pengetahuan yang cukup komprehenshif dan memadai. <br />e. Referent power, lebih mengarah kepada perilaku bawahan yang <br />menganggap bahwa sebagai bawahan dia memiliki rasa kekaguman yang <br /><br /><br /><br /><br />mendalam kepada pemimpinnya, sehingga bahkan lebih cenderung ingin <br />berperilaku seperti pemimpinnya. <br /><br /><br />Megacu kepada rangkaian kepustakaan diatas, maka pendekatan <br />kewibawaan lebih cenderung mengarah kepada rasa percaya diri yang dalam dari <br />seorang pemimpin guna menjalankan roda organisasinya, walaupun sebenarnya <br />pendekatan seperti ini tidak menutup kemungkinan terbina melalui pendekatan <br />sifat. <br /><br />Unsur perbedaan yang mendasar dengan pendekatan sifat, ditandai oleh <br />kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin dalam menjalankan roda <br />kepemimpinannya, sehingga pemimpin yang demikian ditandai oleh kemajuan <br />kinerja yang sangat tinggi, dan lebih ditandai oleh kemajuan dalam bidang visi <br />dan misi dalam memajukan organisasinya, dan ditandai pula oleh kecakapan atau <br />skill yang menarik dan energik. <br /><br />Ciri yang paling mendasar dari pendekatan seperti ini lebih cenderung <br />kepada beberapa sifat pribadi yang melekat, seperti ditandai oleh ciri-ciri fisik <br />(physical characteristic), kepribadian (personality), dan kemampuan serta <br />kecakapan (ability). <br /><br />Dengan demikian maka keberhasilan kepemimpinan melalui pendekatan <br />sifat tidak hanya didasarkan atas sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin semata, <br />melainkan didasarkan pula atas keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam <br />menjalankan roda kepemimpinannya. <br /><br />Adapun yang dimaksud dengan pendekatan perilaku, lebih didasarkan atas <br />pentingnya perilaku yang dapat diamati atau yang dilakukan oleh para pemimpin <br /><br /><br /><br />dari sifat-sifat atau sumber kewibawaan yang dimilikinya. Kemampuan perilaku <br />secara konsepsional telah berkembang kedalam berbagai macam cara dan <br />tingkatan abstraksi, perilaku seorang pemimpin yang mengutamakan unsur sifat <br />biasanya digambarkan atas istilah pola aktivitas. <br /><br />Dengan mempergunakan pendekatan perilaku, maka besar kemungkinan <br />akan memunculkan peranan manajerial dalam mengelola organisasi, walaupun <br />lebih menekankan pada unsur-unsur aktivitas diri dalam mengembangkannya, <br />dalam arti yang luas lebih menekankan pada sifat-sifat yang melekat pada dirinya, <br />bukan hanya sebagai sosok pemimpin semata, melainkan sebagai sosok individual <br />lebih mewarnainya. <br /><br />Pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan unsur ini lebih <br />menekankan kepada pendekatan kepemimpinan yang merupakan campuran antara <br />pendekatan kewibawaan dengan pendekatan sifat, melalui pendekatan perilaku <br />maka akan dikembangkan pula perilaku kepemimpinan yang merupakan <br />campuran struktur inisiasi dan konsederasi. <br /><br />Struktur inisiasi menunjukkan prilaku kepemimpinan yang <br />menggambarkan hubungan kerja dengan bawahan baik secara pribadi maupun <br />secara kelompok adapun pendekatan konsederasi menunjukkan perilaku yang <br />bersahabat saling adanya kepercayaan, saling hormat menghormati dan terjadinya <br />kekompakan antar masing-masing anggota. <br /><br />Adapun yang dimaksud dengan pendekatan situasional lebih menekankan <br />pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk <br />mengukur atau memprediksi ciri-ciri tersebut, dan membantu pimpinan dengan <br /><br /><br /><br />garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan atas kombinasi dari <br />kemungkinan yang bersifat kepribadian, sehingga lajim teori ini disebut dengan <br />pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional. <br /><br />Teori kontigensi bukan hanya merupakan hal yang penting bagi <br />kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, akan tetapi <br />membantu pula para pemimpin potensial dengan konsep-konsep yang bermanfaat <br />dalam menilai situasi yang beragam dan menunjukkan perilaku kepemimpinan <br />yang tepat berdasarkan situasi (Wahjosumidjo, 1999; 29), lebih lanjut dikatakan <br />Wahjo ada beberapa model pendekatan kepemimpinan situasional, yaitu model <br />Fiedler (1974), model House’s Patf Goal (1974), model Vroom-Yetton (1973), <br />dan model situasi (1977). <br /><br />Dalam pandangan lain, Mar’at (1982; 8-18) yang disadur dari buku <br />Handbook’s of Leadership (R.M. Stongdill) mengemukakan bahwa : <br /><br />. <br />Kepemimpinan sebagai fakus proses-proses kelompok <br />. <br />Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya <br />. <br />Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain <br />. <br />Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh <br />. <br />Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku <br />. <br />Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi <br />. <br />Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan <br />. <br />Kepemimpinan sebagai alat mencapai suatu tujuan <br />. <br />Kepemimpinan sebagai akibat dari interkasi <br />. <br />Kepemimpinan sebagai perbedaan peran <br /><br /><br /><br /><br />. <br />Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur <br /><br /><br />Pengelompokan tersebut diatas menunjukan bahwa para ahli bidang <br />pendidikan memberikan pandangan yang berbeda tentang hakikat kepemimpinan, <br />hal ini didasarkan atas sudut pandang berdasarkan disiplin ilmu yang berbeda <br />pula, sebagaian yang menganggap kepemimpinan sebagai kepribadian, mencoba <br />menerangkan mengapa beberapa individu lebih mampu mempraktekkan <br />kepemimpinan dari pada individu yang lain, adapun yang sebagian mengartikan <br />kepemimpinan sebagai suatu seni untuk mempengaruhi orang lain, hal ini <br />memberikan suatu batasan sebab hal ini berhubungan dengan perilaku seseorang <br />yang diharapkan akan mampu mempengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini <br />bawahannya. <br /><br />Sisi lain yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai pemaksaan atau <br />pendesakan secara tak langsung, sedangkan yang menganggap kepemimpinan <br />sebagai pengguna pengaruh, menganggap bahwa pemimpin adalah seseorang <br />yang menggunakan pengaruh positifnya untuk menggerakkan orang lain agar <br />dapat bekerja sama dengannya dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. <br /><br />Mereka yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai tindakan atau <br />perilaku, menganggap bahwa karena adanya perilaku kepemimpinan, maka <br />muncullah tindakan orang lain yang searah dengan keinginannya, adapun <br />kepemimpinan diarahkan sebagai hubungan kekuasaan, memandang bahwa <br />kepemimpinan sebagai suatu bentuk dari hubungan pengaruh dan <br />mempengaruhinya, bahkan dalam hal ini cenderung untuk lebih <br />mentranspormasikan leadershif opportunity ke dalam kekuasaan yang terbuka. <br /><br /><br /><br />Sisi lain yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai suatu alat untuk <br />mencapai tujuan, memandang bahwa kepemimpinan itu memiliki nilai <br />instrumental, kepemimpinan menghasilkan peran-peran tertentu yang harus <br />dimainkan dan dapat mempersatukan kelompok dalam rangka pencapaian tujuan <br />utama. <br /><br />Adapun yang memandang kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi, <br />menganggap bahwa kepemimpinan tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari <br />proses interaksi yang berlangsung dengan sendirinya, kepemimpinan dapat terjadi <br />bila dikehendaki dan dipandang perlu oleh para anggotanya. <br /><br />Lain halnya dengan para ahli yang memandang tentang kepemimpinan <br />sebagai pembeda peran, menganggap bahwa kepemimpinan itu muncul sebagai <br />suatu cara berinteraksi yang melibatkan perilaku oleh dan untuk individu, <br />sehingga pada akhirnya dijadikan salah satu sandra untuk memainkan peran <br />sebagai pemimpin. <br /><br />Dari berbagai pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa inti <br />kepemimpinan adalah; <br /><br />a. Kepemimpinan merupakan suatu gaya yang mengarah kepada kemampuan <br />individu, yakni kemampuan dari seorang pemimpin, sedangkan <br />manajemen lebih mengarah kepada sistem dan mekanisme kerjanya. <br />b. Kepemimpinan merupakan kualitas hubungan atau interaksi antara yang <br />dipimpin dan bawahannya. <br /><br /><br /><br /><br />c. Kepemimpinan menggantungkan diri dari sumber-sumber yang ada dalam <br />dirinya, sehingga kemampuan dan kesanggupan untuk mencapai tujuan <br />lebih efektif. <br />d. Bahkan kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si <br />pemimpin, walaupun akhirnya juga mengarah kepada ketercapaian tujuan <br />organisasi. <br />e. Kepemimpinan lebih bersifat hubungan personal yang berpusat kepada diri <br />si pemimpin, pengikut dan situasi. <br /><br /><br />Disamping inti pengertian dari kepemimpinan, seperti yang disimpulkan <br />diatas, ada beberapa faktor yang terkandung dalam kepemimpinan tersebut, yakni; <br />(a) adanya pemimpin, (b) kelompok yang dipimpin, (c) tujuan dan sasaran, (d) <br />aktifitas, (e) interaksi, (f) kekuasaan. <br /><br />Adapun tentang teori kepemimpinan dibahas dan dikembangkan menjadi <br />enam teori; yakni; (a) trori-teori interaksi harapan, (b) teori humanistik, (c) teori <br />orang-orang terkemuka, (d) teori situasi personal, (e) teori lingkungan, dan (f) <br />teori pertukaran. <br /><br />Teori interaksi harapan didasarkan atas tiga variabel, yakni; aktivitas, <br />interaksi dan sentimen, figur kepemimpinan dalam hal ini harus dapat melakukan <br />suatu aktivitas yang dapat menghubungkan antara bentuk kegiatan yang satu <br />dengan bentuk kegiatan yang lain, dimana sentimen dapat dibentuk sebagai suatu <br />sarana dalam menjembatani hubungan dengan bawasannya. <br /><br />Teori humanistik itu sendiri berfungsi sebagai pola pengaturan kebiasaan <br />individu untuk dapat merealisasikan motivasi bawahannya agar dapat bersama-<br /><br /><br /><br />sama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lajim dikatakan <br />bahwa teori ini merupakan pendekatan antara pemimpin dengan bawahan sebagai <br />suatu anggota keluarga. <br /><br />Kelompok teori orang terkemuka dirancang berdasarkan cara indiktif <br />dengan mempelajari sifat-sifat yang dominan atas keberhasilan tugas yang <br />dijalankan, terutama kemampuan untuk memimpin, diasumsikan bahwa <br />pemimpin-pemimpin yang berhasil memainkan peranan dengan memiliki sifat-<br />sifat dan kualitasnya adalah superior, teori ini disebut juga teori sifat. <br /><br />Adapun situasi personal lebih mengarah kepada adanya suatu anggapan <br />bahwa individu memiliki kemampuan dan kecakapan tertentu, sikap dan perilaku <br />yang dapat mengoperasikan aktivitas-aktivitasnya berdasarkan kondisi saat itu, <br />masalah kepemimpinan ditentukan juga oleh kepribadian pemimpin itu sendiri, <br />kelompok yang dipimpinnya, dan juga kejadian-kejadikan yang timbul pada saat <br />itu, dan interaksi antara pemimpin dengan bawahannya dibentuk sifat-sifat <br />tertentu. <br /><br />Sedangkan teori lingkungan sosial yang merupakan tantangan untuk dapat <br />diatasi, selain itu bahkan seorang pemimpin tergantung pada zaman dimana ia <br />hidup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dianggap relevan dengan <br />situasi saat itu, situasai lingkungan sosial merangsang agar para pemimpin <br />melakukan kegiatan-kegiatan yang relevan dengan problem-problem yang hidup <br />pada waktu tertentu seperti misalnya perang atau krisis akan muncul, maka akan <br />muncul kepemimpinan yang relevan pada saat tersebut. <br /><br /><br /><br />Lain halnya dengan teori pertukaran yang menyebabkan interaksi sosial <br />akan menghasilkan bentuk perubahan dimana para anggotanya akan berpartisipasi <br />aktif, kepemimpinan seperti ini banyak diharapkan mengadakan interaksi untuk <br />menunjang keberhasilan dari kepemimpinannya sehingga para anggotanya merasa <br />dihargai dan adanya kepuasan serta penghargaan terhadap pemimpin, dengan <br />demikian maka terjalinlah keseimbangan yang cukup positif antara yang dipimpin <br />dengan kepemimpinannya. <br /><br />Dari keenam teori diatas, maka dirangkum menjadi tiga bagian yakni (1) <br />pendekatan perilaku kepemimpinan, (2) pendekatan sifat dan (3) pendekatan <br />situasional, kedua pendekatan tersebut banyak dikembangkan oleh para ahli, <br />namun yang sesuai dengan pembahasan penelitian ini yang menitik beratkan pada <br />sistem dipergunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kontingensi atau <br />situasional. <br /><br />Sebab dari pendekatan semacam itu, maka akan memungkinkan muncul <br />beberapa teori yang tergolong pada pendekatan berikut; (a) model kepemimpinan <br />Vroom dan Yetton, (b) model jalur tujuan (c) model kepemimpinan tiga dimensi <br />(d) model Tannenbaum (e) model kepemimpinan kontingensi (f) model <br />kepemimpinan social learning (g) model kepemimpinan situasional. <br /><br />Lebih lanjut model-model tersebut dikembangkan pada penjelasan <br />walaupun sebenarnya tidak ada model atau urutan tertentu yang dikembangkan <br />oleh para penulis. <br /><br />Model Vroom dan Yetton (1977) menitik beratkan model <br />kepemimpinannya pada suatu cara yang lebih dikenal dengan keputusan dan <br /><br /><br /><br />pelaksanaannya, model ini dikembangkan dengan cara menunjukkan cara-cara <br />atau macam-macam situasi dimana berbagai tingkatan pengambilan keputusan <br />yang partisipasif dapat disesuaikan. Cribbin (1982; 24) mengemukakan kriteria <br />pengambilan dengan gaya Vroom dan Yetton dalam berbagai bentuk pertanyaan <br />diantaranya yaitu, apakah ada persyaratan mutu, apakah bawahan ikut mencapai <br />tujuan organisasi, apakah ada kemungkinan terjadi perselisihan mengenai <br />penyelesaian yang lebih disukai, apakah masalah itu terstruktur, bagaimanakah <br />informasi berperan, apakah bawahan akan menerima sepenuhnya tentang <br />keputusan , dll. <br /><br />Balam menggaris bawahi masalah pertanyaan sekaligus teori yang <br />dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, maka Fiedler memberikan batasan yang <br />menyatakan bahwa tidak ada gaya yang ideal yang refresentatif dalam situasi, <br />oleh sebab itu fleksibilitas pemimpin benar-benar dituntut untuk menyelesaikan <br />berbagai kasus yang terjadi. <br /><br />Dari rangkaian ketiga pendapat diatas, maka strategi yang dapat <br />dikembangkan adalah dengan menggunakan sistem pertama konsultatif, artinya <br />hal ini menyangkut pembenahan masalah itu kepada orang-orang yang dianggap <br />relevan dan mengumpulkan usul serta harapan juga gagasan meraka sebelum <br />mengambil suatu keputusan, kedua dengan menggunakan pendekatan kelompok, <br />sebab hal ini akan lebih mudah untuk mentolelir berbagai permasalahan yang <br />sedang terjadi sehingga dengan kesepakatan kelompok, maka akan lebih mudah <br />mencapai konsensus yang mengarah kepada kesepakatan bersama antara atasan <br />dengan bawahannya tentang kesepakatan sesuatu baik yang sedang dan akan <br /><br /><br /><br />terjadi guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ketiga otokkrtais, hal ini <br />menyangkut pemecahan suatu masalah oleh manajer itu sendiri, sehingga lajim <br />pada model pengambilan keputusan seperti ini pemimpin memiliki otoritasi <br />sendiri, dan disaat seperti inilah pigur kepemimpinan dibutuhkan harus benar-<br />benar orang yang dapat mengendalikan lajunya organisasi untuk mendaptkan <br />data-data tertentu dari bawahannya sebelum melakukan keputusan tersebut. <br /><br />Adapun model jalur-jalur merupakan satu–satunya model kepemimpinan <br />yang mengedepankan keinginan yang dikembangkan bawahnnya dan bagaimana <br />perilaku pemimpin, maka akan tercermin dari bawahannya, model yang <br />dikembangkan dalam kepemimpinan seperti ini lebih tertuju kepada motivasi, <br />sebab kepemimpinan ini sangat erat hubungannya dengan motivasi kerja di satu <br />pihak dan di pihak lain berhubungan dengan kekuasaan. <br /><br />Dasar model tujuan motivasi menitik beratkan pada sikap orang, <br />kepuasaan kerja, perilaku serta usahanya dalam pekerjaan di maksud, dan perilaku <br />tersebut dapat disimpulkan melalui sampai beberapa jauh pekerjaan atau perilaku <br />itu dapat dilihat dan kesenangan yang diperoleh. <br /><br />Martin Evans dan robert House dalam fath goal theory of leadershif <br />(1968,1971) mengemukakan bahwa pada prinsipnya teori ini merupakan suatu <br />model pengembangan menuju perilaku pemimpin atas motivasi, kepuasan kerja, <br />serta penampilannya atas motivasi, kepuasan kerja, serta penampilannya atas <br />bawahannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi. <br /><br />Teori jalur-jalur bergantung kepada tiga konsep yakni; (a) valensi, (b) <br />insrumentalis dan ekseptensi (Evans, 1968), lalu ditambah lagi dengan peranan <br /><br /><br /><br />manajer serta aktifitas bawahan, dan teori ini lajim disebut dengan teori lima <br />dimensi. Pendapat lain yang dikembangkan oleh Cribbin (1982; 21-22) <br />mengemukakan bahwa teori lima dimensi diurutkan dengan (a) valence (b) <br />instrumentality (c) expectancy (d) peran manajer (f) bawahan dan situasi. <br /><br />Sungguh sudah merupakan suatu kelayakan bahwa bagaimanapun orang <br />bekerja sudah barang tentu mengharapkan imbalan yang setimpal, semakin besar <br />imbalan yang diterima, maka akan semakin besar pula dia menunjukan dedikasi <br />dengan pekerjaan yang dilakukannya, hal inilah yang dimaksud dengan dimensi <br />valance. <br /><br />Dimensi berikutnya yang dikembangkan adalah hubungan timbal balik <br />antara satu dimensi dengan dimensi lainnya, walaupun sebenarnya kenaikan gaji <br />dan berbagai macam tujuan bukanlah merupakan tujuan utama akan tetapi hal ini <br />berakibat bagi baiknya kualitas keluarganya, oleh sebab itu dimensi semacam ini <br />lebih dikenal sebagai perangsang bagi karyawan untuk semakin mempertinggi <br />kenirjanya dan dedikasinya terhadap pekerjaan, dan sekaligus sebagai perangsang <br />(instrumenally). <br /><br />Adapun dimensi lain yang dikembangkan oleh manajer adalah dengan <br />mempertimbangkan gaya perilaku kepemimpinan yang menggantungkan kepada <br />situasi, sedangkan yang dimaksud dengan model ekpenctancy atau harapan adalah <br />dengan melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan job yang di pegang dan <br />kriterian yang diinginkan oleh pemimpin, maka kemungkinan besar ia akan <br />mendapatkan balasan atau imbalan yang setimpal, dan semacam ini merupakan <br /><br /><br /><br />harapan dimensi kelima selalu mengakar pada pujian, interaksi, dan <br />keramahtamahan yang menimbulkan kepuasan kerja karyawan. <br /><br />Lain halnya dengan teori tiga dimensi yang menyatakan bahwa suatu <br />model kepemimpinan akan efektif bila dipahami dalam konteks situasi <br />kepemimpinannya, artinya apapun model kepemimpinan tetap diarahkan pada <br />situasi bagaimana model tersebut harus diterapkan, sehingga berhubungan dengan <br />hal tersebut, Raddin (1970) memberikan suatu pegangan bahwa teori tiga dimensi <br />merupakan penambahan komponen efektifitas pada dua dimensi kepemimpinan <br />yang sudah ada. <br /><br />Ada empat gaya yang dikembangkan dalam model tiga dimensi seperti ini, <br />yaitu related hal ini mengandung pengertian bahwa hubungan tinggi rendah akan <br />menjadi efektif, dan bila hak ini dijalin dengan baik, maka akan menjadi gaya <br />diveloper, sehingga akibat yang ditimbulkan akan memberikan kepercayaan <br />penuh kepada karyawan untuk berkembang sesuai dengan job dan keterampilan <br />yang dimiliki oleh masing-masing idividu, akan tetapi bila tidak efektif, maka <br />akan menjadi gaya missionary artinya hanya tertarik pada adanya harmoni, <br />bahkan terkadang tidak rela mengorbankan hubungan meskipun untuk suatu <br />tujuan yang akan dicapai. <br /><br />Gaya dedicated, hal ini mengandung pengertian bahwa tugas tinggi dan <br />hubungan rendah, bila terjadi efektifitas hubungan, maka akan menjadi suatu gaya <br />yang disebut dengan “ benevolent autocrat “ artinya kerja yang sangat berstruktur <br />jelas untuk masing-masing anggota stafnya, akan tetapi sebaliknya, bila gaya ini <br />tidak efektif maka akan menimbulkan suatu gaya yang disebut dengan autocrat, <br /><br /><br /><br />hal ini dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya <br />mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri, baik dalam kapasitas dirinya sebagai <br />personal terlebih sebagai layaknya seorang pemimpin, sehingga gaya seperti ini <br />tidak akan memikirkan bawahannya. <br /><br />Adapun gaya integrated lebih menekankan pada sisi tugas yang tinggi <br />dan hubungan tinggi pula, dan akibat yang ditimbulkan bila gaya ini berjalan <br />dengan efektif, maka akan menimbulkan gaya executive yang memberikan <br />kontribusi pada organisasi dengan ditandai oleh adanya pemenuhan kebutuhan <br />kelompok dalam menetapkan tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi sebaliknya <br />gaya ini kurang berjalan dengan efektif, maka akan menimbulkan gaya <br />compromiser hal ini ditandai dengan adanya suatu proses kompromi di dalam <br />memecahkan masalah yang sedang dihadapi antara tugas dan hubungan sehingga <br />akan selalu berorintasi pada hasil yang dicapai. <br /><br />Berbeda dengan gaya separated, yang mengetengahkan hubungan yang <br />rendah dan tugas yang rendah pula, sehingga bila hal ini dijalankan dengan <br />efektif, maka akan menjadi gaya bereucrat yakni mengedepankan kekuasaan <br />untuk mencapai tujuan yang hendak diraih, sehingga kurang memperhatikan <br />pertimbangan-pertimbangan yang mencakup kebutuhan anggotanya, maka akan <br />menimbulkan gaya diserter yaitu ditandai dengan memberikan struktur yang jelas <br />dan dukungan moral pada waktu diperlukan. <br /><br />Berbeda dengan model kepemimpinan Tannenbaum dan Schnidt, model <br />ini mungkin salah satu dari sekian banyak yang memiliki keunikan, sebab satu sisi <br /><br /><br /><br />terkadang dalam kepemimpinannya bersifat demkratis, tetapi pada satu sisi lain <br />terkadang bersifat otokratis. <br /><br />Bersifat otokratis ketika dihadapkan pada kewenangan seorang pemimpin <br />yang berhak bahkan memiliki hak dalam memberikan penekanan berbagai model <br />kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan kepada bawahannya, sebab hal ini <br />berhubungan dengan keputusan yang hendak ditetapkan, akan tetapi gaya ini <br />berubah menjadi demokratis, ketika berhadapan dengan kewenangan-kewenangan <br />serta hak dan juga kewajiban yang dimikili oleh bawahan, bahkan gaya ini ketika <br />dihadapkan pada demokratis cenderung memberikan kebebasan-kebebasan pada <br />bawahannya untuk memutuskan suatu permasalahan akan tetapi sesuai dengan <br />batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh atasan. <br /><br />Dari rangkaian model yang dikembangkan bervariasi antara demokratisasi <br />dan otokratisasi, maka memberikan dampak kepada pengembangan model lain, <br />yakni; <br /><br />. <br />Pemimpin memberikan pemikiran serta ide yang dapat mengundang <br />pertanyaan-pertanyaan bagi bawahannya. <br />. <br />Pemimpin membuat suatu keputusan dan kemudian mengumumkannya <br />kepada bawahan, dan gaya ini cenderung bersifat komando sehingga tugas <br />bawahan hanya menunggu hasil intruksi dari atasan. <br />. <br />Pemimpin menjual keputusan, model ini juga sama dengan model otoritas <br />pemimpin yang cenderung memaksakan kehendaknya kepada bawahan, <br />sehingga ruang gerak bagi karyawan ketika dihadapkan pada kasus seperti <br />ini cenderung sempit. <br /><br /><br /><br /><br />. <br />Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang memungkinkan <br />daat diubah, bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka <br />pembuatan keputusan, sementara otoritas pemimpin sudah mulai dikurangi <br />penggunaannya. <br />. <br />Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan membuat <br />keputusan model ini jelas, otoritas pemimpin dipergunakan sedikit <br />mungkin, sebaliknya kebebasan karyawan atau bawahan dalam <br />berpartisipasi membuat suatu keputusan sudah banyak dipergunakan. <br />. <br />Pemimpin merumuskan batasan-batasannya dan meminta kelompok <br />bawahan membuat keputusan, partisipasi bawahan dalam kesempatan ini <br />lebih besar dibandingkan dengan model diatas. <br />. <br />Pemimpin mengijinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam <br />batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin, model ini terletak pada <br />titik esktrim penggunaan otoritas pada model diatas, (M. Thoha, 1983; 53-<br />54). <br /><br /><br />Oleh sebab diatas, maka dalam rangka pemilihan suatu model yang <br />dianggap efektif dalam situasi tertentu, hendaknya selalu mempergunakan <br />pertimbangan-pertimbangan dibawah ini, yaitu; kekuatan individu, kekuatan <br />bawahan, dan kekuatan dalam situasi, Oteng Sutisna(1983 ; 271), memberikan <br />batasan bahwa pemimpin harus senantiasa fleksibel dalam memilah serta memilih <br />ketiga komponen diatas dalam mengambil suatu kebijakan, dan inilah model <br />pemimpin yang baik. <br /><br /><br /><br />Model kepemimpinan berikutnya adalah kontingensi, hal ini didasarkan <br />atas tiga cakupan utama, yakni; (a) hubungan antara bawahan dengan pemimpin <br />yang merupakan variabel terpenting dalam suatu organisasi apapun, sebab <br />pengaruh yang kuat menimbulkan efek yang kuat pula bagi model kepemimpinan <br />yang diembannya, sehingga kepribadian pemimpin dalam hal ini sangat dituntut <br />untuk dapat diterapkan kepada bawahannya, dengan berbekal kepribadian yang <br />kuat, maka tingkat ketaat bawahan akan semakin meningkat, (b) struktur tugas, <br />hal ini cenderung berhubungan dengan job diserifition masing-masing individu, <br />dalam kapasitas seperti ini, maka instruksi seorang pimpinan akan merupakan alat <br />bagi terciptanya tingkat kealifikasi, (c) kekuasaan kedudukan yang merupakan <br />hak dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memutuskan <br />dan mengembangkan suatu model kebijakan. <br /><br />Memutuskan perhatian kepada otoritas seorang pemimpin, hendaknya <br />memperhatikan pula gaya dikembangkan melalui social learning, sebab hal ini <br />merupakan suatu model yang menjamin kelangsungan interaksi antara pemimpin, <br />lingkungan, dan perilaku sendiri, sehingga hal ini dapat memberikan dasar yang <br />jelas bagi suatu konsep kepemimpinan , (M. Thoha, 1983 ;48). <br /><br />Social learning merupakan suatu methode yang penekannya mengarah kepada <br />perilaku pemimpin, kelangsungan dan iteraksi timbal balik diantara semua <br />variabel yang tersedia, bawahan ikut serta dalam menentukan arah secara bersama <br />sama dengan pimpinan guna pencapaian hasil yang telah menjadi suatu <br />kesepakatan bersama, bahkan dalam hal ini bawahan memperhitungkan berbagai <br /><br /><br /><br />kemungkinan-kemungkinan lingkungan kognisi yang dapat memperantarakan, <br />lebih lanjut pendekatan ini memiliki anggapatn bahwa : <br /><br />. <br />Pemimpin bersama-sama dengan bawahan berusaha untuk menentukan <br />cara-cara yang dianggap efektif guna mengatur perilaku individu dengan <br />harapan mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. <br />. <br />Pemimpin bersama-sama dengan bawahan untuk merumuskan berbagai <br />permasalahan yang sedang dihadapi oleh organisasi, dan dengan menitik <br />beratkan pada perilaku individu bawahan. <br />. <br />Pemimpin cenderung mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapi <br />baik secara masalah umum organisasi ataupun masalah mikro. <br /><br /><br />Dengan pengembangan model social learnina pimpinan dan bawahan <br />berusaha secara bersama-sama untuk memperlajari perilaku masing-masing <br />individu guna tercapainya interaksi yang saling memberi dan menerima guan <br />tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi, dengan demikian maka <br />model social learning tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi di dukung pula oleh <br />model lain yang berusaha untuk melihat segala sesuatu berdasarkan situasi yang <br />sedang terjadi saat itu, maka dengan melihat ini, pendekatan kepemimpinan yang <br />bersifat situasional memiliki peranan yang dianggap penting. <br /><br />Teori kepemimpinan situasional merupakan suatu perkembangan yang <br />dianggap terkini dan merupakan rekayasa baru dalam ilmu pengetahuan dan ilmu <br />manajemen modern, walaupun sebenarnya teori ini dikembangkan oleh Paul <br />Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977 ; 160), yang kemudian lebih dikenal <br />dengan sebutan “ Life cycle theory laedershif.”