12/08/2010

KEINOVATIVAN ORGANISASI

LANDASAN TEORITIK TENTANG PONDOK PESATREN
A. Konsep Administrasi Pendidikan

Dilihat dari sisi pengertiannya, administrasi pendidikan memiliki arti yang
cukup luas, walaupun hal ini berbeda dalam menggaris bawahi perbedaan yang
muncul di kalangan para ahli tentang perbedaan antara administrasi dan
manajemen, terutama dilihat dari ruang lingkupnya, dan hal ini dipengaruhi pula
oleh perbedaan paham antara ahli manajemen dan ahli administrasi.

Administrasi pendidikan merupakan perpaduan dari dua suku kata, yakni
“administrasi” dan “pendidikan”, adapun pengertian administrasi itu sendiri
memiliki arti; melayani, membantu, mengarahkan, dan hal ini diambil dari “ad”
dan “ministrare”, sehingga administrasi dalam pengertian ini adalah melayani
secara iontensif, adapun dari kata administrare terbentuk kata benda
“administration” dan kata “administravus” yang kemudian masuk ke dalam
bahasa Inggris yakni “administration”(Hadari Nawawi, 1982; 5), selain dikenal
juga dengan “administratie” yang berasal dari bahasa Belanda, namun memiliki
arti yang terlalu sempit, sebab hanya terbatas pada aktivitas ketatausahaan, yaitu
suatu kegiatan dalam penyusunan dan pencatatan keterangan yang diperoleh
secara sistematis, sehingga fungsinya pun berusaha untuk mencatat hal-hal yang
terjadi di dalam organisasi sebagai bahan laporan bagi pemimpin, dengan
demikian, maka administrasi merupakan kegiatan tulis menulis, mengirim, dan
menyimpan keterangan, hal ini berkaitan erat dengan beberapa pengertian para
ahli, diantaranya;

a. Engkoswara, mengartikan bahwa administrasi pendidikan adalah ilmu
yang mempelajari penataan sumber daya manusia, yaitu kurikulum, dan
fasilitas untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal dan pencapaian
suasana yang baik bagi manusia dalam mencapai tujuan pendidikan,
sehingga unsur utama yang dikembangkan adalah efektifitas, efisiensi, dan
produktivitas dalam proses.
b. Ngalim Purwanto, mengartikan administrasi pendidikan ialah segenap
proses pengarahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personal,
spiritual, dan material yang berhubungan dengan pencapaian tujuan
pendidikan, sehingga unsur utama yang dikembangkan adalahg integritas,
pengorganisasian, dan koordinasi.
c. Hadari Nawawi, mengartikan administrasi pendidikan ialah rangkaian
kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah
orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang
diselenggarakan dalam lingkungan tertentu, terutama dalam lembaga
pendidikan formal, (hadari Nawawi, 1982; 11).


Mengacu kepada pengertian diatas, maka penulis cenderung menggaris
bawahi pengertian administrasi sebagai suatu usaha dalam mengembangkan
sumber daya, baik sumber daya manusia ataupun sumber daya lain yang berfungsi
dalam pencapaian tujuan tertentu dari suatu organisasi, sehingga dengan
demikian, maka pengertian administrasi pendidikan merupakan suatu penataan
sumber daya manusia guna meningkatkan dan menggali sumber daya lainnya
dalam rangka pencapaian tujuan suatu lembaga pendidikan.



Dari pengertian yang luas tersebut, maka berdampak bagi perluasan makna
administrasi itu sendiri, artinya bukan hanya menyangkut suatu masalah
organisasi pendidikan semata, melainkan dapat pula pengertiannya serta
pengaflikasiannya bagi lembaga lain seperti pesantren, sehingga dalam lingkup
seperti ini, maka pesantren dalam penataannya dapat menggunakan istilah ilmu
administrasi yang berkewenangan untuk mengembangkan manajemen modern,
sehingga dalam pencapaian tujuan pesantren baik dari segi proses ataupun hasil
senantiasa dapat mempertimbangkan fungsi efektifitas, efisiensi dan juga
produktivitas.

B. Kajian Atas Definisi Pondok Pesantren

Kata pondok senantiasa dihubungkan dengan kata pesantren, hal ini
mengandung suatu pengertian bahwa diantara kedua kata tersebut memiliki arti
yang erat kaitannya antara yang satu dengan lainnya terutama berkaitan dengan
sebutan atas nama dan tempat, bahkan ketika disebut salah satu kata pondok
mungkin konotasi orang akan menyebutnya dengan sebuah penginapan, tetapi
ketika orang akan menyebutnya dengan sebuah penginapan, tetapi ketika orang
menyebutnya dengan sebutan pesantren, maka di dalamnya orang akan
memberikan suatu tanggapan dan suatu kepastian bahwa ada pondokan di
dalamnya, dan terdapat suatu model pengajaran yang menggali nilai-nilai
rohaniah dan nilai-nilai ilahiah, yang lebih kongkrit lagi mengarah kepada nilai-
nilai religus (Islam).

Kata pesantren sebenarnya merupakan kata jadian yang berasal dari dua
suku kata, yang kata dasarnya adalah santri dan kata ini mendapat sisipan berupa



awalan “pe” dan akhiran “an”, yang selanjutnya menjadi “pe-santri-an” yang
artinya tempat santri yang kini lajim disebut dengan pesantren (Manfred Ziemek,
1986; 16).

Banyak ragam dan corak dalam mengartikan istilah kata santri, dari sekian
banyak hali tata bahasa memberikan suatu ketegasan bahwa asal kata santri
berasal dari bahasa Tamil yang hal ini dapat diartikan sebagai “guru ngaji”
(Zamaksyari Dhofier, 1982; 18), pendapat lain mengatakan bahwa santri itu
sebenarnya berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti “cantrik”, yang memiliki
makna sebagai orang-orang yang tinggal bersama dengan seorang resi dalam
suatu pertapaan tertentu guna memperoleh petunjuk kebahagiaan , yang
selanjutnya pengertian ini menggeser makna dasar kata tersebut yang selanjutnya
menjadi santri, yakni orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu di pondok
pesantren.

Adapun kata pondok ketika dibubuhkan dengan kata pesantren
dimaksudkan guna mendapatkan penjelasan yang kongkrit dan dapat di tangkap
pesannya, dan dalam hal ini kata pondok tersebut ada yang mengatakan berasal
dari bahasa arab punduk yang artinya hotel atau asrama (Zamakhsyari Dhofier,
1982; 16).

Lain halnya dengan pengertian menurut tata bahasa Indonesia itu sendiri
yang cenderung memberikan suatu definisi bahwa pondok adalah rumah untuk
sementara waktu yang dikenal dengan sebutanrumah singgah (Poerwadarminta,
1985; 764), sedangkan Leonardo D Marsam (1983; 207) memberikan suatu
definisi bahwa pondok adalah rumah kecil atau rumah tempat mengaji.



Mengkaji beberapa definisi yang dikemukakan di bagian terdahulu, maka
dalam hal ini Departemen Agama Republik Indonesia memberikan suatu
pengertian tersendiri mengenai arti pondok pesantren, yaitu;

.
Yang dimaksud dengan “pondok pesantren” adalah lembaga pendidikan
dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan
pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem bandongan
dan sorogan), dimana seorang kyai mengajar santri-nya berdasarkan atas
kajian kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-
ulama besar sejak abad pertenghan, sedangkan para santri biasanya tinggal
dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
.
Yang dimasaksud dengan “pesantren” adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran agama Islam yang ada pada dasarnya sama dengan pondok
pesantren tersebut diatas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di
komplek pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa
sekeliling pesantren tersebut (santrik kalong), dimana cara dan methode
pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan,
yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu,
misalnya hari jum’at, minggu dan lain-lainya.
.
Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan lembaga gabungan antara
sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran
agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan dengan para
santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam
istilah modern memenuhi criteria pendidikan formal bentuk madrasah dan




bahkan sekolah umum dalam berbagai bnetuk tingkatan dan aneka
kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing (Marwan
Saridjo, 1983; 9).


Dari beberapa pendapat diatas menunjukan suatu pengertian yang cukup
serius dari kedua kata diatas (pondok pesantren), terdapat dua unsure yang
mendasar dari semua kegiatan yang dikelola di dalamnya, yaitu unsure pendidikan
dan pengajaran agama Islam dengan menggunakan sistem yang dianggap unik,
yaitu kedaulatan penuh dibawah kepemimpinan seorangKyai.

Sistem pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan dalam pondok
pesantren berbeda dengan model pendidikan lainnya, walaupun pada beberapa sisi
memiliki kesamaan, diantara perbedaan-perbedaan tersebut diikat dalam suatu
sistem, dimana masing-masing sistem memiliki keterkaitan yang erat, unsure
terkait didalamnya yaitu; terdiri dari unsure-unsur organic, yaitu para pelaku
pendidikan yang di dalamnya terdiri dari; pimpinan, guru, murid, dan pengurus,
adapun yang dimaksud dengan anorganik yaitu terdiri dari; tujuan, filsafat dan tata
nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar-mengajar,
penerimaan murid dan tenaga kependidikan, teknologi kependidikan, dana,
sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainny adalam mengelola sistem
kependidikan (Mastuhu, 1994; 19), adapun dalam pengertian lain dikembangkan
bahwa yang dimaksud dengan sistem tersebut pesantren dibentuk atas lima faktor,
yaiut; tujuan pendidikan, anak didik, pendidikan, alat pendidikan dan lingkungan
(Abu Ahmadi, 1985; 41), sedangkan yang dikembangkan oleh Marimba (1987;



19) berupa; adanya kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, pendidik, peserta
didik, bimbingan yang dilakukan secara sadar, dan alat yang dipergunakan.

Dari sekian banyak sistem yang ada, maka pada prinsipnya dapat
dikelompokan sebagai berikut:

a. Aktor atau pelaku yang terdiri dari; kyai, ustad, santri, dan pengurus
b. Sarana perangkat keras yang terdiri dari masjid, rumah kyai, rumah dan
asrama ustadz, pondok atau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah,
tanah untuk berolah raga dan sebagainya.
c. Perangkat lunak, yang terdiri atas; tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata
tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi, cara pengajaran, keterampilan,
pusat pengembangan masyarakat, dan alat pendidikan lainnya.


Disamping beberapa mekanisme dan sistem yang dikembangkan dimuka,
maka dikenalkan pula beberapa kajian mengenai sistem pengajaran, dimana
pengajaran tersebut merupakan bagian pokok atas dikembangkannya beberapa
kajian atas pondok pesantren, hal ini dapat digolongkan pada beberapa cara
pengajaran yaitu:

a. Sistem hafalan; yaitu cara belajar ini merupakan landasan utama bagi
santri untuk mengafal beberapa kaidah atau pelajaran yang diberikan.
b. Sistem bandongan, hal ini merupakan sistem belajar pertama yang
dikembangkan oleh kyai, yang selnjutnya biasanya dibentuk ke dalam
kelompok belajar, dan biasanya pengajarannya pun menggunakan bahasa
Arab yang selanjutnya diterjemahkan kedalam bahasa setempat.




c. Sistem sorogan, hal ini merupakan sistem belajar individual, dimana
seorang kyai berhadapan langsung dengan santri, sehingga terjadi
komunikasi dua arah antara santri dengan kyai.
d. Sistem halaqoh, biasanya pada pengajaran model ini dikembangkan
dengan cara diskusi dalam memahami berbagai kitab guan mendapatkan
berbagai kesimpulan atas beberapa permasalahan yang berkembang dalam
diskusi tersebut.


Dalam bahasa yang lain dikembangkan pula sistem pengajaran wetonan,
yaitu sitem pengajaran dengan menggunakan methode kuliah, dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan kitab
kuning dengan cara kuliah, dan santri menyimak kitab masing-masing dan
membuat catatan, istilah wetonan ini berasal dari kata Jawa yang berarti waktu,
dan biasanya pengajar ini dilaksanakan pada hari jum’at, minggu dan hari-hari
lainnya yang dianggap baik.