. <br /><br /><br /><br />Lebih lanjut Hersey dan Blanchard mengemukakan bahwa pada prinsipnya <br />teori ini dikembangkan melalui prinsip-prinsip seperti berikut, model <br />kepemimpinan seperti ini didasarkan atas hubungan garis lengkung diantara; <br />kadar bimbingan dan arahan yang diberikan oleh pemimpin, kadar dukungan <br />sosioemosional yang disediakan pemimpin, dan level kematangan yang dimiliki <br />oleh pemimpin (Hersey dan Blanchard; 1986 ; 178). <br /><br />Dalam teori ini, bimbingan dan arahan merupakan kebutuhan masing-<br />masing tiap individu dan adanya kesadaran yang saling terbuka dari masing-<br />masing anggota untuk saling mengingatkan, terlebih di dukung oleh keinginan <br />pemimpin yang memiliki jiwa dan dedikasi yang tinggi terhadap karyawan. <br /><br />Dukungan sosioemosional pula merupakan suatu kebutuhan yang dapat <br />membantu dalam pembentukan baik perilaku maupun emosional dari masing-<br />masing anggota organisasi, dan penekanan utamanya diawali oleh adanya <br />sosioemosional yang stabil dan baik yang dikembangkan oleh pemimpin, <br />sehingga dengan demikian, maka tujuan utama organisasi akan semakin cepat <br />tercapai. <br /><br />Demikian pula dengan kematangan yang diartikan sebagai kemampuan <br />dan kemauan para pengikut untuk bertanggung jawab dan mengarahkan perilaku <br />mereka sendiri, kematangan disini memiliki arti yang sangat spesifik yakni <br />diartikan bahwa tidak semua orang memiliki keterampilan yang mapan pada <br />semua faktor, akan tetapi hanya mungkin memiliki keahlian pada satu sisi saja, <br />dengan keahlian ini maka tingkat kematangan individu akan semakin menguat, <br />dan dengan kematangan ini, maka terlibat pula komponen lain, seperti, orang yang <br /><br /><br /><br />memiliki motif berprestasi, memiliki karakteristik umum tertentu, kemampuan <br />dalam merumuskan pencapaian tujuan-tujuan yang cukup tinggi, berkaitan dengan <br />istilah tanggungjawab dapat dilihat dari dua konsep, yaitu; individu yang tidak <br />mau dan tidak mampu untuk bertanggungjawab, dan individu yang mau tetapi <br />mampu untuk bertanggungjawab, individu yang mampu tetapi tidak mau <br />bertanggung jawab, dan individu mau dan mamapu untuk bertanggung jawab, sisi <br />lain yang ikut membentuk kematangan adalah berkaitan dengan pendidikan atau <br />pengalaman, berkaitan dengan untuk melakukan tugas yang diangga relevan, dan <br />berkaitan dengan variabel-variabel situasional. <br /><br />Dari demikian banyak dan macam ragam serta model kepemimpinan <br />merupakan dukungan teori atas pondok pesantren yang diharapkan mampu untuk <br />membuka diri dengan interpensi dari luar guna mempersiapkan kader <br />kepemimpinan di masa mendatang, sebab dengan menutup diri campur tangan <br />dari pihak luar, maka kemungkinan pemimpinnya di masa mendatang ataupun <br />terlebih dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan tersebut. <br /><br />Sebenarnya berbagai gaya kepemimpinan telah di tawarkan dalam kajian <br />ini, nama, namun demikian adanya yang cenderung menonjol dalam mekanisme <br />kepemimpinan seorang kyai adalah cenderung otoriter, kharismatik dan monoton, <br />sedangkan sampai kapan model kepemimpinan semacam ini akan bertahan, <br />mungkin akan mewakili bila pemimpin ke satu, ke dua dan berikutnya sama <br />memiliki sifat kharismatik, akan tetapi jika tidak maka akan mengganjal <br />kemanjuan pesantren. <br /><br /><br /><br />H. Studi Atas Penelitian Terdahulu <br /><br />Membahas suatu model dan gaya kepemimpinan nampaknya peneliti <br />makin tertuju kepada dunia pesantren, hal ini memang dianggap menarik sehingga <br />bermunculan peneliti yang membahas tentang kepemimpinan pesantren karena <br />model dan gaya kepemimpinan yang ada di pesantren merupakan suatu model <br />yang dianggap unik, sebab hal ini biasanya dilakukan dengan turun temurun dan <br />hanya berputar sekitar keluarga pesantren. <br /><br />Penelitian terdahulu yang dikembangkan oleh Mastuhu (1999; 123) <br />memberikan suatu keterangan yang menandai bahwa pesantren yang rata-rata <br />milik pribadi, serta kepemimpinannya adalah dilakukan dengan model <br />pelimpahan kepemimpinan dari dan ke pendiri, ke anak menantu-cucu-santri <br />senior, artinya ahli waris pertama tetap yang memegang tonggak kepemimpinan <br />terletak pada tangan pertama yaitu akan dari seorang kyai dan sampai urutan <br />berikutnya, seperti yang diterangkan di atas. <br /><br />Hal ini masih mungkin dapat dilakukan bila seorang Kiai memiliki anak <br />laki-laki, akan tetapi bila tidak memiliki anak yang dianggap sanggup untuk <br />memimpin pesantren tersebut, maka biasanya dilimpahkan pada santri seniornya, <br />sedangkan dalam kasus sperti ini, terkadang santri seniornya lebih memilih untuk <br />mendirikan pesantren sendiri. <br /><br />Ketika kasusnya dihadapkan pada kenyataan seperti ini, maka berakhirlah <br />pesantren yang bersangkutan karena tidak ada yang meneruskannya, seperti dapat <br />dilihat dari kasus pergantian pesantren Tebuireng, di awali dari ponok pesantren <br />Nggendeng, yang didirikan oleh Kiai Usman pada pertengahan abad ke 19, <br /><br /><br /><br />kemudian diteruskan oleh menantunya, Kiai Asy’ari dengan mendirikan pondok <br />pesantren di Keras pada tahun 1876-an, dan popularitas pndok pesantren <br />Nggendeng akhirnya menurun bahkan akhirnya tutup, yang akhirnya <br />kemunculannya kembali di gantikan oleh putranya dengan merintis kembali oleh <br />Muhamad Hasyim dengan mendirikan pondok pesantren baru yang lebih dikenal <br />dengan pondok pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari, <br />popularitas pesantren Keras menurun pula, yang akhirnya setelah pendirinya <br />K.H. Hasyim Asy’ari meninggal, maka dilanjutkan oleh K.H. A. Wahid Hasyim <br />(1974-1950), kemudian karena Wahid Hasyim pindah ke Jakarta sehingga dengan <br />berbagai kesibukannya, maka dilanjutkan olwh saudaranya K.H. A. Karim <br />Hasyim, yang hanya sempat memimpin sampai dengan satu tahun karena <br />meninggal dunia, selanjutnya pimpinan pesantren di ganti oleh saudara iparnya, <br />K.H. Ahmad Baidhawi (1951-1952), dan demikian pula tidak bertahan lama, lalu <br />dilimpahkan ke keturunan pendiri utama, yaitu, K.H. A. Khaliq Hasyim (1952-<br />1965), dan setelah beliau meninggal dilanjutkan oleh saudaranya K.H. Yusuf <br />Hasyim sampai dengan sekarang. <br /><br />Berbeda dengan riwayat kepemimpinan yang dikembangkan oleh pondok <br />pesantren Sukorejo, yang pendiri utamanya adalah K.H. Raden Syamsoel Arifin <br />(1914-1951), lalu digantikan oleh putranya K.H. Raden As’ad Syamsoel Arifin <br />(1951-1988) dan sekarang dilanjutkan oleh K.H. Fawaid, yaitu oleh putranya. <br /><br />Demikian halnya dengan pesantren Gontor Ponorgo, saat ini ada dua dari <br />trimurti kepemimpinan pondok pesantren Gontor Ponorogo, yaitu keturunan <br />langsung dari pendiri pesantren, hal ini terjadi karena masih dekatnya periode dari <br /><br /><br /><br />genersi kesatu ke generasi lainnya, sehingga pengaruhnya dari pendiri pertama <br />masih terasa kuat, dan sekaligus sebagai pernyataan terima kasih dan rasa <br />penghormatan kepada pendirinya, dan karena dua ari trimurti sekarang ini <br />memiliki tingkat pendidikan tinggi, salah satunya adalah bergelar magister, <br />sehingga suksesi itu karena faktor pendidikan keturunan keluarga pesantren ikut <br />mewarnainya. <br /><br />Kasus diatas memberikan suatu kejelasan bahwa faktor utama yang harus <br />di perhatikan oleh keluarga pesantren adalah mengutamakan pendidikan <br />keturunan pesantren yang nantinya akan dipersiapkan untuk melanjutkan tahta <br />kepemipimpinan berikutnya telah dipersiapkan secara matang guna menghadapi <br />berbagai kemungkinan yang akan terjadi, yakni terutama ketika Kiai dari pendiri <br />pesantren tersebut meninggal dunia, dan sinyalemen ini sekaligus merupakan <br />suatu ulasan atas hasil yang diharapkan dari studi teoritis terdahulu,yaitu <br />mengenai suksesi kepemimpinan Kiai di pesantren. <br /><br />Suksesi kepemimpinan yang dijadikan sumber dalam penelitian ini adalah <br />di fokukan di wilayah kota Cirebon, sebab disamping masih membutuhkan <br />berbagai perhatian dari praktisi, peneliti, dan masyarakat akademik serta <br />masyaraat umum yang senantiasa memberikan perhatian yang cukup serius guna <br />kemajuan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di masa mendatang, <br />sehingga akibat yang akan muncul ketika hal ini terabaikan oleh berbagai pihak <br />tersebut, maka tidak mustahil pesantren akan mengalami nasib yang sama dengan <br />pesantren terdahulu, yakni mengalami kemandegan karena tidak adanya pimpinan <br /><br /><br /><br />berikutnya yang melanjutkan tampuk kepemimpinan pesantren di masa <br />mendatang. <br /><br />I. Wilayah Kajian Penelitian Administrasi Pendidikan <br /><br /> Kajian penelitian yang dibahas adalah termasuk ke dalam kajian bidang <br />administrasi pendidikan, dan ruang lingkupnya meliputi bidang kegitan, pertama, <br />manajemen administrative (administrative management), dimana kegiatan pada <br />bidang ini disebut juga dengan management administrative function yang <br />memiliki tujuan mengrahkan agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan semua orang <br />dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan kedua, <br />adalah manajemen operatif (operative management) dan kegiatan yang dilakukan <br />pada bidang ini adalah disebut juga dengan management by operative , dan <br />wilayah kerjanya meliputi sekitar pengadaan, pengarahan, dan pembinaan agar <br />dalam mengerjakan kegiatan organisasi yang menjadi tugas masing-masing dapat <br />dilaksanakan tidak hanya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi <br />juga dapat berjalan dengan tepat dan benar. <br /><br /> Dalam keterangan lain dikatakan mengenai ruang lingkup administrasi <br />pendidikan, yaitu meliputi pendekatan yang bersifat teoritik, dimana hal ini <br />berhubungan erat dengan perilaku dalam melaksanakan kegiatan administrasi <br />sekolah, dan berbagai kegiatan serta pendekatan yang bersifat teoritik dapat <br />digunakan untuk menganalisa administrasi pendidikan sepanjang hal demikian <br />konsisten untuk menjadi landasan pedoman kerja administrasi pendidikan. <br /><br /> Engkoswara (1987; 42-43) mengemukakan bahwa administrasi meliputi <br />wilayah kerja yang bertujuan untuk mempelajari penataan sumber yang ada, <br /><br /><br /><br />dimana di dalamnya meliputi penataan dalam bidang manusia, atau personel, <br />kurikulum atau sumber belajar lainnya yang berupa fasilitas guna mendukung <br />keberhasilan belajar secara optimal. <br /><br /> Pada dasarnya administrasi pendidikan merupakan suatu media untuk <br />mencapai tujuan pendidikan secara produktif, yaitu efektif dan efisien, dimana <br />ruang lingkup efisien itu sendiri meliputi, pertama, kegairahan dan motivasi <br />belajare yang tinggi, kedua, semangat kerja yang besar, ketiga, kepercayaan <br />berbagai pihak, keempat, pembiayaan yang hemat dan tenaga yang <br />sekecilmungkin tetapi mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya, sedangkan <br />efektifitas itu sendiri meliputi; pertama, masukan yang berarti, kedua, keluaran <br />yang bermutu, ketiga, ilmu keluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat <br />yang sedang membangun, keempat, luaran yang memadai. <br /><br /> Kriteria keberhasilan diatas memerlukan suatu proses administrasi <br />pendidikan, minimal meliputi perilaku manusia berorganisasi dalam kebudayaan <br />yang dapat dinyatakan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, pengsawan, serta <br />pembinaan terhadap sumber daya pendidikan lainnya. <br /><br /> Di awal telah diterangkan bahwa kajian kepemimpinan merupakan bagian <br />dari ilmu manajemen yang berguna bagi peningkatan mutu proses menuju hasil <br />yang optimal bagi suatu kinerja organisasi, dan hal ini termasuk kedalam bagian <br />yang dibahas oleh pesantren, juga termasuk kealam katagori yang dikehendaki <br />oleh bidang administrasi pendidikan, yakni bagaimana efektifitas pembuatan <br />model re-generasi kepemimpinan di pesantren, dengan terciptanya itu semua, <br /><br /><br /><br />maka proses percepatan inovasi kepemimpinan di pesantren akan tetap tercipta <br />sesuai dengan norma kebijakan manajemen modern. <br /><br /> Pada akhirnya, utaian teoritik diatas menunjukkan kepada salah satu <br />prinsip kebersamaan tujuan, baik berupa tujuan Kiai yang dibentuk melalui visi <br />dan misinya lewat pesantren, juga pemberdayaan masyarakat yang dibentuk <br />berdasarkan tuntutan, harapan, dan desakan suatu perubahan menuju sesuatu yang <br />dianggap lebih baik dan dapat menjamin stabilitas organisasi pesantren. <br /><br />J. Analisis Hasil Antara Teori dengan Lapangan <br /><br /> Kajian teoritik memberikan gambaran bahwa penataan sistem <br />kepemimpinan pondok pesantren memerlukan suatu model penanganan yang cukp <br />serius (terintegrasi, dan komprehenshif), baik ditinjau dari sudut administrasi <br />pendidikan maupun manajemen pemberdayaan masyarakat, maka pesantren <br />sebagai suatu lembaga pendidikan yang berakar dari masyarakat memerlukan <br />peningkatan efektifitas dan efisiensi kinerjal lembaga guna mendapatkan hasil <br />yang optimal, hal ini sangat erat hubungannya dengan pertama, potensi strata <br />masyarakat, kedua, saluran interaksi masyarakat dan pemerintah, ketiga, peranan <br />aspirasi dan saluran masyarakat, keempat, pemberdayaan peranserta, dan katagori <br />tersebut mengarah kepada produktivitas kinerja lembaga pesantren, baik dilihat <br />dari sudut personel Kiai sebagai pengasuh pesantren dan pemegang terpenting <br />sebuah kebijakan, juga sebgai kelompok atau organisasi pesantren. <br /><br /> Mengacu kepada teori diatas, maka dapat ditarik suatu benang merah <br />mengenai sistem suksesi kepemimpinan Kiai di pesantren berikut manajemen <br />pemberdayaan masyarakat, antara lain meliputi; <br /><br /><br /><br />. <br />Efektifitas pergantian kepemimpinan Kiai di pesantren sangat erat <br />hubungannya dengan masalah siapa dan bagaimana sosok penggantinya, <br />dan hal inilah yang cenderung memiliki kendala yang cukup berarti, sebab <br />penilaianmasyarakat dengan bergatinya pemimpin pesantren, maka akan <br />memberikan alasan yang tersendiri bagi terbentuknya sebuah kepercayaan <br />yang baru, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup panjang. <br />. <br />Tingkat pemberdayaan masyarakat tidak terlepas dari bagaimana intensitas <br />keterlibatan masyarakat berperanserta dalam merumuskan suatu model <br />kebijakan, sebab selama ini masyarakat termasuk golongan yang <br />termarjinalkan oleh pesantren, walaupun pada teorinya lembaga <br />pendidikan islam seperti pesantren termasuk kedalam lembaga milik <br />masyarakat, dimana hidup dan matinya pun masyarakat ikut <br />menentukannya, namun pada kenyataannya lembaga ini termasuk sulit <br />sekali dijangkau oleh masyarakat, terutama dalam merumuskan model <br />kebijakan pesantren. <br />. <br />Inovasi kepemimpinan Kiai sebenarnya tidak terlepas dari pemegang <br />teguh kebijakan Kiai itu sendiri, oleh sebab itu wlaupun pada landasan <br />teorinya sistem suksesi di dalam pesantren di serahkan kepada masyarakat, <br />namun pada kenyataannya Kiai memegang teguh kendali pelimpahan <br />wewenang tersebut. <br /><br /><br />Hubungan yang dilakukan oleh Kiai sebagai administrator di <br />pesantren hendaknya memperhatikan kelemahan dan keunggulan serta prestasi <br />kerja yang selama ini dicapai oleh pesantren tersebut, terutama dalam menjalin <br /><br />kerjasama dengan pihak lain, dalam hal ini masyarakat, sehingga dengan <br />demikian, maka pesantren juga berfungsi dalam mengadakan kontak kerjasama <br />dengan pihak masyarakat (Made Pidarta, 1986; 367). <br /><br /> Selanjutnya, tugas utama yang diemban oleh masyarakat dalam rangka <br />menerima amanat dari pesantren sebagai penerus gerak langkah dan majunya <br />pesantren, sehingga dapat dianalisa bagaimanapun baiknya suatu model kebijakan <br />Kiai di pesantren, namunketika hal ini tidak dapat diterima oleh masyarakat, <br />makaakan mengalami hambatan yang cukup berarti, demikian pula sebaliknya <br />dengan model perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat ketika Kiai sebagai <br />pemegang teguh kebijakan pesantren masih menutup diri,maka akan mengalami <br />kesluitan bagi tingkat perkembangan dan kemajuan pesantren.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-57821850959096846322010-12-08T15:55:00.000-08:002010-12-08T15:58:49.775-08:00RESUME KONSEKWENSI INOVASIBAB I PENDAHULUAN<br /><br />A. Latar Belakang Masalah<br /><br />Kreativitas dan inovasi mengalami peningkatan sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat ilmu pengetahuan pada abad ke-21. Kedua hal tersebut sangat berkontribusi misalnya terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan kehidupan individu sebagai faktor pendukung kompetitif dan kedinamisan kehidupan secara global.<br /><br />Selain itu, kreativitas dan inovasi juga memiliki hubungan yang erat dengan pengetahuan dan belajar. Sementara intelegensia tidak dipandang sebagai prakondisi lahirnya kreatifitas, banyak penelitian menunjukkan keterkaitan antara pengetahuan sebelumnya yang dimiliki seseorang ternyata menjadi dasar bagi terciptanya kreativitas dan pemupukan pengetahuan. Banyak peneliti memandang kreativitas sebagai format penyusunan pengetahuan danpembentukan pemahaman individual. Pemahamn individual kemudian menjadi dasar bagi terciptanya pemahaman yang lebih luas melalui saluran-saluran organisasi atau sistem sosial lainnya.<br /><br />Melalui bukunya Diffusion of Innovation (1971), Everett M. Rogers mengembangkan konsep difusi inovasi yang dirangkum dalam sebelas bab. bab 11 membahas tentang konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi.<br /><br />B.Rumusan Masalah<br /><br />Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam konsekuensi – konsekuensi inovasi sebagai berikut:<br /><br /> 1. Pengertian konsekuensi inovasi<br /> 2. Klasifikasi konsekuensi<br /> 3. Struktur sosial dan konsekuensi penyetaraan<br /><br /> <br /><br />C. Tujuan Penulisan<br /><br />Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang konsekuensi inovasi inovasi. Khususnya dalam dunia pendidikan dan lebih khusus lagi di negeri Indonesia yang tercinta ini.<br /><br /> 1. Pengertian konsekuensi inovasi<br /><br />Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi terhadap seseorang atau terhadap suatu sistem sosial sebagai dampak pengadopsian atau penolakan terhadap sebuah pembaharuan (inovasi). Sebuah pembaharuan akan berdampak kecil, bila tidak disebarluaskan kepada suatu kelompok ma-syarakat untuk mempergunakannya. Sebaliknya, Sebuah inovasi akan ber-dampak besar bila inovasi tersebut disebarluaskan kepada anggota suatu ke-lompok masyarakat dan dipergunakannya. Maka, penemuan dan difusi men-jadi tujuan yang ingin dicapai. Dan ini merupakan konsekuensi dalam menga-dopsi sebuah pembaharuan.<br /><br /> Walaupun konsekuensi dari sebuah inovasi ini suatu hal yang penting, namun hal ini kurang mendapat perhatian dari para peneliti. Bahkan kurang-nya data dan perhatian dari para peneliti konsekuensi, menyulitkan peneliti untuk menggeneralisasikan mengenai konsekuensi dari suatu inovasi. Kita dapat menguraikan berbagai konsekuensi dan menentukan kategor-kategori untuk mengklasifikasikan berbagai konsekuensi, namun kita tidak dapat memprediksi kapan dan bagaimana konsekuensi tersebut akan terjadi.<br /><br /> Bukan saja para peneliti yang kurang memperhatikan hal ini, demikian pula para agen. Mereka sering berasumsi bahwa mengadopsi suatu inovasi hanya menghasilkan hal hal yang menguntungkan mereka saja. Asumsi ini termasuk kategori bias pro inovasi. Agen perubahan seharusnya mengenal kewajiban mereka terhadap inovasi yang mereka kenal. Mereka harus mampu memprediksi kerugian dan keuntungan sebelum inovasi mereka tersebut diperkenalkan kepada klien mereka, tetapi ini jarang dilakukan.<br /><br /> (Contoh Kasus : Mobil Salju di Antartika)<br /><br /> Cerita ini menggambarkan bagaimana inovasi dari sebuah mobil salju merubah tatanan masyarakat di daerah kutub. Mereka yang tadinya menggu-nakan rusa sebagai alat transportasi, dan hewan peliharaan berubah total sejak hadirnya mobil salju. Disatu sisi Kehadiran mobil salju ini membawa dampak positif. Dari jarak tempuh, yang tadinya harus ditempuh dalam 2 hari perjalkanan kini cukup dalam waktu 5 jam. Hal ini menggeser sistem trans-portasi yang biasanya menggunakan rusa dan alat ski. Namun, disisi lain, hal ini membawa dampak negative. Kedekatan antara manusia dan rusa rusa tersebut terganggu. Ini diakibatkan karena banyak rusa dipotong untuk dijual agar bias membeli mobil. Lama kelamaan peternakan rusa menurun dan Ini mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan menganggur. Revolusi mobil salju mendorong masyarakat disana menjadi ketergantungan terhadap uang tunai, utang dan pengangguran.<br /><br />Sebuah Model dalam mempelajari Konsekuensi<br /><br /> Banyak kajian sebelumnya membahas: variabel apa yang berkaitan dengan inovasi? Kini pertanyaannya beralih kepada : Apa dampak-dampak mengadopsi suatu inovasi?<br /><br /> Pembaharuan, dulu merupakan dependent variabel utama. Kini dia adalah gambaran dari sebuah variabel yang paling utama yakni konsekuensi inovasi.<br /><br />Penelitian tentang Konsekuensi Inovasi sangat sedikit karena :<br /><br />1. Agen perubahan, sering kali mensponsori penelitian ini terlalu menekan-kan pada adopsinya saja, beranggapan bahwa keputusan untuk menga-dopsi pembaharuan hanya akan berakibat positif saja.<br /><br />2. Mungkin metode penelitian yang dipergunakan tidak tepat untuk menyeli-diki konsekuensi inovasi.Penelitian ini sangat rumit mengingat kenyataan bahwa waktu yang diperlukan akan sangat lama dan tidak cukup dengan hanya menambahkan jumlah pertanyaan dalam survey, jumlah sampel, atau jenis pengumpulan data lainnya.<br /><br />3. Konsekuensi sulit untuk diukur.<br /><br /> Seseorang yang menggunakan suatu inovasi biasanya tidak sadar akan akibat yang akan dihadapinya. Oleh sebab itu, cara apapun yang dipakai untuk meneliti hal ini mungkin akan berakibat pada kesimpulan yang ti-dak sempurna dan menyesatkan.<br /><br /> Konsep relativisme budaya adalah: suatu sudut pandang bahwa ma-sing masing budaya seharusnya tidak dipandang dari sisi situasi dan kebutuhannya semata. Tidak ada satu budayapun yang terbaik dalam makna tertentu. Masing masing budaya memilikii norma, nilai, keper-cayaan, sikap yang berfungsi efektif dalam lingkungannya sendiri.<br /><br /> <br /><br />B. Klasifikasi Konsekuensi<br /><br /> Satu langkah untuk meningkatan pemahaman kita akan konsekuensi inovasi adalah dengan mengklasifikasikannya kedalam suatu taksonomi (sistem klasifikasi):<br /><br />1. Konsekuensi Yang Diharapkan dan Yang Tidak Diharapkan.<br /><br /> Konsekuensi yang diharapkan adalah akibat yang bermanfaat yang dipe-roleh individu atau suatu sistem social Sebaliknya, Konsekuensi yang ti-dak diharapkan artinya bila inovasi itu tidak berfungsi dengan baik pada individu atau suatu sistem sosial.<br /><br /> Dalam konsekuensi yang diharapkan akan timbul :<br /><br /> - Keuntungan Berlipat<br /><br /> Keuntungan ini adalah suatu keuntungan yang diperoleh oleh orang yang pertama kali mengadposi ide ide baru dalam suatu sistem sosial. Hal ini disebabkan karena ketika mulai banyak orang yang menga-dopsi sebuah inovasi, maka total produksi dan efisiensi meningkat se-hingga harga barang atau jasa akan turun. Hal ini adalah manfaat dari turunnya biaya produksi.<br /><br /> Mungkin juga pembaharu harus menanggung resiko untuk mendapat-kan rejeki yang berlipat. Tidak semua ide akan berhasil.<br /><br /> Bahkan mungkin, bukannya keuntungan yang berlipat melainkan keru-gian yang berlipat. Keuntungan berganda ini adalah salah satu keuntungan yang relatif yang diperolehsebagian orang saja.<br /><br /> - Kesalahan Asumsi Tentang Pemisahan<br /><br /> Maksudnya adalah: Konsekuensi yang diharapkan dari suatu inovasi teknologi dapat dipisahkan dari konsekuansi yang tidak diinginkan. Contoh kasus terjadi di Iran dimana Ayatullah Khomaeni tidak menolak inovasi teknologi dibidang teknologi seperti media dan alat komunikasi buatan barat tetapi ia mentah mentah menolak pengaruh yang diaki batkan oleh barat terhadap pemuda Iran.<br /><br /> Hal ini berkaitan dengan generalisasi 11 - 1: Sulit bahkan tidak mungkin untuk mengendalikan akibat akibat dari inovasibegitujuga untuk memisahkan antara konsekuensi yang diharapkan dan yang tidakdiharapkan.<br /><br />2. Konsekuensi Langsung dan Konsekuensi Tidak Langsung<br /><br /> Konsekuensi Langsung : Perubahan perubahan yang terjadi langsung saat meresponse terhadap suatu inovasi. Ilustrasinya ada pada ketika suku suku di Madagaskar berubah dari sistem sawah kering ke sistem tanah basah. Perubahan ini merubah tatanan kepemilikan tanah, status social, dan sistem pemerintahan.<br /><br /> Konsekuensi Tidak Langsung : Perubahan perubahan yang terjadi pada suatu individu atau sistem social sebagai akibat dari suatu inovasi.<br /><br />3. Konsekuensi Yang Diduga dan Konsekuensi Yang Tak Diduga<br /><br /> Konsekuensi yang Diduga : Konsekuensi yang diketahui dan yang d-iinginkan oleh <br /><br /> anggota dari suatu sistem kemasyarakatan.<br /><br />Konsekuensi yang Tak Diduga : Sebaliknya<br /><br /> (Cerita tentang kapak besi untuk Suku Aborigin di Jaman Batu)<br /><br /> Dari cerita ini dapat diambil pelajaran mengenai:<br /><br />BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA SEBUAH INOVASI:<br /><br />1. Bentuk (Form): berupa bentuk tampilan/fisik dari sebuah inovasi yang dapat<br /><br />dilihat.<br /><br />2. Fungsi (Function): manfaat yang dihasilkan dari sebuag inovasi terhadap cara <br /><br />hidup suatu masyarakat.<br /><br />3. Makna (Meaning): Persepsi yang bersifat subjektif dan sering kali tidakdisadari<br /><br />oleh suatu masyarakat akan sebuah inovasi.<br /><br />TIGA HAL YANG PERLU DIKETAHUI AGEN PERUBAHAN UNTUK STABILITAS/PENYEIMBANG :<br /><br /> 1. Stabilitas Yang Tetap: terjadi ketika sama sekali tidak terjadi perubahan<br /><br /> dalam struktur atau fungsi sitem kemasyarakan.<br /><br /> 2. Stabilitas Yang Dinamis: terjadi ketika tingkat perubahan dalam sistem<br /><br /> kemasyarakatan sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk menangani<br /><br /> pembaharuan tersebut.<br /><br /> 3. Ketidakseimbangan: terjadi ketika tingkat perubahan terlalu cepat untukmampu <br /><br /> dikejar oleh masyarakat.<br /><br />KEPADA SIAPA INOVASI DIPERKENALKAN<br /><br /> Ketidaktahuan akan budaya dari suatu masyarakat akan membawa kegagalan sebuah pembaharuan. Masalah kepada siapa inovasi diperkenalkan membawa kita pada isu pemerataan.<br /><br />PEMERATAAN DALAM KONSEKUENSI KONSEKUENSI INOVASI<br /><br /> Seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, difusi biasanya menyebabkan kesenjangan social ekonomi karena:<br /><br />1. Orang yang pertama mengadopsi memiliki sikap yang positif terhadap ide ide baru dan senantiasa berusaha untuk mencari inovasi baru.<br /><br />2. Agen perubahan professional cenderung untuk berkonsentrasi dengan klien atau orang yang pertama mengadopsi dengan harapan pendapat mereka akan diikuti oleh para pengikutnya.<br /><br />3. Dengan lebih dulu mengasopsi inovasi, mereka mengharapkan keuntungan yang berlipat ganda.<br /><br /> <br /><br />ISU ISU PENYETARAAN DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN<br /><br /> Pentingnya isu penyetaraan baru dirasakan pada tahun 1970. Sebelumnya, isu inisering kali diabaikan dan umumnya menganut teori: Dtrickle down untuk mengatasi kesenjangan difusi inovasi dalam kurun waktu yang panjang. Perubahan pola piker terjadi pada awal tahun 1970 sebagai bagian dari factor dominan pembangunan. Kenaikan pendapatan perkapita 5 - 10% dianggap sebagai suatu keberhasilan. Namun keberhasilan ini dipertanyakan. Misalnya: jika pendapatan perkapita naik dan dihabiskan untuk membeli minuman alcohol, apakah itu suatu pembangunan?<br /><br /> Pertanyaan yang sulit ini membawa pada suatu penekanan terhadap penyentaraan dalam munculnya berbagai alternative terhadap paradigm pembangunan.<br /><br /> Para perencana tingkat nasional tidak mengukur pembangunan hanya berdasarakan pendapatan perkapita mereka mulai berfikir tentang penyetaraan social ekonomi sebagai tujuan pembangunan dan memcoba untuk mengukur indikator indikator non-ekonomi sebagai upaya peningkatan mutu kehidupan.<br /><br /> Ketika para ilmuwan dan agen perubahan mulai untuk membedakan antara: (1) tingkat barang dan (2) Penyetaraan distribusi barang maka langkah berikutnya adalah mulai memyelidikidampak kesenjangan yang luas dan dampak kesenjangan yang sempit dari sebuag difusi inovasi.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />KESENJANGAN DAMPAK DAMPAK KOMUNIKASI DAN KONSEKUENSI KONSEKUENSI DIFUSI<br /><br /> Masalah ini dimulai dengan pertanyaan: Apa akibat dari aktivitas komunikasi? Efek disini terutama berdasarkan perubahan dalam pengetahuan, sikap, atau perilaku seseorang. Dimensi ke dua sedikit berbeda: DApakah aktifitas komunikasi memiliki akibat yang lebih besar, atau berbeda terhadap seseorang dibandingkan dengan orang lain?<br /><br /> Ahli dibidang difusi mencoba untuk menganalisa data mereka untuk melihat sejauh mana program difusi dapat berdampak pada kesenjangan yang lebar atau sempit (diistilahkan: atas dan bawah). Misalnya: status ekonomi atas dan bawah, pengadopsi awal dan akhir atau tingkat informasi (kaya dan miskin informasi). Bagaimanapun atas bawah diklasifikasikan, keberaturan sebuah penyetaraan akan ditemukan.<br /><br /> <br /><br />C. KONSEKUENSI KESENJANGAN YANG LUAS DALAM ADOPSI INOVASI<br /><br />1. Konsekuensi dari adoptasi inovasi biasanya cenderung untuk memper-besar kesenjangan antara pengadopsi pertama dan terakhir.<br /><br />2. Konsekuensi dari adposi inovasi biasanya cenderung untuk memperle-bar kesenjangan social ekonomi diantara para segmen masyarakat da-lam status ekonomi tinggi dan rendah.<br /><br /> <br /><br /> STRATEGI UNTUK MEMPERKECIL KESENJANGAN:<br /><br /> I. Golongan atas memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi mengenai<br /><br /> informasi disbanding golongan bawah.<br /><br />1. Informasi mungkin terkesan basi untuk kelas atas namun bisa saja <br /><br />disampaikan kepada warga kelas bawah. Efek Langit Langit ini berhasil memurunkan kesenjangan social ekonomi di India.<br /><br />2. Seseorang dapat merangkai pesan pesan komunikasi terutama untuk <br /><br />paraekonomi kelas bawah dengan mempertimnangkan karakteristik mereka seperti pendidikan, kepercayaan, kebiasaan komunikasi, dan sejenisnya.<br /><br />3. Seseorang seharusnya menggunakan jalur komunikasi agar mampu<br /><br />Mengangkat golongan bawah sehingga akses bukan menjadi penghalang dalam memperoleh kesadaran untuk memperoleh inovasi.<br /><br />4. Golongan bawah dapat diorganisir kedalam kelompok kecil dimana mereka dapat mempelajari tentang inovasi dan mendiskusikan ide ide baru ini.<br /><br /> 5. Konsentrasi para agen perubahan dapat dialihtugaskan dari innovator ke<br /><br /> pengadopsi awal.<br /><br /> II. Golonganatas Memiliki Akses Yang Lebih Besar Terhadap Informasi <br /><br /> Evaluasi suatu Inovasi dari Teman Temannya Dibanding Golongan bawah.<br /><br />1. Pendapat para pemimpin dari kelompok yang kurang beruntung dapat<br /><br />diketahui dan agen perubahan dapat dilimpahkan kepada mereka.<br /><br />2. Pembantu pembantu agen perubahan diambil dari kelompok bawah<br /><br />Sebagai penyampai inovasi.<br /><br /> 3. Grup grup resmi dari kelompok bawah dapat diatur untuk memperoleh<br /><br /> pendidikan kepemimpinan dan memajukan pembuatan keputusan inovasi.<br /><br /> III. Golongan atas Memiliki Keleluasan Sumber Daya Untuk Mengadopsi Inovasi<br /><br /> Dibanding Kelompok Bawah.<br /><br />1. Prioritas dapat diberikan untuk pengembangan dan rekomendasi sebuah<br /><br />Inovasi kepada kelompok bawah.<br /><br />2. Organisasi Sosial dapat diberikan pada tingkat local sehingga golongan<br /><br />Bawah dapat memperoleh penyetaraan dengan golongan @atas dalam keleluasaan menggunakan sumber daya untuk mengadopsi inovasi.<br /><br />3. Alat harus diberikan agar golongan @ bawah dapat berpartisipasi <br /><br />Untuk merencanakan dan melaksanakan program inovasi. Termasuk pengaturan prioritas program.<br /><br />4. Agen agen difusi khusus dapat dibentuk untuk bekerja dengan golongan<br /><br />bawahsehingga agen perubahan mampu untuk me-ngetahui kebutuhan golongan social ekonomi rendah.<br /><br />5. Penekanan harus dialihkan dari yang bersifat sentralisasi kepada<br /><br />desentralisasi.<br /><br />KESENJANGAN YANG LEBIH LUAS DAPAT DIPREDIKSI<br /><br /> Hal ini berdasarkan Generalisasi 11 - 7: Ketika upaya upaya khusus dibuat oleh agen perubahan, maka mungkin untuk memperkecil atau setidaknya tidak memperluas kesenjangan social ekonomi dalam suatu sistem masyarakat. Kasus ini berhasil di India ketika informasi tentang pertanian disampaikan melalui televisi.<br /><br /> Rolling (at all, 1976) menyimpulkan bahwa: Difusi generalisasi secara tepat memberikan kesimpulan tentang usaha usaha pada saat ini, tetapi hal ini mungkin sangat berbeda dari menyajikan rekomendasi untuk usaha yang lebih optimal.<br /><br />3. Pembahasan<br /><br /> Perubahan organisasi adalah usaha yang direncanakan oleh manajemen untuk menghasilkan prestasi keseluruhan individu, kelompok dan organisasi dengan mengubah struktur, perilaku dan proses. Perubahan seperti itu bukanlah sekedar berubah saja, tetapi perubahan yang disertai dengan pembaruan dalam berbagai hal berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan hal inilah yang sering dimaknai sebagai pembaruan atau inovasi. Inovasi itu lebih dari sekedar perubahan, walaupun semua inovasi melibatkan perubahan.<br /><br /> Dalam inovasi ada kegiatan menciptakan sesuatu hal baru yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Penciptaan sesuatu hal baru di sini erat kaitannya dengan teknologi baru, produk-produk baru maupun metode yang baru, sehingga ketika menyebut istilah inovasi membuat sebagian besar orang berpikir pertama-tama tentang teknologi, produk-produk baru, dan metode-metode baru untuk membuatnya.<br /><br /> Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, agar setiap organisasi dapat sustainable dalam lingkungan dinamis yang selalu berubah, maka perlu menumbuhkan dan me-lakukan inovasi secara terus-menerus yang dikenal dengan inovasi tiada henti. Inovasi yang tiada henti itu maksudnya adalah inovasi yang dilakukan secara terus menerus dalam berbagai hal dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.<br /><br /> Siapakah pihak yang berperan melakukan inovasi dalam suatu organisasi? Tidak lain adalah setiap orang atau individu yang ada di dalam organisasi tersebut. Prestasi organisasi tergantung dari prestasi individu. Sedangkan prestasi individu merupakan bagian dari prestasi kelompok yang pada gilirannya merupakan prestasi organisasi. Karena itu semua unsur di dalam organisasi, baik pimpinan maupun anggota harus mempunyai niat dan perhatian serta konsistensi yang terintegrasi dan berkesinambungan. Hal ini penting ditekankan agar semua pihak yang berperan serta dalam proses inovasi, mulai dari pimpinan tertinggi hingga anggota terendah pun mengetahui tujuan-nya, sasarannya dan perencanaan maupun strategi yang dipergunakan, sehingga hasilnya dapat memenuhi harapan organisasi.<br /><br /> Inilah tantangan bagi organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Bagaimana organisasi pendidikan mengantisipasi perubahan tersebut? Apa langkah-langkah yang perlu dilakukan sehingga penyelenggara pendidikan kita di Indonesia ini mampu menem patkan kualitas sumber daya manusia kita pada level yang patut diperhitungkan di kancah global? Hal ini merupakan tugas yang tidak ringan, terutama bagi penyelenggara kegiatan pendidikan. Di sini dibutuhkan manajemen pendidikan yang baik (well manage) dan stra-tegi pelaksanaan inovasi agar organisasi pendidikan mampu menghasilkan SDM yang berkualitas.<br /><br /> Inovasi merupakan perubahan yang direncanakan oleh organisasi dengan kegiatan yang berorientasi pada pengembangan dan penerapan gagasan-gagasan baru agar menjadi kenyataan yang bermanfaat dan menguntungkan. Proses inovasi dapat dianalogikan seba-gai proses pemecahan masalah yang di dalamnya terkandung unsur kreativitas. Dalam hal inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus melibatkan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti kepala sekolah, guru dan siswa.<br /><br /> Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan eksternal suatu organisasi pada umumnya akan memaksa organisasi terus melakukan perubahan. Adanya paradigm-paradigma yang berubah baik secara internal sebagai tanggapan dari adanya perubahan eksternal mendesak juga untuk berubah. Perubahan6perubahan dalam struktur organisasi, kultur dan filosofi yang mendasari organisasi akan memerlukan sejumlah inovasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Perubahan dan Inovasi dalam organisasi Pendidikan juga perlu dikembangkan dengan tujuan untuk orientasi kerja, kehidupan masa depan dalam koridor long life education. Inovasi dalam dunia pendidikan meliputi organisasi sekolah sebagai suatu sistem, mencakup mulai dari input, proses, output dan outcome. Pengelolaan Pendidikan mendasarkan pada Broad Based Society yang kemudian membuat satu terobosan inovasi dengan manajemen berbasis sekolah, dalam bentuk proses pembelajaran juga mencakup metode6metode seperti Contextual teaching and learning, group learning, dan metode pembelajaran lain. Inovasi yang terus berkembang dalam organisasi adanya reengineering yang mencakup berbagai aspek dengan tujuan terjadinya efisiensi dan efektifitas.<br /><br /> Joyce Wycoff (2004) mengemukakan tentang 10 langkah praktis untuk mempertahankan kehidupan inovasi dalam suatu organisasi. Kesepuluh langkah tersebut adalah:<br /><br />1. Hilangkan rasa takut dalam organisasi. Innovasi artinya melakukan sesuatu yang baru dan sesuatu yang baru itu mungkin akan gagal, jika orang-orang senantiasa diliputi ketakutan akan kegagalan.<br /><br />2. Jadikan inovasi sebagai bagian dari sistem penilaian kinerja setiap orang.<br /><br />Tanyakan kepada mereka, apa yang akan mereka ciptakan atau tingkatkan pada masa-masa yang akan datang, kemudian ikuti kemajuannya.<br /><br />3. Dokumentasikan setiap proses inovasi dan pastikan setiap orang dapat memahami peran didalamnya dengan sebaik-baiknya.<br /><br />4. Berikan keluasaan kepada setiap orang untuk dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru (new possibilities) dan berkolaborasi dengan orang lain, baik yang ada dalam organisasi maupun di luar organisasi.<br /><br />5. Pastikan setiap orang dapat memahami strategi organisasi dan pastikan pula<br /><br />bahwa semua usaha inovasi benar-benar sudah selaras dengan strategi yang ada.<br /><br />6. Belajarkan setiap orang untuk mampu memindai lingkungan, seperti tentang trend baru, teknologi atau perubahan mindset pelanggan.<br /><br />7. Belajarkan setiap orang untuk menghargai keragaman, baik dalam gaya berfikir, Perspektif pengalaman maupun keahlian, karena keragaman seluruh aktivitas ini merupakan bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses menuju inovasi.<br /><br />8. Tentukan kriteria yang terukur dengan fokus pada cita-cita masa depan organisasi. Kriteria yang ketat hanya akan menghambat terhadap pencapaian cita-cita dan melestarikan berbagai asumsi dan mindset masa lampau. Curahkan waktu untuk pengembangan dan kesuksesan yang hendak organisasi pada masa yang akan datang.<br /><br />9. Team Inovasi berbeda dengan team proyek regular. Oleh karena itu, dibutuhkan perlengkapan dan mindset yang berbeda pula.<br /><br />10. Kembangkan sistem pengelolaan gagasan dan tangkaplah setiap <br /><br /> gagasan untuk dikembangkan dan dievaluasi berbagai kemungkinannya<br /><br /><br />BAB III<br /><br />PENUTUP<br /><br />Kesimpulan<br /><br /> mendefinisikan konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi. Konsekuensi inovasi jarang diteliti karena (a) agensi perubahan memberi perhatian terlalu banyak pada adopsi dan mengasumsikan konsekuensi adopsi pasti positif, (b) metode riset survei mungkin tidak cocok untuk meneliti konsekuensi inovasi dan (c) sulitnya mengukur konsekuensi inovasi. Konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi (a) diinginkan vs. tidak diinginkan, (b) langsung vs. tidak langsung dan (c) diantisipasi vs. tidak diantisipasi; sementara itu, dari contoh penggunaan kappa besi di suku Aborijinal, diketahui tiga unsur intrinsik dari inovasi: (a) bentuk: penampakan fisik dan substansi inovasi; (b) fungsi: kontribusi inovasi pada cara hidup adopter dan (c) makna: persepsi subjektif dan sering di bawah sadar dari adopter terhadap inovasi. Hal lain yang berkaitan dengan konsekuensi inovasi adalah tingkat perubahan dalam sistem yang mungkin mengalami (a) kesetimbangan stabil (inovasi tidak menyebabkan perubahan dalam struktur dan/atau fungsi sistem sosial), (b) kesetimbangan dinamis (perubahan yang disebabkan inovasi setara dengan kemampuan sistem sosial untuk menanganinya), atau (c) disequilibrium (perubahan yang disebabkan inovasi terlalu cepat untuk dapat ditangani sistem sosial). Dengan demikian, tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai kesetimbangan dinamis.<br /><br /> Akhirnya, hal lainnya lagi yang harus dikaji dalam konsekuensi inovasi adalah cara mengatasi kenyataan bahwa inovasi sering memperlebar kesenjangan sosio-ekonomik masyarakat.<br /><br />Beberapa cara tersebut adalah (a) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai akses lebih banyak dibanding orang miskin: pesan disampaikan lewat (a1) cara masal seperti lewat radio atau televisi; penggunaan bahasa yang dimengerti orang miskin; penggunaan mult-media yang didasarkan kondisi sosial budaya orang miskin; penyampaian dalam kelompok kecil di mana orang miskin biasanya berkumpul, dan pengubahan fokus dari sasaran inovasi tradisional (yaitu pada kelompok yang paling berpotensi untuk berubah) ke kelompok yang paling tidak berpotensi untuk berubah; (b) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai akses lebih banyak pada hasil evaluasi inovasi dibanding orang miskin: pemimpin opini orang miskin harus ditemukan (meski pun relatif lebih sulit dibanding dengan menemukan pemimpin opini orang kaya) dan hubungan agen perubahan dikonsentrasikan pada mereka, aide dari kalangan orang miskin digunakan untuk menghubungi kelompok homofilinya dan kelompok formal di kalangan orang miskin diperkuat dan/atau dibina serta ( c) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai sumber daya lebih dibanding orang miskin: pemilihan inovasi yang cocok untuk orang miskin; membangun organisasi (misalnya koperasi) di kalangan orang miskin; memberi kesempatan orang miskin berpartisipasi<br /><br />dalam perencanaan dan pelaksanaan inovasi; pengembangan programdan/atau agensi yang diperuntukkan khusus orang miskin dan pergeseran dari difusi inovasi yang datang dari riset dan pengembangan (R & D) formal ke penyebaran informasi tentang gagasan yang didasarkan pada pengalaman lewat sistem difusi desentralistik: sering untuk ikatan intelektual dari kebijakan konvensional adalah eksperimen di lapangan.<br /><br />Daftar Pustaka<br />Ferrari, Anusca, Romina Cachia dan Yves Punie. 2009. Innovation and Creativity in Education and Training in the EU Member States: Fostering Creative Learning and Supporting Innovative Teaching. Seville, Spain: European Commission.<br />Innovation Journal, Volume 10, Issue 3. 2005. http://www.innovation.cc/ [diakses 1 Juni 2010]<br />Rogers, Everett M. 1971. Diffusion of Innovation. New York, USA: The Free Press, Macmillan Publishing Co. Inc.<br />Wlodkowski, Raymon J. 1991. Developing Motivation for Lifelong Learning. Dalam In Context #27. USA: Context Institute.<br />Wycoff, Joyce. 2004. Ten Practical Steps to Keep Your Innovation System Alive & Well.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-78161204645541077882010-11-26T19:58:00.000-08:002010-11-26T20:00:35.164-08:00BAGAIMANA STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING DAPAT DILAKSANAKANMemacu Anak Berfikir Kritis<br />Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.<br />selanjutnya klik :<br />PENDAHULUAN <br />A. Latar Belakang <br />Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa: <br />Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (2005: 65-66). <br />Upaya pembaharuan pendidikan sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, adalah re-orientasi pendidikan ke arah pendidikan berbasis kompetensi. Di dalam pembelajaran berbasis kompetensi tersebut tersirat adanya nilai-nilai pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, sebagai pribadi yang integral, produktif, kreatif dan memiliki sikap kepemimpinan dan berwawasan keilmuan sebagai warga negara yang bertanggung-jawab. Indikator ini akan terwujud apabila diiringi dengan upaya peningkatan mutu dan relevansi sumber daya manusia (SDM) melalui proses pada berbagai jenjang pendidikan.<br />Makna Berpikir Kritis <br />Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942. Penelitian dan berbagai pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik pembicaraan dalam sepuluh tahun terakhir ini (Patrick, 2000:1). Definisi berpikir kritis banyak dikemukakan para ahli. <br />Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju. <br />Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995: 6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. <br />Dari dua pendapat tersebut, tampak adanya persamaan dalam hal sistematika berpikir yang ternyata berproses. Berpikir kritis harus melalui beberapa tahapan untuk sampai kepada sebuah kesimpulan atau penilaian. <br />Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan pula oleh Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sistesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan (Walker, 2001: 1). <br />Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Angelo (1995: 6), bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi : analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan penilaian. <br />Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis. Ketertiban berpikir dalam berpikir kritis diungkapkan MCC General Education Iniatives. Menurutnya, berpikir kritis ialah sebuah proses yang menekankan kepada sikap penentuan keputusan yang sementara, memberdayakan logika yang berdasarkan inkuiri dan pemecahan masalah yang menjadi dasar dalam menilai sebuah perbuatan atau pengambilan keputusan. <br />Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. <br />Indikator Berpikir Kritis <br />Wade (1995) mengidentifikasi delapan karakteristik berpikir kritis, yakni meliputi:<br />(1) kegiatan merumuskan pertanyaan,<br />(2) membatasi permasalahan,<br />(3) menguji data-data,<br />(4) menganalisis berbagai pendapat dan bias,<br />(5) menghindari pertimbangan yang sangat emosional,<br />(6) menghindari penyederhanaan berlebihan,<br />(7) mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan<br />(8) mentoleransi ambiguitas. <br />Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu: <br />a. Watak (dispositions) <br />Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik. <br />b. Kriteria (criteria) <br />Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang. <br />c. Argumen (argument) <br />Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen. <br />d. Pertimbangan atau pemikiran (reasoning) <br />Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data. <br />e. Sudut pandang (point of view) <br />Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda. <br />f. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria) <br />Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan. <br />Selanjutnya, Ennis (1985: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut: <br />a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan. <br />b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. <br />c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan. <br />d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi. <br />e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain. <br />Indikator-indikator tersebut dalam prakteknya dapat bersatu padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator saja. <br />Penemuan indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui aspek-aspek perilaku yang diungkapkan dalam definisi berpikir kritis. Menurut beberapa definisi yang diungkapkan terdahulu, terdapat beberapa kegiatan atau perilaku yang mengindikasikan bahwa perilaku tersebut merupakan kegiatan-kegiatan dalam berpikir kritis. Angelo mengidentifikaasi lima perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis. Penilaku tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. <br />a. Keterampilan Menganalisis <br />Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut (http://www.uwsp/cognitif.htm.). Dalam keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan (Harjasujana, 1987: 44). <br />Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, memerinci, dsb. <br />b. Keterampilan Mensintesis <br />Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian menganallsis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol (Harjasujana, 1987: 44). <br />c. Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah <br />Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehinga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker, 2001:15). <br />d. Keterampilan Menyimpulkan <br />Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain (Salam, 1988: 68). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru. <br />e. Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai <br />Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu (Harjasujana, 1987: 44). <br />Dalam taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa ituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep. <br />Pengukuran indikator-indikator yang dikemukan oleh beberapa ahli di atas dapat dilakukan dengan menggunakan universal intellectual standars. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Paul (2000: 1) dan Scriven (2000: 1) yang menyatakan, bahwa pengukuran keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: “Sejauh manakah siswa mampu menerapkan standar intelektual dalam kegiatan berpikirnya”. <br />Universal inlellectual standars adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada standar tersebut (Eider dan Paul, 2001: 1). <br />Berikut ini akan dijelaskan aspek-aspek tersebut. <br />a. Clarity (Kejelasan) <br />Kejelasan merujuk kepada pertanyaan: “Dapatkah permasalahan yang rumit dirinci sampai tuntas?”; “Dapatkah dijelaskan permasalahan itu dengan cara yang lain?”; “Berikanlah ilustrasi dan contoh-contoh!”. <br />Kejelasan merupakan pondasi standardisasi. Jika pernyataan tidak jelas, kita tidak dapat membedakan apakah sesuatu itu akurat atau relevan. Apabila terdapat pernyataan yang demikian, maka kita tidak akan dapat berbicara apapun, sebab kita tidak memahami pernyataan tersebut. <br />Contoh, pertanyaan berikut tidak jelas: “Apa yang harus dikerjakan pendidik dalam sistem pendidikan di Indonesia?” Agar pertanyaan itu menjadi jelas, maka kita harus memahami betul apa yang dipikirkan dalam masalah itu. Agar menjadi jelas, pertanyaan itu harus diubah menjadi, “Apa yang harus dikerjakan oleh pendidik untuk memastikan bahwa siswanya benar-benar telah mempelajari berbagai keterampilan dan kemampuan untuk membantu berbagai hal agar mereka berhasil dalam pekerjaannya dan mampu membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari?”. <br />b. Accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan) <br />Ketelitian atau kesaksamaan sebuah pernyataan dapat ditelusuri melalui pertanyaan: “Apakah pernyataan itu kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan?”; “Bagaimana cara mengecek kebenarannya?”; “Bagaimana menemukan kebenaran tersebut?” Pernyataan dapat saja jelas, tetapi tidak akurat, seperti dalam penyataan berikut, “Pada umumnya anjing berbobot lebih dari 300 pon”. <br />c. Precision (ketepatan) <br />Ketepatan mengacu kepada perincian data-data pendukung yang sangat mendetail. Pertanyaan ini dapat dijadikan panduan untuk mengecek ketepatan sebuah pernyataan. “Apakah pernyataan yang diungkapkan sudah sangat terurai?”; “Apakah pernyataan itu telah cukup spesifik?”. Sebuah pernyataan dapat saja mempunyai kejelasan dan ketelitian, tetapi tidak tepat, misalnya “Aming sangat berat” (kita tidak mengetahui berapa berat Aming, apakah satu pon atau 500 pon!) <br />d. Relevance (relevansi, keterkaitan) <br />Relevansi bermakna bahwa pernyataan atau jawaban yang dikemukakan berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan. Penelusuran keterkaitan dapat diungkap dengan mengajukan pertanyaan berikut: “Bagaimana menghubungkan pernyataan atau respon dengan pertanyaan?”; “Bagaimana hal yang diungkapkan itu menunjang permasalahan?”. Permasalahan dapat saja jelas, teliti, dan tepat, tetapi tidak relevan dengan permasalahan. Contohnya: siswa sering berpikir, usaha apa yang harus dilakukan dalam belajar untuk meningkatkan kemampuannya. Bagaimana pun usaha tidak dapat mengukur kualitas belajar siswa dan kapan hal tersebut terjadi, usaha tidak relevan dengan ketepatan mereka dalam meningkatkan kemampuannya. <br />e. Depth (kedalaman) <br />Makna kedalaman diartikan sebagai jawaban yang dirumuskan tertuju kepada pertanyaan dengan kompleks, Apakah permasalahan dalam pertanyaan diuraikan sedemikian rupa? Apakah telah dihubungkan dengan faktor-faktor yang signifikan terhadap pemecahan masalah? Sebuah pernyatan dapat saja memenuhi persyaratan kejelasan, ketelitian, ketepatan, relevansi, tetapi jawaban sangat dangkal (kebalikan dari dalam). Misalnya terdapat ungkapan, “Katakan tidak”. Ungkapan tersebut biasa digunakan para remaja dalam rangka penolakan terhadap obat-obatan terlarang (narkoba). Pernyataan tersebut cukup jelas, akurat, tepat, relevan, tetapi sangat dangkal, sebab ungkapan tersebut dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam. <br />f. Breadth (keluasaan) <br />Keluasan sebuah pernyataan dapat ditelusuri dengan pertanyaan berikut ini. Apakah pernyataan itu telah ditinjau dari berbagai sudut pandang?; Apakah memerlukan tinjauan atau teori lain dalam merespon pernyataan yang dirumuskan?; Menurut pandangan..; Seperti apakah pernyataan tersebut menurut… Pernyataan yang diungkapkan dapat memenuhi persyaratan kejelasan, ketelitian, ketepatan, relevansi, kedalaman, tetapi tidak cukup luas. Seperti halnya kita mengajukan sebuah pendapat atau argumen menurut pandangan seseorang tetapi hanya menyinggung salah satu saja dalam pertanyaan yang diajukan. <br />g. Logic (logika) <br />Logika bertemali dengan hal-hal berikut: Apakah pengertian telah disusun dengan konsep yang benar?; Apakah pernyataan yang diungkapkan mempunyai tindak lanjutnya? Bagaimana tindak lanjutnya? Sebelum apa yang dikatakan dan sesudahnya, bagaimana kedua hal tersebut benar adanya? Ketika kita berpikir, kita akan dibawa kepada bermacam-macam pemikiran satu sama lain. Ketika kita berpikir dengan berbagai kombinasi, satu sama lain saling menunjang dan mendukung perumusan pernyataan dengan benar, maka kita berpikir logis. Ketika berpikir dengan berbagai kombinasi dan satu sama lain tidak saling mendukung atau bertolak belakang, maka hal tersebut tidak logis.<br />KAJIAN PUSTAKA <br />1. Hakikat Pembelajaran <br />Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjukkan apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar. Dua konsep ini menjadi padu dalam suatu kegiatan manakala terjadi interaksi antara guru dan siswa pada saat pembelajaran brlangsung. Inilah makna belajar dan mengajar sebagi suatu proses. Pembelajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif. Mengingat kedudukan siswa sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek dalam pembelajaran, maka inti proses pembelajarn tidak lain adalah kegiatan belajar siswa dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran.<br />Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Inilah yang merupakan inti proses pembelajaran. Menurut Sabri (2005:34) perubahan diri siswa dalam proses pembelajarn memiliki tiga sifat yaitu masing-masing: <br />(1) bersifat intensional,<br />(2) bersifat positif-aktif, dan<br />(3) bersifat efektif-fungsional. <br />1) Perubahan intensional yaitu perubahan yang terjadi karena pengalaman atau praktek yang dilakukan proses belajar dengan sengaja dan disadari, bukan terjadi secara kebetulan. <br />2) Perubahan yang bersifat positif-aktif. Perubahan yang bersifat positif yaitu perubahan yang bermanfaat sesuai dengan harapan belajar, disamping menghasilkan sesuatu yang baru dan baik disbanding sebelumnya, sedangkan perubahan yang bersifat aktif yaitu perubahan yang terjadi karena usaha yang dilakukan siswa, bukan terjadi dengan sendirinya. <br />3) Perubahan yang bersifat efektif yaitu perubahan yang memberikan pengaruh dan manfaat bagi siswa. Adapun yang bersifat fungsional yaitu perubahan yang relatif tetap serta dapat diproduksi atau dimanfaatkan setiap kali dibutuhkan. <br />Selanjutnya dia mengatakan, bahwa perubahansebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, pengetahuan, atau apresiasi. <br />B. Kajian Hasil Penelitian <br />1. Pengertian dan Gejala Kesulitan Belajar <br />Kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih keras lagi untuk dapat mengatasinya. Hambatan tersebut mungkin disadari atau mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalami hambatan dalam proses mencapai hasil belajarnya yang optimal. Akibatnya prestasi yang diraihnya berada pada hasil yang semestinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999:971) dinyatakan bahwa kesulitan adalah sesuatu yang sukar atau dalam keadaan yang sulit. <br />Seorang siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menunjukkan ciri-ciri sebagai manifestasi dari adanya masalah yang dialami, seperti yang dituliskan oleh Mappaitta Muhkal (1997:6) sebagai berikut: <br />(a) menunjukkan hasil belajar yang lebih rendah (dibawah nilai rata-rata yang dicapai oleh kelompoknya,<br />(b) hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukannya,<br />(c) lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar,<br />(d) menunjukkan sikap-sikap yang kurang wajar,<br />(e) menunjukkan tingkah laku yang berkelainan dan,<br />(f) menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar.<br />Untuk itu diperlukan diagnosis dalam rangka menyelesaikan maslah yang dihadapi siswa tersebut. Ada beberapa teknik yang digunakan untuk menemukan siswa yang mengalami kesulitan belajar. Seperti yang dituliskan oleh Nurminah (1999:13) sebagai berikut: <br />a. Menentukan siswa yang berprestasi rendah tetapi pada dasarnya siswa tersebut dapat berprestasi baik. <br />b. Menghitung nilai rata-rata kelas. <br />c. Menandai siswa yang memperoleh nilai prestasi dibawah rata-rata kelas. <br />d. Membuat pringkat dalam kelompok siswa. <br />DAFTAR PUSTAKA<br />Arief Achmad, Guru SMAN 21 Bandung. Ketua AGP-PGRI Jawa Barat . http//Pendidikan Nasional Net Work, (Artikel Pendidikan), 25-10-2007<br />BAGAIMANA STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING DAPAT DILAKSANAKAN<br />OLEH: ROSMEDI ARYATI<br />Mahasiswi TP UNILA Angkatan 2008<br />Guru Mata Pelajaran Kimia, SMAN 1 Sumberjaya<br />I. PENDAHULUAN<br />Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, ditemukan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut dengan Quantum Teaching, dikembangkan oleh seorang guru dalam pembelajaran. Quantum Teaching sendiri berawal dari sebuah upaya Dr Georgi Lozanov, pendidik asal Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar.<br />“Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan hantarlah dunia kita ke dunia mereka.” Istilah ini adalah istilah yang dipakai dalam Quantum Teaching, sebuah metode belajar yang pada awalnya adalah eksperimen Dr Georgi Lazanov tentang Suggestology yaitu kekuatan sugesti yang dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar.<br />Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.<br />Bila metode ini diterapkan, maka guru akan lebih mencintai dan lebih berhasil dalam memberikan materi serta lebih dicintai anak didik karena guru mengoptimalkan berbagai metode.<br />Apalagi dalam Quantum Teaching ada istilah ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan hantarlah dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajara dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.<br />Selain itu, ada beberapa prinsip Quantum Teaching, yaitu:<br />1. Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.<br />2. Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan.<br />3. Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.<br />4. Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.<br />5. Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.<br />Lebih jauh, dunia pendidikan akan semakin maju ke depannya. Sebab, Quantum Teaching akan membantu siswa dalam menumbuhkan minat siswa untuk terus belajar dengan semangat. Apalagi Quantum Teaching juga sangat menekankan pada pentingnya bahasa tubuh. Seperti tersenyum, bahu tegak, kepala ke atas, mengadakan kontak mata dengan siswa dan lain-lain. Humor yang bertujuan agar KBM tidak membosankan.<br />Rumus dan tehnik yang diterapkan oleh Quantum Teaching adalah AMBAK & TANDUR, definisi dari kedua kata tersebut adalah:<br />AMBAK<br />A: Apa yang dipelajari<br />Dalam setiap pelajaran, guru hanya menetapkan, anak didiklah yang menentukan tema sesuai minat masing-masing. Sebagai contoh pada pelajaran menggambar, guru hanya menentukan pelajaran menggambar dan para anak didiknya yang menentukan temanya.<br />M: Manfaat<br />Guru memberikan penjelasan manfaat yang diperoleh dari setiap pelajaran dan guru harus bisa memberi kemampuan memahami situasi yang sebenarnya sehingga para siawa bisa lebih tertantang untuk mempelajari semua hal dengan lebih mendalam.<br />BAK: Bagiku<br />Manfaat apa yang akan diperoleh di kemudian hari dengan mempelajari ini semua.<br />Definisi dari tehnik pembelajaran Quantum Teaching TANDUR, adalah:<br />T: Tumbuhkan minat belajar<br />A: Aktifkan minat belajar<br />N: Namai semua konsep pembelajaran<br />D: Demonstrasikan, dengan maksud supaya anak lebih memahami pelajaran.<br />U: Ulangi, semakin sering diulang maka semakin kuat kuat pelajaran melekat.<br />R: Rayakan, berikan apresiasi kepada siapa saja yang berhasil melakukannya dengan baik.<br />II. TINJAUAN PUSTAKA<br />A. Belajar dan Hasil Belajar<br />Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa dalam mengkonstruksi arti, baik itu berupa teks, dialog, maupun pengalaman. Bisa dikatakan juga sebagai proses menghubungkan pengalaman atau materi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengerti- annya dikembangkan. Hasil dan bukti belajar dari siswa ialah adanya perubahan tingkah laku. Menurut Hamalik (2004) yaitu :<br />Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tingkah laku memiliki unsur subjektif dan unsur motoris. Unsur subjektif adalah unsur rohaniah sedang berfikir dapat dilihat dari raut mukanya, sikapnya dalam rohaniahnya tidak bisa kita lihat. <br />Selain itu, Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga keliang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif). (Sadiman, 1996)<br />Menurut Dick dan Reiser dalam Hasanah (2007) menyatakan bahwa :<br />Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran mereka membedakan hasil belajar atas empat macam, yaitu pengetahuan, keterampilan intelektual, keterampilan motorik, dan sikap.<br />Burton dalam Hamalik (2004) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah sebagai berikut:<br />1. Proses belajar adalah mengalami, berbuat, mereaksi, melampaui.<br />2. Proses itu berjalan melalui bermacam-macam pengalaman dan mata pelajaran yang terpusat pada suatu tujuan murid.<br />3. Pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan tertentu.<br />4. Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan peserta didik sendiri yang mendorong motivasi secara berkesinambungan.<br />5. Proses belajar dan hasil belajar disyarati oleh keturunan dan lingkungan.<br />6. Proses belajar dan hasil usaha belajar secara material dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan individual di kalangan peserta didik.<br />7. Proses belajar berlangsung secara efektif apabila pengalaman-pengalaman dan hasil-hasil yang diinginkan disesuaikan dengan kematangan murid.<br />8. Proses belajar yang terbaik apabila murid mengetahui status dan kemajuan.<br />9. Proses belajar merupakan kesatuan fungsional dari berbagai prosedur.