C. Inovasi dalam Tubuh Pondok Pesantren

Pada sebagian masyarakat tradisional sebernarnya sudah ada
kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan suatu pembaharuan, namun karena
keterbatasan ruang lingkup terutama pengetahuan serta beberapa kesempatan yang
kurang dimiliki oleh masyarakat tradisional, maka perubahan-perubahan tersebut
cenderung lamban bila dibandingkan dengan masyarakat modern, demikian
halnya yang terjadi pada masyarakat pesantren tradisional yang cenderung
dianggap lamban dalam melakukan berbagai inovasi atas kekurangan-kekurangan
yang selama ini membelenggu sistem yang ada.



Masyarakat Islam tradisional di Jawa dianggap statis dan demikian kuat
terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama di abad pertengahan, sebenarnya telah
mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, akan tetapi
perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, bahkan demikian rumit
dan cenderung lebih tersimpan dalam suatu sistem yang menyelimutinya,
sehingga perubahan-perubahan tersebut tidak bisa nampak ke permukaan,
walaupun sebenarnya terjadi di hadapan mata sendiri, kecualai bagi mereka yang
mencermati perubahan-perubahan tersebut secara seksama terutama di kalangan
pemikir-pemikir Islam.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Snouck bahwa sebenarnya Islam
tradisional yang dalam aspek pendidikan mengimplementasikan sistem
pendidikan pesantren ke dalam kegiatan belajar-mengajar hal ini sudah dianggap
terbiasa melakukan perubahan-perubahan.

Adapun penyebab utama dari ketidak terbukaannya sistem perubahan
tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap pesantren memang sangat hati-
hati dalam menentukan pilihan, sehingga selektifitas tersebut banyak pengamat
mengatakan bahwa pesantren telah bersikap sangat tertutup, selektifitas tersebut
sebenarnya dapatlah dimaklumi karena biasanya didasarkan atas beberapa
pertimbangan yang paling utama adalah pertimbangan keagamaan serta komunitas
sosial.

Dari beberapa sikap pesantren yang dmikian tertutup itu dimungkinkan
atas pengaruh jajahan Hindia Belanjda yang telah lama membelenggu, sehingga
akibatnya pesantren telah memilih jalan k0-operatif dengan berbagai pihak



khususnya pada saat itu dengan pihak penjajah, dari kondisi yang demikian itulah
sehingga menyebabkan pesantren lebih selektif dalam melakukan suatu
perubahan.

Akan tetapi perhitungan tahun 1950-an bahwa telah terjadi exodus para
anak didik ke sekolah-sekolah umum (Slamet Efendi, 1983; VXI), kenyataan-
kenyataan seperti ini merupakan akibat langsung dari semakin besarnya pengaruh
lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah dimata
masyarakat.

Exodus anak didik tersebut tentu saja secara tidak langsung dapat
mempengaruhi pesantren pada peradaban berikutnya mengalami suatu kesuraman,
walaupun banyak lagi faktor-faktor lain yang menjadi penyebab, seperti
banyaknya Kyai yang memanfaatkan ajang politik dan birokrat guna sebagai
saluran aktifitas sosial keagamaan, dengan sendirinya, maka pergeseran nilaipun
semakin kian menjadi.

Exodus anak didik juga dapat ditafsirkan sebagai pertanda adanya
pergeseran aspirasi dan tujuan serta tuntutan masyarakat dari orientasi murni
keilmuan dan keagamaan menuju suatu tarap kehidupan yang birokratik dan
menuju orientasi materialistis dan politis.

Pesantren dalam kiprahnya telah memberikan pelajaran-pelajaran agama
Islam tanpa mengharapkan imbalan dan balasan jasa seperti adanya ijajah dan
sejenisnya yang dapat dijadikan alat guna untuk mendapatkan kepastian
pekerjaan, tetapi sebaliknya sekolah-sekolah umum terlalu banyak memberikan
pengharapan yang pasti akan pekerjaan yang akan dinikmati di kemudian hari.



Disamping faktor diatas, pembaharuan dalam tubuh pesantren dipengaruhi
pula oleh faktor ideologis, kebutuhan memperbaiki kualitas dan terakhir
pertimbangan strategis, faktor ideologis dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan
Islam yang senantiasa memberikan pegangan kepada masyarakat untuk berpegang
teguh kepada ajaran agama Islam untuk dijadikan dasar ketika melakukan suatu
hal, ajaran Islam ini secara tegas mentolelir adanya pembaharuan.

Sedangkan faktor strategis merupakan kebutuhan lembaga untuk semakin
memperbaiki diri, dan faktor ini erat kaitannya dengan masalah perjalanan
lembaga pendidikan Islam, yaitu dengan melihat sendiri hasil yang dicapai oleh
tingkat pendidikan dan pengajaran santri kurang maksimal, terutama dalam
pasaran dunia kerja, dan hal ini dapat dilakukan dengan melakukan ko-operatif
dan non-ko-operatif dengan pihak lain yang dapat dijadikan rekan atau mitra
dalam melakukan kerjasama.

Adapun faktor kualitas merupakan suatu tuntutan masa depan pesantren
agar output atau lulusan pesantren agar dianggap semakin mampu untuk bersaing
dengan pasar kerja dan untuk hidup layak di masyarakat.

Pembaharuan ada seringkali diidentikan dengan istilah modernisasi, kata
seperti ini merupakan pengalihan bahasa dari Latin yang diadopsi kedalam bahasa
Indonesia, yaitu asal kata modernus (modo berarti baru saja), atau dalam bahasa
sekarang mutakhir (Foeler, 1973; 778), adapun menurut bahasa Inggris kata
modern diartikan dengan “of the present or recent time” (berkenaan dengan masa
kini), yang dalam hal ini dapat diartikan pula sebagai “a person on think of



modern times and though “ yang berarti manusia, benda atau pemikiran Moslem
(Guralink, 1987; 387).

Adapun kata pembaharuan itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang
berarti tajdid, dengan demikian, maka pembaharuan itu sendiri merupakan
pengertian atas segala sesuatu yang dianggap baru, dan hal ini memang baru
ditemukan dan tidak pernah tersentuh oleh orang lain atau sesuatupun, dalam
pengertian lain tajdid diartikan pula dengan

.
Pengembalian semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman
awal Islam, dan gerakan ini mengorientasikan pada usaha-usaha
pemurnian.
.
Dapat pula diartikan sebagai upaya pengimplementasikan ajaran Islam
sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, dan gerak yang
memperjuangkan ide-ide ini adalah disebut dengan gerakan pembaharuan
atau renewel (Jaenuri, 1995; 41).


Pandangan modernisasi dalam Islam cenderung mengarah kepada salah
satu akibat pada kemajuan yang terjadi di Barat dan ditambah lagi dapat merubah
dasar-dasar keagamaan yang fundamental, kemudian cenderung mengarah kepada
weternisasi yang berakibat pada kehidupan dan paham materialistis (Anshari,
1983; 196).

Pembaharuan dalam tubuh pesantren berarti dapat diartikan secara luas
yaitu terjadi salah satu perubahan pada gerak dan ide yang kesemuanya
merupakan gerak rentetan aksi yang dilancarkan secara sadar guna merumuskan
bahkan membentuk kembali pola dan tatanan yang telah mengalami perubahan-



perubahan, baik yang bersifat revolusioner ataupun yang dialami secara bertahap,
(Bahasoen. 1984; 107).

Mengakar pada permasalahan diatas, maka inovasi dalam tubuh pesantren
dapat diartikan sebagai penataan kembali lembaga pendidikan tersebut melalui
penyempurnaan diberbagai bidang, khusus dalam penelitian ini, maka penulis
lebih cenderung mendekatkan diri pada disiplin ilmu manajemen, dengan
penataan kembali bidang ini, maka kebijakanpun akan semakin berjalan dengan
baik dan kinerja pesantren semakin menggeliat dan tidak hanya dipandang sebelah
mata.

Asumsi diatas membawa kepada suatu titik perhatian bahwa dengan
menajemen kepemimpinan yang professional mendorong pesantren untuk
melakukan kinerjanya dengan baik, bukti pertama untuk kemajuan tersebut
terletak pada unsure dasar Kyai sebagai figure kepemimpinan dalam pesantren
tersebut.

Menitik beratkan figure kepemimpinan Kyai sebaga sosok panutan
masyarakat, maka suatu inovasi yang dilakukan oleh pesantren pun tiak akan
terlepas dari berbagai komponen pendukung lainya, dalam hal ini terutama
keinovatifan pesantren sebagai suatu organisasi sosial.

Beberapa ratus penelitian tentang keinovatifan organisasi telah dibahas
dan bahakan diselesaikan pada decade 1970-an, maka ada salah satu jenis
penelitian difusi yang berbeda dalam organisasi dimulai, yang menitik beratkan
pada proses inovasi di dalam organisasi.



Penelitian keinovatifan organisasi membantu menjelaskan karakteristik
dari organisasi yang inovatif, maka dengan berlandasakan pada paradigma
dibawah ini, akan dapat diukur sampai sejauhmanakah pesantren telah melakukan
berbagai inovasi baik berhubungan dengan manajerial ataupun dengan berbagai
bentuk kebijakan yang digariskan oleh Kyai, organisasi yang lebih besar lebih
inovatif justru ada ketika individu-individu dengan status sosial yang lebih tinggi
sehingga memungkinkan derajat orisinialitas yang jujur terjadi dalam penelitian
keinovatifan organisasi, walaupun methodeologi penelitiannya secara langsung
diambil dari penelitian keinovatifan untuk tingkat individual.

Keinovatifan pesantren sebagai suatu organisasi tidak akan terlepas dari
beberapa variabel bebas, yakni pertama karakteristik individu pemimpin
pesantren, dan kedua karakteristik struktur organisasi interna pesantren, ketiga
karakteristik struktur organisasi eksternal pesantren, disini kita melihat variabel
bebas berhubungan dengan keinovatifan organisasi sebagai variabel terikat,
(mimbar ilmiah X N0 39, 2000; 13), model seperti ini bisa dilihat pada gambar
berikut :

















Gambar: 6

Variabel Pendukung Inovasi Organisasi

Variabel bebas Variabel Terikat

1. Karakteristik Individual
(Pemimpin) Sikap terhadap
perubahan (+)









1. Karakteristik Struktur
Organisasi Internal :

1) Sentralisasi ( - )
2) Kompleksitas ( + )
3) Formalisasi ( - )
4) Saling keterkaitan ( + )
5) Kelenturan organisasi ( + )
6) Ukuran ( + )








Keinovatifan

Organisasi









1. Karakteristik Struktur
Organisasi Eksternal :

Keterbukaan sistem ( + )









Karakteristik struktur organisasi pesantren didasarkan atas beberapa
elemen, diantaranya; sentrelisasi, kompleksitas, formalisasi, saling keterkaitan,
kelenturan organisasi, sentralisasi biasanya ditemukan berhubungan erat secara



negatif dengan keinovatifan, artinya hal ini dapat dilihat bahwa semakin
kekuasaan dipusatkan dalam organisasi, maka ada kecenderungan semakin kurang
inovasi organisasi tersebut, banyak sudah gagasan baru dalam suatu organisasi
dibatasi bila ada sedikit pemimpin kuat yang mendominasi sistem tersebut,
misalnya dalam suatu organisasi yang sentralistis seperti pesantren, pucuk
pimpinan kurang baik dalam mengidentifikasi masalah-masalah pada tingkat
operasional atau mengajurkan inovasi-inovasi yang relevan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan, walaupun permulaan suatu inovasi dalam organisasi
pesantren bisa mendorong penerapan dari inovasi, pertama kali keputusan inovasi
tersebut dibuat.

Disamping sentralisasi kekuasaan sebagai variabel pendorong keinovatifan
organisasi, maka kompleksitas juga merupakan suatu sistem yang tidak dapat
diabaikan, kompleksitas tersbut merupakan derajat dimana anggota-anggota suatu
organisasi memiliki tingkat pengetahuan dan keahlian yang telatif tinggi, biasanya
diukur melalui rentangan jabatan dan keahlian serta derajat profesionalismenya
yang terungkap melalui latihan-latihan resmi, kompleksitas mendorong anggota
organisasi untuk menyusun dan menawarkan inovasi-inovasi, tetapi hal tersebut
bisa mempersulit kesepakatan tentang bagaimana mengaplikasikannya, sehingga
hal ini membutuhkan fomalisasi sebagai bentuk penerapan kebijakan menuju
suatu keinofatifan.

Formalisasi adalah merupakan derajat dimana suatu organisasi
menekankan ketaatan terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur dalam peran
kinerja para anggota organisasi, formalisasi semacam ini berlaku pula untuk



mengalangi pertimbangan inovasi oleh anggota organisasi yang mendorong
penerapan inovasi tersebut, sehingga bagaimanapun suatu model kebijakan yang
dilakukan oleh pemimpin suatu organisasi akan mempengaruhi kinerja para
anggotanya, oleh sebab itu keterkaitan masing-masing anggota organisasi
dibutuhkan dalam pengukuran keinovatifan organisasi.

Saling keterkaitan itu sendiri merupakan derajat dimana unit-unit dalam
suatu sistem sosial dihubungkan oleh jaringan-jaringan interpersonal, gagasan-
gagasan baru dapat saja mengalir secara mudah diantara anggota organisasi jika
organisasi iut sendiri memiliki keterkaitan jatingan yang tinggi, sebab secara
langsung variabel ini akan menghubungkannya dengan keinovatifan organisasi.

Pesantren sebagai sosok organisasi yang memiliki jaringan yang luas
terutama dengan masyarkat, hendaknya memiliki kemudahan dalam
merefleksikan keinovatifannya, namun pada kenyataannya pesantren sebagai
salah satu sosok organisasi yang kaku yang pada satu sisi sering menekankan
kebutuhan dan gagasan yang bahkan masyarakat sendiri kurang memahami akan
bentuk kebijakan tersebut sebab hal ini behubungan langsung dengan sosok dan
figure seorang Kyai yang mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga lajimnya
suatu kebijakan seorang kyai, maka kebijarkan tersebut tidak dapat ditawar lagi
bahkan merupakan keputusan pinal, sehingga pengukuran keinovatifan pesantren
dapat diukur dan di dukung pula oleh kelenturan pesantren itu sendiri.

Kelenturan pesantren sebagai suatu organisasi merupakan derajat dimana
sumber-sumber yang tidak terikat (netral), tersedia di dalam pesantren tersebut,
hal ini dimaksudkan bahwa pesantren sebagai suatu organisasi secara positif



berhubungan dengan keinovatifan organisasi, khususnya untuk inovasi biaya
tinggi, sehningga ukuran keinovatifan biasanya diukur pula oleh ukuran suatu
organiasai secara konsisten, sebab hal ini ditemukan memiliki hubungan yang
positif dengan keinovatifannya, maka dapat dijelaskan bahwa semakin besar
organisasi, maka akan semakin inovatif (Mimbar Ilmiah, 2000, 39).

Mengapa para peneliti secara konsisten menemukan bahwa ukuran
merupakan satu dari predictor yang paling baik dari keinovatifan organisasi ?, hal
ini dilihat bahwa ukuran merupakan suatu variabel mudah untuk diukur, dengan
suatu taraf ketepatan yang relatif tinggi, sehingga ukuran dimasukkan untuk
menjadi salah satu kejian tentang penelitian keinovatifan suatu organisasi, juga
dalam sisi lain bahwa ukurang merupakan suatu wakil dari beberapa dimensi yang
mengantar kepada inovasi organisasi; sumber total sumber yang lamban, keahlian
teknis, dan para anggota organisasi merupakan pendukung berikutnya bagi suatu
inovasi, sisi lain ada variabel yang tidak di identifikasikan ini belum dipahami
secara jelas atau diukur secara tepat dalam kebanyakan penelitian.

Hasil dari beberapa penelitian tentang keinovatifan organisasi menunjukan
korelasi yang agak rendah dari setiap variabel bebas dengan keinovatifan
aoganisasi, hal ini di dasarkan atas satu pertimbangan bahwa setiap variabel
struktur organisasi bisa berhubungan dengan inovasi dalam satu arah selama
permulaan tahap proses inovasi, dan dalam arah yang berlawanan selama
implementasi, sentralisasi yang rendah, kompleksitas yang tinggi dan formalisasi
yang rendah membantu permulaan proses. Suatu inovasi organisasi, akan tetapi



karakteristik structural ini menyelitkan suatu organisasi untuk menerapkan inovasi
tersebut (Zaltman, dkk 1997; 45).

Selain beberapa faktor pendung inovasi seperti diterangkan di atas, berikut
ini ada beberapa faktor pendukung yang berpengaruh terhadap inovasi, terutama
dilihat dari faktor eksternal dan internalnya.

Gambar: 7

Faktor Eksternal dan Internal

Yang Mempengaruhi Inovasi Organisasi



Faktor manusia

(sistem sosial internal)



Sistem

Sosial



Faktor sosial

(sistem sosial eksternal)





Sistem mempengaruhi

Adminstrasi kegiatan

organisasi



Struktur



Sistem

Teknologi



Teknologi



Gambar diatas menunjukan bahwa setiap usaha merencanakan untuk
melakukan suatu perubahan memerlukan persiapan, dan yang bersifat teknik yang
mengelilingi organisasi, sistem sosial ditentukan oleh manusia, yakni sistem sosial
internal dan sistem sosial eksternal individu yang mempengaruhi sistem



kepribadiannya, sedangkan sistem yang bersifat teknik yakni sistem tekhnologi
yang sangat ditentukan oleh struktur dan keberadaan tekhnologi itu sendiri.

Sebagai salah satu contoh inovasi yang dilakukan oleh sistem pendidikan
di Indonesia banyak sekali baik secara mikro maupun makro, seperti dengan
diberlakukannya SKS di pendidikan tinggi yang dimulai pada awal tahun 1982,
sehingga hal ini mengacu kepada teori inovasi pendidikan melalui berbagai
tahapan dan uji coba.

Inovasi sebagai suatu sistem terbuka di dukung pula oleh beberapa
komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, dengan
menentukan pilihan inovasi sebagai suatu analisa atas sistem terbuka dari adanya
perkembangan ilmu pengetahuan, maka hal ini dapat dilakukan melalui analisis
kebutuhan organisasi akan inovasi, proses, dan evaluasi.

1. Analisis Kebutuhan Inovasi Organisasi

Inovasi organisasi dimodifikasi agar sesuai dengan organisasi, selain itu
struktur organisasi dapat diubah untuk mengakomodasi inovasi tersebut, kadang-
kadang suatu unit organisasi baru di buat agar tanggap tehadap inovasi tersebut,
seperti ketika organisasi memasang suatu perangkat tekhnologi baru seperti
komputer, dalam kasus seperti ini inovasi bisa mempengaruhi struktur dari
keseluruhan organisasi, seperti ketika salah satu pesant diterima, maka dengan
sendirinya setiap anggota organisasi memiliki akses komunikasi langsung dengan
sempurna.

Penerapan dari suatu sistem inovasi tekhnologi dalam suatu organisasi
terdiri dari adaptasi bersama inovasi dan organisasi tersebut, khususnya setiap



perubahan selama sub implementasi. Inovasi tidak hanya beradaptasi dengan
penyusunan organisasional dan industrial yang ada, tetapi mereka juga mengubah
struktur dan praktek dari lingkungan tersebut, (Van Den Ven, 1986).

Adaptasi bersama ini harus terjadi karena inovasi apapun hampir tidak
sesuai secara persis dengan organisasi di mana inovasi itu akan digunakan, oleh
sebab itu, maka dalam hal ini diperlukan suatu kreatifitas untuk menghindari,
bahkan mengatasi ketidak sesuaian yang terjadi antara inovasi dengan organisasi.

Tekhnologi sering dianggap sebagai suatu kekuatan eksternal dan objektif
yang dapat mempengaruhi struktur organisasi, suatu pandangan yang lebih baru
dan realistic terhadap tekhnologi dalam suatu sistem organisasi, suatu pandangan
baru akan lebih menitik beratkan pada posisi hasil yang dicapai dari interaksi
manusia.

Tahapan redefinisi dan restrukturisasi dalam proses inovasi suatu organisasi
terdiri dari konstruksi sosial, dimana persepsi tentang masalah organisasi dan
inovasi muncul secara bersamaan dan diubah satu sama lain, jika inovasi berasal
dari dalam organisasi, maka individu-individu menganggapnya sebagai familiar
dan cocok karena hal tersebut mudah bagi mereka untuk menentukan dan
memberikan makna kepada gagasan baru, demikian halnya jika inovasi dilakukan
oleh sumber-sumber luar tetapi tetap bersifat fleksibel dan bisa di reinvensi, maka
anggota-anggota dapat didefinisikan gagasan baru itu sehingga menjadi milik
mereka sendiri.

Inovasi yang berhubungan dengan perangkat tekhmologi tidak semalanya
menciptakan kepastian, sebab terkadang yang tidak menyenangkan dalam suatu



sistem yang sering menimbulkan resistensi terhadap tekhnologi tersebut terutama
dalam aflikasinya.

Gerwin (1988) menemukan sesuai yang bermanfaat untuk mengidentifikasi
tiga jenis ketidak pastian yang berbeda-beda dalam meneliti tekhnologi
manufaktur yang berbantuan dengan tekhnologi, seperti komputer “ketidak
pastian teknis, yakni derajat dimana ada kesulitan bagi suatu organisasi dalam
menentukan langkah reabilitas, kemampuan, dan ketetapan, dari teknologi baru
tersebut”.

Inovasi dalam suatu organisasi terutama diselidiki dengan mengkorelasikan
variabel-variabel bebas dengan keinovatifan organisasi dengan analisis data cross
sectional suatu temuan dalam penelitian keinovatifan organisasi bahwa dalam
suatu organisasi diminta untuk memberikan data, namun demikian ditemukan
koreksi rendah antara variabel-variabel karakteristik dengan keinovatifan
organisasi, dan jenis penelitian ini saat sekarang sudah ketinggalan zaman.

2. Proses Inovasi dalam Organisasi.

Proses inovasi dalam suatu organisasi sudah ditelusuri oleh para ahli difusi
guna mengidentifikasi urutan utama dari suatu keputusan, tindakan dan juga
peristiwa-peristiwa dalam proses ini, data tentang proses suatu inovasi dapat
diperoleh dengan mensistensikan persepsi dari inovasi, catatan-catatan tertulis
tentang penerimaan organisasi dan sumber-sumber data lain.

Asumsi umum dari penelitian tentang inovasi dalam organisasi adalah
bahwa variabel-variabel organisasi berlaku tehadap perilaku inovasi bersama-
sama dengan anggota-anggota organisasi, maka koreksi organisasi dari penelitian-



penelitian proses inovasi ini menambahkan sejenis perlengkapan intelektual untuk
analisis ini, dalam penelitian seperti ini organisasi sering dilihat sebagai
penghalang bahkan penolak inovasi, sekurng-kurangnya masalah yang biasanya
ditemui dalam usaha untuk menerapkan suatu inovasi dalam usaha untuk
mengaflikasikan inovasi tersebut.

Inovasi sebagai suatu proses memiliki lima langkah utama yang hendak
ditempuh dalam merefleksikan inovasi tersebut, yakni :

a. Agenda Setting


Hal ini terjadi dalam proses inovasi ketika suatu masalah organisasional
umum bisa menciptakan suatu kebutuhan bagi suatu inovasi didefinisikan, proses
agenda setting berlangsung pada setiap saat dalam setiap sistem tersebut, hal
tersebut merupakan suatu keharusan sehingga sistem mengetahui apa yang sedang
berlangsung pada setiap saat dalam setiap sistem tersebut, agenda setting adalah
cara dimana kebutuhan-kebutuhan, masalah-masalah, isu-isu mencul melalui
sistem dan diprioritaskan untuk diperhatikan dalam suatu hierarki (Dearing dan
Rogers).

b. Penyesuaian


Penyesuaian didefinisikan sebagai tahap dalam proses inovasi dimana suatu
masalah dari agenda organisasi disesuaikan dengan suatu inovasi, dan
penyesuaian ini direncanakan dan dirancang, pada tahapan berikut proses inovasi
menjadi masalah bersama-sama membentuk permulaan yang didefinisikan
sebagai semua pengumpulan informasi, pengkonseptualisasi dan perencanaan
untuk penerimaan suatu inovasi yang menimbulkan keputusan untuk



menerimanya, sub proses inpelementasi terdiri dari tiga tahapan yakni; redifinisi,
larifikasi, dan rutinisasi.

c. Redifinisi


Hal ini terjadi bila inovasi direinvensi untuk mengakomodasi kebutuhan
dan struktur organisasi dan struktur organisasi tersebut dimodifikasi agar sesuai
dengan inovasi tersebut. Inovasi dan organisasi diharapkan untuk berubah,
sekurang-kurangnya pada taraf tertentu, selama tahap redifnisi dalam tahap
inovasi, namun demikian suatu penelitian terhadap beberapa proses dalam tiga
organisasi oleh Tyre dan Orlikowski (1994) menemukan bahwa hanya sedikit
kesempatan yang tersedia dalam suatu organisasi dimana inovasi dimodifikasi.

d. Klarifikasi


Klarifikasi terjadi bila inovasi digunakan secara luas dalam suatu
organisasi, sehingga makna dari gagasan barunya secara berangsur-angsur
menjadi lebih jelas bagi para anggota organisasi tersebut, penerapan suatu inovasi
yang terlalu cepat pada tahap klarifikasi sering menimbulkan hasil-hasil yang bisa
membawa malapetaka.