<br />10. Hasil-hasil belajar secara fungsional bertalian satu sama lain, tetapi dapat didiskusikan secara terpisah.<br />11. Proses belajar berlangsung secara efektif dibawah bimbingan yang merangsang dan membimbing tanpa tekanan dan paksaan.<br />12. Hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas dan keterampilan.<br />13. Hasil-hasil belajar diterima oleh murid apabila memberi kepuasan pada kebutuhannya dan berguna serta bermakna baginya.<br />14. Hasil-hasil belajar dilengkapi dengan jalan serangkaian pengalaman-pengalaman yang dapat dipersamakan dan dengan pertimbangan yang baik.<br />15. Hasil-hasil belajar itu lambat laun dipersatukan menjadi kepribadian dengan kecepatan yang berbeda-beda.<br />16. Hasil-hasil belajar yang telah dicapai adalah bersifat kompleks dan dapat berubah-ubah (adaptable¬), jadi tidak sederhana dan statis.<br />Keefektifan perilaku belajar dipengaruhi oleh empat hal, yaitu :<br />1. Adanya motivasi peserta didik menghendaki sesuatu<br />2. Adanya perhatian dan tahu sasaran peserta didik harus memperhatikan sesuatu<br />3. Adanya usaha peserta didik harus melakukan sesuatu<br />4. Adanya evaluasi dan pemantapan hasil (reinforcement) peserta didik harus memperoleh sesuatu.<br />Tujuan pembelajaran adalah adanya perubahan prilaku siswa baik dari segi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), maupun keterampilan (psikomotor) siswa. Kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir, kemampuan memperoleh pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran. Kemampuan afektif adalah kemampuan yang berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat, penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek. Kemampuan psikomotor adalah kemampuan melakukan pekerjaan dengan melibatkan anggota badan, kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik. Hasil belajar siswa harus mencerminkan adanya peningkatan. Dari ketiga aspek tersebut meningkat dan belum optimal jika salah satu aspek kemampuan belum meningkat.<br />B. Aktivitas<br />Dalam proses belajar mengajar, aktivitas memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan dan hasil belajar yang memadai. Aktivitas belajar merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Pengajaran modern menitikberatkan pada aktivitas atau keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran. Agar kegiatan belajar mengajar lebih berhasil maka aktivitas belajar harus dipengaruhi dengan memberikan dorongan sehingga diharapkan siswa akan merasa tertarik, senang dan tidak bosan untuk belajar.<br />Aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar tidak hanya mengenai aktivitas fisik siswa tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mental siswa. Seperti diungkapkan oleh Sardiman (2004) :<br />Belajar dapat dibagi menjadi aktivitas fisik dan mental. Aktivitas fisik adalah peserta didik giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain atau bekerja. Ia tidak hanya duduk mendengarkan, melihat, atau hanya pasif. Peserta didik yang memiliki aktivitas mental adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau berfungsi dalam pembelajaran pada kegiatan pembelajaran kedua aktivitas harus berkaitan. <br />Karena aktivitas belajar itu banyak sekali macamnya maka para ahli mengadakan klasifikasi atas macam-macam aktivitas tersebut. Menurut Diedrich dalam Sardiman (2004) beberapa diantaranya adalah :<br />1. Kegiatan-kegiatan visual, yang didalamnya membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.<br />2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral), seperti mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara diskusi dan interupsi.<br />3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan, seperti mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, dan mendengarkan radio.<br />4. Kegiatan-kegiatan menulis, seperti menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.<br />5. Kegiatan-kegiatan menggambar, seperti menggambar, membuat grafik, chart, diagram peta dan pola.<br />6. Kegiatan-kegiatan metrik, seperti melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari dan berkebun.<br />7. Kegiatan-kegiatan mental, seperti merenung, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, hubungan-hubungan dan membuat keputusan.<br />8. Kegiatan-kegiatan emosional, seperti minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.<br />Aktivitas-aktivitas dalam belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :<br />1. Aktivitas yang relevan dengan pembelajaran (on task), contohnya adalah memperhatikan penjelasan guru, melakukan diskusi, dan mencatat. Dengan melakukan banyak aktivitas yang relevan dengan pembelajaran maka siswa mampu memahami, mengingat dan menerapkan konsep yang telah dipelajari.<br />2. Aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran (off task), contohnya adalah tidak memperhatikan penjelasan guru dan mengobrol dengan teman.<br />Nathalia dalam Hasanah (2007) menyatakan bahwa :<br />Aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran (off task) akan lebih mudah diamati ketika proses pembelajaran berlangsung jika dibandingkan dengan aktivitas yang relevan dengan pembelajaran (on task). Jadi siswa dikatakan aktif dalam kegiatan pembelajaran jika siswa sedikit melakukan aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran.<br />C. Pendekatan TANDUR<br />Proses pembelajaran memerlukan keterampilan guru dalam mengelola kelas, menyampaikan bahan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu yang melibatkan sebanyak mungkin kemampuan peserta didik selama berlangsungnya proses pembelajaran (student centered) dan pembelajaran tuntas (mastery learning).<br />Pendekatan pembelajaran adalah cara untuk melaksanakan pembelajaran dengan metode dan teknik yang tepat sehingga diperoleh hasil belajar yang akurat dan dipercaya. Dengan demikian, dapat dipilih metode dan pendekatan yang tepat demi tercapainya hasil melalui proses sesuai dengan tujuan atau standar kompetensi. Deporter (1999) menyatakan bahwa salah satu metode yang digunakan adalah Quantum Learning dan contoh pendekatan yang dapat digunakan adalah :<br />Pendekatan TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan) merupakan kerangka perancangan pengajaran quantum teaching.Unsur-unsur ini membentuk basis struktural keseluruhan yang melandasi quantum teaching.<br />Sutrisno (2007) menyatakan bahwa :<br />Jika strategi TANDUR ini digunakan dengan baik maka akan diperoleh Pembelajaran yang membuat siswa (dan guru) aktif, dengan begitu berkembanglah, inovatif, dengan inovatif, siswa terdorong termotivasi berbuat, dan bertindak ke hal-hal yang belum dilakukkan oleh temannya, kreativitas baik siswa maupun guru, sehingga proses situ berjalan dengan Efektif, dan akhirnya menyenangkan bagi semua (Pakem). Saat ini, PAKEM dikenal sebagai pendekatan pembelajaran yang paling dianjurkan. PAKEM ini mempunyai padanan dalam bahasa Inggris active joyful effective learning (AJEL).<br />Quantum Learning yaitu orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar situasi belajar. Interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa, mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.<br />Quantum Learning menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar guru lewat pemaduan seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah, apa pun mata pelajaran yang diajarkan. Dengan menggunakan metode Quantum Learning, guru akan menggabungkan keistimewaan belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran yang akan melejitkan prestasi siswa.<br />Quantum Learning adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum Learning menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum Learning berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka belajar.<br />Kerangka perancangan pengajaran Quantum Learning dengan pendekatan TANDUR adalah sebagai berikut :<br />1. Tumbuhkan<br />Tumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan rasa ingin tahu dalam bentuk : Apakah Manfaatnya Bagiku (AMBAK) jika aku mengikuti topik pelajaran ini dengan guruku?. Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati siswa, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah ke alam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke alam pikiran anda, yakinkan siswa mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan.<br />Tumbuhkan niat yang kuat pada diri anda bahwa anda akan menjadi guru dan pendidik yang hebat.<br />2. Alami<br />Unsur ini mendorong hasrat alami otak untuk “menjelajah”. Cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? Kegiatan apa yang dapat diberikan agar pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki siswa bertambah.<br />3. Namai<br />Setelah siswa melalui pengalaman belajar pada topik tertentu, ajak mereka untuk menulis di kertas, menamai apa saja yang telah mereka peroleh, apakah itu informasi, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya, ajak mereka untuk menempelkan nama-nama tersebut di dinding kelas dan dinding kamar tidurnya.<br />4. Demonstrasikan<br />Melalui pengalaman belajar siswa mengerti dan mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi) dan informasi (nama) yang cukup, sudah saatnya dia mendemonstrasikan dihadapan guru, teman, maupun saudara-saudaranya.<br />5. Ulangi<br />Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “aku tahu bahwa aku tahu ini!”.<br />6. Rayakan<br />Perayaan adalah ekspresi kelompok atau seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Jadi, jika siswa sudah mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik, layak untuk dirayakan lewat : Bertepuk tangan, bernyanyi bersama-sama, atau secara bersama-sama mengucapkan : “Aku Berhasil!”. <br />DAFTAR PUSTAKA<br />Alessi, S.M. dan Trollip, S.R. 1991. Computer Based Instruction: Methods and Development. New Jersey; Prentice Hall.<br />Angkowo dan Kosasih. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta; Grasindo.<br />Arsyad, Azhar. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta;<br />Rajawali Pers.<br />Bahri Djamarah, Syaiful. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta; PT Rineka Cipta.<br />Dahar, R.W. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta; Penerbit Erlangga<br />Heinich, Molenda dan Russell, 1982. Instruksional Media and The New Technologies of Instruction. New York; John Wiley & Sons<br />Narbuko, Cholid dan Achmadi, Abu.2003. Metodologi Penelitian. Jakarta; Bumi Aksara.<br />Nasution. 2006. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta; Bumi Aksara.<br />Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung; Tarsito.<br />Sudjana, Nana. 1985. Teori Teori Pembelajaran. Jakarta; Lembaga Penerbitan Ekonomi Universitas indonesia.<br />Teknodik Edisi No.9N. Jakarta; Pustekom Dikbud.<br />Yusufhadi Miarso. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-19421233943722491002010-11-26T19:57:00.000-08:002010-11-26T19:58:17.116-08:00PEMBELAJARAN TEMATIK 2PEMBELAJARAN TEMATIK 2<br />Pembelajaran Tematik merupakan pembelajaran bermakna bagi siswa. Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu. Oleh karena itu, guru harus merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual yang menjadikan proses pembelajaran lebih efektif.<br />Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan, selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik disekolah dasar akan sangat membantu siswa, hal ini dilihat dari tahap perkembangan siswa yang, masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan.<br />Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa, Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang emnjadi pembicaraan, Dengan tema diharapkan akan memberikan keuntungan, diantaranya :<br />1. Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu.<br />2. Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama.<br />3. Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan.<br />4. Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa.<br />5. Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan maka belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas.<br />6. Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk memgembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari mata pelajaran lain.<br />7. Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan dapat dipersiapkan sekaligus diberikan dalam dua atau tiga kali pertemuan, sedangkan selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial dan pengayaan.<br />Kelebihan dan kelemahan pembelajaran tematik<br />Menurut Kunandar (2007) pembelajaran tematik memiliki kelebihan yaitu :<br />1. Menyenangkan karena berangkat dari minat dan kebutuhan peserta didik.<br />2. Memberikan pengalaman dan kegiatan belajar mengajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.<br />3. Hasil belajar dapat bertahan lama karena lebih berkesan dan bermakna.<br />4. Mengembangkan keterampilan berfikir anak didik sesuai dengan persoalan yang dihadapi.<br />5. Menumbuhkan keterampilan sosial melalui kerja sama.<br />6. Memiliki sikap toleransi komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.<br />7. Menyajikan kegiatan yang bersifat nyata sesuai dengan persoalan yang dihadapi dalam lingkungan peserta didik.<br />Selain memiliki kelebihan pembelajaran tematik juga memilki kelemahan, adapun kelemahan pembelajaran tematik terjadi jika dilakukan oleh guru tunggal, Misalnya seorang guru kelas kurang menguasai secara mendalam penjabaran tema sehingga pembelajaran tematik akan merasa sulit untuk mengaitkan tema dengan materi pokok setiap mata pelajaran.<br /><br />Dalam pelaksanaan pembelajaran tematik ada hal-hal yang perlu dilakukan, beberapa hal yang meliputi tahap perencanaan yang mencakup kegiatan seperti berikut :<br />A. Pemetaan Kompetensi Dasar<br />Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan utuh semua standart kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dari berbagai mata pelajaran yang dipadukan dalam tema yang dipilih. Kegiatan yang dilakukan adalah :<br />1. Penjabaran standart kompetensi dan kompetensi dasar kedalam indikator<br />• Dalam mengembangkan indikator perlu memperhatikan hal-hal berikut :Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik.<br />• Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran.<br />• Dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan dapat diamati.<br /><br />2. Menentukan tema<br />Dalam menentukan tema yang bermakna, kita harus memperhatikan dan mempertimbangkan pemikiran konseptual, pengembangan keterampilan dan sikap, sumber belajar, hasil belajar yang terukur dan terbukti, kesinambungan tema, kebutuhan siswa, keseimbangan pemilihan tema, serta aksi nyata, antara lain :<br />• Pemikiran konseptual, tema yang baik tidak hanya memberikan fakta-fakta kepada siswa. Tema yang baik bisa mengajak siswa untuk menggunakan keterampilan berpikir yang lebih tinggi.<br />• Pengembangan keterampilan dan sikap. apakah tema yang sudah disepakati bisa mengembangkan keterampilan siswa. Misalnya, keterampilan berfikir, berkomunikasi, sosial, eksplorasi, mengorganisasi, dan pengembangan diri. Pembentukan sikap juga harus bisa di akomodasi dalam pilihan tema, seperti sikap menghargai, percaya diri, kerja sama, komitmen, kreativitas, rasa ingin tahu, berempati, antusias, mandiri, jujur, menghormati dan toleransi.<br />• Kesinambungan Tema. Kath Murdock (1998) dalam bukunya Clasroom Connection-Strategies for Integrated Learning menjelaskan bahwa tema yang baik bisa mengakomodasi pengetahuan awal yang dimiliki siswa sebelum belajar tentang sesuatu yang baru. Pengetahuan awal itu tentu sudah dipelajari siswa sebelumnya.<br />• Materi Belajar Utama dan Tambahan. Materi dan sumber pembelajaran tematik biasa kita bagi menjadi dua sumber dan materi, yaitu utama dan tambahan. Contoh sumber atau materi belajar utama adalah para ahli atau orang-orang yang mempunyai profesi atau kompetensi dasar dalam bidang terentu, tempat-tempat yang bisa dipelajari, suasana belajar didalam kelas, lingkungan, komunitas, dan kesenian. Sedangkan musik, materi audio visual, literature, progam computer, dan internet adalah sumber materi pembelajaran tambahan bagi siswa. Dengan demikian, pemlihan tema harus juga memperhatikan kesediaan kedua sumber belajar itu.<br />• Terukur dan Terbukti, Guru juga perlu memperhatikan hasil pembelajaran apa yang akan siswa capai dalam pembelajaran tematik. Apa yang bisa siswa kerjakan dalam proses pembelajaran tematik. Perlu juga menunujukkan bukti-bukti itulah yang dinilai guru dan dicatat sebagai bukti bagaimana siswa menguasai tema yang diajarkan. Yang pada akhirnya akan dijadikan bahan evaluasi dan laporan kepada orang tua siswa.<br />• Kebutuhan Siswa, dalam memilih tema, guru perlu memperhatikan kebutuhan siswa. Apakah tema yang kita pilih bisa menjawab kebutuhan siswa. secara kognitif, Gardner (2007 ) dalam bukunya Five Minds For The Future menyebutkan bahwa manusia pada era informasi ini harus dibekali lima cara berfikir, yaitu : pikiran yang terlatih, terampil, dan disiplin, pikir mensintesis; pikiran mencipta; pikiran merespek, dan pikiran etis. Apakah tema yang dipilih sudah bisa membekali siswa dengan lima cara berfikir untuk masa depan. Kebutuhan siswa yang lain bisa juga dilihat melalui perkembangan psikologi (imajinasi), perkembangan motorik, dan perkembangan kebahasaan siswa.<br />• Keseimbangan Pemilihan Tema. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa pembelajaran yang cocok dengan pembelajaran terpadu adalah pembelajaran tematik. Dalam satu tahun pembelajaran biasanya siswa bisa mempelajari 5-6 tema. Para guru hendaknya bisa memilih tema yang bisa mengakomodasi mata pelajaran bahasa, ilmu sosial, lingkungan, kesehatan, dan sains saja, tetapi tema-tema lain yang bervariasi.<br />• Aksi Nyata. Pembelajaran tematik hendaknya tidak hanya mengembangkan pengetahuhan dan sikap siswa, namun juga bisa membimbing siswa untuk melakukan aksi yang bermanfaat. Aksi yang dilakukan siswa akan memperkaya siswa dengan pengetahuan lain serta memberikan dampak bagi kehidupan orang lain dan lingkungan dimana siswa hidup.<br /><br />3. Identifikasi dan analisis standart kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator.<br />Lakukan identifikasi dan analisis untuk setiap standar kompetensi, kompetensi dasar dan indicator yang cocok untuk setiap tema sehingga semua kompetensi, kompetensi dasar dan indikator terbagi habis.<br /><br />B. Menetapkan Jaringan Tema<br />Buatlah jaringan tema yaitu menghubungkan kompetensi dasar dan indikator dengan tema pemersatu.<br />C. Penyusunan Silabus<br />Hasil seluruh proses yang dilakukan pada tahap-tahap sebelumya dijadikan dasar dalam penyusunan silabus.<br />D. Penyusunan Rencana Pembelajaran<br />Untuk keperluan pelaksanaan pembelajaran guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran.<br />Setelah tahap persiapan dilakukan, maka selanjutnya akan dipaparkan tahap pelaksanaan pembalajaran terpadu. Adapun tahap pelaksanaan pembelajarannya meliputi :<br />a. Kegiatan Pendahuluan / awal<br />Pada tahap ini dapat dilakukan panggilan terhadap anak tentang tema yang disajikan. Beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah, bercerita, kegiatan fisik/jasmani, dan dan menyanyi.<br />b. Kegiatan inti<br />Kegiatan inti difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan kemampuan baca, tulis hitung. Penyajian bahan pembelajaran dialakukan dengan menggunakan strategi / metode yang bervariasi dan dapat dilakuakn secara klaksikal, kelompok kecil, ataupun perorangan.<br />c. Kegiatan penutup<br />Sifat dari kegiatan penutup adalah untuk menenangkan. Beberapa contoh kegiatn penutup yang dapat dilakukan adalah menyimpulkan atau mengungkapkan hasil pembelajaran yang telah dilakukan, mendongeng, membacakan cerita dari buku, pantomime, pesan-pesan moral, musik / apresiasi musik.<br /><br />Pengaturan jadwal pelajaran<br />Untuk memudahkan administrasi disekolah terutama dalam penjadwalan. Guru bersama dengan guru mata pelajaran lain ( yang tidak dipadukan ) perlu bersama-sama menyusun jadwal pelajaran.<br /><br />Implikasi Pembelajaran Tematik<br />Dalam implementasi pembelajaran tematik disekolah dasar mempunyai implikasi yang mencakup :<br />• Implikasi bagi guru<br />Pembelajaran tematik memerlukan guru yang kreaktif baik dalam menyiapkan pengalaman belajar bagi anak, juga dalam memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran dan mengaturnya agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik, menyenangkan, dan utuh.<br />• Implikasi bagi siswa<br />1.Siswa harus siap mengikuti kegiatan pembelajaran yang dalam pelaksanaannya yang dimungkinkan untuk bekerja, baik secara individual, pasangan kelompok kecil, maupun klasikal.<br />2.Siswa harus siap mengikuti kegiatan pembelajaran yang bervariasi dan aktif.<br />• Implikasi terhadap sarana, prasarana,sumber balajar dan media.<br />1.Pelaksanaan pembelajaran ini memerlukan berbagai prasarana dan prasarana belajar,<br />2.Pembelajaran ini perlu memanfaatkan bebagai sumber balajar, baik yang didesain secara khusus maupun yang tersedia dilingkungan,<br />3.Pembeajaran ini juga perlu mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran bervariasi dan<br />4.Pembelajaran ini masih dapat menggunakan buku ajar yang sudah ada atau bila memungkinkan untuk menggunakan buku suplemen khusus yang memuat bahan ajar terintegrasi.<br />• Implikasi terhadap pengaturan ruangan.<br />1.Ruang perlu ditata sesuai tema yang dilaksanakan.<br />2.Susunan bangku bisa berubah-ubah.<br />3.Perta didik tidak harus selalu harya duduk dikursi, tetapi dapat duduk ditikar atu dikarpet.<br />4.Kegiatan hendaknya bervariasi dan dapat dilaksanakan baik didalam maupun diruangan.<br />5.Dinding kelas dapat dimanfaatkan untuk memajang hasil karya peserta didik dan dimanfaatkan sebagai sumber balajar.<br />6.Alat, sarana, sumber belajar hendaknya dikelola dengan baik.<br />• Implikasi terhadap pemilihan metode<br />Pembelajaran yang dilakukan perlu disiapkan berbagai variasi kegiatan dengan menggunakan multi metode, misalnya percobaan, bermain peran, tanya jawab, demonstrasi, dan bercakap-cakap.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-80902086290023960462010-11-23T00:52:00.000-08:002010-11-23T00:53:02.984-08:00SISTEM DAN PENDIDIKAN MENURUT IBNU SINADitulis oleh: M Ihsan Dacholfany M.Ed (Mahasiswa S3, University Kebangsaan Malaysia)<br /><br />I.PENDAHULUAN.<br /><br />Pada zaman kebangkitan Islam dalam melengkapkan diri dengan ilmu pengetahuan rata-rata para sarjana Islam, ilmu tidak berasa cukup dengan hanya satu cabang ilmu sahaja malahan sebaliknya, mereka sedaya mungkin cuba menguasai kebanyakan bidang ilmu yang ada pada waktu itu, kecenderungan ini boleh dikatakan sebagai hasil daripada dasar dan pandangan Islam sendiri terhadap ilmu.<br />Sebagaimana dimaklumi, Islam mempunyai pandangan yang komprehensif terhadap hidup, hasilnya ilmu pada pandangan Islam, bersifat bersepadu, dan sebaik-baik ulama ialah orang yang dapat menguasai sebanyak mungkin cabang-cabang ilmu tersebut. Antara orang yang paling berjaya dalam menguasai cabang-cabang ilmu yang banyak ini termasuklah Ibnu Sina , beliau bukan sahaja merupakan seorang ahli perubatan kelas pertama tapi juga ahli sains dan falsafah, di samping itu Ibnu Sina juga merupakan ahli politik yang lincah dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber. Dan dikenali di Eropah sebagai Avienna “ was greatest Muslim thinker and the last of the Muslim philoshopher in the East.<br /><br />2. BIOGRAFI IBNU SINA.<br /><br />Nama penuh beliau ialah Abu Ali al-Husain Ibn Abdullah Ibnu Sina, yang lahir pada tahun 980 M / 370 H di sebuah kampung bernama Afsahan, di daerah Kahrmisan Bukhara, yang merupakan seorang anak yang bertuah pada masa kecilnya kerana dapat hidup dalam sebuah keluarga yang kaya raya, di Bukharalah juga beliau menumpukan dalam bidang bahasa dan sastera dan hidupnya diabadikan dalam dunia ilmu pengetahuan.<br /><br />sejak kecil mempelajari ilmu, seperti : Filsafah, geometri, ilmu hisab, feqih, logik, perubatan dll. Beliau langsung dibimbing oleh bapaknya sendiri, yang bernama Abdullah.dan lain-lain guru yang dipilih oleh keluarganya sendiri. Bapanya seorang yang ada kecenderungan Isma’iliyyah dari Mesir, juga peminat falsafah kumpulan Ikhwan al-Safa. Dari perbincangan-perbincangan akademik yang keluarga adakan saban hari Ibnu sina mula beri perhatian terhadap falsafah dan segala bidangnya. Dari mereka, ia melaporkan “ I was well as my brother, heard the account of the soul and the intellect in the special manner in which they speak about it and know it. Sometimes they used to discuss this among themselves while I was listening to them and understanding what they were saying, but my soul would not accept it, and so they began appeling to me to do it ( meant to accept the Ismaili doctrines ). Kemudian bermula dari itu, tetamu-tetamu dari Egypt aliran Ismailiyyah yang datang ke Bukhara, telah dijemput tinggal dengan keluarganya. Ibnu Sina mengambil kesempatan itu untuk mempelajari beberapa subjek penting seperti “ philosophy, logic, greek and Indian mathematics”. Tetapi tokoh yang banyak berjasa pada Ibnu Sina ialah seorang sarjana falsafah Abu ‘ abdullah al-Natali.<br /><br />Selepas mencapai kedudukan yang tinggi dalam bidang sastera dan bahasa sewaktu berusia dua puluh tahu, beliau mulai berminat dengan ilmu-ilmu akal, kemudian memulakan pengajian dalam bidang tersebut dengan mempelajari logik, geometri dan buku Almagest daripada Abu Abdullah al-Natali, seorang rakan bapanya.<br /><br />Dalam bidang perubatan, Ibnu Sina telah mencapai satu tahap pencapaian yang amat tinggi. Walau bagaimanapun, beliau tidak menjadikan sebagai kerjaya untuk mencari rezeki. Sebaliknya, beliau mengajar ilmu tersebut kepada para doktor bagi menambahkan lagi pengetahuan mereka dalam bidang tersebut, pada suatu waktu, apabila beliau berjaya menyembuhkan penyakit yang dihadapi oleh Putera Nuh Ibn Nas al-Samani yang gagal diubati oleh para doktor lain.<br /><br />Ibnu Sina telah mendapat penghormatan yang besar daripada putera tersebut. Antara lain, beliau telah dibenarkan untuk menggunakan perpustakaan istana yang banyak mempunyai buku-buku yang sukar didapati. Melalui perpustakaan tersebut, beliau kemudiannya memperoleh ilmu yang banyak.<br /><br />Kemasyhuran dan kepakaran Ibnu Sina dalam ilmu perubatan ini kemudiannya telah melayakkan beliau untuk diberi gelaran Mahaguru Pertama (al-Syaikh al-Ra’is), beliau percaya kepada ketahanan tubuh itu sendiri dalam menolak penyakit, ubat hanya boleh merangsang ketahanan itu. Dengan demikian, beliau berpendapat, tanpa ketahanan yang cukup dalam tubuh, ubat adalah tidak berfaedah.<br /><br />3. KARYA PENULISAN.<br /><br />Menghasilkan lebih kurang 276 tulisan dan buku, komentar, risalah dalam berbagai bidang, namun yang terkenal dengan dua buah karyanya ; “ Qanun fi’l-Tibb’ (Undang-undang dalam perubatan) dan al-Shifa’ ( sembuh daripada kesalahan)<br /><br />Tidak dapat dinafikan bahawa karya Ibnu Sina yang membincangkan panjang lebar tentang falsafah pengetahuan dalam al-syifa. Buku ini dianggap buku yang terpenting dalam falsafah pengetahuan di timur dan di barat. Malah buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan tajuk Sufficientioa yang merupakan “ The Longest encyclopedia of knowlwdge. Ever written by one man ( nasr, 1969).<br /><br />Ibnu Sina menggunakan dua cara dalam menulis kitab-kitabnya, ada kitab yang ditulisnya untuk orang awam atau sebahagian besar penuntut hikmat, ada kitab orang yang khusus atau untuk dirinya dan orang yang dekat kepadanya. Maknanya beliau tidaklah menyalahi falsafah mashsaiyah peripatetic) yang dikenal orang. Inilah yang klita namakan mazhab yang terkenal. Dalam kitab-kitab lain, Ibnu Sina menyatakan terus terang bahawa ia memasukkan falsafah dalam kitab sebagaimana sebenar tampa segan-segan menentang falsafah yang terkenal di kalangan orang kebanyakan. Beliau berpesan agar hikmat ini disembunyikan kepada orang ramai. Inilah yang disebut mazhab tertutup. Menyembunyikan mazhab soal biasa pada filsuf-filsuf dahulu kala ( Madkour, 1934 ). Socrotes pernah berkata : “ Hikmat adalah benda suci, tidak rosak dan kotor. Jadi tidaklah patut kita menyimpanya kecuali dalam jiwa yang hidup, kita harus membersihkannya dari pada kulit yang mati, dan menjaganya daripada hati yang membangkang” ( Ibn Abi Usaibah, 1965)<br /><br />Sebelum Ibnu Sina membahagikan hikmat itu, ditentukannya tujuan, iaitu mencari hakikat sesuatu sesuai dengan kesanggupan manusia. Kemudian dibahagikan hikmat itu mengikut benda-benda yang wujud. Sesetengah benda itu wujudnya tidak bergantung pada perbuatan dan kemahuan kita. Contoh bahagian pertama adalah benda-benda di bumi, di langit, bentuk-bentuk geometri, bilangan dan zat Tuhan. Semua benda ini tertakluk wujudnya kepada perbuatan dan kemahuan kita. Tetapi susunsn politik, tingkah laku akhlak dan menciptanya. Kita juga boleh meninggalkannya, begitu juga dengan pelbagai seni dan pertukangan. Oleh itu mengetahui perkara-perkara bahagian pertama, iaitu yang tidak tertakluk wujudnya pada perbuatan dan kemahuan kita disebut Falsafah Teoritikal, manakala bahagian kedua disebut Falsafah praktikal ( Morewedge, 1973 : 145 )<br /><br />Seperti juga Aristotle, falsafah teoritikal bertujuan menyempurnakan jiwa (nafs) dengan mengetahui, maknanya “ berlakunya kepercayaan yang diyakini tentang hal-hal wujud” (<br />Ibnu Sina, 1953), tujuaan falsafah pratikal pula bukan sekadar menyempurnakan jiwa dengan pengetahuan teapi menyesesuaikan dengan kehendak pengetahuan itu. Dalam akhlak, misalnya, tidaklah cukup kita mengetahui apakah kebaikan itu, kemudian senyap, tetapi kita harus menyesesuaikan dengan kita ketahui. Oleh itu tujuan falsafah teoritikal adalah kebenaran sedangkan tujuan falsafah pratikal adalah kebaikan.<br /><br />Kata penilaian tidak pernah digunakan oleh Ibnu Sina , tetapi apakah sebenarnya penilaian itu ?. Ada dua fungsi yang menonjol dalam penilaian ini. Pertama sebagai suatu peneguhan terhadap suatu tingkah laku yang ingin dikekalkan. Misalnya kalau seorang kanak-kanak belajar bahasa, maka apabila jawapanya betul haruslah diberi ganjaran, seperti markah yang tinggi, atau boleh sekedar puji-pujian sahaja. Pokoknya kanak-kanak itu akan merasa senang setelah memberi jawapan itu dan seterusnya akan berbuat demikian pada masa akan datang dalam suasana yang sama.<br />Sebagai alat menapis calon-calon yang ingin mendapat tempat yang tertentu dalam peperiksaan, misalnya. Dengan kata lain penilaian digunakan sebagai alat untuk menentukan sama da tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Klau kita gunakan ujian memendu kereta, maka kita menilai sama ada pengetahuan amnya tyentang aturan-aturan lalu lintas telah dihafaz dan segala amalan memandu kereta telah dapat dilaksanakan atau belum. Kalau ia lulus semuanya, teori dan praktik, mak ia diberi lesen memandu kereta jenis tertentu, misalnya jenis D.<br /><br />Dalam karangan –karangan Ibnu Sina adakah kita menemui beliau menggunakan kata-kata atau konsep-konsep yang mengandung kedua maksud di atas itu ? jawabannya “ ya” ada, walaupun tidak persis seperti yang digambarkan itu.<br />Tentang penilaian sebagai peneguhan, dalam karangan-karangan yang bersangkutan dengan falsafah pratikal, beliau selalu bicara tentang kebahagian sama ada di dunia atau di akhirat, kebahgian itu berlaku pada peringkat diri ( akhlak, keluaraga, masyarakat ataupun umat manusia seluruhnya ( Ilmu Nabi ) dan juga selepas jiwa berpisah daripada badan pada hari ma’ad. Dengan kata lain ada peringkat-pringkat kebahagian itu, yang bermula pada jinjang pertama mendorong ke jinjang kedua, selanjutnya ke jinjang berikutnya dan begitulah seterusnya sehingga puncak kebahagiaan abadi yang di tujunya ( Ibnu Sina,1908 : 150 ). Sudah tentu tentu peringkat-peringkat yang di gambarkan disini merupakan peneguhan untuk mendorong seseorang pengejar kepada peringkat selanjutnya. Dalam pendidikan moden pun penilaian sebagai peneguhan berfungsi serupa itu, misalnya kelulusan pada sekolah rendah mendorong untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah menengah dan lulus di sekolah menengah mendoriong untuk melanjutkan pelajaran ke universiti dan begitulah seterusnya.<br />Sebagai alat untuk menyaring, penilaian juga sangat berguna. Ibnu Sina juga menggunakan kroteria ini untuk membahagikan ilmu kepada ilmu terbuka ( masyhur) untuk orang bayak, dan ilmu tertutup ( mastur) untuk orang-arang Khas, seperti sebahagian karangannya yang terakhir yang berkenaan falsafah Isragiyah ( Illumination phiosophy). Penggunaan penilaian mengikut pengertian iniu banyak didapai dalam bukunya berjudul al-siyasah terutanma berkenaan cara membimbing kanak-kanak. Tentang cara memilih pekerjaan pula Ibnu Sina berkata bahawa sekadar mengikut kemahuan si anak, tetapi haruslah sesuai dengan bakat dan tabiatnya ( Ibnu Sina, 911), kerana perbezaan manusia dalam memilih ilmu dan pekerjaan : “ ada sebab-sebab yang kabur dan faktor yang tersembunyi yang sukar difahami oleh manusia dan susah diukur dan dimengerti (Ibnu Sina, 1911 : 14 ).<br />Barangkali yang disebut oleh Ibnu Sina iaitu sebab-sebab yang kabur dan faktor-faktor yang tersembunyi boleh dikembalikan kepada faktor-faktor psikologi, yang sekarang terkenal dengan nama bakat-bakat (apptitude) dan kebolehan (abilities) dengan istilah yang digunakan oleh p[sikologi moden. Dari di\sini difahami bahawa Ibnu sina memberi perhatian pada faktor-faktor psikologi, seperti bakat dan kebolehan, sebagai alat yang sangat berguna.<br /><br />Ibnu Sina membahagikan falsafah teoritikal kepada tiga bahagian ilmu mengikut darjat penglibatan tajuk-tajuknya dengan materi dan gerakan atau kebebasannya daripada gerakan dan materi itu. Ilmu itu adalah ;<br />1. Ilmu tabii, yang dipanggilnya yang paling bawah.<br />2. Ilmu matematik, yang dipanggilnya ilmu pertengahan.<br />3. Ilmu ketuhanan, yang dipanggilnya ilmu paling tinggi, iaitu mengikut darjat<br />kebebasan daripada materi ( Ibnu sina 1908)<br /><br />Pembahagian serupa ini juga kita dapati pada Aristotle, Tetapi Ibnu Sina memperluasnya dengan menambahkan pelbagai cabang bagi setiap ilmu tersebut, selain yang kita saksikan pada Aristotle, Ibnu Sina misalnya, menambahkan ilmu-ilmu berikut kepada ilmu tabii : perubatan , astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir ( tilsam) ilmu tafsir mimpi., ilmu kimia. Aristotle hanya membahagikan kepada materi dan bentuk, gerakan dan perubahan, wujud dan kehancuran, tumbuh-tumbuhan dan haiwan dan jiwa. Ilmu matematik pula ditambahkannya cabang-cabang ilmu berikut : ruang, bayang begerak, memikul berat, timbangan, pandangan dan cermin, dan memindah air (Ibnu Sina, 1908 : 110-111). Terhadap ilmu ketuhanan ( ilahiyat) ditambahkannya cabang-cabang berikut : cara turunnya wahyu, jauhar rohani yang membawa wahyu, cara wahyu turun sehingga dapat didengar dan dilihat, mukjizat, khabar ghaib, ilham bagi orang-orang takwa yang menyerupai wahyu, dan keramat yang menyerupai wahyu.<br />Juga dibicarakan ialah roh amin dan roh quds. Roh amin termasuk dalam peringkat kedua jauhar rohani, sedangkan roh quds termasuk dalam dalam jauhar rohani peringkat pertama, yakni dari peringkat Malaikat ( Ibnu Sina, 1908 :114 ).<br /><br />Falsafah pratikal juga terbahagi kepada tiga bahagian ilmu iaitu :<br />1. Ilmu akhlak, yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku se -<br />seorang manusia atau kesucian dirinya.<br />2. Ilmu pengurusan rumah tangga, yankni mengkaji tentang hubungan antara<br />lelaki dan isterinya, ank-anaknya dan pembantu-pembantunya, masalah pe-<br />ngaturan rezeki dan kehidupan keluarga.<br />3. Ilmu politik, yang mengkaji tentang hubungan-hubungan awam dalam<br />suatu bandar, hubungan di antara pelbagai bandar, dan hubungan pelbagai<br />negara, politik, kepimpinan dan masyrakat yang luhur dan hina.<br /><br />Dan antara hasil penulisan beliau lagi termasuklah kumpulah risalah yang berjudul Tis Rasa’il yang mengandungi berbagai-bagai tajuk dalam berbagai-bagai bidang ilmu . Rasa’il Ibnu Sina yang mengandungi hasil sastera kreatif beliau, dan risalah-risalah lain lagi tentang berbagai-bagai bidang ilmu, termasuklah ilmu logik antara pendapat beliau termasuklah ilmu logik, sebagai pengantar bagi falsafah, hanya diperlukan oleh mereka yang tidak mempunyai kebolehan berfikir dengan betul secara semula ajdi, sebaliknya bagi orang-orang yang memiliki kemampuan semula jadi tersebut, ilmu logik tidak diperlukan. Bandingannya ialah seperti ilmu tatabahasa yang tidak diperlukan oleh individu yang secara semula jadi, bijak berbahasa.<br />Berkenaan matematika, Ibnu Sina berpendapat, ilmu tersebut boleh digunakan untuk mengenal Tuhan, Demikian juga ahli-ahli falsafah Yunani, beliau mempercayai bahawa setiap tubuh terdiri daripada empat unsur iaitu : tanah, air, api dan angin, walau bagaimanapun, beliau berpendapat campuran unsur-unsur ini yang berupa lembab, panas, sejuk, sentiasa bergantung pada unsur yang lain dalam alam nyata.<br /><br />4. SISTEM DAN FALSAFAH PENDIDIKAN.<br /><br />Sebelum kita berbincang tentang sistem dan falsafah pendidikan, Ibnu Sina menerangkan tujuan dari pendidikan yang memiliki tiga fungsi yang kesemuanya bersifat normatif. Pertama, tujuan itu menentukan haluan bagi proses pendidikan. Kedua, tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju tetapi juga sekaligus memberinya rangsangan. Tujuannya adalah nilai, dan jika dipandang bernilai, dan jika diingini, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Dan akhir sekali, tujuan itu mempunyai fungsi untuk menjadi kriteria dalam meniulai proses pendidikan., tujuan sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan dapat dilihat dalam tiga perangkat, iaitu tujuan khas ( obyectives), tujuan am (goals) dan tujuan akhir (aims). Apabila digunakan dalam kurikulum maka tiga peringkat tujuan ini masing-masing membincangkan aspek tertentu tujuan itu, misalnya tujuan pelajaran kimia sebagai berikut :<br />-1- Murid-murid akan menguasai pribsip-prisip ilmu kimia ( tujuan khas)<br />-2- Murid-murid akan sanggup berfikir secara kritis ( tujuan am )<br />-3- Murid-murid akan mencapai perwujudan kendiri ( tujuan akhir )<br /><br />Kalau dilanjutkan lagi, maka akan berkaitan dengan tujuan hidup manusia yang kerapkali lebih tepat disebut sebagai tujuan terakhir ( Ultimate aims)<br />Dalam sistem dan falsafah pendidikan Ibnu Sina terdapat berapa bahagian yang sangat penting<br /><br />4.1.Yang utama sekali.<br /><br />Ibnu Sina meletak tanggung jawab besar di bahu ibubapa untuk menyempurnakan anak-anak, sebagai contoh : unsur pemilihan nama bagi anak-anak kerena ada faedah dan inplikasi tertentu tehadap pemilihan nama ini.<br /><br />4.2. Pendidikan Akhlak.<br /><br />Bilalah proses pendidikan bermula ? Ibnu Sina menegaskan Pendidikan selepas sahaja kanak kanak itu tamat penyusuannya ( al-rodo’at), dan tahap awal ini pendidiakan bermula dengan akhlak. Ibnu Sina menggunakan istilah Ta’dib bagi menjelaskan kepentingan pendidikan akhlak yang bersifat definsif iaitu sebelum kanak-kanak ini berhadapan dengan tingkahlaku yang tidak baik dan kecenderungan yang buruk ( al-akhlak al-laimah ). Ini sesudah tentu dalam kontek pergaulan dengan rakan sebaya dan lain-lain. Alasan Ibnu Sina dalam kontek ini ialah biasanya kanak-kanak itu cepat boleh terpengaruh dengan bentuk-bentuk akhlak yang buruk atau tabiat yang tidak baik. Mereka juga katanya belum tahu tentang nilai dan perbezaan baik-buruk dan belum tahu untuk mengelak darinya. Justeru itu adalah lebih berfaedah kepada mereka sendiri supaya senantiasa berjauhan dari bentuk-bentuk berkenaan. Inilah pendekatan definsif yang ditekankan oleh Ibnu Sina pada tahap awal ini.<br /><br />Dalam akhlak, Ibnu Sina berpendapat bahawa sesipa yang akan membimbing orang lain, haruslah terlebih dahulu dapat membimbing dirinya sendiri, kerana dirinya itulah yang terdekat kepadanya, paling mulia dan paling perlu mendapat perhatian. Malah mengendalikan diri itu lebih susah dari mana-mana bimbingan. Sehingga sesiapa yang sanggup mengendalikan dirinya dengan sebaik-baiknya, tidak akan susah mengatur suatu bandar, malah suatu negara ( al-Ardh, 1976 : 337 ). Keluhuran ( fadhilah) dan keburukan (razila ),itu banyak, tetapi itu dapat di bahagikan, mengikut kekuatan jiwa yang tiga, iaitu syahwat, ghadhab ( marah ) dan akal. Itulah tiga kehinaan ( razilah) . Tetapi di atas tiga macam keluruhan ini, terdapat keluruhan yang disebut keadilan, iaitu yang menghimpunkan segala macam keluruhan itu, ketika melengkapkan setiap kumpulan itu dengan cabang-cabngnya sebagai unsur yang membentuknya (Ibnu Sina, 1908 : 152). Misalnya suci diri (iffah), pemurah (Sakha’)danberpuas diri ( qana’ah), yang termasuk dalam keluruhan syahwat. Manakala keluruhan ghadab adalah keberanian (syaja’ah), kesabaran (sabr), penyayang (hilm) dan lapang dada ( rahh al baa). Keluruhan akal ( al-Quwah al- Natiqah ) adalah bijaksana ( hikmat ) bay an, cerdik ( fathonah ), keaslian (asalah al ray ) , tegas ( hazm ), kebenaran (sidq), setia (wafa), pengasih (rahmah), malu (haya), keras kemahuan (izamul himmah), memilhara janji (husnul asd walmu hafazah) dan merendah diri (tawadu’). Dan induk segala keluruhan ini adalah keadilan adalah ) yang mengikut Ibnu Sina adalah kesimbangan semua keluruhan itu sehingga yang satu tidak melebihi orang lain. Oleh itu keadilan sebenarnya tidak lain daripada jiwa yang mengetengahkan pelbagai akhlak yang bertentangan, syahwat yang berlebihan dan berkurangan, ghadab dan tiada ghadab sama sekali, dan menjurus hidup dan tidak mengurus sama sekali ( Ibnu Sina, 1908 : 149 ). Manakala kebaikan daripada semua itu disebut kehinaan (razilah ) dan benruknya bermacam-macam seperti busuk hati, rendah cita-cita, tidak menepati janji, kasar cakap, menipu dan takabur.( Ibnu Sina,1908 : 145 )<br /><br />Bagaimana kita untuk mencapai ta’dib yang berkesan ? Ibnu Sina menerangkan beberapa pendekatan pratikal untuk digunakan . Antaranya ialah dengan menjadikan mereka merasa takut sambil menggalakkan anak itu belajar, memberi semangat, marah, dipuji pada hal-hal yang sesuai. Jika perlu kekerasan . Tujuan pukulan hanyalah untuk merasakan sedikit kesakitan kepada mereka justeru untuk memberikan pengajaran.<br /><br />4.3. Pengajian Agama dan Kesusteraan.<br /><br />Apabila kanak-kanak membesar, supaya boleh bercakap dan mendengar dengan baik, maka ia perlu belajar dan menghapal Al-Qur’an, mempelajari huruf alphabet dan agama, puisi, qosidah. Disini ia mesti mula dengan puisi kerana ia lebih senang untuk diingati justeru ia ringkas dan mudah bentuknya. Tujuan pengajian ini ditahap ini Ibnu Sina ialah kerana ingin untuk mendapatkan kebaikan adab (fadlul adab), menyintai ilmu pengetahuan dan elak kebodohan. Isi puisi itu pula hendaklah ada gesaan supaya menghormati ibubapa (Bir al Walidain) mengamalkan tingkah laku yang mulia ( Istina’ al- Ma’ruf) dan memuliakan tetamu ( qira al-daif ) dan lain-lain ciri akhlak mulia (makarim al-akhlak)<br /><br />Disini Ibnu Sina juga tidak lupa menerangkan kuliti seorang guru yang baik: guru yang bijak dan beragama, sentiasa praktis akhlak yang baik dan ada minat untuk menolong kanak atau pelajar, bersih, amanah, mudah mestra, mempunyai adab, makan-minum, berbicara dan bersosial.<br /><br />4.4. Pengajian Lanjutan.<br /><br />Setelah mempelajari Al-Qur’an dan agama serta mengingati asas-asas bahasa, pemerhatian perlu dibuat terhadapnya tentang kursus-kursus yang sesuai dengannya serta masa depannya dan pekerjaannya di hari muka. Minat juga perlu diperhatikan. Jika minat kepada tulisan ( al-kitabah ), ia perlu belajar bahasa, penulisan dan retorika. Ia juga perlu mempelajari mate-matika (al-hisab) dan pengumpulan puisi-puisi. Jika ia minat lain-lain subyek. Ibnu Sina menggesa supaya hal ini diambil kira. Penyesuaian perlu kepada pelajar. Pelajaran kesusasteraan ini pun bukanlah sesuatu yang mudah dan bukan semua boleh belajarnya. Ibnu Sina membayangkan bahawa setiap tahun didapati ada kelebihannya.<br /><br />4.5. Pengajian Tinggi.<br /><br />Selanjutnya, Ibnu Sina menerangkan tahap yang lebih tinggi, pelajar boleh ilmu mate-matika (al-hisab), dan lain boleh Kejuruteraan sementara yang lain lagi boleh belajar perubatan (al-tibb) beginilah yang terjadi tiap-tiap tahap hingga sempurna. Subyek-subyek ini menurut Ibnu Sina adalah punca dari skima pendidikannya yang telah dimulakan sejak selepas tamat penyusuan tadi. Setiap tahap umur disesuaikan dengan pelajaran dan ilmu pengetahuan.<br /><br />Apa yang beliau sarankan itu lebih bersifat rasional, dengan erti untuk semkua lapisan rakyat. Namun katanya ada juga orang-orang yang terpelajar tidak menuruti skima itu. Mereka memilih jalan sendiri dengan melakukan pengorbanan sendiri. Kumpulan ini menurutnya pada akhirnya tidak mampu untuk mencapai apa yang dicita-citakan.<br /><br />Guru-guru adalah agen penting kemajuan para pelajar, dalam hal ini, guru-guru perlu perhatian tabiat, minat serta kecerdikan pelajar dan sesuikan ilmu yang dipelajari dengan pekerjaan. Ini boleh membantu pelajar menentukan masa depannya, kemudia bolehlah ia betulkan niat dan keazaman kepada alam pekerjaan. Semua usaha-usaha ini boleh membentuk kehidupannya yang berbeza dari sebelumnya, setelah belajar kemudian mendapatkan kerja dan mahir, lalu anak / pelajar perlu menikmati upah atau gaji dan dari itu ia boleh membina kehidupan dan keluarga serta tidak bergantung dan terpisah dari orang-tuanya.<br /><br /># Ulasan yang dapat pahami tentang skima dan falsafah Ibnu Sina : bahawa pendidikan adalah tanggung jawab nasional, pihak berkuasa perlu membentuk undang-undang supaya ibubapa memberi perhatian yang sebaik-baiknya kepada kanak-kanak, kank-kanak perempuan dan laki-laki mestilah dijuruskan dalam pelajaran yang sesuai dengan jantina mereka . ini dijelaskan oleh Ibnu sina dalam kitab Al –Shifa , namun da;lam sistem pendidikan yang diajukan Ibnu sina ini tidaklah detil kalau dibandingkan dengan Plato dan Aristotle dalam tradisi Greek.<br /><br />Apakah obyektif pendidikan menurut Ibnu Sina ? berpadukan kepada huraian diatas, kita dapat kenal pasti obyektif yang mahu didapatkan seperti ringkasan iaitu :<br />1.Pendidikan Akhlak.<br />2.Pendidikan Agama.<br />3.Penekanan terhadap kecintaan terhadap ilmu dan hikmah.<br />4.Pendidikan dan perkembangan Intelek.<br /><br />Obyektif akhir di atas sesuai dinisbahkan sebagai pelajaran di tahap ijazah pertama yang dapat membawa pelajar ke alam pekerjaan. Dan usia mereka ditahap ini menurut Ibnu Sina ialah lapan belas tahun. Sepanjang skima ini didapati Ibnu Sina telah mengenepikan pendidikan jasmani. Kecendrungan ini memperlihatkan sikap Ibnu Sina yang mementingkan akhlak dan pembangunan intelek, bukan fizikal. Pilihan yang akhir ini hanya sesuai untuk kumpulan “gurdian”. Ibnu Sina mahukan kesempurnaan dalam kehidupan yang boleh membawa manusia kepada kebahagian (al-sa’adah). Untuk tujuan ini penyucian jiwa melalui pembinaan akhlak dan intelek yang baik sangat diperlukan sebab itulah Ibnu sina memberi fokus kepada akhlak dan intelek. Dari tahap awal lagi Ibnu Sina telah memberi tumpuan khusus kepada akhjlak dimana ibubapa dan keluarga adalah gurtu serta sekolah yang pertama. Ini juga memberi makna bahawa para ibubapa bertanggungjawab membuktikan amalan nilai-nilai akhlak yang mulia, anak-anak dapat meniru terus-menerus bentuk-bentuk akhlak tersebut. Kemudian dituruti oleh pengajian al-Qur’an dan agama serta kecintaan terhadap ilmu yang diwakilkan oleh bidang kesusasteraan. Akhlak, al-Qur’an, agama serta cinta ilmu menduduki peringkat atas dalam pembentukan insan yang baik. Sesungguhnya bidang-bidang ini tidak boleh dipisahkan. Dalam hal ini Dr.Yusof Qardhawi memetik Mahatma Gandhi sebgai berkata :<br /><br />Sesungguhnya agama dan budi pekerti keduanya bersatu, tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Keduanya tidak boleh bercerai dan tidak dapat dibahagi-bahagikan. Agama menjadi jiwa bagi budi pekerti dan budi pekerti menjadi udara bagi jiwa. Dengan perkataan lain, agama memberi makanan kepada budi pekerti, menumbuhkan dan menyuburkannya, sebagaimana air memberi makan kepada tanam-tanaman menumbuhkan dan menyuburkannya.<br /><br />Ibnu Sina kelihatan mahu menjelaskan bahawa pembentukan “Kekuatan dalam diri atau daya tahan” perlu dimulakan sejak awal lagi sebelum “ rebung bertukar menjadi buluh”. Unsur defensif ini akan bertindak menjaga dan mengawal individu pabila berhadapan dengan dengan anika pengaruh. Selain faedah dari segi akhlak, skima ini juga telah meletakan bahawa batu asas ilmu pengetahuan dan pendidikan itu boleh mempelajari matematik, kejuruteraan, perubatan dan sebaginya.<br /><br />5. INSTITUSI KELUARGA.<br /><br />Dari segi penulisan kitab as-siyasah bukanlah sebuah hasil karya falsafah yang benar dan berpengaruh seperti al-syifa’ al-Isharat wa al-tanbihat dan lain-lain. Kitab ini karangan Ibnu Sina, yang mengemukakan suatu analisa umum tentang teori-teori yang menyangkut pengurusan rumah tangga, dalam huraian tersebut Ibnu Sina menekankan fungsi “Master” atau tuan rumah yakni suami yang memiliki tanggung jawab menyeluruh dan wanita sebagai istri adalah “rakan kongsi hidup sejati” bagi suami.Dan istri menghadapi peranan yang bertambah apabila suami bertugas di luar ialah menjaga dan mengurus harta dan rumah tangga serta menyempurnakan pendidikan anak-anak.serta mengatur pendapatan keluarga, cara membelanjakannya.<br /><br />Ahli-ahli filsafat Islam seperti al-farabi dan Ibnu Sina memandang sangat penting institusi keluarga. Kepada mereka perkahwinan itu sendiri adalah tiang atau ‘platform’ yang utuh kearah pembentukan masyarakatdan bandar. Justeru itu Ibnu Sina dalam bahagian akhir kitabnya “al-Syifa menekannkan betapa perlunya pentadbir negara menerangkan undang-undang perkahwinan. Perkahwinan boleh membawa kepada penerusan generasi, justeru itu ia perlu diurus di bawah penentuan undang-undang negara. Untuk mengelak lahirnya gejala-gejala yang kurang sihat dalam masyarakat, maka Ibnu Sina merakamkan bahawa semua upacara dalam perkahwinan itu mestilah mengikut norma-norma agama. Kaum wanita mestilah dijaga dan diawasi, baik pakaiannya atau pun keselamatannya. Disini juga ada dijelaskan bahawa ibubapa mestilah memberikan pendidikan yang sempurna kepada anak-anak. Anak-anak perempuan hendaklah dijuruskan dalam bidang-bidang yang sesuai dengan”nature” mereka ( fi ma yakhussuha ) sementara lelaki dibidang-bidang untuk mencari nafkah hidup (ai-nafaqa) .<br /><br />Menurut Ibnu Sina dalam pelaksanaan pendidikan disini tidak terhad kepada perancancangan (planing) dan pelaksanaan (Implementation), tetapi juga lebih luas daripada itu. Perlaksaan berkait rapat dan takrif ilmu , yang pembahagiannya kepada ilmu teoritikal dan ilmu pratikal, takrif ilmu pratikal menurut Ibnu sina adalah pengetahuan terhadap perkara-perkara yang wujudnya bergantung pada perbuatan dan kemahuan kita, seperti akhlak, politik, keluarga, syariat. Tujuan ilmu ini adalah kebaikan, sedangkan tujuan ilmu teorikal adalah kebenaran. Oleh itu ilmu yang dikaitkan dengan amalan dan kemahuan kita disebut ilmu pratikal , dan itulah yang kita maksudkan dengan pelaksanaan, seperti yang kita lihat, pelaksanaan memang melibatkan perancangan, pentadbiran, pengajaran, kaedah dan aspek-aspek lain yang boleh disebut sebagai pelaksaan itu. Falsafah pratikal ini menurut Ibnu Sina, terbhagi empat bahagian ilmu iaitu : akhlak, pengurusan bandar, pengurusan keluarga dan ilmu Nabi.<br /><br />Ada buku khas tentang akhlak yang berjudul al-akhlaq ( Al-Ardh 1967 : 337 ). Pengurusan Bandar (politik) dan pengurusan rumah tangga dihuraikan dalam buku berjudul al-siyasah ( Ibnu Sina, 1911 :303) yang terkenal itu. Manakala ilmu Nabi dihuraikan dalam buku berjudul itbbat al-Nubuwah ( Ibnu Sina, 1968 ) dan telah dicetak dalam sembilan surat ( Its’ rasai l) ( Ibnu Sina, 1908 : 394) dan juga dalam kitab al-najat ( The Book of Deliverance) yang sebenarnya merupakan ringkasan dari pada kitab berjudul al-Syifa. (Ibnu sina,1938 )<br />Setelah kita berbincang panjang lebar tentang Ibnu Sina, timbulah pertanyaan berikut : di manakah letaknya Ibnu Sina di antara filsuf-filsuf pengetahuan ( philosophers of epitemology ) seperti yang dikenal oleh pakar pendidikan belakangan ini. Pakar-pakar pendidikan, terutama pakar-pakar kurikulum, biasanya menjeniskan falsafah pengetahuan ( epistemology) ini kepada tiga kategori besar mengikut punca pengetahuan.<br /><br />Ilmu<br /><br />Tidak kekal Kekal abadi ( hikmat )<br /><br />Sebagai Tujuan Sebagai alt : Logik<br /><br />Teoritikal Pratikal<br />• Ilmu Tabii *Ilmu akhlak<br /><br />• Ilmu Matematik *Ilmu Pengurusan Rumah<br /><br />• Ilmu Metafizik ( ketuhanan) *Ilmu Pengurusan Bandar<br /><br />• Ilmu Kully ( Universal ) *Ilmu Nabi ( Syariat)<br /><br />Rajah : 3 1 Klasifikasi Ilmu menurut Ibnu Sina<br />Sumber Al-Ardh ( 1967 )<br /><br />I. Falsafah-falsafah di balik alam ( other-worldly philosophies ) yang terbahagi<br />Kepada dua golongan besar iaitu falsafah yang berasal daripada agama dan falsafah yang berasal dari Athena kuno. Kedua-duanya mempengaruhi pendidikan barat.<br /><br />2. Falsafah-falsafah berpusatkan bumi (Earth-centered philosophies) yang juga terbahagi kepada dua golongan besar, iaitu falsafah-falsafah yang beranggapan bahawa alam jagat ini diam tidak bergerak ( static universe) dan falsafah yang berpendapat bahawa alam jagat ini selalu bergerak dan tidak tetap. Falsafah-falsafah alam jagat ini selalu bergerak dan tidak tetap. Falsafah-falsafah berpusatkan bumi ini walaupun sudah agak tua, iaitu semenjak zaman Aristotle tetapi dalam zaman pertengahan di Eropah, falsafah-falsafah tidak mendapat tempat malah banyak mendapat pengaruh di dunia Islam seperti kita lihat pada Ibnu Sina. , pada zaman pembaharuan di eropah barulah falsafah-falsafah ini mendapat pengaruh dan mendorong kebangkitan sains dan membawa revolusi saintifik.<br /><br />5. Falsafah-falsafah berpusatjkan manusia ( mancenterd philosophies) yang baru saja muncul, iaitu pada hujung abad ke –19 bermula dengan mazhab pragmatisme oleh dua orang filsuf Amerika, iaitu Charles S. Pierce (1839-1914) dan William James (1842-1910). Sumber lain adalah mazhab existensialisme yang dipelopori oleh filsuf Denmark Soren Kirkgard (1813-1855). Paragmatisme dan Existennsialime banyak mempengaruhi pendidikan di barat sejak kebelakangan ini.<br /><br />Sekali imbas Ibnu Sina adalah filsuf berpusatkan bumi kerana beliau pengikut aristotle, tetapi apabila dikaji dengan lebih mendalam, Ibnu Sina bukan hanya mengikut kepada Aristotle, tetapi menambahkan pelbagai cabang ilmu pengetahuan kepada tiga bahagian ilmu dalam falsafah teoritikal, dan falsafah pratikal, malah dalam falsafah teoritikal itu diciptakannya suatu bahagian barru sehingga menjadi empat, iaitu ilmu Kulli, begitu juga falsafah pratikal diberinya satu bahagian baru, iaitu ilmu Nabi, disebut juga namus atau syariah. Tambahan-tambahan itu berdasar pada pengalamannya sendiri, kerana Beliau sangat sedar akan konsepsi Islam tentang hubungan Tuhan dan alam semesta dan selalu berusaha membuktikan bahawa yang dicipta ini bergantung kepada pencipta, oleh itu Beliau tetap setia kepada prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam (Nasr, 1969 : 311).<br /><br />Tentang ilmu Nabi, Ibnu Sina menyatakan bahawa setiap masyarakat memerlukan peraturan dan keadilan. Peraturan itu adalah sejuml;ah cara yang harus diikutui dalam muamalat, manakala keadilan menyeimbangkan di antara cara itu sehingga yang satu tidak melebihi yangb lain. Ini bermakna bahawa harus ada seseorang yang membuat aturan dan menjalankannya dan harus ada pencipta keadilan yang menciptakan keadilanitu, malah haruslah orang yang semacam ini sanggup memerintah manusia dan mewajibkjan mereka mengikuti undang-0undang yang dibawanya. Di samping itu ia haruslah seorang seperti manusia seperti mereka. Malah orang seperti ini sanggup memerintah dan mewajibkanmereka mengikuti undang-undang yang dibawanya, selain dakwah yang bertujuan memberi petunjuk dan kefahaman, haruslah ia membuat dakwah yang bertujuan mengajar manusia mendirikan amal ibadat, seperti sembahyang, puasa, jihad, haji dan sebagainya.<br />Dalam usahanya mengajar manusia mengerjakan ibadat ini, haruslah Nabi mengingatkan mereka bahawa amalan-amalan seperti ini akan<br /><br />mendekatkan merekan dengan Allah dan membawa kebaikan dan keuntungan bagi mereka ( Ibnu Sina, 1938 : 306 )<br /><br />Dengan demikian Ibnu Sina sekaligus adalah Filsuf di sebalik alam dan filsuf berpusatkan bumi, atau boleh orang berkata Ibnu Sina adalah pengikut Aristotle dan neo-palatonism sekaligus, atau beliu berusaha mendamaikan pendapat kedua-dua orang filsuf Yunani itu, Plato dan muridnya Aristotle, itu satu pendapat lain adalah Aristotle dan Plato yang tidak bertentangan dengan Islam, sehingga muncullah mazhab Ibnu Sina yang berdiri sendiri, yang tidak dapat dikatakan Aristotle atau Platonisme, tetapi lebih tepat disebut’ Ibn Sinaisme’.<br /><br />Daripada segi lain pula, tulisan-tulisanya mengenai akhlak dan politik (siasah) memberi kesan seakan-akan , Beliau seorang filsuf berpusatkan manusia ( man- centered philosopher). Seperti kita lihat di pengurusan bandar dan pengurusan keluarga. Mengenai akhlak ini dikaitkannya dengan jiwa ( nafs ) dalam konteks dirinya sendiri dan jiwa dalam konteksorang lain. Jiwa dalam konteks orang lain adalah sivik, semuanya berkaitan manusia, baik sebagai perseorangan mahupun sebagai masyarakat. Tetapi semua ini tidak lepas daripada hubungan syariat, salah satu cabang ilmu pratikal yang hanya ada pada Ibnu sina dan tidak ada pada Aristotle. Ini yang mengaitkannya dengan sistem falsafah di sebalik alam (earth-woridly philosophy) dan juga falsafah berpusatkan bumi ( earth-centered philosophy) kerana syariat pun mengatur hubungan manusia dengan persikitarannya.<br /><br />6. KESIMPULAN.<br /><br />Tulisan ini telah berusaha meninjau karya-karya Ibnu Sina dari sistem pendidikan dan filsafat, yang difahami kepada dua kategori besar : Falsafah pratikal dan teoritikal, karyanya dalam falsafah teoritikal menempatkan beliau sebgai filsuf Pendidikan yang tidak ada taranya dalam sejarah pendidikan.<br /><br />Dan tepat jika idea-idea Ibnu Sina dalam pendidikan dfijeniskan kategori-kategori beikut :<br />1. Tujuan-tujuan (aims) dalam pendidikan .<br />2. Pengetahuan ( knowledge) dalam pendidikan.<br />3. Perlaksanaan ( practice ) termasuklah disini kaedah ( methology ), institusi, pembiayaan dan hubungan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan politik, ekonomi dan lain-lain.<br />4. Penilaian iaitu kriteria yang digunakan untuk mengetahui tercapai atau tidak tujuan-tujuan pendidikan.<br /><br />Ada empat kawasan utama dalam pendidikan menurut Ibnu Sina yang<br />mempunyai pengaruh besar ialah :<br />1.falsafah pendidioan yang berkaitan dengan tujuan dan matlamat<br />pendidikan.<br />2.teori-teori pengetahuan (epistemology)<br />3.pelaksanaan yang mengandungi perkaedahan, institusi, pentadbiran dan<br />lain-lain<br />4.Penilaian.<br /><br />Juga asas dan tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Sina ialah memanusiakan manusia maksudnya manusia sentiasa ada potensi untuk membuat kemajuan bagi diri sendiri baik kalau dihalusi kepasa aspek-aspek yang lebih detil, obyektif pendidikan bermatlamatkan untuk mencapai dan memajukan pelbagai aktifiti, sekoah ataui universiti kita: Persepsi, memori, imaginasi, rasional kemahuan atau rohani, intelektual, walaupun Ibnu Sina kurang memberikan tumpuan dalam kemajuan jasmani justeru perhatiannya lebih dalam perbagai rasional, memori, kemahiran, intelektual, persepsi, rohani dan lain imaginasi. Setengah -setengah tulisan zaman moden tentang pendidikan seperti John P.Wynne dalam bukunya Theories of Education menerangkan bahawa kemajuan-kemajuan fizikal boleh menjadi penghalang kepada pembangunan mental ; sama seperti penekanan Ibnu Sina diatas :<br /><br />“Pysical development is typically neglected andphysical<br />Activityi is considerd an obstacle to mental development either to be eliminated insofar as possible, or to be tolerated as a necessary relief rather then encouraged for its own sake”.<br /><br />Mungkin hal ini ada kebenarannya. Oleh itu unsur “ pysical development” ini boleh dicapai dengan hanya berasaskan kepada kegiatan-kegiatan seperti sukan dan riadah sahaja, bukan disusun bersama dalam suatu sistem pendidikan yang ‘standard’.<br /><br />Dan konsep penilaian yang digunakan adalah luas dan menyeluruh, menyangkut dunia dan akhirat, kerana kriteria yang digunakan adalah kebahagian sebagai peneguhan dan kebahagiaan hanya bernakna kalau dikaitkan dengan kebahagiaan akhirat sebagai tujuan akhir.<br /><br />Rujukan<br /><br />1. Ali Mahdi Khan, the Elements of Islamic philosophy, Lahore : S.H. Muhammad Ashraf, 1973, p.61., lihat juga L.E. Goodman Avicenna, Routledge, London and New York, “ Preface”.<br /><br />2. Amir A. Rahman, Pengantar Tamadun Islam, Kuala Lumpur, 1990.<br /><br />3. Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam : An Introductory Outline, Cambridge h.p., 1968, 142.<br />4.<br /><br />5. Ali Mahdi Khan, The Elements of Islamic Philososphy, 61.<br /><br />6. Hasan langgulung, Pendidikan Islam dan peralihan paradigma, Kualu lumpur,<br />1995.<br />7. Mahmood Zuhdi AB. Majid, Sarjana-sarjana kesarjanaan sains Islam,<br />Kula lumpur ,2000.48-51<br /><br />8. William E.Gohlman, The Life of Ibnu Sina, 19.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-91286721036724742252010-11-23T00:45:00.001-08:002010-11-23T00:45:46.992-08:00Pengembangan Pusat Sumber Belajar di SekolahSejak pertengahan decade 1970-an terdapat perkembangan yang pesat di bidang dan konsep teknologi pendidikan dan teknologi instruksional (pembelajaran) dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, tidak saja di Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara lain seperti Canada, Australia, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Malaysia, dan tentunya juga di Indonesia. Konsep teknologi pendidikan menekankan kepada individu yang belajar melalui pemanfaatan dan penggunaan berbagai jenis sumber belajar.<br /><br />Hal ini tentunya merupakan suatu pandangan yang baru atau yang bersifat inovatif, karena pandangan masyarakat pada umumnya mengenai pendidikan adalah bersifat konvensional yaitu mengkaitkan penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang terjadi atau berlangsung di dalam kelas, di mana sejumlah murid atau peserta belajar secara bersama-sama memperoleh pelajaran dari seorang guru atau instruktur. Guru atau intruktur tersebut berperan terutama sebagai satu-satunya sumber belajar yang paling dominan dalam proses pembelajaran tersebut. Hal ini seringkali berakibat menjadinya proses pemberian pelajaran oleh guru atau instruktur bersifat verbalistis, karena guru sangat dominan menggunakan lambang verbal dalam melaksanakan proses pembelajaran yang umumnya dilakukan melalui penggunaan metode ceramah. Begitu dominannya guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah tersebut sehingga menyebabkan guru kurang mempunyai waktu untuk memberikan bimbingan dan bantuan dalam rangka memberikan kemudahan bagi murid-murid dalam kegiatan belajar mereka.