Efek samping yang tidak diharapkan atau ketidak pahaman terhadap
inovasi bisa terjadi, jika diidentifikasi dengan jelas, maka tindakan korektif bisa
dilakukan, pengaturan yang stabil dibuat untuk inovasi dalam organisasi pada
tahap klarifikasi dalam proses inovasi, inovasi menjadi dimasukan kedalam
struktur organisasi.



Tahap klarifikasi dalam proses inovasi di dalam suatu organisasi terdiri dari
konstruksi sosial bila suatu gagasan baru diimplementasikan pertama kali dalam
suatu organisasi tersebut.

e. Rutinisasi


Rutinisasi terjadi bila inovasi dimasukan kedalam kegiatan-kegiatan reguler
organisasi dan inovasi kehilangan identitas khasnya, pada tahapan ini , proses
inovasi dalam suatu organisasi menjadi lengkap, pada anggota organisasi sudah
berfikit lagi tentang inovasi itu sebagai suatu gagasan baru, ia sudah diserap
sepenuhnya kedalam kegiatan-kegiatan rutin organisasi.

3. Penelitian Atas Inovasi Organisasi

Setiap organisasi memiliki order dan tatanan untuk mengatur hubungan
timbal balik fungsional diantara perbagai unit kerja, sehingga akibatnya apabila
ada perubahan yang terjadi dalam satu unit kerja maka otomatis akan
mempengaruhiunit lainnya, bentuk perubahan dimaksud adalah perubahan
hierarki dan wewenang, peranan individu dalam pekerjaan, penataan kembali
hubungan kerja melalui jaringan komunikasi formal, tampilan jenis pekerjaan dan
penciptaan kerja baru yang disebabkan oleh kehadiran tekhnologi.

Pendekatan humanistic terhadap inovasi nampaknya sampai saat sekarang
merupakan salah satu pendekatan yang dianggap efektif untuk suatu inovasi
dalam organisasi apapun, sebab dengan pendekatan semacam ini keterlibatan
masing-masing anggota akan semakin dekat dan semakin mempermudah bagi
terlaksananya inovasi. Demikian halnya dengan inovasi kepemimpinan yang
dilakukan oleh organisasi seperti pesantren akan lebih menyentuh dan lebih



memudahkan untuk melakukan inovasi di maksud bila sentuhan dan pendekatan
humanistic lebih dikedepankan, adapun pendekatan selama ini yang dipergunakan
oleh pesantren adalah suatu pendekatan kharismatik, sehingga nampaknya
mengalami suatu kesulitan ketika pesantren harus melakukan suksesi, dan pada
intinya di dalam pesantren sampai saat sekarang tidak melakukan suksesi secara
formal sebab kepemimpinan didasarkan atas turun temurun dan kekeluargaan.

Hal diatas merupakan salah satu kendala yang akan dihadapi pesantren di
kemudian hari, terlebih jika pengganti mendatang tidak seperti pemimpin terdhulu
terutama dalam kharismatiknya, dari analisa penulis, pesantren kurang cermat
dalam melakukan suksesi bahkan tidak pernah membuka peluang untuk orang lain
untuk masuk kedalam dinasti pesantren tersebut, sehingga akibat yang muncul
yaitu pesantren harus dengan siap diri membuka peluang bagi pihak eksternal
yang memang sejalan dengan ide pesantren untuk melakukan pergantian
kepemimpinan dan bila tidak, maka hendaknya pesantren mempersiapkan diri
jauh calon pemimpin untuk masa mendatang, dan jika hal ini dilakukan, maka
pesantren ditakutkan hanya akan tinggal sebuah nama.

Dalam hal ini ada sedikitnya beberapa pertimbangan bagi pesantren untuk
melakukan pergantian kepemimpinan, yakni ; (a) Berikan kesempatan untuk pihak
luar dalam berperanserta dalam proses pergantian kepemimpinan tersebut (b)
bersikaplah lebih fleksibel (c) memberikan antusiasme dan penghargaan akan
gagasan inovasi

D. Beberapa Studi tentang Manajemen

a. Fleksibilitas, Efektifitas, dan Efisiensi Manajemen



Manajemen yang baik ialah manajemen yang tidak jauh menyimpang dari
konsep, dan yang sesuai dengan obyek yang ditangani serta tempat organisasi itu
berada. Sebagai bagian dari suatu ilmu, seharusnya manajemen itu tidak boleh
menyimpang dari konsep manejemen yang sudah ada.

Dalam teori majajemen modern, manajemen yang baik setidaknya
mencakup tiga sifat, yaitu fleksibel manajemen, efektifa manajemen dan efisien
manajemen. Manajemen yang dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi
dan kondisi disebut manajemen yang fleksibel, (Made Pidarta, 1992: 18).
Manajemen ini tidak kaku, ia dapat berlangsung dalam kondisi dan situasi yang
berbeda-beda. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru, tuntutan-tuntutan
masyarakat yang berubah dari semula, perubahan-perubahan nilai masyarakat, dan
sebagainya tidak akan menghentikan aktivitas manajer ini. Manajemen akan
berjalan terus dengan rivisi di sasa-sini. Hal ini menjamin kelangsungan hidup
organisasi. Oleh sebab itu para manajer perlu mengusahakan manajemennya agar
bersifat fleksibel.

Ada sejumlah nilai yang pada umumnya bisa diterima dalam manajemen.
Nilai-nilai yang dimaksud ialah kebahagiaan, ketaatan pada hokum, konsistensi,
integritas, dan kesetiaan (Massie, 1973 28). Kebahagian ialah nilai tertinggi,
bukan saja pada manajemen melainkan pada setiap aktivitas manusia. Sebab
seseorang yang berasa bahagia akan melakukan kegiatan sepenuh hati dengan
menomorduakan imbalan materi. Manajer yang bahagia merasa pekerjaannya
sebagai sesuatu yang indah, yang memikat dirinya, yang mempesona hatinya



untuk bekerja tanpa mengenal lelah. Ia mampu menikmati estetika manejemen,
manajemen menjadi hobinya.

Ketaatan kepada hukum sebagaimana didambakan oleh para pecinta
hukum, juga diharapkan terjadi pada manajemen. Sebab manajemen itu sendiri
pada hakikatnya menciptakan hukum untuk organisasinya sendiri, berupa
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan. Ciptaan ini perlu ditaati bila ingin
administrasi berjalan dengan lancar. (Made, 1992 : 18).

Menurut Made Pidarta, nilai konsestensi hampir sama dengan nilai ketaatan
kepada hukum dan kesetiaan. Sebab perilaku dan tatakerja para personalia
organisasi termasuk para manajer sudah diatur oleh peraturan organisasinya.
Diharapkan mereka semua setia kepada peraturan ini dengan cara mematuhinya.
Perilaku dan tata kerja yang setia atau patuh kepada peraturan menunjukan
konsistensinya akan peraturan itu. Kalau kesetiaan dan kepatuhan itu berlangsung
lama maka terjadilah konsistensi yang berkelanjutan. Akan tetapi perlu
diperhatikan juga bahwa dalam penerapan manajemen memerlukan sikap kreatif
di samping ketajaman hipotesis tentang sifat budaya manusia dan masyarakat
dimana manajemen itu akan diterapkan. Sehingga kalau mengabaikan hal ini akan
terperosok dalam situasi dilematis, atau jebakan yang tidak terpikirkan sebelum
terjadi. (Tim Pembina al-Islam dan Kemuhammadiyahan, 1990 : 133).

Integritas pribadi adalah suatu nilai yang sangat diperlukan terutama oleh
para pemimpin. Pemimpin yang baik harus memiliki berkepribadian yang utuh
agar dapat memikat orang lain, orang menjadi simpati padanya, orang tertarik
dengan pembicaraannya, orang terkesima olehnya, (Buchari Alma, 2002 :54).



Agar ia dapat diterima dengan baik oleh para anggotanya, maka ia perlu memiliki
integritas pribadi. Suatu pribadi yang bisa berbaur dengan pribadi-pribadi lain,
suatu kemampuan ini bersumber dari kemampuan menghargai orang lain,
menghayati perasaan orang lain, toleransi dan bekerjasama. Sesorang manajer
adalah juga seorang pemimpin, maka ia perlu memiliki integritas pribadi.

Menurut Evans (1981 : 39), seorang manajer harus memiliki otoritas dan
akuntibilitas. Keduanya harus berimbang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila
otoritas saja yang dimiliki manajer akan bertindak sewenang-wenang, sebaliknya
bila ia hanya memiliki akuntibilitas ia tidak akan mengejar apa-apa. Akuntibilitas
adalah lebih dari hanya sekedar tanggung jawab akan penyelesaian tugas yang
dibebankan oleh atasan, ialah penyelesaian tugas-tugas yang memberi kepuasan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama para atasan. Agar bisa
belakukan pekerjaan seperti ini perlu dukungan dari orang-orang yang patut diajak
berinteraksi.

Kearah mana manejemen pendidikan itu harus ditujukan? Made Pidarta,
seorang ahli menajemen pendidikan memberikan uraian bahwa di samping
seorang manajer sudah diberi otoritas oleh atasannya, ia sebaiknya seorang
professional dalam bidangnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu
memenej organisasinya dengan baik, efektif dan efisien di samping fleksibel.

b. Manajemen Pesantren pada Aspek Teknis (Managemen by Techniques)

Manajemen pada aspek teknis ialah usaha para manajer menangani teknik-
teknik yang ada dalam organisasinya, agar teknik-teknik itu dapat digunakan
seoptimal mungkin dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Teknik-teknik baru



dikembangkan pula untuk menjawab tantangan perubahan zaman, baik dalam
tekniknya itu sendiri maupun dalam usaha memenuhi tuntutan lingkungan dan
inovasi. ( Made Pidarta: 1992 : 90).

Dalam hal ini adalah bagaimana manajemen yang dikembangkan oleh
pondok pesantren dapat memberikan konstribusi yang produktif, kualitatif dan
bermanfaat. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis akan mencoba menguraikan
tentang manejemen pesantren pada aspek teknis pengolahan organisasinya. Akan
tetapi sebelum lebih jauh mengungkap bagaimana manajemen pesantren pada
aspek teknisnya, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar
tentang manajemen dan kepemimpinan itu sendiri.

1. Manajemen

Istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris management. Istilah ini
terjadi dari akar kata manus, tangan, yang berkaitan dengan kata menagerie yang
berari beternak. Menegerie juga berarti sekumpulan binatang liar yang
dikendalikan di dalam kandang. Kata manus dipengaruhi oleh kata ménage yang
datang dari bahasa Perancis kuno mesnage. Kata ini berasal dari bahasa Latin
mansionaticum yang berarti pengelolaan rumah besar. Jadi dipandang dari segi
arti kata, manajemen berarti pengelolaan, (Taliziduhu Nadraha, 1988: 91). Kamus
istilah Manajemen (1978) mengartikan manajemen sebagai (1) proses penggunaan
suberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran, dan (2) pejabat pemimpin yang
bertanggung jawab atas jalannya perusahaan atau organisasi.