<br /><br />Di samping makin meluasnya penggunaan sumber belajar dalam proses pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan, peran dan sumbangan teknologi pendidikan lainnya yang paling monumental dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran adalah dilaksanakannya sistem pendidikan terbuka (open learning) atau pendidikan/belajar jarak jauh (distance education).sebagai jaringan pembelajaran yang bersifat inovatif dalam sistem pendidikan.<br /><br /><br />Published By Uwes A. Chaeruman On January 20, 2009 <br />Under Instructional Media Tags: Belajar, Pengembangan Pusat Sumber Belajar, Pengembangan Pusat Sumber Belajar Di Sekolah, Pusat Sumber Belajar, Sekolah, Sumber BelajarZaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-89270504594567759142010-11-23T00:38:00.001-08:002010-11-23T00:38:26.784-08:00POTRET AKTIVITAS TUTOR DAN MAHASISWA DALAM TUTORIAL ONLINE UNIVERSITAS TERBUKAArtikel ini ditulis oleh: Any Meilani (Universitas Terbuka)<br /><br />Tutorial Online (Tuton) merupakan salah satu jenis tutorial yang disediakan Universitas Terbuka (UT) bagi mahasiswa. Program Studi Manajemen sudah menyediakan tutorial online sejak masa registrasi 2002.2 sampai saat ini. Berdasarkan pengamatan, tutor yang mengelola tutorial online kurang aktif, begitu juga mahasiswa yang memanfaatkan tutorial online relatif sedikit. Idealnya, kegiatan tutorial online akan optimal apabila ada interaksi atau komunikasi antara tutor dengan peserta tutorial dan antar peserta tutorial. Interaksi dan komunikasi ini merupakan inti dari tutorial (Wardani, 2000). Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan studi untuk memperoleh gambaran aktivitas tutor dan mahasiswa yang mengikuti tutorial online.<br />Pada masa registrasi 2004.2, program studi mengirimkan kuesioner kepada tutor yang mengelola tutorial online dan kepada seluruh peserta tutorial online via e-mail.<br />Dari hasil studi terungkap bahwa 75% tutor tidak menyediakan Rancangan Aktivitas Tutorial (RAT) dan Matriks Aktivitas Tutorial (MAT) sebelum melaksanakan tutorial, walaupun 95% tutor sudah menyediakan materi inisiasi, sebesar 90% tutor sudah menyiapkan tugas, serta sebesar 65% tutor sudah menyediakan forum diskusi . Selain itu, ditemukan juga aktivitas tutor lainnya, seperti ketepatan waktu tutor dalam menjawab pertanyaan mahasiswa, frekuensi tutor dalam membuka web site UT, cara tutor mengelola forum diskusi dan lain-lain. Dari segi mahasiswa, ditemukan bahwa sebanyak 32% mahasiswa tergolong pasif dimana mereka hanya membaca, baik materi inisiasi, pertanyaan, komentar maupun tanggapan dari tutor dan peserta tutorial tanpa melakukan aktivitas lainnya dan sebanyak 5,8% mahasiswa tergolong aktif dimana mereka mengajukan pertanyaan, komentar atau tanggapan atas pertanyaan atau isu yang dilemparkan tutor atau menangggapi komentar atau jawaban dari peserta tutorial lainnya serta menjawab tugas yang diberikan tutor. Ditemukan juga bahwa mahasiswa sudah membaca Buku Materi Modul (BMP) sebelum mereka mengikuti tutorial, manfaat tutorial online bagi mahasiswa serta kendala yang dihadapi mahasiswa dalam kegiatan tutorial online.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-44982656031939304022010-11-23T00:35:00.000-08:002010-11-23T00:36:35.069-08:00Belajar Berbasis Aneka Sumber (BEBAS)Belajar berbasis Aneka Sumber (BEBAS), apakah gerangan dia itu sebenarnya? BEBAS atau aslinya dikenal dengan istilah Resources-based Learning merupakan salah satu strategi penerapan pradigma konstruktifism. Dalam paradigma pendidikan tradisional, guru dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam paradigma pendidikan modern, tidak lagi demikian. Siswa dapat belajar dari berbagai sumber lain tidak hanya guru. Apalagi dalam era informasi saat ini, informasi tersedia dimana-mana dalam berbagai bentuk dan jenis mulai dari bentuk cetak, non-cetak, bahkan sumber belajar dari manusia itu sendiri. Siswa atau mahasiswa dari universitas XYZ katakanlah dapat belajar tentang konsep teknologi pendidikan dengan saya yang bukan dosen di universitas tersebut via internet (chatting, email, dll). Masalahnya adalah bagaimana seorang guru atau dosen dapat mengemas aneka sumber belajar itu menjadi suatu bagian yang terintegrasi dari strategi pembelajaran yang dia lakukan. Menantang, dan menuntut kreatifitas dan persiapan yang matang tentunya.<br /><br />Coba kita lihat salah satu definisinya:<br /><br />Resource-Based Learning is the instructional strategy where students construct meaning through interaction with a wide range of print, non-print and human resources. (http://www.centralischool.ca/~bestpractice/resource/index.html)<br /><br />Secara gambalang dikatakan bahwa BEBAS adalah strategi pembelajaran dimana siswa membangun pemahamannya melalui interaksi dengan berbagai sumber belajar baik cetak, non-cetak, maupun orang. Jadi, BEBAS sangat terkait erat dengan pendekatan konstruktifistik, metode belajar peemcahan masalah (problem-based learning, inquiry learning, atau pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). BEBAS mendorong siswa meningkatkan literasi informasi, meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam era informasi/global saat ini. Disamping itu BEBAS lebih berpusat pada siswa (student-centered learning) yang memungkinkan siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri, dimana guru lebih berperan sebagai fasilitator dan manajer pembelajaran.<br /><br />Apa sebenarnya kelebihan lain dari BEBAS? Kita lihat kelebihannya saja ya, karena tidak ada kelemahan kecuali menuntut kreatifitas, kemauan yang keras dan persiapan yang matang dari guru.:) Berikut adalah keuntungan dari BEBAS:<br /><br />BEBAS mengakomodasi perbedaan individu baik dalam hal gaya belajar, kemampuan, kebutuhan, minat, dan pengetahuan awal mereka. Dengan demikian, siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatannya masing-masing. Sumber belajar dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa.<br />BEBAS mendorong pengembangan kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan keterampilan mengevaluasi. Jadi, BEBAS memungkinkan siswa menjadi kreatif dan memiliki ide-ide orisinal.<br />Proses pembelajaran dengan metode BEBAS mendorong siswa untuk bisa bertanggung jawab teradap belajarnya sendiri. Jadi, dapat melatih kemandirian belajar sehingga pembelajaran dapat menjadi lebih bermakna, lebih tertanam dalam pada dirinya karena ia sendiri secara pribadi yang menemukan dan membangun pemahaman.<br />BEBAS menyediakan peluang kepada siswa untuk menjadi pengguna teknologi informasi dan komunikasi yang efektif. Dengan demikian dapat membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Ia akan mampu bagaimana menemukan, dan memilih informas yang tepat, menggunakan informasi tersebut, mengolah dan menciptakan pengetahuan baru berdasarkan informasi tersebut serta menyebarluaskan atau menyajikan kembali informasi tersebut kepada orang lain.<br />Terakhir. Dengan BEBAS, siswa akan belajar bagaimana belajar. Sekali ia melek informasi, ia akan mengembangkan sikap positif dan keterampilan yang sangat berguna bagi dirinya dalam era informasi yang sedang dan akan dihadapinya kelak. Jadi, pada akhirnya BEBAS dapat membekali keterampilan hidup bagi siswa.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-24875866393256611632010-11-23T00:28:00.000-08:002010-11-23T00:29:03.598-08:00MODEL PUSAT SUMBER BELAJAR?Sebelumnya sayapernah menulis tentang : “Apakah Pusat Sumber Belajar itu?“, tulisan ini ternyata salah satu tulisan yang termasuk paling banyak dibaca dan paling banyak mendapat komentar. Beberapa pembaca, meminta untuk membahas dan memberi contoh lebih jauh tentang pusat sumber belajar ini.<br /><br />Pusat sumber belajar, by konsep memang sangat dipelrukan dalam suatu lembaga pendidikan. Namun, dalam praktek bentuk dan modelnya bermacam-macam dengan tanpa harus menyebutkan lembaga tersebut sebagai pusat sumber belajar. Di Indonesia juga banyak, sebut sajalah misalnya Sanggar Kegiatan Belajar Masyarakat yang dibina oleh Direktorat Pendidikan Luar Sekolah. Itu adalah salah satu contoh Community Learning Resources Center. atau misalnya Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom), Depdiknas. Itu juga adalah Pusat Sumber Belajar. Bahkan, Pustekkom meng-cover sekolah baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi di seluruh Indonesia.<br /><br />Nah, dalam tulisan sebelumnya, saya pernah berjanji untuk mengupas sedikit tentang contoh model pusat sumber belajar yang ada sampai saat ini di Amrik sana. Kebetulan bukunya ketemu tuh, hasil surveynya AECT tahun 1987, mudah-mudahan ga kedaluarsa. Tapi, walau demikian dapat kita jadikan inspirasi, toh? <br /><br />Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa pusat sumber belajar yang ada pada satu institusi tertentu beragam satu sama lain baik dari sisi misi utamanya amupun strutktur organisasinya. Kebanyakan memiliki misi utama dalam pengembangan media pembelajaran, ada juga yang memfokuskan diri pada layanan konsultansi desain pembelajaran, maupun pengembangan media pembelajaran. Apapun bentuknya, memang pusat sumber belajar itu adalah seperti definisi yang pernah saya sampaikan sbeelumnya:<br /><br />Pusat Sumber Belajar adalah suatu unit dalam suatu lembaga (khususnya sekolah/universitas/perusahaan) yang berperan mendorong efektifitas serta optimalisasi proses pembelajaran melalui penyelenggaraan berbagai fungsi yang meliputi fungsi layanan (seperti layanan media, pelatihan, konsultansi pembelajaran, dll), fungsi pengadaan/pengembangan (porudksi) media pembelajaran, fungsi penelitian dan pengembangan, dan fungsi lain yang relevan untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pembelajaran.<br /><br />Sebagai contoh, Miami University Audio-Visual Services, menekankan pada layanan konsultasi terutama yang berkaitan dengan desain, pengembangan, produksi serta pemanfaatan media audiovisual untuk pembelajaran baik untuk internal Universitas Miami, maupun klien eksternal. Berbeda dengan Utah State University, universitas negeri tersebut memiliki Pusat Sumber Belajar yang bernama Merrill library and Learning Resources Program (MLLRP). Misi utamanya adalah mendukung iniversitas menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik untuk pembelajaran. MLLRP tersebut memiliki Dividi Desain dan Produksi yan memfokuskan pada media cetak (meliputi layanan grafis, fotografi, percetakan, dan editorial), dan Dividi Telekomunikasi (meliputi layanan siaran televisi, radio dan video). Mungkin sekarang sudah memiliki divisi lain yang menangani masalah penerapan komputer dan internet (e-learning).<br /><br />Pertanyaannya, apakah ada contoh pusat sumber belajar level sekolah? Yang diceritakan di atas adalah level komunitas masyarakat (seperti sanggar kegiatan belajar masyarakat (SKBM), level agen pemerintah (seperti Pustekkom) dan level perguruan tinggi (Universitas Miami dan Universitas Negeri Utah). Jawabnya ada, tentunya. Di Indonesia yang saya tahu adalah Yayasan Al-Kautsar, memiliki unit khusus yang menangani pusat sumber belajar. Begitu pula dengan Yayasan Sekolah Al-Azhar. Mungkin, sekolah-sekolah lain juga telah memiliki unit yang menjalankan fungsi pusat sumber belajar, tapi namanya bukan pusat sumber belajar. Bisa saja namanya multimedia center atau apa gitu. Dalam survey AECT di atas ada beberapa sekolah di Amrik yang memiliki Pusat Sumber Bleajar. salah satunya adalah West Hartford Public Schools yang memiliki Center for Instructional Media and Technology. Misi utamanya adalah menerapkan teknologi modern untuk menunjang efektifitas dan efisiensi pembelajaran di sekolah negeri tersebut.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-28007520188504869762010-11-23T00:03:00.000-08:002010-11-23T00:07:26.744-08:00Cara Membuat Link Di PowerPointketika berada di ruang kuliah, aku heran dengan dosenku yang menggunakan bahan presentasinya dengan powerpoint dengan menggunakan HYperlink.....<br />setelah aku cari tau caranya ternyata gampang bung, begini ni caranya........<br />aGAR dI tampilan PowerPoint kita ada teks link untuk ke halaman lainnya dapat dilakukan dengan ca ra mudah.<br /><br />Caranya yaitu :<br />1. Blok tulisan yang akan dijadikan link<br />2. click kanan dan "Ignore All"<br />3. Click kanan lagi dan pilih "Action Setting"<br />4. Pilih "Hiperlink TO"<br />5. Pilih "Slide...."<br />6. pilih halaman Slide yang akan dituju jika link itu di gunakan<br />7. OK<br />8. dan OkZaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-10541666990977898222010-11-22T23:55:00.000-08:002010-11-22T23:56:39.165-08:00e-Learning dalam Pendidikan Jarak Jauhe-Learning? istilah yang sangat generik. Banyak istilah lain yang mengacu pada kata tersebut, seperi virtual learning, online learning, virtual class, web-based learning, bahkan distance learning diasosiasikan dengan hal tersebut.<br /><br />Apakah benar demikian? Secara umum dapat dikatakan, YA. e-learning identik dengan distance learning atau sebaliknya distance learning identik dengan e-learning. Pertanyaan kita selanjutnya adalah apakah pembelajaran konvensional tidak menggunakan e-learning? bingung kan?<br /><br />Makanya untuk memahami itu, kita pelru tahu kronologis sejarah dan konsep dari kedua “binatang” tersebut (e-learning dan distance learning). Secara historis, distance learning telah hadir terlebih dahulu bahkan sejak tahun 1883-an yang dicirikan dengan dibukanya correspondence learning untuk pertama kalinya. ini merupakan cikal bakal pendidikan jarak jauh. atau da[at dikatakan sebagai pendidikan jarak jauh generasi pertama.<br /><br />Nah, e-learning? kapankah beliau muncul? secara historis istilah e-learning muncul kira-kira sejak tahun 1950-an sejak berkembangnya teknologi elektronik seperti radio dan televisi, dan lebih berkembang lagi sejak tahun 1995 dimana teknologi komputer dan internet semakin marak sejak saat itu sampai sekarang.<br /><br />Apa hubungan antara distance elarning dan e-learning? sebaiknya pertanyaan konseptual ini yang perlu kita kaji lebih dalam. Distance learning atau pembelajaran jarak jauh memiliki ciri utama terpisahnya antara epserta belajar dengan pengajar. Nah, karena keterpisahan jarak baik dilihat dari sisi tempat dan waktu, maka distance learning setidaknya memiliki tiga konsekuensi logis. Pertama perlunya diterapkan sistem belajar mandiri yang memungkinkan peserta belajar mengendalikan belajarnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi dirinya. Kedua, diperlukan teknologi informasi dan komunikasi sebagai jembatan komunikasi antara peserta belajar dengan peserta belajar lain, peserta belajar dengan pengajar atau peserta belajar dengan sumber belajar lain (ahli, buku, bahan ajar dan lain-lain). Ketiga, perlu digunakannya aneka sumber belajar yang difasilitasi oleh tekno,ogi informasi dan komunikasi yang relevan baik dengan bahan ajarnya itu snediri maupun akrakteristik peserta belajar.<br /><br />Nah karena konsekuensi logis tersebutlah, khususnya konsekuensi logis kedua (yaitu memerlukan penerapan teknologi informasi dan komunuikasi yang tepat guna), maka konsep e-learning diperlukan dalam distance learning. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa e-learning dalam konteks pendidikan jarak jauh merupakan suatu konsekuensi, sebagaimana halnya penerapan sistem belajar mandiri dan layanan fasilitas aneka sumber belajar.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-4001010493806636902010-11-22T23:48:00.000-08:002010-11-22T23:54:51.314-08:00VISI TEKNOLOGI PENDIDIKAN (MODUL TP)Rumusan Konsep<br />Teknologi Pendidikan / Instruksional<br />1.1. Sumbangan Konsep Teknologi<br />Pandangan umum tentang teknologi sangat mempengaruhi teknologi<br />pendidikan. Awal dari kebutuhan teknologi untuk dunia pendidikan karena<br />pengaruh teknologi produk yang makin banyak diminati masyarakat.<br /><br />1.1.1. Pengertian Umum mengenai Teknologi<br />1. Kutipan konsep-konsep teknologi pendidikan berasal dari Finn, Simon, Saettler,<br />Heinich, et al.<br /><br />2. Kata-kata kunci : teknologi, mesin, pengetahuan (ilmiah) proses, sistem, produk.<br />Selama ini kita menganggap bahwa teknologi memang sudah lama menjadi<br />bagian dari kehidupan sehari-hari. Kita terbiasa dan cenderung menganggap<br />teknologi sebagai peralatan dan berkaitan dengan mesin, komputer, dan serba<br />elektronik. Padahal arti teknologi sangat luas dan tergantung peran teknologi itu<br />sendiri bagi manusia.<br /> Berbagai konsep teknologi<br />Finn, 1960 sebagaimana dikutip oleh Gentry menyatakan, “selain diartikan<br />sebagai mesin, teknologi bisa mencakup proses, sistem, manajemen, dan<br />mekanisme pantauan; baik manusia itu sendiri atau bukan, serta …… secara<br />luas, cara pandang terhadap masalah berikut lingkupnya, tingkat kesukaran,<br />studi kelayakan, serta cara mengatasi masalah secara teknis dan ekonomis”.<br />Dalam hal yang sama, ia mengutip pula konsep Simon (1983) yang berbunyi,<br /><br />“teknologi sebagai disiplin rasional, dirancang untuk meyakinkan manusia akan<br />keahliannya menghadapai alam fisik atau lingkungan melalui penerapan hokum<br />atau aturan ilmiah yang telah ditentukan”.<br /> Konsep teknologi menurut Saettler<br />Disamping kedua definisi, pemikiran Saettler tidak jauh berbeda. Beliau<br />mengutip asal katanya – techne, bahasa Yunani, dengan makna seni, kerajinan<br />tangan, atau keahlian. Kemudian ia menerangkan bahwa teknologi bagi bangsa<br />Yunani kuno diakui sebagai suatu kegiatan khusus, dan sebagai pengetahuan.<br />Pendapat Saettler ini mengacu pada konsep Mitcham. Ia mencantumkan uraian<br />Aristotle tentang techne sebagai penerapan (ilmu) pengetahuan sistematis agar<br />menghasilkan kegiatan (manusia) yang baik.<br /> Konsep teknologi menurut Heinich, et al.<br />Pendapat Heinich, Molenda, dan Russell, 1993 memperkuat asumsi sebelumnya.<br />Menurut mereka, “teknologi merupakan penerapan pengetahuan yang ilmiah,<br />dan tertata…… teknologi sebagai suatu proses atau cara berpikir bukan hanya<br />produk seperti komputer, satelit, dan sebagainya”. Ketiga pakar ini<br />membedakan antara teknologi/perangkat lunak atau soft technology dengan<br />teknologi/perangkat keras atau hard technology. Selain itu, mereka menyatakan<br />“teknologi sebagai suatu pengetahuan diterapkan oleh manusia untuk mengatasi<br />masalah dan melaksanakan tugas dengan cara sistematis dan ilmiah”.<br />Dari seluruh definisi tadi hanya definisi dari Finn saja yang menyinggung arti<br />teknologi sebagai penggunaan mesin atau perangkat keras. Para pakar tadi<br />berkesimpulan bahwa :<br /> teknologi terkait dengan sifat rasional dan ilmiah<br /> teknologi menunjuk suatu keahlian, baik itu seni, atau kerajinan tangan<br /> teknologi dapat diterjemahkan sebagai tehnik atau cara pelaksanaan suatu<br />kegiatan, atau sebagai suatu proses<br /> teknologi mengacu pada penggunaan mesin-mesin dan perangkat keras.<br /><br />1.1.2. Sifat Teknologi<br />1. Kutipan konsep yang berasal dari Djojohadikusumo, Shihab, dan Heinich.<br />2. Istilah penting : teknologi maju, teknologi adaptif, teknologi protektif, sistematis,<br />rasional.<br />Untuk mengenali teknologi serta peranannya bagi manusia, kategorisasi karakter<br />teknologi perlu dicermati. Berikut rumusan sifat teknologi dari 3 orang pakar,<br />yaitu Sumitro Djojohadikusumo, Quraish Shihab, dan Heinich.<br /> Sumitro Djojohadikusumo<br />Begawan ekonomi ini mengungkapkan bahwa sifat teknologi ada 3 macam,<br />yaitu :<br />(1). teknologi maju (advance technology), yaitu upaya peningkatan<br />kemampuan nasional di bidang penelitian dan teknologi terkait dengan<br />sumber enerji, mineral, nuklir, dan beberapa aspek pokok di bidang<br />teknologi angkasa luar;<br />(2). teknologi adaptif (adaptive technology) adalah teknologi yang<br />bersumber pada penelitian dan pengembangan di negara maju, harus<br />digarap dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat;<br />(3). teknologi protektif (protective technology), yaitu teknologi yang<br />dipersiapkan untuk memelihara, melindungi, dan mengamankan ekologi<br />serta lingkungan hidup bagi masa depan.<br />Pendapat di atas merupakan suatu tinjauan berdasarkan ilmu ekonomi yang<br />menekankan peran serta pengaruh pemanfaatan teknologi terhadap kekayaan<br />alam. Djojohadikusumo juga mewaspadai bagaimana seharusnya manusia<br />menerapkan teknologi dengan benar.<br /> Quraish Shihab<br />Shihab mencoba mengungkapkan arti teknologi bagi manusia. Ia menyebutkan<br />teknologi ditemukan untuk :<br />(1) perpanjangan fungsi organ manusia.<br />Shihab, selanjutnya menjelaskan sebagai perpanjangan organ manusia,<br />teknologi diciptakan untuk membantu manusia dalam penyelesaian<br />pekerjaan. Sebagai contoh, temuan perkakas ‘pisau’ digunakan sebagai<br />perpanjangan tangaun manusia untuk memotong, ‘palu’ dibutuhkan agar<br />tangan dapat memaku.<br />(2) Perluasan atau penciptaan organ baru manusia<br />Rumusan fungsi kedua, yaitu teknologi yang diciptakan untuk perluasan<br />atau penciptaan organ baru manusia karena manusia tidak memiliki<br />organ tubuh yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Maka, teknologi<br />jenis ini dapat mengambil alih pekerjaan manusia. Sebagai contoh,<br />temuan pesawat terbang pada dasarnya berperan sebagai “sayap”<br />manusia agar dapat menyeberangi daerah yang terhalang oleh laut.<br />(3) Menjadi “seteru” atau saingan manusia<br />Fungsi terakhir berkaitan dengan sifat teknologi yang semakin lama<br />semakin rumit. Teknologi ini diciptakan berdasarkan temuan teknologi<br />sebelumnya, atau memperbaiki dan meningkatkan mutu teknologi yang<br />sudah ada agar kemampuannya berlipat ganda. Robotisasi merupakan<br />suatu temuan canggih yang mampu mengatasi tugas-tugas berat atau<br />rumit bagi manusia. Sayangnya, robotisasi – kalau pemanfaatannya<br />menyalahi hokum atau aturan – dapat ‘mengancam’ tenaga kerja<br />sehingga akhirnya robot menjadi saingan atau kompetitor bagi para<br />pekerja / buruh untuk bidang-bidang pekerjaan tertentu.<br /> Robert Heinich<br />Bagi Heinich, teknologi dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang sistematis<br />dan rasional. Ia merumuskan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh suatu<br />teknologi. Sifat-sifat tersebut adalah :<br />(1) dapat ditiru, diulang atau diperbanyak (replicability)<br />(2) diandalkan karena melalui serangkaian ujicoba (reliability)<br />(3) mudah digunakan dan dilaksanakan untuk mengatasi masalah<br />(algorithmic-decision making)<br />(4) dapat dikomunikasikan dan dipantau sehingga teknologi dapat<br />diperbaiki berdasarkan masukan dari orang / pihak lain<br />(communication and control)<br />(5) berkaitan dengan sifat pertama, berdampak skala – karena<br />pengulangan dan penyebarannya, sehingga dampak baik atau buruk<br />teknologi apat cepat tersebar atau menyusut – (effect of scale).<br />Latihan 1 :<br />A. Buatlah rumusan teknologi menurut pendapat Anda sendiri, berdasarkan<br />rumusan-rumusan yang telah dijabarkan tadi.<br />B. Lengkapi bagan di bawah ini dengan pendapat / konsep para pakar tentang<br />teknologi sesuai uraian sebelumnya.<br />S.Djojohadikusumo Shihab Heinich<br />1.2. Rumusan Teknologi Pendidikan<br />Konsep teknologi yang telah dibahas tadi sebetulnya dapatditerapkan bagi<br />berbagai disiplin ilmu. Untuk kebutuhan dasar manusia, kita mengenal<br />teknologi pangan dan teknologi penyehatan lingkungan. Di bidang industri ada<br />teknologi perkapalan, teknologi industri itu sendiri, sedang pada ilmu murni<br />kita mengenal bioteknologi, dan istilah DNA. Dunia pendidikan juga mengenal<br />dan menerapkan teknologi pendidikan, Berbagai pandangan mengenai konsep<br />definisi teknologi pendidikan sudah diajukan para pakar. Berikut konsepkonsep<br />dari Percival & Ellington dan pakar-pakar dari AECT, 1977 dan 1994.<br /><br />1.2.1. Teknologi Pendidikan menurut Percival & Ellington, 1984 (Inggris)<br />1. Istilah penting tentang teknologi pendidikan, proses belajar, kondisi belajar,<br />keefektifan, efisiensi dan empirik.<br />2. Lembaga teknologi pendidikan di Inggris yaitu CET for UK, dan NCPL UK<br />Pada halaman 19 – 20 dari buku tentang “Educational Technology”, mereka<br />mengutip definisi Council for Educational Technology for the UK, yang menjabarkan<br />teknologi pendidikan sebagai pengembangan, penerapan dan evaluasi atas<br />sistem, tehnik, serta alat bantu untuk meningkatkan proses belajar (manusia).<br />Selain definisi ini, mereka juga mencantumkan definisi yang berasal dari National<br />Centre for Programmed Learning, UK. Definisi tersebut berbunyi antara lain<br />“teknologi pendidikan adalah penerapan pengetahuan ilmiah mengenai belajar<br />dan kondisi belajar untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi pengajaran<br />dan pelatihan. Jika tidak ada temuan atau prinsip ilmiah, maka teknologi<br />pendidikan menggunakan tehnik teruji secara empirik untuk meningkatkan<br />proses belajar”.<br />Mereka berpendapat pola terapan teknologi pendidikan terjadi berupa proses<br />berulang dan pendekatan sistem sebagai alur berpikir dalam merancang<br />situasi mengajar / belajar dan memanfaatkan metode atau tehnik apa saja yang<br />dianggap sesuai untuk pencapaian tujuan belajar. Pendekatan sistem (dijelaskan<br />pada Kegiatan Belajar 2 modul ini) diharapkan agar dapat diselaraskan dengan<br />rancangan materi dan luwes terhadap perkembangan terbaru proses belajar serta<br />kemajuan di bidang pendekatan mengajar / belajar berikut metodenya.<br /><br />1.2.2 Definisi Teknologi Pendidikan / Instruksional menurut Association for<br />Educational Communications and Technology atau AECT (Amerika<br />Serikat)<br />1. Kutipan konsep-konsep dari Seels & Richey, organisasi AECT.<br />2. Istilah-istilah mengenai teknologi instruksional, bidang garapan, psikologi belajar,<br />sumber belajar, evolusi.<br />Organisasi profesi teknologi pendidikan tertua ini berulang kali merumuskan<br />batasan yang memadai mengenai teknologi pendidikan. Beberapa definisi yang<br />dianggap kokoh dan permanen diantaranya adalah definisi yang diluncurkan<br />oleh Komisi khusus AECT tahun 1977 dan definisi yang diluncurkan oleh Seels<br />& Richey tahun 1994 dan masih disponsori oleh organisasi profesi ini. Berikut<br />rinciannya.<br /> Rumusan tahun 1972<br />“Teknologi pendidikan sebagai bidang garapan yang terlibat dalam penyiapan<br />fasilitas belajar (manusia) melalui penelusuran , pengembangan, organisasi, dan<br />pemanfaatan sistematis seluruh sumber-sumber belajar; dan melalui pengelolaan<br />seluruh proses ini”.<br />Definisi di atas diambil dan disarikan dari rumusan sebelumnya, yaitu tahun<br />1963, 1970, dan 1971. Sewaktu merumuskan definisi tadi, para pakar<br />menyatakan teknologi pendidikan sebagai bidang garapan. Mereka berusaha<br />mencari peluang keahlian yang dapat dijadikan sebagai ‘pekerjaan’ dan<br />mengembangkan keahlian tersebut berdasarkan pengalaman kerja yang<br />diperoleh.<br /> Rumusan tahun 1977<br />Tahun 1977 AECT membedakan dua rumusan teknologi pendidikan dengan<br />teknologi instruksional. Berikut uraiannya.<br />(1). teknologi pendidikan<br />Definisi teknologi pendidikan berbunyi, “….. proses yang rumit dan terpadu,<br />melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk<br />menganalisis dan mengolah masalah, kemudian menggunakan, mengevaluasi,<br />dan mengelola seluruh upaya pemecahan masalahnya yang termasuk dalam<br />seluruh aspek belajar (manusia)”.<br />(2). teknologi instruksional<br />Teknologi instruksional ialah “satu bagian dari teknologi pendidikan – dengan<br />asumsi sebagai akibat dari konsep instruksional sebagai bagian pendidikan –<br />bersifat rumit dan terpadu, melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan<br />organisasi untuk menganalisis dan mengolah masalah, kemudian menerapkan,<br />mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah pada situasi dimana proses<br />belajar terarah dan terpantau”. Rumusan tersebut mengandalkan teknologi<br />pendidikan sebagai suatu proses – kegiatan berkesinambungan, dan merinci<br />kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para praktisinya.<br /> Rumusan tahun 1994.<br />Setelah 17 tahun menerapkan konsep yang sama, akhirnya AECT melalui 2<br />anggotanya meluncurkan definisi terbaru. Rumusan tersebut berbunyi,<br />“teknologi instruksional merupakan teori dan terapan atas rancangan,<br />pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi atas proses dan<br />sumber-sumber belajar”.<br />Kajian atas perubahan rumusan menghasilkan beberapa perdebatan dengan<br />alasan logis. Kajian tersebut yaitu mengenai :<br />(1). Perbedaan definisi tahun 1977 dan 1994.<br />Dengan memperhatikan format rumusan ini, terlihat perbedaan menyolok<br />antara kedua rumusan sebelumnya dengan rumusan terbaru. Perbedaan<br />tersebut menyangkut struktur definisi terbaru lebih sederhana dan luwes serta tidak<br />ada pemisahan antara konsep teknologi pendidikan dan teknologi instruksional.<br />Beberapa alasan yang dikemukakan diantaranya :<br />- proses evolusi teknologi pendidikan/instruksional dari suatu<br />pergerakan (usaha organisasi tertentu) menjadi bidang garapan dan<br />profesi, dimana definisi 1977 menekankan peran para praktisi, lalu<br />definisi 1994 menekankan bidang teknologi instruksional sebagai<br />suatu bidang garapan sekaligus terapan.<br />- Pengembangan bidang garapan dilakukan melalui kajian teori serta<br />penelitian<br />- Menurut definisi ini, baik proses maupun produk sama pentingnya<br />bagi bidang garapan<br />- Definisi ini erat kaitannya dengan keefektifan dan keefisiensian.<br />(2). Alasan konsep teknologi instruksional.<br />Dengan usulah hanya rumusan teknologi instruksional, menurut para pakar<br />tadi, berkaitan dengan lingkup yang lebih sempit. Dengan asumsi ini, maka<br />teknologi instruksional dianggap lebih tepat dalam menjabarkan peran<br />teknologi, dan teknologi instruksional dianggap mencakup jenjang pendidikan<br />dari TK sampai dengan SMU, bahkan perguruan tinggi dan termasuk di<br />dalamnya situasi belajar pada program pelatihan.<br />(3). Alasan kelanggengan nama teknologi pendidikan.<br />Beberapa pihak masih mempertahankan nama teknologi pendidikan. Mereka<br />tetap beranggapan bahw teknologi instruksional sebagai bagian dari teknologi<br />pendidikan. Istilah teknologi pendidikan digunakan agar bidang garapan<br />menjadi lebih luas (AECT 1977, dan Saettler, 1990). Pendidikan sebenarnya bisa<br />diterjemahkan sebagai upaya penyelenggaraan kegiatan belajar di berbagai<br />lingkungan, termasuk di rumah, sekolah, di kantor, atau di mana saja selama<br />masih memungkinkan terjadi. Instruksional bisa dikonotasikan hanya proses<br />belajar di lingkungan sekolah.<br />Perdebatan kedua belah pihak mengenai kedua istilah memiliki alasan cukup<br />kuat. Modul ini – sama seperti menurut Seels & Richey – menganggap kedua<br />istilah setara dan dapat digunakan timbal balik.<br />(4) “Peta” penggunaan kedua istilah.<br />James D.Finn – perintis teknologi pendidikan – menggunakan kedua istilah<br />tersebut secara bergantian dan tertukar, selama hampir 30 tahun. Istlilah<br />teknologi pendidikan banyak dijumpai di negara Inggris dan Kanada, sedangkan<br />para pakar di AS lebih senang menggunakan istilah teknologi instruksional.<br />IKIP-IKIP di Indonesia menamai jurusannya dengan jurusan Kurikulum dan<br />Teknologi Pendidikan. Istilah teknologi pendidikan dan teknologi instruksional<br />terlihat digunakan kedua-duanya dalam menamai matakuliah yang ditawarkan.<br />1.2.3 Rumusan menurut Pakar-pakar lain<br />1. Konsep teknologi instruksional / pendidikan menurut Molenda, Gagne, Anglin,<br />Ely & Plomp.<br />2. Istilah mengenai sistemik dan interaksi.<br />Di bawah ini adalah penjabaran 4 konsep dasar teknologi pendidikan dan<br />teknologi instruksional dari narasumberber berbeda.<br /> Michael Molenda<br />Menyela diantara kekosongan selama 17 tahun, Molenda (1989) mencoba<br />merumuskan teknologi instruksional sebagai “seni sekaligus ilmu<br />(pengetahuan) mengenai kegiatan merancang, memproduksi dan<br />melaksanakannya dengan cara ekonomis namun anggun / canggih, pemecahan<br />masalah instruksional – dalam bentuk media cetak atau media pandang-dengar,<br />kuliah, atau keseluruhan sistem instruksional – yang mengatur dan<br />mempersiapkan proses belajar dengan efisien dan efektif. Molenda menekankan<br />perpaduan antara unsur seni sekaligus ilmiah dalam menyelenggarakan proses<br />belajar dengan cara berhemat tetapi tidak mengesampingkan mutu hasil belajar.<br /> Robert M Gagne<br />Bagi Gagne, “teknologi instruksional menyangkut tehnik praktis dari<br />penyampaian instruksional yang melibatkan penggunaan media. Tujuan utama<br />bidang teknologi instruksional adalah meningkatkan dan memperkenalkan<br />penerapan pengetahuan tadi dan memvalidasikan prosedur dalam rancangan<br />dan penyempaian instruksional”. Gagne menginginkan upaya pengolahan<br />materi belajar menjadi prioritas agar interaksi belajar terjadi. Interaksi belajar<br />timbul karena si belajar sedang menyerap materi dan menginterpretasikannya<br />sendiri – menulis kembali satu alinea, atau mengingat rumus – bisa pula terjadi<br />antara si belajar dengan orang lain, misalnya guru, temannya, atau narasumber<br />lain.<br /> Gary J Anglin<br />Anglin, 1995 mengamati struktur dan prosedur kerja seluruh komponen yang<br />teruji dan rapi ternyata lebih penting. Ia mengatakan, “teknologi instruksional<br />adalah penerapan sistemik dan sistematis (diuraikan pada Kegiatan Belajar 2,<br />modul ini) dari strategi-strategi dan tehnik-tehnik yang berasal dari ilmu<br />perilaku serta ilmu lain untuk mengatasi masalah instruksional”.<br />Pernyataannya menegaskan bahwa konsep teknologi instruksional menerapkan<br />atau “meminjam” bidang lain dalam menciptakan proses belajar kondusif.<br /> Tjeerd Plomp & Donald P Ely<br />Plomp & Ely berbeda lagi. Dengan merujuk pada konsep Finn, mereka<br />mengungkapkan dua aspek pokok dalam teknologi instruksional. Kedua aspek<br />tersebut yakni :<br />(1) teknologi instruksional mengacu pada proses belajar dan<br />(2) pengembangan produk merupakan materi belajar yang telah diuji dan<br />direvisi secara sistematis.<br />Dengan mengkaji dan mencermati berbagai rumusan teknologi pendidikan<br />sekaligus teknologi instruksional, unsur-unsur termasuk bidang ini yaitu :<br /> proses belajar<br /> penciptaan kondisi belajar yang teruji<br /> penyediaan produk belajar dan sistem penyampaiannya<br /> penyediaan sumber-sumber belajar lainnya.<br /><br />1.3. Issues dan Istilah-istilah sehubungan dengan Teknologi<br />Pendidikan / Instruksional.<br />1.3.1. Istilah<br />Teknologi Pendidikan sebagai suatu teknologi.<br />Teknologi pendidikan / instruksional sebagai suatu teknologi telah memenuhi<br />persyaratan, diantaranya :<br /> ilmiah, yaitu teknologi pendidikan telah teruji melalui serangkaian penelitian<br />/ pengembangan teori<br /> terbuka, berarti teknologi pendidikan dapat diubah, disesuaikan dengan<br />situasi belajar-mengajar<br /> inovatif, adalah penyesuaian terhadap masukan bidang lain agar tetap<br />berhasil dalam proses belajar<br /> sistemik, yaitu alur berpikir yang menekankan keterhubungan antar<br />komponen serta pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan belajar.<br /> “technology phobia vs technology fever” (fobi teknologi vs demam teknologi) :<br />seringkali ada orang yang “takut” (terkena aliran listrik) atau ragu-ragu<br />untuk menggunakan teknologi karena kemungkinan teknologi tadi terlihat<br />rumit dan tidak akrab – namun terkadang ada orang yang “sangat”<br />menyukai teknologi sehingga sangat tergantung akan keberadaan teknologi.<br />Istilah sehubungan dengan teknologi pendidikan<br /> teknologi dalam pendidikan : produk teknologi yang dimanfaatkan oleh<br />dunia pendidikan, misalnya video dapat dimanfaatkan bukan hanya untuk<br />hiburan di rumah, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk proses belajar.<br />Berbagai produk teknologi lain yang dimanfaatkan untuk kepentingan<br />belajar termasuk dalam penerapan teknologi pendidikan.<br /><br /> teknologi untuk pendidikan : teknologi yang sengaja diciptakn untuk<br />pendidikan. Konsep belajar terprogram (programmed learning) memuat<br />langkah belajar teratur dan rinci, termasuk suatu model teknologi yang<br />sengaja diciptakan untuk kemudahan proses belajar.<br /> teknologi kinerja atau performance technology, yaitu upaya penerapan<br />konsep teknologi instruksional terutama berkaitan dengan proses belajarnya.<br />Orientasi teknologi kinerja adalah penciptaan kondisi belajar yang sesuai<br />dengan lingkungan kerja suatu lembaga.<br />1.3.2 Issues<br />Dengan menyandang kata teknologi, ternyata teknologi pendidikan<br />menyandang prasangka-prasangka tertentu yang perlu ditelaah lebih mendalam.<br />Dugaan tersebut berkaitan dengan aspek<br /> perangkat keras : sebagaimana dijelaskan pada awal uraian mengenai<br />teknologi yang biasa dikenal orang, yaitu sebagai mesin (proyektor, mobil)<br />secara khusus dalam pendidikan karena ada penggunaan media dan<br />komputer dalam proses belajar<br /> komputer : yaitu hanya salah satu teknologi saja tetapi sulit untuk<br />menghapus anggapan orang mengenai hal ini<br /> dehumanisasi : dengan menggunakan media, sering timbul anggapan<br />bahwa kehadiran guru tidak diperlukan lagi, sehingga interaksi manusia<br />jauh lebih berkurang<br /> mahal : berkaitan dengan “harga” atau biaya yang disediakan untuk media.<br />Jadi, teknologi kinerja dapat dianggap sebagai suatu subbidang relatif baru<br />dari teknologi instruksional dalam dunia industri dan bisnis. Kondisi dan<br />proses belajar perlu ditinjau dalam rangka memenuhi kebutuhan lembaga<br />serta upaya untuk meningkatkan kinerja para pegawainya. Dengan kata<br />lain, teknologi kinerja merupakan terobosan suatu lembaga terhadap<br />pengembangan sumberdaya manusia.<br /><br />Latihan 2<br />A. Lengkapi skema di bawa ini sebagaimana uraian kedua rumusan dari<br />orgasasi profesi teknologi pendidian tertua sebagaimana yang telah<br />dipelajari !<br />Aspek Definisi AECT 1977 Definisi AECT 1994<br />1. Rumusan<br />konsep.<br />2. Bunyi<br />definisi<br />3. Pandangan<br />4. Perumusnya<br />B. Sebutkan satu ciri khas dari setiap rumusan yang berasal dari Molenda,<br />Gagne, dan Ely & Plomp.<br />1. Molenda :<br />2. Gagne :<br />3. Ely & Plomp :<br /><br />Catatan : (untuk diisi oleh mahasiswa sendiri).<br />Rangkuman :<br />1. Teknologi terbagi atas teknologi perangkat keras dan<br />teknologi perangkat lunak.<br />2. Sifat teknologi yaitu berupa kajian ilmiah, dapat<br />dimanfaatkan oleh manusia, dan bermanfaat bagi manusia.<br />3. Teknologi pendidikan dirumuskan dengan berbagai versi,<br />baik oleh para pakar maupun oleh organisasi profesi.<br />4. Penggunaan istilah teknologi pendidikan yang mencakup<br />teknologi instruksional berlandaskan atas beberapa alasan<br />logis. Namun usaha untuk mempertahankan nama teknologi<br />pendidikan pun begitu pula. Para pakar memiliki alasan yang<br />kuat.<br /><br />Tes Formatif 1.<br />A. Jelaskan dengan singkat !<br />1. Konsep teknologi menurut Heinich, Molenda, dan Russell.<br />2. Pemikiran Shihab tentang “robotisasi dapat mengancam tenaga kerja”.<br />3. Perbedaan konsep teknologi instruksional yang dirumuskan oleh Gagne dan<br />Anglin.<br />4. Perbedaan konsep teknologi pendidikan dari AECT, 1977 dan AECT, 1994<br />(rumusan Seels dan Richey).<br />B. Berilah tanda (X) pada jawaban yang dianggap benar.<br />1. Konsep teknologi maju, teknologi adaptif, dan teknologi protektif<br />dirumuskan oleh :<br />a. Shihab<br />b. Heinich<br />c. Djojohadikusumo<br />d. Saettler<br />2. Teknologi lunak, seperti yang disebutkan oleh Heinich, et al, misalnya :<br />a. proyektor<br />b. rumusan atau konsep<br />c. kerajinan tangan<br />d. pesawat terbang<br />3. Pola terapan teknologi pendidikan menurut Percival dan Ellington adalah :<br />a. sistemik<br />b. pendekatan sistem<br />c. proses berulang dan pendekatan sistem<br />d. proses belajar<br />4. Pemisahan konsep teknologi pendidikan dan teknologi instruksional<br />dirumuskan tahun :<br />a. 1977<br />b. 1972<br /><br />c. 1984<br />d. 1994<br />5. Gagne menekankan penerapan teknologi instruksional pada :<br />a. media<br />b. proses belajar<br />c. sistem<br />d. produk<br />6. Pakar yang beranggapan bahwa teknologi instruksional sebagai seni<br />sekaligus ilmu yaitu :<br />a. Saettler<br />b. Molenda<br />c. Shihab<br />d. Heinich<br />Tindak lanjut<br />1. Cocokanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban yang telah disediakan.<br />2. Bila jawaban Anda seluruhnya menghasilkan > 70%, Anda dianjurkan untuk<br />mengkajiulang seluruh kegiatan belajar 1 ini.<br />3. Bila jawaban Anda menghasilkan berada pada rentang 71% - 85%, kajiulang<br />penggalan kegiatan belajar 1 ini yang dianggap sulit.<br />4. Jika hasil tes formatif Anda menunjukkan hasil < 85%, Anda langsung<br />melanjutkan ke kegiatan belajar 2.<br />5. Anda disarankan untuk bertemu dengan tutor dan membentuk tim belajar<br />agar dapat mendiskusikan kesulitan belajar bersama-sama.<br />Kegiatan Belajar 1 selesai !<br /><br />Kunci Jawaban Kegiatan Belajar 1<br />Latihan 1<br />Latihan 2<br />Tes Formatif 1<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Kegiatan Belajar 3<br />Visi Teknologi Pendidikan<br />3.1. Visi Akademik<br />Teknologi pendidikan dapat dipandang dari berbagai sisi. Cara pandang<br />tersebut melandasi langkah gerak teknologi pendidikan dalam dunia<br />pendidikan. Teknologi pendidikan dapat dipandang sebagai suatu disiplin<br />ilmu, bidang garapan, dan profesi. Masing-masing sudut pandang memiliki<br />syarat-syarat tersendiri; dan teknologi pendidikan sudah memenuhi seluruh<br />persyaratan ditinjau dari ketiga visi tadi.<br />Peningkatan teknologi pendidikan sebagai ilmu dan profesi ditentukan oleh<br />kawasan dan bidang garapan. Teori berfungsi sebagai pemandu jalur arah<br />perkembangan teknologi pendidikan agar benar. Bidang garapan<br />mengembangkan, menerapkan, membuktikan, dan memperbaiki teori<br />berdasarkan masukan dari lapangan.<br />3.1.1. Teknologi pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu.<br />Teknologi pendidikan yaitu sekumpulan teori dan kajian atas gejala berdasarkan<br />dukungan data. Teori atau kajian tadi disusun sebagai suatu pernyataan yang<br />digunakan sebagai acuan untuk waktu yang akan dating.<br /> Rumusan ‘ilmu’<br />Sebagai suatu disiplin ilmu, teknologi pendidikan diasumsikan terdiri atas teoriteori<br />dan hasil kajiannya. Teori ditemukan karena adanya dukungan data,<br />disusun, dan diusulkan sebagai penjelasan atas gejala-gejala yang ada; atau<br />teori terjadi karena ada pernyataan yang diperkokoh secara mendalam<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />berdasarkan fakta. Karakteristik teori bisa terdiri atas timbulnya gejala, dapat<br />dijelaskan, dapat diringkas, dapat disistematisasikan, atau menghasilkan<br />strategi.<br /> Sifat ‘ilmu’ teknologi pendidikan<br />Teknologi pendidikan dipandang sebagai suatu ilmu terapan. Disiplin ini<br />menggunakan teori atau disiplin ilmu lain yang dikajiulang dan<br />dipertimbangkan sumbangannya bagi kemajuan teknologi pendidikan. Ciri<br />suatu terapan diwakili dengan pengamatan gejala di lingkungan sekitar yang<br />dikaitkan dengan teori ilmu lain. Hasil pengamatan tersebut berbentuk rumusan<br />atau bagian pekerjaan yang dapat diselenggarakan oleh para praktisi. Di bagian<br />awal telah disinggung pola berpikir dan filosofi teknologi pendidikan yang<br />dipinjam dari bidang (ilmu) komunikasi, teori belajar, manajemen, dan<br />sebagainya.<br /> Peran ilmu teknologi pendidikan<br />Jika teknologi pendidikan terdiri atas teori-teori dan hasil kajiannya, maka<br />teknologi pendidikan dapat diasumsikan sebaga suatu kerangka berpikir yang<br />melandasi aspek penerapannya. Teori dan hasil kajian menentukan batas-batas<br />gerak teknologi pendidikan. Batas gerak dianggap sebagai suatu kawasan.<br />Dengan adanya kawasan, maka teknologi pendidikan dapat merancang pola<br />kegiatan yang tercakup di dalamnya.<br />3.1.2. Teknologi Pendidikan sebagai suatu bidang garapan.<br />Bidang garapan adalah kerangka kerja untuk memandu kegiatan di lapangan. Teknologi<br />pendidikan secara operasional memiliki lembaga resmi yang dijadikan acuan untuk<br />seluruh kegiatan dalam lingkup pekerjaan teknologi pendidikan.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Tadi disebutkan bahwa bidang garapan diyakini sebagai (bagian) pekerjaan atau<br />kerangka kerja. Para praktisi menerapkannya sebagai acuan kegiatan terpadu<br />bersama teori (konsep) dan kajiannya di lapangan. Dengan rumusan tersebut<br />setiap orang yang terlibat di dalam dunia teknologi pendidikan akan<br />menganggap bidang garapan sebagai pola kegiatan penciptaan lapangan kerja.<br />Bidang garapan merupakan pencerminan keahlian, dan pengetahuan terapan.<br />Berdasarkan hasil lapangan, temuan dimanfaatkan untuk menemukan konsep<br />terapan baru.<br /> Syarat suatu bidang garapan<br />Sebagai suatu bidang garapan, teknologi pendidikan harus memenuhi beberapa<br />persyaratan. Persyaratan tersebut diantaranya adalah memiliki tehnik<br />intelektual, pendekatan praktis dan operasional, dan menghasilkan produk<br />tertentu atau suatu yang berwujud. Tehnik intelektual tersedia karena teknologi<br />pendidikan memiliki teori serta kajian ilmiah lain; sedang pendekatan praktis<br />dan operasional terbentuk karena teori atau kajian ilmiah tadi merumuskan<br />prosedur kerja sistematis yang dapat dilaksanakan oleh para praktisi.<br />Teknologi pendidikan juga menghasilkan kerja jasa, misalnya layanan<br />konsultan atau guru; selain jasa, teknologi pendidikan menghasilkan produk,<br />termasuk di dalamnya berbagai format media instruksional. Kawasan<br />merupakan landasan pembinaan bidang garapan dan terapan. Teori-teori dan<br />kajian ilmiah tadi memandu arah kerja bidang garapan dari teknologi<br />pendidikan.<br />Salah satu ciri yang menonjol dari teknologi pendidikan sebagai bidang garapan<br />adalah memiliki ciri khusus atau unik. Teknologi pendidikan berbeda dari yang<br />lain, walau mengacu pada teknologi tapi garapan teknologi selalu dikaitkan<br />dengan dunia pendidikan. Ciri ini tidak dimiliki oleh bidang garapan lain.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br /> Skema bidang garapan<br />Seperti telah disinggung sebelumnya, bidang garapan mencakup “lahan”<br />pekerjaan yang dapat dilakukan dan termasuk dalam lingkup teknologi<br />pendidikan. Menurut AECT (1994) bidang garapan teknologi pendidikan<br />mencakup seperti skema di bawah ini.<br />Skema bidang garapan teknologi pendidikan menurut AECT 1994 (Seels & Richey)<br /> Pengembangan bidang garapan di Indonesia<br />Di Indonesia, teknologi pendidikan secara resmi dibentuk dalam suatu lembaga<br />yaitu Pusat Teknologi Komunikasi di bawah naungan Badan Penelitian dan<br />Pengembangan (BALITBANG) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan<br />dengan Keppers no. 27/tahun 1978. Pada departemen yang sama, dibawah<br />Profesional/<br />Praktisi<br />Teknologi<br />Pendidikan<br />Kesehatan<br />Sekolah<br />Bisnis dan<br />Industri<br />Rumah Ibadah<br />(Gereja)/Rumah<br />/Masyarakat<br />Pemerintahan<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Indonesia mendirikan Universitas<br />Terbuka tahun 1984. Perguruan tinggi ini memiliki cirri khas, yaitu menerapkan<br />konsep belajar mandiri dengan materi belajar cetak (modul) serta programprogram<br />media audio dan audiovisual (video).<br />3.1.3. Teknologi Pendidikan sebagai suatu Profesi.<br />Jenjang pendidikan formal untuk teknologi pendidikan yaitu S1, S2 dan S3. Teknologi<br />pendidikan sering mengadakan pelatihan, seminar, dan pertemuan ilmiah lain di dalam<br />dan di luar negeri. Teknologi pendidikan memiliki organisasi profesi di Indonesia, yaitu<br />Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) dan aneka organisasi profesi di<br />luar negeri.<br /> Ciri suatu profesi<br />Profesi, seperti dirumuskan dalam The American Heritage School Dictionary (hal.<br />702, 1972) adalah suatu pekerjaan sehari-hari yang membutuhkan pendidikan<br />dan keahlian tertentu. Profesi juga dianggap sebagai sekumpulan orang yang<br />memiliki kualifikasi tertentu untuk mengerjakan suatu tugas, misalnya profesi<br />keguruan.<br />Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh teknologi pendidikan sebagai<br />suatu profesi yaitu :<br />(1). Tersedianya pendidikan dan pelatihan,<br />(2). Berdirinya organisasi profesi,<br />(3). Tersedianya bidang garapan, dan<br />(4). Memiliki norma penerapan dan kode etik.<br /> Pendidikan dan Keahlian<br />Layaknya suatu profesi, teknologi pendidikan pada prinsipnya memiliki pola<br />pendidikan dan pembinaan keahlian atau pelatihan tertentu. Jenjang<br />pendidikan formal ini ditempuh melalui program S1 di seluruh IKIP di<br />Indonesia. Program S2 dan S3 dibuka di beberapa program Pascasarjana di<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />IKIP-IKIP tertentu. Program S1 dipersiapkan untuk menghasilkan tenaga<br />setingkat dengan (para) praktisi. Program S2 menghasilkan tenaga spesialis<br />dengan pendalaman keahlian di salah satu subbidang teknologi pendidikan.<br />Program S3 mempersiapkan lulusan untuk menjadi peneliti atau genaralis. Di<br />negara-negara industri / maju, program teknologi pendidikan diselenggarakan<br />hanya pada program pascasarjana saja.<br />Perkiraan Bidang Garapan yang selama ini digeluti oleh<br />Alumni /Praktisi Teknologi Pendidikan di Indonesia<br />(perhatikan pula lampiran 1: Struktur Tugas Alumni / Praktisi Teknologi Pendidikan<br />di Indonesia)<br />Menurut AECT, jenjang keahlian yang tersedia pada teknologi pendidikan<br />meliputi :<br />- jenjang dasar (I), diasumsikan berijazah S1<br />- jenjang menengah (II), berijazah S2<br />Alumni/Praktisi<br />Teknologi<br />Pendidikan<br />Pemerintahan<br />Sekolah<br />Stasiun TV<br />Swasta<br />Perusahaan<br />Swasta<br />Lain-lain<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />- jenjang lanjutan (III), berijazah S3.<br />AECT merumuskan profesionalisme seperti berikut ini :<br />- generalis<br />- spesialis<br />- aide<br />- teknisi<br />Selain pendidikan formal, teknologi pendidikan sering menyelenggarakan<br />kegiatan nonformal seperti pelatihan jangka pendek atau pertemuan ilmiah<br />lain di berbagai lembaga pemerintahan dan swasta. Sebagai contoh, organisasi<br />AECT biasa menyelenggarakan konvensi internasional setiap tahun. Selama 4<br />tahun terakhir, PUSTEKKOM Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja<br />sama dengan Indonesia Distance Learning Network (IDLN) serta SEAMOLEC di<br />Indonesia menyelenggarakan simposium internasional berkaitan dengan<br />penerapan belajar jarak jauh dan topik inovatif di bidang teknologi<br />pendidikan.<br /> Organisasi Keprofesian<br />Sebagai suatu profesi, teknologi pendidikan telah memiliki wadah<br />keorganisasian. Organisasi profesi memungkinkan para ahli, ilmuwan, dan<br />praktisi berdiskusi sebagai upaya untuk mengembangkan keahlian, keilmuan,<br />dan penelitian sehingga profesi bisa berkembang pesat dan sesuai dengan<br />tuntutan zaman.<br />Beberapa organisasi di luar negeri, diantaranya :<br />(1). Association for Educational Communication and Technology (AECT),<br />berkedudukan di Washington, DC, USA.<br />(2). American Society for Training and Development (ASTD), berkedudukan di<br />Alexandria, VA, USA.<br />(3). Association for Educational Training and Technology (AETT),<br />berkedudukan di London, England.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />(4). Association for Media and Technology in Education in Canada,<br />berkedudukan di Etibicoke, Ontario, Canada.<br />(5). Australian Society for Educational Technology (ASET), berkedudukan di Bel<br />Connen, ACT, Australia.<br />(6). International Council of Educational Media (ICEM), terletak di Paris, France.<br />(7). Japan Audio-Visual Education Association (JAEVA), terletak di Tokyo,<br />Japan.<br />Di Indonesia, para pakar dan praktisi teknologi pendidikan sudah membentuk<br />organisasi profesi. Organisasi tersebut Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan<br />Indonesia (IPTPI) didirikan pada tahun 1987, dan berpusat di Jakarta. Pada<br />tahun 1992 sebagai hasil Kongres IPTPI di Malang, disepakati bahwa organisasi<br />ini membuka cabang di berbagai daerah.<br /> Media komunikasi untuk profesi.<br />Disamping wadah organisasi keprofesian, profesi teknologi pendidikan<br />mempunyai media komunikasi ilmiah sebagai saluran untuk menyampaikan<br />gagasan dan hasil kajian ilmiahnya. Media komunikasi tersebut berbentuk<br />majalah ilmiah popular, jurnal penelitian, atau publikasi lain. Berikut beberapa<br />media komunikasi tadi :<br />(1). TechTrends; dan Educational Technology and Development yang diterbitkan<br />oleh AECT.<br />(2). Training and Development Journal, diterbitkan oleh ADTD.<br />(3). Programmed Learning & Educational Technology; Educational Training and<br />Technology International, keduanya diterbitkan oleh AETT.<br />(4). Canadian Journal of Educational Communication, diterbitkan oleh<br />Association for Media and Technology in Canada.<br />(5). Autralian Journal of Educational Technology, diterbitkan oleh ASET.<br />(6). Educational Media International, diterbitkan oleh ICEM.<br />(7). AVE in Japan, diterbitkan oleh AVE.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Tidak seperti di negara-negara lain, di Indonesia media komunikasi para praktisi<br />dan pakar tidak diterbitkan oleh organisasi profesi. PUSTEKKOM Departemen<br />Pendidikan dan Kebudayaan adalah lembaga resmi yang menerbitkan majalah<br />ilmiah yang diberi nama sama dengan lembaga tersebut. Majalah Teknologi<br />Pendidikan menyajikan tulisan-tulisan penyelenggaraan profesi di berbagai<br />bidang, dan bersifat ilmiah, popular, serta inovatif. Setiap individu yang<br />berkecimpung dalam dunia pendidikan dapat mengirimkan tulisannya kepada<br />redaksi majalah tersebut.<br />3.1.4. Landasan Hukum Teknologi Pendidikan di Indonesia.<br />Keberadaan teknologi pendidikan di Indonesia diraih secara bertahap. Tahuntahun<br />terakhir usaha para ilmuwan serta praktisi teknologi pendidikan<br />membuahkan hasil. Landasan hokum tersebut meliputi :<br /> Lama<br />Sebagai tenaga pendidik, pencantuman profesi teknologi pendidikan termasuk<br />dalam kelompok tenaga pendidik dari berbagai bidang ilmu pendidikan, seperti<br />peneliti, pengelola, dan pengembang pendidikan. Uraian ini tercantum dalam<br />UU Sistem Pendidikan Nasional no2/1989, bab VII, pasal 27, ayat 1 dan 2; serta<br />PP no. 38 tahun 1992, bab 2, pasal 2, dan pasal 3, ayat 1 dan 2.<br /> Baru<br />Seiring dengan pergantian era pemerintahan, landasan hokum mengenai<br />teknologi pendidikan berkaitan dengan lulusan serta bidang pekerjaannya<br />menjadi lebih mantap lagi. Ketetapan MPR RI no. II/MPR/1998 tentang GBHN.<br />Dalam Tap MPR, bab IV, point 11f dan 11g ini tercantum teknologi pendidikan<br />baik mengenai lulusannya sebagai tenaga pendidik maupun bidang profesinya.<br />Berikut kutipan aslinya :<br />11f., “ Pendidikan, pengadaan, dan pembinaan guru serta tenaga kependidikan lainnya,<br />terus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada semua jalur, jenis,<br />dan jenjang pendidikan di seluruh tanah air …..”.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />11g., “Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan, media pengajaran,<br />teknologi pendidikan serta penulisan, penerjemahan dan pengadaan buku pelajaran,<br />buku bacaan, buku ilmu pengetahuan dan teknologi perlu ditingkatkan, dikembangkan,<br />dan disebarluaskan secara merata dan bertanggung jawab dengan harga yang terjangkau<br />oleh seluruh lapisan masuyarakat …………”.<br />Secara tidak langsung, Tap MPR RI no. XVII/MPR/1998 tentang HAM, bab III<br />(Hak Mengembangkan diri), pasal 4, dan bab V (Hak Kemerdekaan), pasal 15,<br />menaungi seluruh kegiatan pendidikan dan pengajaran serta ilmu dan bidang<br />terkait dengan dunia pendidikan. Berikut kutipan langsung bab III, pasal 4, dan<br />bab V, pasal 15 tersebut.<br />“Setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih saying untuk pengembangan<br />pribadinya, memperoleh dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas<br />hidup”.<br />“Setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran”.<br />Latihan 5<br />1. Sebutkan tiga visi akademik teknologi pendidikan !<br />a.<br />b.<br />c.<br />2. Jelaskan perbedaan antara bidang garapan dan profesi !<br />a. bidang garapan adalah<br />b. profesi adalah<br />3. Sebutkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh teknologi pendidikan<br />sebagai suatu profesi !<br />4. Sebutkan 3 organisasi teknologi pendidikan di luar negeri berikut<br />publikasinya.<br />a. organisasi …………………………………, publikasi :<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />b. organisasi …………………………………, publikasi :<br />c. organisasi …………………………………, publikasi :<br />5. a. Apa nama majalah ilmiah profesi di Indonesia ?<br />b. Lembaga apa yang menerbitkan majalah tersebut ?<br />3.2. Kode Etik<br />Pada the American Heritage School Dictionary (1972) diuraikan beberapa makna<br />etika. Kamus ini menganggap bahwa etika adalah bagian dari falsafah<br />mengenai norma atau aturan yang membahas perilaku benar dan salah. Selain<br />itu, etika berarti juga pembakuan norma yang berlaku untuk suatu profesi.<br />Dengan demikian, kode etik mengatur perilaku keprofesian dari setiap<br />individu. Dan individu itu harus mematuhinya selama dia berada dalam<br />lingkup profesi tadi.<br />Secara umum, teknologi pendidikan terikat oleh norma atau kode etik akademik<br />sebagaimana ilmu-ilmu lain. Kode etik mengatur perilaku semua pihak yang<br />terlibat di dalam disiplin ilmu dan profesi teknologi pendidikan. Sebagai<br />contoh, menghormati karya orang lain, tidak melakukan plagiat, dan tidak<br />melakukan pembajakan terhadap karya orang lain perlu diperhatikan oleh<br />seluruh anggota ikatan profesi. Contoh lain, seorang peneliti bidang teknologi<br />pendidikan tidak hanya terikat dengan kode etik keteknologi pendidikanan saja,<br />melainkan ia juga perlu mematuhi aturan penyelenggaraan penelitian umum<br />yang berlaku bagi seluruh bidang atau disiplin ilmu lain.<br /> Kode Etik Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan1<br />Davies, pernah mengkaitkan teknologi dengan etika dalam tulisannya yang<br />disunting oleh Ely & Plomp, 1996. Ia mengemukakan bahwa konsep teknologi<br />1 Kutipan sesuai aslinya.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />pendidikan tidak selalu mengacu sebagai peralatan atau perangkat lunak,<br />melainkan bisa merefleksikan moral manusia. Unsur moral berada dibalik<br />pemanfaatan teknologi dalam hidup sehari-hari. Usaha ‘memunculkan’ moral,<br />mau tidak mau akhirnya mengingatkan manusia kepada etika, yaitu norma yang<br />harus dipatuhi dalam melaksanakan keilmuan dan profesi.<br />Teknologi pendidikan telah merumuskan norma yang berlaku dalam bidang ini.<br />IPTPI berhasil merumuska satu kode etik untuk profesi teknologi pendidikan.<br />Berikut materi kode etik tersebut.<br />Kode Etik<br />Ikatan Teknologi Pendidikan<br />Indonesia<br />Mukadimah<br />Pada hakekatnya teknologi pendidikan serta kegiatan-kegiatannya adalah untuk<br />mengatasi masalah belajar pada manusia dengan menggunakan teknologi sebagai proses<br />maupun produk.<br />Profesi teknologi pendidikan bertekad mengemban dan melaksanakan Pancasila, yang<br />terdapat pada alinea 4 (empat) Pembukaan UUD 1945, khususnya agar tiap warga<br />negara mendapatkan pengajaran. Teknologi pendidikan berniat dan bersikap agar<br />pribadi mendapat kesempatan berkembang seoptimal mungkin melalui pendidikan<br />dengan mengembangkan dan menggunakan teknologi selaras dengan kondisi<br />lingkungan dan tujuan pembangunan, agar tecapai masyarakat yang dinamik dan<br />harmonis.<br />Agar niat dan sikap itu dapat direalisasikan dengan sebaik-baiknya, maka mereka yang<br />berprofesi teknologi pendidikan dan tergabung dalam ikatan profesi, menyepakati suatu<br />prinsip etik sebagai pegangan perorangan maupun pegangan bersama dalam membina<br />kegiatan profesi.<br />Bab I<br />Kewenangan dan Kewajiban<br />1. Mengamalkan keakhlian dan ketrampilan dalam bidang teknologi pendidikan sesuai<br />dengan criteria keahlian yang dituntut untuk itu.<br />2. Mengembangkan konsep, prinsip dan prosedur dalam bidang profesi sesuai dengan<br />perkembangan ilmu, teknologi dan masyarakat.<br />3. Melaksanakan fungsi pengembangan dan pengelolaan sumber belajar untuk<br />kepentingan pembelajaran.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />4. Memelihara dan mempertahankan martabat dan norma etik keahliannya.<br />5. Melaksanakan profesinya sesuai dengan etika dan nilai-nilai yang berlaku dalam<br />masyarakat, bangsa dan negara.<br />Bab II<br />Tanggung jawab kepada perorangan<br />Para anggota memenuhi tanggung jawabnya kepada perorangan dengan ketentuan :<br />1. Menjaga kerahasiaan informasi pribadi peserta didik dalam melaksanakan tugasnya.<br />2. Menjamin agar setiap pribadi peserta didik memperoleh kesempatan yang sama<br />dalam pembelajaran.<br />Bab III<br />Tanggung jawab kepada masyarakat<br />Para anggota melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dengan ketentuan :<br />1. Mengamalkan profesinya secara jujur dan wajar untuk kepentingan sesama,<br />masyarakat, bangsa dan negara.<br />2. Secara jujur mewakili lembaga tempatnya berkarya dan / atau organisasi tempatnya<br />bekerja, dengan mengutamakan kepentingan lembaga / organisasi daripada<br />kepentingan pribadi.