Dalam The History of Management Thought (1972), clued S. George, Jr.
mengungkapkan bahwa peninggalan sejarah berupa catatan tertulis yang terdapat



di bekas kerajaan Sumeria berusi sekitar 5000 tahun SM, adalah sumbangan
pertama di bidang manajemen . Negeri Sumeria ini terletak di bagian paling
selatan Mesopotamia, dekat bekas muara sungai Tigris dan Euphrates. Berbagai
peninggalan sejarah lainnya di bagian-bagian dunia ini menunjukan kemampuan
bangsa-bangsa untuk memobilisasi sumber-sumber, baik sumberdaya alam,
maupun sumber daya manusia.

Mc Corkle, Jr. dan Archibald dalam Management and Leadership in
Higher Education (1982), menyebutkan tiga fungsi manajemen, yaitu
perencanaan dinamik, manajemen sumber-sumber, dan evaluasi. Menurut siklus
seperti di bawah ini :



Dynamic

Planning





Multiyer

Resaurce

Management

Performance

Evaluation





Siklus Management menurut McCorkle dan Archibald

Sondang P. Siagian, sebagaimana dikutip Malayu SP. Hasibulah (1997: 2),
memberikan definisi manajemen adalah kemampuan dan ketrampilan untuk
memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-
kegiatan orang lain.

Herbert G. Hicks dan C. Ray Gullett dalam Management (1983: 7)
berpendapat “managing is the procces of getting things done by and thorough
others”. Definisi ini merupakan modifikasi dan pengembangan difinisi yang



dibuat oleh Mary Parker Follett, “the art of getting things done through peole”.
“Things” dalam definisi Hicks dan Gullett disebut “resulls” oleh Donnelly,
Gibson, dan Ivancevich dalam Fundementals of Management (1981: 4). Mereka
mendefinisikan manajemen sebagai berikut :

“Management consists of activites underlaken by one or more
persons to coordinate the activities of other pesons to achieve
results not achievable by any one person acting alone.”

Dinamakan “organizationgoals” oleh James A.F. Stoner dan Charles
Wankel dalam Management (1986: 4). Definisi manajemen menurut
kedua penulis tersebut demikian:

“Management is the procces of planning, organizing, leading,
and controlling the efforts of organization member and of using
all other organizational resources to, achieve stated
organizational goals.”

Dari sekian definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
manajemen bertolak dari suatu tujuan tertentu, yang disebut tujuan organisasi.
Untuk mencapai tujuan organisasi itu diperlukan kegiatan, yaitu “activities of
other pesons” dalam definisi Donnelly, Giboson, dan Ivancervich, yang dapat
disebut kegiatan operasional. Kegiatan operasional ini perlu dikoordinasikan,
dipimpin, dan dikontrol, dan sumber-sumber organisasional digali, disiapkan, dan
digunakan (Stoner dan Wankel). Kegiatan-kegiatan itulah yang disebut kegiatan
manajerial.



Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam manajemen peranan unsure
manusia menjadi penentu, karena manusialah yang menetapkan sasaran,
merencanakan dan selalu berperan aktif pada setiap kegiatan yang dilakukan.
Manusia mutlak harus berperan aktif dalam semua kegiatan supaya alat-alat
canggih yang dimiliki organisasi ataupun perusahaan bermanfaat untuk
merealisasi tujuan.

2. Kepemimpinan

a. Definisi dan Hakikat Kepemimpinan

Definisi sebagai rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri konsep
yang menjadi pokok pembicaraan, sempat menimbulkan selisih pendapat di antara
para pakar. Di satu pihak berpendapat membicarakan definisi akan sungguh-
sungguh merupakan maut, definisi tentang suatu pokok persoalan di perlukan.
(Wahjosumodjo, 1999: 16).

Demikian pula walaupun ada di antara para pakar berpendapat definisi
suatu pokok pembicaraan (subject matter) tidak akan dapat membantu banyak
tujuan, tetapi satu pendekatan yang memiliki alasan kuat, tampil bahwa definisi,
memberikan satu landasan pemahaman fenomena untuk dipelajari.

Dari definisi sesuatu pokok permasalahan (subject matter) akan diperoleh
keterangan atau frase yang mengungkapkan makna, atau ciri-ciri utama dari
subject matter tersebut, baik berupa orang, benda, proses atau kegiatan. (1999:
16).

Oleh karena itu, banyak definisi diberikan tentang kepemimpinan. Namun
sebelum lebih jauh mengemukakan tentang apa itu kepemimpinan ada baiknya



lebih dulu mengetahui siapa yang disebut pemimpin (leader) dan kepemimpinan
(leadership). Sebab, pada dasarnya antara pemimpin (leader) dengan
Kepemimpinan (leadership) itu berbeda sifatnya.

Malayu S.P. Hasibuan memberikan difinisi pemimpin adalah

“Pemimpin ialah seseorang yang mempergunakan wewenang dan
kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung
jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan.”
(1997: 3).

John Pliffner :

Leadership is the art of coordinating and motivating individual and
group to acieve the desire end.”

(Kepemimpinan adalah seni untuk mengkornidasikan dan
memberikan dorongan terhadap individu-individu atau kelompok
untuk mencapai tujuan yang diinginkan)

Menurut George R. Terry, Leadership is the activity of influencing
people to strive willingly for group objectives.

Harold Koontz and Cyril O’Donneli state that leadership is influencing
people to follow in the achievement of a common goal. (Hersey & Blanchard,
1997: 84)

Jadi kepemimpinan diterjemahkan ke dalam istilah : sifat-sifat, perilaku
pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama
antar peran, kedudukan dari satu jabatan administrative, dan persepsi dari lain-lain
tentang legitimasi pengaruh.



Dalam suatu definisi terkandung suatu makna atau nilai-nilai yang dapat
dikembangkan lebih jauh, sehingga suatu definisi dapat diperoleh suatu pengetian
yang jelas dan menyeluruh tentang sesuatu. Satu di antara definisi kepemimpinan
yang bermacam-macam tersebut, mengemukakan :

“ Leadership is interpersonal influence exercised in a
situation, and directed through the communication process,
toward attainment of a specified goal of goal.”
( Tannembaum, Weshler & Massarik, 1961: 24)

Dari definisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi
yang bersifat umum dan sekaligus perbedaan yang bersifat umum pula, seperti :

Pertama di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi
antara dua orang atau lebih, Kedua didalam melibatkan proses
mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengajar (international
inluence) digunakan oleh pemimpin terhadap para bawahan,
sedangkan kelainan yang bersifat umum, kata Wahjosumidjo (1999
: 18) antara lain : 1) siapa yang mempergunakan pengaruh, 2) tujuan
dari pada usaha untuk mempengaruhi; dan 3) cara pengaruh itu
dipergunakan. Di samping itu juga, pemimpin yang baik harus
memiliki kecakapan untuk mengantisipasi masa depan,
memanfaatkan peluang dan kesempatan, jujur dan terbuka, memiliki
technical skill, conceptual skills, priority skills, dan kepribadiannya
yang menjadi panutan bagi para bawahan. (Malayu S.P. Hasibuan,
1997 : 4).



Dari berbagai definisi kepemimpinan yang telah dikemukakan di atas,
Hersey dan Blanchard menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses dalam
mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam situasi tertentu untuk
mencapai tujuan. Berdasarkan kesimpulan ini maka proses kepemimpinan
dirumuskan dengan formula sebagai berikut :

L = f ( l, f, s)

Keterangan : L = Leadership (Kepemimpinan)

F = Funcion (Fungsi)

l = Leader (Pemimpin)

f = Follower (Pengikut / yang dipimpin)

s = Situation (situasi)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setidaknya ada 3
variabel utama yang tercakup di dalam kepemimpinan (leadership)
dan pemimpin (leader):

1. Kepemimpinan melibatkan orang lain seperti bawahan atau para
pengikut
2. Kepemimpinan menyangkut distribusi kekuasaan
3. Kepemimpinan menyangkut penanaman pengaruh dalam rangka
mengarahkan para bawahan




Namun yang dimaksud dengan “kepemimpinan” dalam tulisan ini adalah
kepemimpinan pesantren. Mastuhu lebih senang kalau kepemimpinan pesantren
itu adalah “seni” memanfaatkan seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren
untuk mencapai tujuan pesantren, (Mastuhu, 1999: 105). Oleh karena itu,



kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan yang lebih difokuskan pada
kepemimpinan pesantren kaitannya dengan teori kepemimpinan modern.

Mastuhu dalam buku yang berjudul Memberdayakan Sistem Pendidikan
Islam, melihat bahwa gaya kepemimpinan pesantren terdiri dari berbagai corak,
dari yang kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter paternalistic ke diplomatic-
partisipatik, dan laissez faire ke birokratik.

Kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan yang bersandar kepada
kepecayaan santri atau masyarakat umum sebagai jama’ah, bahwa kyai yang
merupakan pemimpin pesantren mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan.
Sementara itu, kepemimpinan pesantren rasionalistik adalah kepemimpinan yang
bersandar pada keyakinan dan pandangan santri atau jamaahnya, bahwa kyai
mempunyai kekuasaan karena ilmu pengetahuan yang dalam dan luas. (mastuhu,
1999: 106).

Teori-teori kepemimpinan yang disinggung dalam uraian ini, yang
dipandang erat relevansinya dengan manajemen pendidikan, adalah : Teori
Kewibawaan, Teori Sifat, Teori Perilaku, dan Teori Kontingensi.

a. Pendekatan Kewibawaan (Power Influence Approach)


Menurut pendekatan ini, di katakan bahwa keberhasilan pemimpin
dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada
pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin
menggunakan kewibawaan tersebut kepada bawahan.



Pendekatan ini menekankan sifat timbal balik, proses saling
mempengaruhi dan pentingnya pertukaran hubungan kerja sama antara para
pemimpin dengan bawahan (Warjosumidjo, 1999: 20).

Berdasarkan hasil penelitian French dan Raven terdapat pengelompokan
sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal.

- Reward Power (Kekuasaan Penghargaan).

Reward Power merupakan interaksi antara bawahan dan pimpinan.
Bawahan mengerjakan sesuatu agar memperoleh penghargaan yang dimiliki oleh
pemimpin. Dalam hubungan ini ada penghargaan yang diberikan kepada para
perantara atau pun bawahan (baca: karyawan) oleh pihak pemimpin. Jika muncul
perilaku tertentu yang dikehendaki oleh pemimpin atau oleh produsen maka
diberikan penghargaan tersebut.

- Coercive Power (Kekuasaan Memaksa)

Kekuasaan ini digunakan oleh produsen untuk memaksa distributor atau
perantara agar dapat bekerja sama dengan baik. Kadang-kadang perantara sangat
tergantung kehidupan bisnisnya dari produsen. Akan tetapi, adakalanya produsen
tergantung kepada distributor. Dengan kata lain, bawahan mengerjakan sesuatu
agar dapat terhindar dari hukuman yang dimiliki oleh pemimpin.

- Legitimate Power (Kekuasaan Sah)

Dalam hal ini ada semacam kontrak formal yang diikuti oleh perantara
atau distributor. Antara produsen dan distributor memiliki kekuatan yang sah yang
merupakan hal dan kewajiban masing-masing. Artinya, bawahan melakukan



sesuatu karena pemimpin memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan
bawahan mempunyai kewajiban untuk menuruti atau mematuhinya.

- Expert Power (Kekuasaan Ahli)

Kekuasaan ahli dapat dikatakan sebagai bentuk dari kekuasaan yang
efektif untuk memaksa orang lain mau bekerja sama. Dalam hal ini, bawahan
mengerjakan sesuatu karena bahwa pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan
keahlian serta mengetahui apa yang diperlukan.

- Referent Power (Kekuasaan Referen)

Dalam bahasa bisnis, kekuasaan referen (referent power) sangat dihormati
oleh perantara dan perantara merasa bangga diajak kerjasama oleh produsen
karena produsen ini memiliki wibawa dan nama baik yang cukup terekenal. Jadi,
bentuk kekuasaan model ini adalah bawahan melakukan sesuatu karena bawahan
merasa kagum terhadap pemimpin, bawahan merasa kagum atau membutuhkan
untuk menerima restu pemimpin, dan mau berperilaku pula seperti pemimpin.

b. Pendekatan Sifat (Taits Approach)

Teori membahas inti persoalan tentang sifat-sifat, ciri-ciri, atau perangai
yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Penelitian tentang sifat-sifat pemimpin
telah dilakukan oleh berbagai pakar kepemimpinan terhadap “orang-orang besar”
yang pernah dan sedang memimpin. Di antara kesimpulan hasil penelitian itu
mengemukakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu dibawa sejak lahir, atau
diwariskan. Kesimpulan ini melahirkan suatu anggapan bahwa pemimpin itu
dilahirkan dan tidak dibentuk (leaders are born an not made). (Sujana, 1992: 19).



Bisa jadi antara pemimpin dan bukan pemimpin dapat dilihat dengan
mengidentifikasi sifat-sifat kepribadiannya. Pendekatan psikologi ini untuk
sebagian didasarkan atas pengakuan umum bahwa perilaku individu untuk
sebagaian ditentukan oleh struktur kepribadian. (Oteng Sutisna, 1982: 241).

Pendekatan sifat-sifat menyatakan bahwa terdapat sifat-sifat tertentu pada
pemimpin antara lain: memiliki kekuatan fisik dan keramahan. Seorang pemimpin
memiliki tingkat inteligensi yang tinggi. Hanya dalam mengungkapkan sifat-sifat
ini sering kali muncul pertentangan sifat seperti dinyatakan seorang pemimpin
harus ramah tapi tegas, suka merenung tapi aktif, orangnya harus stabil emosional
tapi fleksibel, berkeras hati tapi kooperatif. Ada sifat kepribadian yang dapat
dipandang berhubungan positif dengan perilaku pemimpin dan mempunyai
korelasi tinggi ialah: popularitas, keaslian, adaptabilitas, ambisi, ketekunan, status
social, status ekonomi, mampu berkomunikasi. (Buchari Alma, 2001: 128).

Menurut Andy Undap (1983: 29), seorang pemimpin setidaknya harus
memiliki sifat-sifat kepribadian sebagai berikut: Pendidikan luas, Kematangan
mental, Sifat ingin tahu, Kemampuan analitis, Memiliki daya ingat yang kuat,
Integratif, Keterampilan berkomunikasi, Keterampilan mendidik, Rasional dan
objektif, Pragmatisme, Ada naluri prioritas, Pandai mengatur waktu,
Kesederhanaan, Sifat Keberanian, Kemaun mendengar.

Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin. Keberhasilan
pemimpin ditandai oleh daya kecakapan luas biasa yang dimiliki oleh pemimpin
seperti tidak kenal lelah atau penuh energi, intuisi yang tajam, tinjauan ke masa



depan yang tidak sempit, dan kecakapan meyakinkan yang sangat menarik.
(irresistible persuasive skill).

Akan tetapi dalam teori sifat ini terdapat tiga kelemahan yang mendasa.
Pertama, tidak ada persesuaian atau kesamaan pendapat di antara para pakar
tentang rincian sifat-sifat atau ciri-ciri kepemimpinan. Kedua,terlalu sulit untuk
menetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki seseorang pemimpin karena setiap
orang memiliki keunikan masing-masing. Ketiga, situasi dan kondisi tertentu
memerlukan kepemimpinan yang memiliki sifat dan ciri tertentu pula sesuai
dengan tuntutan situasi dan kondisi tersebut.

c..Pendekatan Perilaku (The Behoviral Aproach)

Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati
atau yang dilakukan oleh para pemimpin dari sifat-sifat pribadi atau sumber
kewibawaan yang dimilikinya.

Berdasarkan teori ini, (Hersey dan Blanchard, 1982), perilaku atau
perbuatan seorang pemimpin cenderung mengarah kepada dua hal yaitu
konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi ialah perilaku pemimpin untuk
memperhatikan kepentingan bawahan. Ciri-ciri perilaku konsiderasi adalah ramah
tamah, mendukung dan membela bawahan, mau berkonsultasi, mau
mendengarkan bawahan, mau menerima usulah bawahan, memikirkan
kesejahteraan bawahan, dan memperlakukan bawahan setingkat dengan dirinya.

Sedangkan struktur inisiasi ialah perilaku pemimpin yang cenderung lebih
mementingkan tujuan organisasi. Ciri-ciri perilaku struktur inisiasi adalah
memberikan kritik terhadap pelaksanaan tugas yang tidak baik, senantiasa



memberi tahukan tentang sesuatu yang harus dilakukan bawahan, selalu
memberikan petunjuk kepada bawahan tentang cara melakukan tugas, menetapkan
standar tertentu tentang tugas pekerjaan, meminta bawahan untuk selalu
mengikuti standar yang telah ditetapkan, dan selalu mengawasi optimasi
kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas.

Kecenderungan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 9

Kecenderungan Konsiderasi

Dan Struktur Inisiasi

Tinggi

S. rendah

K. tinggi

S. tinggi

K. tinggi

S. rendah

K. rendah

T. tinggi

K. rendah



Rendah STRUKTUR INISIASI Tinggi

Keterangan : K = konsiderasi

S = Struktur Inisiasi

Berdasarkan gambar di atas, orang-orang yang menjadi pemimpin dapat
dibagi ke dalam empat kelompok. Diantara meraka mungkin ada yang memiliki
nilai tinggi pada konsiderasi dan nilai rendah pada struktur inisiasi, mungkin pula
sebaliknya. Pemimpin yang ideal adalah yang mempunyai nilai tinggi pada
konsiderasi dan struktur inisiasi. Demikian inti hasil penelitian University of
Minchigan. Sedangkan menurut penelitian University of Ohio, kecenderungan
konsiderasi sama dengan perilaku yang berpusat pada bawahan uapaya pesantren
dalam mempersiapkan kader pemimpin untuk pelimpahan wewenang baik dalam



memimpin juga dalam mengelola pesantren yang hal ini bertumpu pada kemajuan
pesantren di kemuadian hari.

E. Ide dan Perubahan Organisasi

1. Proses Perubahan yang Direncanakan


Pada prinsipnya suatu perubahan yang terjadi pada organisasi sebenarnya
diarahkan pada efektifitas organisai itu sendiri, bukan merupakan pemecahan
yang tetap untuk mencapai sesuatu, akan tetapi sebuah proses perkembangan
untuk bertahan agar tetap aktif, tentu saja perubahan pada struktur dan
perkembangan desain organisasi seharusnya tidak menjadikan kendala bagi
perkembangan organisasi.

Organisasi memang memerlukan suatu perubahan, walupun tersebut dapat
terjadi karena dua hal, yaitu karena faktor kebetulan saja dan faktor yang
direncanakan, sesuatu perubahan yang terjadi karena direncanakan dengan
perubahan yang tidak disengaja, maka pengelolaannya pun akan berbeda, hal ini
memerlukan penanganan yang cukup serius diantara keduanya.

Sasaran perubahan yang direncanakan adalah berfungsi untuk
mempertahankan organisasi agar tetap dalam eksistensinya dan guna
kelancarannya. Selama organisasi mengalami suatu perubahan, maka
konsekuensinya organisasi tersebut akan mengalami dua kemungkinan, yaitu
mungkin akan manambah atau mengurangi keefektifannya.

Jenis peubahan yang diuji cobakan akan bervariasi, dan hal ini akan
bergantung pada tujuan utama yang hendak dicapai, baik pada tingkat individual
maupun pada tingkat kelompok akan berdampak berbeda pula bagi perkembangan



inovai suatu organisai, perubahan yang dimaksud di sini adalah merupakan suatu
perubahan yang terjadi pada struktur, sehingga baik langsung ataupun tidak
langsung akan berdampak pada pola wewenang yang berubah, askes informasi
yang diperoleh, alokasi imbalan yang diterima dan sebaginya, pertimbangan-
pertimbangan semacam ini dirasakan bertumpu pada satu sisi saja atau satu sekor
saja.

2. Desain Perubahan Organisasi

Suatu proses perubahan akan diprakarsai oleh kekuatan-kekuatan tertentu,
kekuatan tersebut dijalankan didalam tubuh organisasi oleh seorang agen
perubahan, agen tersebut memilih apa yang harus dilakukan dan bagaimana
melakukannya, dan hal ini membutuhkan tiga langkah atau tiga perencanaan,
yaitu : mencairkan (unfreezing) status quo bergerak menuju suatu keadaan yang
dianggap baru, dan membekukan kembali (refeezing) keadaan yang baru guna
menjadikan lebih permanen, dan berikutnya merujuk kepada taktik yang akan
digunakan oleh agen pembaharuan.

Perubahan dalam suatu organisasi akan dimungkinkan berupa identifikasi
peluang yang akan dimanfaatkan oleh pihak manajemen, namun dari kebanyakan
peluang itu berupa antisipasi dari reaksi atas suatu masalah, peluang tersebut bisa
ada dalam organisasi tesebut, juga bisa diluar organisasi tersebut.

Faktor yang dapat memprakarsai perubahan struktur tak terhitung
jumlahnya, akan tetapi yang harus dipertimbangkan adalah awal mula terciptanya
suatu perubahan, dan hal ini dapat berasal dari beberapa hal, seperti yang
diungkapkan oleh Robbins dalam (Jusuf Udaya, 1995; 432) diantaranya;



Perubahan tujuan, konsisten dengan strategi imperative, jika organisasi memilih
untuk pindah dari pemarakarsa menjadi pengikut, strukturnya mungkin harus
lebih mekanistik.

3. Stabilitas Perubahan

Inovasi dalam sebuah organisasi profil dan non-profil akan jauh berbeda,
walaupun pada beberapa sisi mengalami suatu kesamaan, pekik utama dari
lembaga atau organisasi berpegang pada berinovasi atau mati (Kenneth, 1988;
50), dalam organisasi semacam ini inovasi terkait erat dengan keefektifan
organisasi, akan tetapi yang harus dipertanyakan adalah apakah inovasi sama
dengan perubahan, dan tipe organisasi manakah yang terbaik rancangannya untuk
dapat medorong inovasi.

Apa saja yang berbeda merupakan peruibahan, tetapi inovasi adalah
penggunaan gagasan-gagasan baru bagi organisasi yang menerimanya,
(Bacharach, 1982; 132), semua inovasi, oleh karenanya merupakan sebuah
perubahan, namun tidak semua perubahan bersifat inovasif, perubahan yang
inovatif mengarahkan lembaga pada pembukaan peluang baru bagi organisasi
terseubt, sehingga akan lebih berpengaruh pada pihak lain khususnya anggota
organisasi.

Inovasi biasanya merupakan salah satu bentuk dari dua bentuk yang ada;
teknologi dan administrastif (Fariborz Damanpour, 1987; 677), inovasi teknologis
adalah apa yang kebanyakan ada dib benak kita jika berpikir tentang perubahan
yang bersifat inovatif, inovasi mencakup penggunaan alat, teknik kelengkapan
atau bahkan sistem yang baru.



Mengakar pada permasalahn diatas, maka inovasi dianggap sesuatu yang
penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya ialah menjaga stabilitas perubahan
tersebut agar dapat diterima diberbagai kalangan, khususnya internal organisasi.

F. Profesionalisasi dan Birokrasi dalam Lembaga Pendidikan

Profesi merupakan suatu status yang mengarah kepada bukti kinerja atas
bidang pekerjaan yang digeluti, sebagai suatu profesi status pekerjaan telah
mengalami suatu proses yang menuju kearah perkembangan yang dinamis
sehingga memenuhi persyaratan indeal type ( Vollmer, 1996; 2 ). Profesi biasanya
berkaitan erat dengan beberapa jenis pekerjaan atau bidang keahlian, diantaranya;
dokter insinyur, pengacara, walaupun hal ini merupakan penglihatan dari
kacamata inividual, akan tetapi biasanya profesionalisasi dalam lembaga
pendidikan lebih cenderung mengarah kepada birokrat dan hal ini biasanya
dibuktikan dalam perilaku kesehariannya yang biasa disebut dengan salaried
professional

Suatu taksonomi pendidikan tenaga professional dibedakan atas (1)
prservic techer education (2) inservice teacher education (3) continuing education
(4) continued education (5) staff development (Konecki dan Stein 1978; 42)
Preservice education diartikan dengan program pendidikan persiapan jabatan guru
yang dilaksanakan pada tingkat perguruan tinggi yang lamanya empat atau lima
tahun, sedangkan inservice education dipersiapkan untuk meningkatkan
kemampuan professional guru yang merupakan program penataran yang lamanya
satu hari atau dengan satu tahun, dan continuing education diartikan dengan upaya
pendidikan yang dilakukan sendiri oleh seseorang sesuai dengan minat dan



kebutuhannya dalam rangka pertumbuhan jabatan profesionalnya, sedangkan
continued education merupakan program pendidikan lanjutan atas spesialisasi
keahlian seseorang dalam rangka meningkatkan dan memperdalam pengetahuan
dan kemampuannya melalui pendidikan pascasarjana, dan staff development
merupakan peningkatkan kemampuan professional seseorang yang berhubungan
dengan mutu pelayanannya terhadap orang lain.