<br />3. Menyatakan secara jujur dan obyektif fakta yang berhubungan dengan masalah<br />pendidikan dan teknologi kepada masyarakat langsung, maupun tidak langsung.<br />4. Tidak menyalahgunakan kedudukannya dalam organisasi untuk kepentingan<br />pribadi.<br />5. Tidak menerima hadiah atau keuntungan yang dapat mempengaruhi atau dapat<br />diduga mempengaruhi pertimbangan profesionalnya, dan tidak menjanjikan<br />kemudahan, pelayanan khusus, atau sesuatu yang bernilai untuk memperoleh<br />keuntungan pribadi.<br />Bab IV<br />Tanggung jawab kepada Rekan Seprofesi<br />Para anggota melaksanakan tanggung jawabnya kepada rekan seprofesi, dengan<br />ketentuan :<br />1. Saling memelihara hubungan antar anggota seprofesi.<br />2. Saling menghargai dan menghormati hak, martabat dan pendapat rekan seprofesi.<br />3. Saling membantu usaha peningkatan keahlian rekan seprofesi.<br />4. Saling mengingatkan dan menasehati dengan penuh kebijaksanaan, demi kebenaran,<br />kepentingan kepribadian, profesi dan masyarakat.<br />5. Saling menghargai dan bekerjasama dengan rekan seprofesi lain untuk kepentingan<br />umum.<br />Bab V<br />Tanggung jawab kepada Organisasi dan Profesi<br />Para anggota melaksanakan tanggung jawabnya kepada organisasi dan profesi dengan<br />ketentuan :<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />1. Menjadikan ikatan profesi teknologi pendidikan sebagai forum komunikasi dan<br />kerjasama untuk meningkatkan kemampuan pengabdiannya.<br />2. Wajib memberikan sumbangan tenaga, pikiran, waktu dan dana untuk kepentingan<br />pengembangan organisasi dan profesi.<br />3. Menghindarkan diri dari sikap, perbuatan dan ucapan yang merugikan organisasi<br />dan profesi.<br />4. Melakukan tindak profesinya menurut jalur dan ketentuan waktu yang berlaku.<br />5. Melimpahkan tugas profesi hanya kepada orang-orang yang memenuhi syarat,<br />kompetensi professional, yaitu orang yang terdidik, terlatih, dan trampil yang<br />menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan tugas teknologi pendidikan.<br />6. Bersedia memberikan pertimbangan profesi bilamana diminta oleh lembaga<br />tempatnya berkarya, atau oleh organisasi lain.<br />7. Berusaha mengembangkan citra profesi teknologi pendidikan dengan berpartisipasi<br />aktif dan kreatif dalam kegiatan di bidang teknologi pendidikan dan yang berkaitan<br />dengannya.<br />8. Selalu berusaha mengembangkan dan meningkatkan kemampuan profesionalnya<br />dalam bidang teknologi pendidikan.<br />Bab VI<br />Lain-lain<br />1. Setiap anggota bertanggung jawab untuk melaksanakan dan menjunjung tinggi kode<br />etik ini dengan sebaik-baiknya.<br />2. Setiap penyimpangan dari kode etik ini dapat dikenakan sanksi organisasi.<br />3. Jika diperlukan, kode etik masih akan disempurnakan.<br />4. Hal-hal yang belum tercakup akan diatur kemudian.<br /> Kode Etik AECT2<br />Kode Etik AECT<br />Mukadimah<br />1. Dengan kode etik berikut, dianggap dan dijadikan sebagai prinsip-prinsip etika;<br />prinsip-prinsip ini digunakan untuk memandu para anggota profesi baik secara<br />individu maupun secara kelompok dalam menerapkan dan memperkokoh sikap dan<br />perilaku profesi, dengan cara professional.<br />2. Komisi Etika Profesi akan menyusun dokumentasi pendapat (bersifat interpretative<br />atau penjabarannya dengan mendalam) berkaitan dengan pernyataan etik khusus<br />tersusun mulai dari sini.<br />3. Pendapat-pendapat yang dihasilkan / dirumuskan sebagai jawaban atas kasus<br />khusus sebelum (terbentuknya) Komisi Etika Profesi.<br />4. Uraian atau penjelasan prinsip etika dapat dihasilkan oleh Komisi ini sebagai<br />jawaban atas (terhadap) permohonan anggota.<br />2 Diterjemahkan oleh penulis dari buku Seels & Richey, 1994.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Seksi 1<br />Tanggung jawab dan Kewajiban terhadap individu (anggota)<br />Dalam memenuhi kewajiban terhadap setiap individu, para anggota :<br />1. Selalu mendorong aksi mandiri bagi upaya individu untuk belajar dan menciptakan<br />berbagai kemudahan belajar atas berbagai pendapat.<br />2. Selalu melindungi dan menghormati hak individu atas kemudahan rujukan atau<br />materi dari berbagai pendapat.<br />3. Selalu menjamin masing-masing individu kesempatan untuk berperan serta dalam<br />program-program yang sesuai.<br />4. Selalu melaksanakan kegiatan secara professional, sebagaimana upaya untuk<br />melindungi kepentingan pribadi individu dan menjaga integritas pribadi.<br />5. Selalu mengikuti prosedur atau langkah kerja secara professional untuk evaluasi dan<br />pemilihan rujukan / materi dan perangkat keras.<br />6. Selalu menyusun dan melaksanakan usaha pragmatis untuk melindungi individu<br />dari situasi merusak menuju situasi sehat dan aman.<br />7. Selalu memasarkan / memperkenalkan terapan canggih dan terbaru dalam<br />penggunaan teknologi.<br />8. Selalu dalam rancangan dan pemilihan dari suatu program kependidikan atau media<br />mencari upaya untuk menghindari isis yang memperkokoh atau meningkatkan<br />/memperkenalkan model (stereotype) perbedaan jenis kelamin, etnik, atau suku<br />tertentu, ras, atau keagamaan. Selalu mencari / mengupayakan untuk mendorong<br />pengembangan program dan media yang menekankan keragaman dari masyarakat<br />(kita) sebagai suatu lingkungan /komunitas multibudaya.<br />Seksi 2<br />Tanggung jawab dan Kewajiban terhada Masyarakat<br />Dalam melaksanakan kewajibannya terhadap masyarakat, para anggota :<br />1. Selalu, dengan jujur, mewakili lembaga atau organisasi dimana orang tersebut<br />terdaftar, dan selalu siap melaksanakan tindakan pencegahan untuk membedakan<br />kepentingan pribadi, dengan kepentingan lembaga atau (pandangan) organisasi.<br />2. Selalu, secara tepat dan cepat, mewakili atau menyampaikan fakta menyangkut<br />kepentingan atau masalah kependidikan kepada publik, baik secara langsung<br />maupun tidak langsung.<br />3. Tidak akan memanfaatkan situasi kelembagaan atau sikap ikatan profesi untuk<br />keuntungan pribadi.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />4. Tidak akan menerima berbagai bentuk ucapan atau ungkapan terima kasih dalam<br />bentuk apapun juga, seperti bingkisan, hadiah, yang dapat melumpuhkan atau<br />menyimpang dalam menentukan pertimbangan keprofesian, atau memperoleh<br />kepentingan atau keuntungan tertentu.<br />5. Selalu melaksanakan terapan secara adil dan sama dengan siapapun juga dalam<br />memberikan jasa atas / terhadap profesi.<br />Seksi 3<br />Tanggung jawab dan kewajiban terhadap Profesi<br />Dalam memenuhi kewajibannya terhadap profesi, anggota :<br />1. Selalu menyesuaikan dan memperlakukan sama terhadap semua anggota profesi<br />sehubungan dengan hak professional dan tanggung jawab.<br />2. Tidak pernah memanfaatkan cara coersive untuk memperkenalkan perlakuan<br />khusus untuk mempengaruhi keputusan professional atas rekanan.<br />3. Selalu menghidari eksploitatif profesi secara komersial atas keanggotaan individu<br />yang tergabung dalam organisasi profesi.<br />4. Selalu memperjuangkan upaya peningkatan keahlian dan pengetahuan dan<br />menyebarkannya kepada rekan seprofesi demi kemajuan profesi itu sendiri.<br />5. Selalu memperlihatkan dan berlaku jujur sesuai persyaratan profesi, serta<br />memperhatikan rekan profesi.<br />3.3. Kawasan Teknologi Pendidikan menurut Davies, 1978.<br />Teknologi pendidikan berdasarkan pendekatan perangkat keras, perangkat lunak,<br />perpaduan perangkat keras dan perangkat lunak.<br />Pembahasan kawasan teknologi pendidikan mencakup konsep-konsep para ahli<br />yang dianggap menonjol dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan<br />teknologi pendidikan secara umum. Diluar organisasi profesi AECT, Davies<br />merumuskan teknologi pendidikan sesuai dengan gejala pendidikan yang Beliau<br />amati. Pembahasan Davies dirangkum dari kumpulan tulisan klasik yang<br />disunting oleh Ely dan Plomp, 1995 pada halaman 19 – 21.<br />Davies merumuskan tiga pendekatan sehubungan dengan bidang garapan atau<br />kawasan teknologi pendidikan. Rumusan Davies tersebut meliputi pendekatan<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />perangkat keras (hardware), pendekatan perangkat lunak (software) dan<br />perpaduan kedua pendekatan tadi. Berikut uraiannya.<br /> Pendekatan Perangkat Keras<br />Pendekatan ini mengusahakan kegiatan guru yaitu mengajar dengan<br />memanfaatkan penggunaan perangkat keras. Penggunaan perangkat keras<br />dimaksudkan agar terjadi otomatisasi atau proses mekanistik dalam kegiatan<br />(belajar) mengajar. Perangkat keras dimanfaatkan untuk menyampaikan dan<br />menyebarkan materi belajar, mereproduksi materi, dan seterusnya. Selain itu,<br />adanya pemanfaatan perangkat keras, dalam hal ini, penggunaan berbagai<br />bentuk media massa seperti TV atau kaset audio, ditargetkan untuk menampung<br />siswa dalam jumlah yang lebih besar dari biasa, dengan tidak mengurangi<br />efisiensi proses belajar. Semua upaya harus tetap mengacu pada efektifitas<br />pembiayaan, terutama pembiayaan yang berasal dari siswa.<br /> Pendekatan Perangkat Lunak<br />Pada tahap ini, teknologi pendidikan “meminjam” teori dari ilmu perilaku yang<br />diterapkan untuk mengatasi kesulitan belajar. Teori lain yang diterapkan ialah<br />teori instruksional. Teori ini membahas cara-cara memperbaiki, memperbaharui,<br />atau merancang situasi yang betul-betul dibutuhkan oleh siswa. Penggunaan<br />perangkat keras, mesin- mesin, atau yang bersifat meknistik sangat terbatas,<br />berfungsi hanya sebagai bagian dari penyajian materi oleh guru.<br /> Pendekatan Perpaduan perangkat keras dan perangkat lunak.<br />Pendekatan ini menolak model teapan pengembangan sistematik sebagai satusatunya<br />penyelesaian masalah secara sistemik. Pendekatan perpaduan<br />menerapkan konsep sistem analisis dalam pendidikan dan kegiatan<br />instruksional. Penerapan sistem analisis dianggap mampu mengurangi bias<br />terhadap individu siswa sehingga siswa dapat berperan dalam kelompoknya<br />dengan dinamis. Selain alasan tadi, pendekatan perpaduan dianggap lebih<br />manusiawi serta integratif (terpadu) dengan kondisi belajar-mengajar seharihari.<br />Kerangka pendekatan berada pada lingkup sistem (system boundary)<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />dengan mencermati seluruh factor yang mempengaruhi proses belajar-mengajar<br />(PBM). Faktor tersebut diantaranya siswa (motivasi belajar serta kemampuan<br />akademik), guru, lingkungan sekolah, materi atau kurikulum, serta tujuan<br />belajar.<br />Latihan 7<br />1. Sebutkan 3 pendekatan teknologi pendididkan yang dirumuskan oleh<br />Davies!<br />a.<br />b.<br />c.<br />2. Sebutkan dua disiplin yang mempengaruhi pendekatan perangkat lunak !<br />a.<br />b.<br />3. Sebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PBM !<br />3.4. Kawasan menurut Association for Educational Communication<br />and Technology (AECT).<br />Skema kawasan yang dirumuskan AECT (1977 dan 1994) melekat satu sama lain.<br />Visualisasi kawasan dan bidang garapan menjadi satu, namun mencerminkan<br />keduanya. Perbedaannya terletak pada cara pandang terhadap konsep kawasan<br />terpisah dari konsep bidang garapan. Dengan demikian, kawasan dibahas<br />seiring dengan penjabaran bidang garapan.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />3.4.1. Kawasan AECT 1977<br />Teknologi pendidikan, teknologi instruksional, sumber belajar, komponen bidang garapan<br />: rancangan, pengembangan, evaluasi, sumber belajar, peserta didik.<br />Satu ciri khas dari bidang garapan yang dirumuskan oleh Tim Khusus AECT<br />tahun 1977 adalah penekanan model kawasan pada usaha mengabsahkan<br />pekerjaan yang menonjolkan “lahan” yang dapat digarap oleh para praktisi<br />teknologi pendidikan. Sebagaimana biasanya, proses belajar menjadi faktor<br />utama dalam proses belajar dan proses pendidikan. Seperti telah disebutkan<br />sebelumnya, teknologi pendidikan dirumuskan sebagai cakupan yang lebih luas<br />dibandingkan dengan teknologi instruksional. Rumusan ini mengacu pada<br />konsep bahwa proses instruksional menjadi bagian proses pendidikan.<br />(lihat : skema di halaman berikut).<br />3.4.2. Kawasan Teknologi Instruksional tahun 1994 (ditulis oleh Seels<br />dan Richey)<br />Istilah mengenai teori dan penelitian, bidang garapan rancangan, pengembangan,<br />evaluasi.<br />Rumusan kawasan tahun 1994 ini tidak membedakan konsep teknologi<br />pendidikan dan teknologi instruksional, begitu pula dengan definisinya. Seels<br />dan Richey berorientasi kepada teori dan terapan dari teknologi instruksional.<br />Beberapa alasan untuk rumusan ini yaitu :<br />1. Teknologi instruksional dianggap lebih operasional dibandingkan dengan<br />teknologi pendidikan.<br />2. Teknologi instruksional dianggap lebih operasional dibandingkan dengan<br />teknologi pendidikan.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Kawasan Teknologi Pendidikan (AECT, 1977).<br />Kawasan Teknologi Instruksional (AECT, 1977)<br />Fungsi<br />Pengelolaan<br />Kependidik<br />an<br />Pengelolaan<br />Organisasi<br />Pengelolaan<br />Pegawai<br />Fungsi<br />Pengem<br />bangan<br />Kependidik<br />an<br />Teori dan<br />Penelitian<br />Produksi<br />Evaluasi<br />Pemilihan<br />Logistik<br />Pemanfaatan<br />(pemanfaatan<br />/penyebaran)<br />Sumbersumber<br />belajar<br />Pesan<br />Orang<br />Materi<br />Peralatan<br />Tehnik<br />Setting<br />(pengaturan/<br />latar)<br />Peserta<br />didik<br />(Siswa)<br />Fungsi<br />Pengelolaan<br />Instruksional<br />Pengelolaan<br />Organisasi<br />Pengelolaan<br />Pegawai<br />Fungsi<br />Pengem<br />bangan<br />Instruksional<br />Teori dan<br />Penelitian<br />Produksi<br />Evaluasi<br />Pemilihan<br />Logistik<br />Pemanfaatan<br />(pemanfaatan<br />/penyebaran)<br />Komponen<br />Sistem<br />Instruksional<br />Pesan<br />Orang<br />Materi<br />Peralatan<br />Tehnik<br />Setting<br />(pengaturan/<br />latar)<br />Peserta<br />didik<br />Siswa<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />3. Teknologi instruksional dianggap lebih operasional dibandingkan dengan<br />teknologi pendidikan.<br />4. Pembahasan masalah dalam teknologi instruksional dianggap sama dengan<br />pembahasan masalah teknologi pendidikan.<br />5. Dukungan teori terhadap kegiatan instruksional sangat lebih memadai.<br />Banyak pakar teknologi pendidikan menulis dan mengajukan teori mereka<br />untuk kegiatan instruksional atau terkait dengan kegiatan instruksional dan<br />proses belajar.<br />Berikut penjabaran lebih lanjut mengenai bidang garapan teknologi pendidikan.<br /> Rancangan<br />Subkawasan rancangan berkaitan dengan upaya penyusunan spesifikasi kondisi<br />belajar. Kawasan rancangan merupakan hasil penerapan teori dan konsep sebagai<br />suatu perencanaan lingkungan belajar yang baik. Arus perkembangan<br />subkawasan rancangan dipengaruhi oleh disiplin ilmu komunikasi, psikologi,<br />atau teori belajar. Akhir-akhir ini, teori belajar dan produk teknologi terbaru<br />mewarnai subkawasan rancangan.<br /> Pengembangan<br />Subkawasan pengembangan merupakan proses menterjemahkan atau<br />mewujudkan subkawasan rancangan ke dalam bentuk fisik. Teknologi cetak,<br />audiovisual, teknologi berbasis komputer serta komputer terpadu mendominasi<br />pekerjaan subkawasan ini.<br /> Pemanfaatan<br />Pemanfaatan media yaitu penggunaan media instruksional dan sumber-sumber<br />belajar secara sistematis untuk belajar. Difusi/Inovasi yaitu proses<br />mengkomunikasikan ide belajar dan pendidikan serta usaha untuk<br />menyelenggarakan proses sosialisasi dan strategi dari ide tadi. Pelembagaan<br />adalah pemanfaatan media oleh suatu lembaga (belajar dan pendidikan) secara<br />rutin.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Kawasan Teknologi Instruksional dari AECT, 1994.<br />(sebagaimana ditulis Seels dan Richey)<br /> Pengelolaan<br />Subkawasan pengelolaan menyangkut pemantauan teknologi pendidikan<br />melalui perencanaan, pengaturan, koordinasi, dan pengawasan secara terpadu.<br />Subkawasan pengelolaan berlandaskan konsep pengelolaan proyek, pengelolaan<br />sumber dan narasumber, pengelolaan sistem penyampaian, serta pengelolaan<br />informasi.<br />Teori/<br />Terapan<br />Pengembangan<br />Teknologi Cetak<br />Teknologi Audiovisual<br />Teknologi berbasis<br />kKomputer<br />Teknologi<br />terpadu<br />Pemanfaatan<br />Pemanfaatan<br />media<br />Penyebaran<br />inovasi<br />Implementasi &<br />Pelembagaan<br />Kebijakan dan<br />peraturan<br />Pengelolaan<br />Pengelolaan Proyek<br />Pengelolaan Sumber<br />Pengelolaan Sistem<br />penyampaian<br />Pengelolaan<br />informasi<br />Evaluasi<br />Analisis Masalah<br />Pengukuran acuan<br />patokan<br />Evaluasi Formatif<br />Evaluasi Sumatif<br />Rancangan<br />Rancangan sistem<br />Instruksional<br />Rancangan pesan<br />Strategi<br />instruksional<br />Karakteristik<br />peserta didik<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br /> Evaluasi<br />Subkawasan evaluasi menggarap proses yang menentukan ketepatan<br />instruksional dan belajar dengan melaksanakan analisis terhadap seluruh<br />komponen instruksional. Evaluasi dilakukan atas pekerjaan berjangka waktu<br />singkat atau sementara (proyek), berkaitan dengan kurikulum dan belajar seharihari<br />(proses), serta factor fisik dari kurikulum (produk). Subkawasan evaluasi<br />membutuhkan konsep analisis masalah, pengukuran criteria, evaluasi formatif,<br />dan evalusi sumatif.<br />Latihan 7<br />1. Apa perbedaan utama bidang garapan yang diajukan oleh AECT tahun 1977<br />dengan rumusan terbaru sebagaimana ditulis oleh Sees dan Richey, 1994 ?<br />2. Apa sebabnya rumusan AECT 1977 memisahkan bidang garapan teknologi<br />pendidikan dengan bidang garapan teknologi instruksional ?<br />3. Sebutkan komponen bidang garapan versi tahun 1994.<br />4. Sebutkan komponen sistem instruksional sebagaimana tercantum pada versi<br />1977.<br />Catatan (diisi sendiri oleh mahasiswa) :<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Rangkuman<br /> Teknologi pendidikan adalah ilmu (terapan), bidang garapan, dan<br />profesi.<br /> Teknologi pendidikan memiliki jenjang pendidikan formal, yaitu S1 s/d<br />S3.<br /> Teknologi pendidikan memiliki program-program pelatihan yang dapat<br />dirancang sesuai dengan kebutuhan individu, kelompok, dan lembaga.<br /> Teknologi pendidikan memiliki norma dan kode etik yang harus dipatuhi<br />oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.<br /> Menurut Davies, teknologi pendidikan terbagi atas tiga pendekatan,<br />yakni perangkat keras, perangkat lunak, dan perpaduan konsep<br />perangkat keras dan lunak.<br /> Menurut AECT (1977), teknologi pendidikan terbagi dua, yaitu teknologi<br />pendidikan dan teknologi instruksional. Teknologi instruksional<br />merupakan bagian dari teknologi pendidikan.<br /> Menurut Seels & Richey (1994), konsep terbaru dan terpadu adalah<br />teknologi instruksional yang mengacu pada teori dan terapan.<br />Tes Formatif 3<br />A. Tulislah huruf B di depan pernyataan jika pernyataan tersebut menurut Anda benar,<br />atau S jika salah.<br />….. 1. Visi akademik teknologi pendidikan mencakup ilmu, bidang garapan,<br />dan kode etik.<br />….. 2. Sebagai ilmu, teknologi pendidikan memiliki teori dan hasil kajiannya.<br />….. 3. Gejala yang disistematisasikan dapat dirangkai dan dikaji sebagai teori.<br />….. 4. Teknologi pendidikan adalah ilmu murni.<br />….. 5. Lingkup gerak praktisi disebut kerangka berpikir.<br />….. 6. Kode etik teknologi pendidikan mengatur perilaku para professional dari<br />seluruh bidang kependidikanl.<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />….. 7. Menjadi plagiator sama sekali tidak boleh dilanggar oleh profesi apapun.<br />….. 8. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi adalah : setiap anggota<br />organisasi profesi memiliki kewajiban untuk mengamalkan bidangnya<br />kepada masyarakat.<br />…... 9. Perangkat keras, perangkat lunak, dan kombinasi keduanya adalah<br />konsep kawasan yang diajukan oleh Davies.<br />….. 10. AECT tahun 1977 mengajukan teknologi instruksional sebagai bagian<br />dari teknologi pendidikan.<br />B. Lingkari atau silang, huruf di muka pilihan jawaban yang telah disediakan yang<br />Anda anggap benar.<br />1. Teknologi pendidikan seringkali ‘meminjam’ teori atau rumus ilmu lain,<br />misalnya :<br />a. manajemen b. komunikasi c. teori belajar d. semuanya.<br />2. Salah satu syarat suatu bidang garapan adalah : a. ada rumus b. prosedur<br />kerja yang sistematis c. memiliki para ahli d. menghasilkan produk.<br />3. Teknologi instruksional secara exclusive dipromisikan melalui : a. definisi<br />1977 b. definisi 1994 c. definisi Molenda d. definisi dari Davies.<br />4. Salah satu persyaratan sebagai suatu profesi adalah : a. memiliki<br />persyaratan jenjang pendidikan b. memiliki buku teks c. ada<br />pembagian bidang keahlian d. tersedianya jurnal.<br />5. Salah satu organisasi profesi di Jepang adalah : a. AECT b. ASET c.<br />JAEVA d. ASTD.<br />C. Isilah !<br />1. Subkawasan ………………. , dari definisi tahun 1994,merupakan proses<br />menterjemahkan subkawasan rancangan ke dalam bentuk fisik atau produk<br />tertentu teknologi pendidikan.<br />2. Sedangkan pemanfaatan sumber-sumber belajar dan media instruksional<br />diatur oleh subkawasan ……………….<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />3. Pada definisi AECT tahun 1977, kawasan teknologi instruksional<br />mencantumkan komponen sistem instruksional, sedangkan pada kawasan<br />teknologi pendidikan, subkawasannya disebut …………………………<br />4. Salah satu aspek yang dilakukan subkawasan evaluasi, yaitu yang<br />melaksanakan keterhubungan antar komponen secara mendalam, kaitannya<br />satu sama lain adalah aspek …………………<br />5. Pekerjaan yang berjangka waktu panjang, menyangkut pelaksanaan proses<br />belajar sehari-hari disebut …………………….<br />D. Sebutkan landasan hukum teknologi pendidikan yang Anda ketahui !<br />Tindak lanjut<br />1. Jika rentang keberhasilan Anda (melalui latihan dan tes formatif), mulai<br />proses belajar 1 sampai dengan proses belajar 3 ini berada pada kisaran 80% -<br />100%, “Selamat”, Anda telah menguasai seluruh materi modul ini. Ikuti<br />kegiatan tatapmuka dan diskusi tim di kelas dengan sebaik-baiknya.<br />2. Jika rentang keberhasilan Anda, berada pada 69% - 79%, maka Anda<br />sebaiknya mengulang proses belajar tertentu yang Anda anggap sulit.<br />Cobalah berdiskusi dengan pengajar dan tim Anda.<br />3. Jika Anda berada pada rentang 60% - 68%, maka Anda dianjurkan segera<br />bergabung dengan tim Anda untuk bekerjasama membahas materi dan juga<br />diskusikan kesulitan Anda dengan pengajar.<br />4. Jika keberhasilan Anda > dari 60%, Anda sebaiknya bertemu langsung<br />dengan pengajar untuk mengkajiulang modul ini.<br />Proses belajar 3 selesai<br />Modultp-DSP\home-modulkb3rev.doc<br />Proses belajar 3 selesai<br />Kunci Jawaban<br />Proses belajar 3Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-73825915432778625752010-11-22T23:31:00.000-08:002010-11-22T23:35:50.847-08:00Pengantar Teknologi Pendidikan (2)Makalah Mk. Pengantar Teknologi Pendidikan (2)<br />Dewi Salma Prawiradilaga<br />Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan<br />Fakultas Ilmu Pendidikan<br />IKIP Jakarta<br />1999<br /> Tulisan ini merupakan makalah lanjutan yang digunakan sebagai<br />bahan bacaan untuk matakuliah Pengantar Teknologi Pendidikan.<br />Walaupun para mahasiswa<br />jurusan Kurikulum dan<br />Teknologi Pendidikan tidak disiapkan untuk menjadi guru, namun mereka harus mengetahui suka duka dan situasi belajar mengajar yang terjadi di sekolah atau di mana saja.<br />Dengan mengacu pada pendapat ini maka, bagian akhir makalah membahas hal tersebut<br />secara sederhana. Namun, sebelumnya, agar mahasiswa mampu menganalisis proses belajar mengajar dengan sebaik-baiknya, maka mereka memerlukanlandasan berpikir yang stabil dan menjadi ciri khas dari seseorang yang mendalami bidang teknologi pendidikan. Berpikir sistemik dan berlandaskan system dibahas pada bagian awal makalah ini. Dengan demikian, mahasiswa sudah dipersiapkan sebelumnya bagaimana mengamati kejadian sehari-hari di kelas, bagaimana proses belajar bisa terjadi dalam diri seseorang dan bagaimana lingkungan belajar yang sehat harus dipersiapkan.<br />Dengan makalah ini, diharapkan bacaan dasar di bidang teknologi pendidikan sementara dapat diatasi. Tentu saja masukan dari pembaca sangat bermanfaat bagi perbaikan yang akan dilaksanakan nanti. Selamat belajar !<br />DSP/1999.<br /> <br /> Pengertian<br />Teknologi pendidikan memandang proses belajar sebagai suatu peristiwa<br />internal. Proses belajar disebut internal karena terjadi dalam diri siswa. Sejauh<br />ini sudah banyak sekali teori belajar yang dirumuskan oleh para pakar dengan<br />berbagai pendekatan ilmu. Proses belajar dapat ditinjau dari berbagai disiplin<br />ilmu. Sebagai contoh, psikolog beranggapan bahwa proses belajar sebagai suatu<br />proses kognitif, sedangkan pakar komunikasi beranggapan bahwa proses belajar<br />adalah suatu pemrosesan informasi dalam diri seseorang.<br />Teknologi pendidikan mengadaptasikan konsep pendekatan sistem sebagai<br />kerangka berpikir. Tatakerja pendekatan sistem menelaah masalah pendidikan<br />atau belajar dari berbagai sudut pandang hingga menghasilkan beberapa<br />alternatif. Penyelesaian masalah dipilih dari alternatif tadi. Pendekatan sistem<br />juga memandu pola berpikir penyelesaian masalah dengan efisiensi.<br />Banyak sekali faktor yang dapat menghambat atau mendukung terjadinya<br />proses belajar. Upaya teknologi pendidikan bersifat kongkrit, yaitu penciptaan<br />atau rancangan lingkungan belajar, atau sering disebut faktor eksternal belajar.<br />Rancangan kegiatan instruksional beserta guru adalah lingkungan belajar yang<br />biasa ditemui sehari-hari dan dianggap berpengaruh banyak terhadap proses<br />belajar.<br />Kedua factor eksternal tersebut akan dibahas sebagai bagian dari<br />Kegiatan Belajar 2 dari modul ini.<br /> Proses Belajar<br />Perhatian teknologi pendidikan terhadap proses belajar dikemukakan oleh<br />Percival dan Ellington, 1984 dalam rumusan konsep orientasi siswa (student-<br />oriented) sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi kesulitan proses belajar-<br />mengajar.<br />Keduanya berpendapat bahwa kebutuhan setiap individu siswa<br /> <br />makalahTP2\DSP.<br />5<br />merupakan bahan pertimbangan terpenting dibandingkan komponen lainnya<br />dalam dunia pendidikan; terutama demi tercapainya tujuan belajar. Berikut<br />rincian proses belajar.<br />a. Definisi Belajar<br />Bagi Kemp & Dayton, 1985, belajar “sebagai suatu proses terjadi pada<br />seseorang sebagai suatu pengalaman.<br />Belajar berlangsung manakala<br />perilaku seseorang dimodifikasi – atau terjadi jika seseorang berpikir atau<br />bertindak berbeda”.<br />pengembangan<br />Heinich, et al, 1993 menganggap belajar sebagai<br />keahlian,<br />atau<br />sikap<br />ketika<br />seseorang<br />pengetahuan,<br />berinteraksi dengan informasi dan lingkungan. Bagi mereka, waktu dan<br />tempat belajar tidak tertentu, belajar bisa terjadi kapan saja. Bagi Ellington<br />& Haris, 1986, proses belajar adalah perubahan perilaku menetap (permanen)<br />akibat pengalaman dan instruksional terarah.<br />b. Peristiwa Belajar<br />(1). Belajar sebagai suatu pemrosesan informasi<br />Gagne, Briggs, dan Wager menjabarkan peristiwa belajar berdasarkan pola<br />pemrosesan informasi seperti berikut ini.<br />Menurut teori pemrosesan informasi, belajar terjadi karena seseorang<br />menerima informasi dari lingkungan.<br />Informasi kemudian diterima<br />seketika melalui memori jangka pendek. Pengendapan dan penyimpanan<br />informasi tadi dilakukan oleh memori jangka panjang.<br />Sebelum<br />diendapkan, informasi tadi diolah dan disesuaikan dengan pola berpikir<br />individu. Untuk optimalisasi proses belajar, diperlukan pemantauan dan<br />harapan sebagai penggerak dan motor bagi kemajuan belajar agar mudah<br />jika informasi tersebut dibutuhkan. Gambar proses belajar dapat dilihat pada<br />halaman berikuti.<br />(2). Model-model kegiatan belajar.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-445126521820095020.post-11241149072793504212010-11-22T23:14:00.000-08:002010-11-22T23:15:07.845-08:00MANEJEMEN MUTU (TQM) di Dunia IndustriPrinsip Total Quality Management, atau yang lebih dikenal dengan TQM adalah prinsip management dalam memaksimalkan kualitas sesuai dengan produknya. Bila bergerak pada bidang jasa, berarti totalitas perusahaan dalam mengedepankan kualitas jasa yang ia berikan. Begitu juga dengan produk barang, dengan produksi barang yang berkualitas, diharapkan perusahaan akan mendapatkan reward yang baik, serta citra yang baik pula, sehingga konsumen dapat menikmati dengan baik apa yang dia harapkan terhadap barang atau jasa tersebut. (brief)<br />Perkembangan dunia industri yang semakin cepat menyebabkan semakin kompleknya aktivitas yang dilakukan oleh manusia, hal ini menuntut para pemimpin perusahaan agar semakin berhati-hati dalam menyusun rencana dan tindakan yang diambil dalam abersaing dengan perusahaan lain untuk memasarkan produknya.<br />Salah satu hal yang perlu diperhatikan perusahaan untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain adalah dengan meningkatkan kualitasnya. Kualitas tidak hanya pada produk yang kita buat tetapi kualitas manajemen perusahaan sangat berarti juga dan menjadi pertimbangan bagi konsumen untuk memesan produk, oleh karena itu cara yang dapat diterapkan adalah aplikasi berbagai prinsip Total Quality Managemen (TQM). Selain adanya penerapan juga mendapatkan sertifikasi internasional mengenai produk yang telah dibuatnya dari badan organisasi ISO. Hal inilah yang sangat diperhatikan dan dicermati oleh para pelanggan selain pelayanan dan produk yang dihasilkan.<br />Pada bagian General Engineering sendiri termasuk bagian yang memproduksi produk-produk umum berdasarkan pesanan konsumen, yang paling banyak berupa pipa gas bertekanan tinggi yaitu Pressure Vessel, produk inilah yang kemudian akan diperiksa kualitas pengerjaannya oleh bagian Quality Assurance apakah sesuai dengan permintaan konsumen atau tidak, dalam proses pengerjaan suatu produk kadang terjadi suatu kesalahan diantaranya salah dalam membaca gambar produk, kesalahan dalam mengelas bagian tertentu pada suatu produk yang mana seharusnya dilas penuh melingkar pada bagian tertentu ternyata tidak dilas penuh yang mengakibatkan kerusakan produk,kesalahan dalam memasukkan laporan pengecekan (check list) suatu produk yang mana mengakibatkan kesalahpahaman antar karyawan. Oleh karena itu pada bagian Quality Assurance jelas mempunyai suatu sistem manajemen yang dapat mengatasi masalah tersebut diatas serta hal-hal lain yang berhubungan dengan internal perusahaan, karena kondisi internal perusahaan yang merupakan awal kesuksesan, sedangkan kriteria-kriteria yang ada pada TQM lebih kepada memanage kondisi atau internal perusahaan terutama pada manajemen puncak bagaimana caranya untuk mengatur dan mengarahkan serta mengoptimalkan manajemen sumber daya agar tujuan organisasi dapat tercapai secara maximal.Zaenhttp://www.blogger.com/profile/06947102416947879691noreply@blogger.com