Melihat hal ini semua, maka pesantren termasuk keadaan katagori
taksonomi pendidikan, sebab hal ini dikembangkan oleh sendiri dan dibesarkan
melalui minat sendiri juga kemauan yang selalu didasarkan atas kemampuan diri
serta dorongan publik yang membutuhkan keberadaan lembaga tersebut.

G. Kajian atas Teori Kepemimpinan

Kajian atas studi kepemimpinan telah banyak dilakukan oleh berbagai
kalangan dan betapa banyaknya kepemimpinan yang ditawarkan, dan hal ini
tidaklah terlepas dari unsure dasar yang menjadi patokan baik tercetusnya konsep
tersebut, hal ini dimaksudkan bahwa konsep kepemimpinan yang muncul
senantiasa di dasarkan atas sumber kajian dan metodologi yang mendasarinya.

Namun dari sekian banyaknya studi kepemimpinan dihadapkan pada suatu
titik pembenahan yaitu mengkaji permasalahan kepemimpinan hendaknya
dipandang dari sudut pandang yang komperhenshif, artinya tidak hanya
memandang secara sempit, yaitu hanya sekitar sifat pribadi dan perilaku, tetapi
lebih luas lagi dipandang sebagai suatu rangkaian persoalan yang dapat dijadikan
standar dalam mengkaji masalah bidang kepemimpinan.



Sebenarnya persoalan kepemimpinan diarahkan pada tiga faktor utama
yaitu :

.
How one become a leader
.
How leader behave
.
What makes the leader effective


Ketiga pertanyaan diatas dapat ditarik dari suatu keterangan yang
dikemukakan oleh E. Fiedler dan Martin M. Chamers, dalam pengantar bukunya
yang berjudul Leadrship effective management, dan hal ini sebenarnya merupakan
suatu kajian yang mengarah kepada sektor kepemimpinan dilihat dari unsure
hakikat, walaupun hampir dari sekian banyak studi atas pendekatan penelitian
kepemimpinan lebih diarahkan pada; pendekatan kewibawaan, pendekatan sifat,
dan pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional.

Pendekatan kewibawaan itu sendiri mengarah kepada sisi keberhasilan
kepemimpinan yang mementingkan dan mengutamakan kewibawaan untuk
keberhasilan organisasi yang dipimpinnya, walaupun sebenarnya hal ini bisa
terjadi melalui dua paradigma yang berbeda, pertama kewibawaan biasanya akan
muncul dengan sendirinya ketika anggota organisasi memandang pemimpinnya
sebagai sosok yang ideal, kahrismatik dan penuh kewibawaan, sehingga dalam
kepemimpinannya anggota organisasi dianggap cukup dengan meniru
keberhasilan pemimpinnya, adapun yang kedua dilihat dari sudut pandang
eksternal yang memandang bahwa kewibawaan tersebut muncul dari pendapat
luar yang menganggap bahwa memang suatu organisasi dapat dipimpin oleh



orang yang memiliki kewibawaan yang tinggi, dan model seperti ini biasanya
lebih cenderungkepada kepemimpinan pesantren.

Timbulnya kajian atas kewibawaan kepemimpinan beragam, hal ini
tergantung kepada pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh peneliti,
seperti yang diungkapkan dalam penelitian French dan Raven yang
mengungkapkan beberapa definisi, kewibawaan dan mengarah kepada asal mula
timbulnya kewibawaan tersebut, dan hal ini dilihat dari beberapa unsur;

a. Reward Fower, istilah ini lebih cenderug mendekati kepada kinerja
bawahan yang ingin mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya
dari atasan.
b. Coersive Power, merupakan suatu pembelaan diri atas pekerjaan agar
terhindar dari sangsi yang suatu saat akan dijatuhkan oleh pemimpinnya.
c. Legitimate Power, merupakan suatu perilaku mutlak dari seorang
pemimpin yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengendalikan,
dan memenej suatu peraturan, dan dalam hal ini bawahan harus
mematuhinya.
d. Expert power, merupakan suatu keyakinan yang dibentuk oleh bawahan
dengan suatu anggapan bahwa tidak semata–mata pemimpinnya
mengeluarkan suatu aturan untuk ditaati, kalau pemimpinnya tidak
memiliki pengetahuan yang cukup komprehenshif dan memadai.
e. Referent power, lebih mengarah kepada perilaku bawahan yang
menganggap bahwa sebagai bawahan dia memiliki rasa kekaguman yang




mendalam kepada pemimpinnya, sehingga bahkan lebih cenderung ingin
berperilaku seperti pemimpinnya.


Megacu kepada rangkaian kepustakaan diatas, maka pendekatan
kewibawaan lebih cenderung mengarah kepada rasa percaya diri yang dalam dari
seorang pemimpin guna menjalankan roda organisasinya, walaupun sebenarnya
pendekatan seperti ini tidak menutup kemungkinan terbina melalui pendekatan
sifat.

Unsur perbedaan yang mendasar dengan pendekatan sifat, ditandai oleh
kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin dalam menjalankan roda
kepemimpinannya, sehingga pemimpin yang demikian ditandai oleh kemajuan
kinerja yang sangat tinggi, dan lebih ditandai oleh kemajuan dalam bidang visi
dan misi dalam memajukan organisasinya, dan ditandai pula oleh kecakapan atau
skill yang menarik dan energik.

Ciri yang paling mendasar dari pendekatan seperti ini lebih cenderung
kepada beberapa sifat pribadi yang melekat, seperti ditandai oleh ciri-ciri fisik
(physical characteristic), kepribadian (personality), dan kemampuan serta
kecakapan (ability).

Dengan demikian maka keberhasilan kepemimpinan melalui pendekatan
sifat tidak hanya didasarkan atas sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin semata,
melainkan didasarkan pula atas keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam
menjalankan roda kepemimpinannya.

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan perilaku, lebih didasarkan atas
pentingnya perilaku yang dapat diamati atau yang dilakukan oleh para pemimpin



dari sifat-sifat atau sumber kewibawaan yang dimilikinya. Kemampuan perilaku
secara konsepsional telah berkembang kedalam berbagai macam cara dan
tingkatan abstraksi, perilaku seorang pemimpin yang mengutamakan unsur sifat
biasanya digambarkan atas istilah pola aktivitas.

Dengan mempergunakan pendekatan perilaku, maka besar kemungkinan
akan memunculkan peranan manajerial dalam mengelola organisasi, walaupun
lebih menekankan pada unsur-unsur aktivitas diri dalam mengembangkannya,
dalam arti yang luas lebih menekankan pada sifat-sifat yang melekat pada dirinya,
bukan hanya sebagai sosok pemimpin semata, melainkan sebagai sosok individual
lebih mewarnainya.

Pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan unsur ini lebih
menekankan kepada pendekatan kepemimpinan yang merupakan campuran antara
pendekatan kewibawaan dengan pendekatan sifat, melalui pendekatan perilaku
maka akan dikembangkan pula perilaku kepemimpinan yang merupakan
campuran struktur inisiasi dan konsederasi.

Struktur inisiasi menunjukkan prilaku kepemimpinan yang
menggambarkan hubungan kerja dengan bawahan baik secara pribadi maupun
secara kelompok adapun pendekatan konsederasi menunjukkan perilaku yang
bersahabat saling adanya kepercayaan, saling hormat menghormati dan terjadinya
kekompakan antar masing-masing anggota.

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan situasional lebih menekankan
pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk
mengukur atau memprediksi ciri-ciri tersebut, dan membantu pimpinan dengan



garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan atas kombinasi dari
kemungkinan yang bersifat kepribadian, sehingga lajim teori ini disebut dengan
pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional.

Teori kontigensi bukan hanya merupakan hal yang penting bagi
kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, akan tetapi
membantu pula para pemimpin potensial dengan konsep-konsep yang bermanfaat
dalam menilai situasi yang beragam dan menunjukkan perilaku kepemimpinan
yang tepat berdasarkan situasi (Wahjosumidjo, 1999; 29), lebih lanjut dikatakan
Wahjo ada beberapa model pendekatan kepemimpinan situasional, yaitu model
Fiedler (1974), model House’s Patf Goal (1974), model Vroom-Yetton (1973),
dan model situasi (1977).

Dalam pandangan lain, Mar’at (1982; 8-18) yang disadur dari buku
Handbook’s of Leadership (R.M. Stongdill) mengemukakan bahwa :

.
Kepemimpinan sebagai fakus proses-proses kelompok
.
Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya
.
Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain
.
Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh
.
Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku
.
Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi
.
Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan
.
Kepemimpinan sebagai alat mencapai suatu tujuan
.
Kepemimpinan sebagai akibat dari interkasi
.
Kepemimpinan sebagai perbedaan peran




.
Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur


Pengelompokan tersebut diatas menunjukan bahwa para ahli bidang
pendidikan memberikan pandangan yang berbeda tentang hakikat kepemimpinan,
hal ini didasarkan atas sudut pandang berdasarkan disiplin ilmu yang berbeda
pula, sebagaian yang menganggap kepemimpinan sebagai kepribadian, mencoba
menerangkan mengapa beberapa individu lebih mampu mempraktekkan
kepemimpinan dari pada individu yang lain, adapun yang sebagian mengartikan
kepemimpinan sebagai suatu seni untuk mempengaruhi orang lain, hal ini
memberikan suatu batasan sebab hal ini berhubungan dengan perilaku seseorang
yang diharapkan akan mampu mempengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini
bawahannya.

Sisi lain yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai pemaksaan atau
pendesakan secara tak langsung, sedangkan yang menganggap kepemimpinan
sebagai pengguna pengaruh, menganggap bahwa pemimpin adalah seseorang
yang menggunakan pengaruh positifnya untuk menggerakkan orang lain agar
dapat bekerja sama dengannya dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Mereka yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai tindakan atau
perilaku, menganggap bahwa karena adanya perilaku kepemimpinan, maka
muncullah tindakan orang lain yang searah dengan keinginannya, adapun
kepemimpinan diarahkan sebagai hubungan kekuasaan, memandang bahwa
kepemimpinan sebagai suatu bentuk dari hubungan pengaruh dan
mempengaruhinya, bahkan dalam hal ini cenderung untuk lebih
mentranspormasikan leadershif opportunity ke dalam kekuasaan yang terbuka.



Sisi lain yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai suatu alat untuk
mencapai tujuan, memandang bahwa kepemimpinan itu memiliki nilai
instrumental, kepemimpinan menghasilkan peran-peran tertentu yang harus
dimainkan dan dapat mempersatukan kelompok dalam rangka pencapaian tujuan
utama.

Adapun yang memandang kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi,
menganggap bahwa kepemimpinan tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari
proses interaksi yang berlangsung dengan sendirinya, kepemimpinan dapat terjadi
bila dikehendaki dan dipandang perlu oleh para anggotanya.

Lain halnya dengan para ahli yang memandang tentang kepemimpinan
sebagai pembeda peran, menganggap bahwa kepemimpinan itu muncul sebagai
suatu cara berinteraksi yang melibatkan perilaku oleh dan untuk individu,
sehingga pada akhirnya dijadikan salah satu sandra untuk memainkan peran
sebagai pemimpin.

Dari berbagai pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa inti
kepemimpinan adalah;

a. Kepemimpinan merupakan suatu gaya yang mengarah kepada kemampuan
individu, yakni kemampuan dari seorang pemimpin, sedangkan
manajemen lebih mengarah kepada sistem dan mekanisme kerjanya.
b. Kepemimpinan merupakan kualitas hubungan atau interaksi antara yang
dipimpin dan bawahannya.




c. Kepemimpinan menggantungkan diri dari sumber-sumber yang ada dalam
dirinya, sehingga kemampuan dan kesanggupan untuk mencapai tujuan
lebih efektif.
d. Bahkan kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si
pemimpin, walaupun akhirnya juga mengarah kepada ketercapaian tujuan
organisasi.
e. Kepemimpinan lebih bersifat hubungan personal yang berpusat kepada diri
si pemimpin, pengikut dan situasi.


Disamping inti pengertian dari kepemimpinan, seperti yang disimpulkan
diatas, ada beberapa faktor yang terkandung dalam kepemimpinan tersebut, yakni;
(a) adanya pemimpin, (b) kelompok yang dipimpin, (c) tujuan dan sasaran, (d)
aktifitas, (e) interaksi, (f) kekuasaan.

Adapun tentang teori kepemimpinan dibahas dan dikembangkan menjadi
enam teori; yakni; (a) trori-teori interaksi harapan, (b) teori humanistik, (c) teori
orang-orang terkemuka, (d) teori situasi personal, (e) teori lingkungan, dan (f)
teori pertukaran.

Teori interaksi harapan didasarkan atas tiga variabel, yakni; aktivitas,
interaksi dan sentimen, figur kepemimpinan dalam hal ini harus dapat melakukan
suatu aktivitas yang dapat menghubungkan antara bentuk kegiatan yang satu
dengan bentuk kegiatan yang lain, dimana sentimen dapat dibentuk sebagai suatu
sarana dalam menjembatani hubungan dengan bawasannya.

Teori humanistik itu sendiri berfungsi sebagai pola pengaturan kebiasaan
individu untuk dapat merealisasikan motivasi bawahannya agar dapat bersama-



sama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lajim dikatakan
bahwa teori ini merupakan pendekatan antara pemimpin dengan bawahan sebagai
suatu anggota keluarga.

Kelompok teori orang terkemuka dirancang berdasarkan cara indiktif
dengan mempelajari sifat-sifat yang dominan atas keberhasilan tugas yang
dijalankan, terutama kemampuan untuk memimpin, diasumsikan bahwa
pemimpin-pemimpin yang berhasil memainkan peranan dengan memiliki sifat-
sifat dan kualitasnya adalah superior, teori ini disebut juga teori sifat.

Adapun situasi personal lebih mengarah kepada adanya suatu anggapan
bahwa individu memiliki kemampuan dan kecakapan tertentu, sikap dan perilaku
yang dapat mengoperasikan aktivitas-aktivitasnya berdasarkan kondisi saat itu,
masalah kepemimpinan ditentukan juga oleh kepribadian pemimpin itu sendiri,
kelompok yang dipimpinnya, dan juga kejadian-kejadikan yang timbul pada saat
itu, dan interaksi antara pemimpin dengan bawahannya dibentuk sifat-sifat
tertentu.

Sedangkan teori lingkungan sosial yang merupakan tantangan untuk dapat
diatasi, selain itu bahkan seorang pemimpin tergantung pada zaman dimana ia
hidup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dianggap relevan dengan
situasi saat itu, situasai lingkungan sosial merangsang agar para pemimpin
melakukan kegiatan-kegiatan yang relevan dengan problem-problem yang hidup
pada waktu tertentu seperti misalnya perang atau krisis akan muncul, maka akan
muncul kepemimpinan yang relevan pada saat tersebut.



Lain halnya dengan teori pertukaran yang menyebabkan interaksi sosial
akan menghasilkan bentuk perubahan dimana para anggotanya akan berpartisipasi
aktif, kepemimpinan seperti ini banyak diharapkan mengadakan interaksi untuk
menunjang keberhasilan dari kepemimpinannya sehingga para anggotanya merasa
dihargai dan adanya kepuasan serta penghargaan terhadap pemimpin, dengan
demikian maka terjalinlah keseimbangan yang cukup positif antara yang dipimpin
dengan kepemimpinannya.

Dari keenam teori diatas, maka dirangkum menjadi tiga bagian yakni (1)
pendekatan perilaku kepemimpinan, (2) pendekatan sifat dan (3) pendekatan
situasional, kedua pendekatan tersebut banyak dikembangkan oleh para ahli,
namun yang sesuai dengan pembahasan penelitian ini yang menitik beratkan pada
sistem dipergunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kontingensi atau
situasional.

Sebab dari pendekatan semacam itu, maka akan memungkinkan muncul
beberapa teori yang tergolong pada pendekatan berikut; (a) model kepemimpinan
Vroom dan Yetton, (b) model jalur tujuan (c) model kepemimpinan tiga dimensi
(d) model Tannenbaum (e) model kepemimpinan kontingensi (f) model
kepemimpinan social learning (g) model kepemimpinan situasional.

Lebih lanjut model-model tersebut dikembangkan pada penjelasan
walaupun sebenarnya tidak ada model atau urutan tertentu yang dikembangkan
oleh para penulis.

Model Vroom dan Yetton (1977) menitik beratkan model
kepemimpinannya pada suatu cara yang lebih dikenal dengan keputusan dan



pelaksanaannya, model ini dikembangkan dengan cara menunjukkan cara-cara
atau macam-macam situasi dimana berbagai tingkatan pengambilan keputusan
yang partisipasif dapat disesuaikan. Cribbin (1982; 24) mengemukakan kriteria
pengambilan dengan gaya Vroom dan Yetton dalam berbagai bentuk pertanyaan
diantaranya yaitu, apakah ada persyaratan mutu, apakah bawahan ikut mencapai
tujuan organisasi, apakah ada kemungkinan terjadi perselisihan mengenai
penyelesaian yang lebih disukai, apakah masalah itu terstruktur, bagaimanakah
informasi berperan, apakah bawahan akan menerima sepenuhnya tentang
keputusan , dll.

Balam menggaris bawahi masalah pertanyaan sekaligus teori yang
dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, maka Fiedler memberikan batasan yang
menyatakan bahwa tidak ada gaya yang ideal yang refresentatif dalam situasi,
oleh sebab itu fleksibilitas pemimpin benar-benar dituntut untuk menyelesaikan
berbagai kasus yang terjadi.

Dari rangkaian ketiga pendapat diatas, maka strategi yang dapat
dikembangkan adalah dengan menggunakan sistem pertama konsultatif, artinya
hal ini menyangkut pembenahan masalah itu kepada orang-orang yang dianggap
relevan dan mengumpulkan usul serta harapan juga gagasan meraka sebelum
mengambil suatu keputusan, kedua dengan menggunakan pendekatan kelompok,
sebab hal ini akan lebih mudah untuk mentolelir berbagai permasalahan yang
sedang terjadi sehingga dengan kesepakatan kelompok, maka akan lebih mudah
mencapai konsensus yang mengarah kepada kesepakatan bersama antara atasan
dengan bawahannya tentang kesepakatan sesuatu baik yang sedang dan akan



terjadi guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ketiga otokkrtais, hal ini
menyangkut pemecahan suatu masalah oleh manajer itu sendiri, sehingga lajim
pada model pengambilan keputusan seperti ini pemimpin memiliki otoritasi
sendiri, dan disaat seperti inilah pigur kepemimpinan dibutuhkan harus benar-
benar orang yang dapat mengendalikan lajunya organisasi untuk mendaptkan
data-data tertentu dari bawahannya sebelum melakukan keputusan tersebut.

Adapun model jalur-jalur merupakan satu–satunya model kepemimpinan
yang mengedepankan keinginan yang dikembangkan bawahnnya dan bagaimana
perilaku pemimpin, maka akan tercermin dari bawahannya, model yang
dikembangkan dalam kepemimpinan seperti ini lebih tertuju kepada motivasi,
sebab kepemimpinan ini sangat erat hubungannya dengan motivasi kerja di satu
pihak dan di pihak lain berhubungan dengan kekuasaan.

Dasar model tujuan motivasi menitik beratkan pada sikap orang,
kepuasaan kerja, perilaku serta usahanya dalam pekerjaan di maksud, dan perilaku
tersebut dapat disimpulkan melalui sampai beberapa jauh pekerjaan atau perilaku
itu dapat dilihat dan kesenangan yang diperoleh.

Martin Evans dan robert House dalam fath goal theory of leadershif
(1968,1971) mengemukakan bahwa pada prinsipnya teori ini merupakan suatu
model pengembangan menuju perilaku pemimpin atas motivasi, kepuasan kerja,
serta penampilannya atas motivasi, kepuasan kerja, serta penampilannya atas
bawahannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi.

Teori jalur-jalur bergantung kepada tiga konsep yakni; (a) valensi, (b)
insrumentalis dan ekseptensi (Evans, 1968), lalu ditambah lagi dengan peranan



manajer serta aktifitas bawahan, dan teori ini lajim disebut dengan teori lima
dimensi. Pendapat lain yang dikembangkan oleh Cribbin (1982; 21-22)
mengemukakan bahwa teori lima dimensi diurutkan dengan (a) valence (b)
instrumentality (c) expectancy (d) peran manajer (f) bawahan dan situasi.

Sungguh sudah merupakan suatu kelayakan bahwa bagaimanapun orang
bekerja sudah barang tentu mengharapkan imbalan yang setimpal, semakin besar
imbalan yang diterima, maka akan semakin besar pula dia menunjukan dedikasi
dengan pekerjaan yang dilakukannya, hal inilah yang dimaksud dengan dimensi
valance.

Dimensi berikutnya yang dikembangkan adalah hubungan timbal balik
antara satu dimensi dengan dimensi lainnya, walaupun sebenarnya kenaikan gaji
dan berbagai macam tujuan bukanlah merupakan tujuan utama akan tetapi hal ini
berakibat bagi baiknya kualitas keluarganya, oleh sebab itu dimensi semacam ini
lebih dikenal sebagai perangsang bagi karyawan untuk semakin mempertinggi
kenirjanya dan dedikasinya terhadap pekerjaan, dan sekaligus sebagai perangsang
(instrumenally).

Adapun dimensi lain yang dikembangkan oleh manajer adalah dengan
mempertimbangkan gaya perilaku kepemimpinan yang menggantungkan kepada
situasi, sedangkan yang dimaksud dengan model ekpenctancy atau harapan adalah
dengan melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan job yang di pegang dan
kriterian yang diinginkan oleh pemimpin, maka kemungkinan besar ia akan
mendapatkan balasan atau imbalan yang setimpal, dan semacam ini merupakan



harapan dimensi kelima selalu mengakar pada pujian, interaksi, dan
keramahtamahan yang menimbulkan kepuasan kerja karyawan.

Lain halnya dengan teori tiga dimensi yang menyatakan bahwa suatu
model kepemimpinan akan efektif bila dipahami dalam konteks situasi
kepemimpinannya, artinya apapun model kepemimpinan tetap diarahkan pada
situasi bagaimana model tersebut harus diterapkan, sehingga berhubungan dengan
hal tersebut, Raddin (1970) memberikan suatu pegangan bahwa teori tiga dimensi
merupakan penambahan komponen efektifitas pada dua dimensi kepemimpinan
yang sudah ada.

Ada empat gaya yang dikembangkan dalam model tiga dimensi seperti ini,
yaitu related hal ini mengandung pengertian bahwa hubungan tinggi rendah akan
menjadi efektif, dan bila hak ini dijalin dengan baik, maka akan menjadi gaya
diveloper, sehingga akibat yang ditimbulkan akan memberikan kepercayaan
penuh kepada karyawan untuk berkembang sesuai dengan job dan keterampilan
yang dimiliki oleh masing-masing idividu, akan tetapi bila tidak efektif, maka
akan menjadi gaya missionary artinya hanya tertarik pada adanya harmoni,
bahkan terkadang tidak rela mengorbankan hubungan meskipun untuk suatu
tujuan yang akan dicapai.

Gaya dedicated, hal ini mengandung pengertian bahwa tugas tinggi dan
hubungan rendah, bila terjadi efektifitas hubungan, maka akan menjadi suatu gaya
yang disebut dengan “ benevolent autocrat “ artinya kerja yang sangat berstruktur
jelas untuk masing-masing anggota stafnya, akan tetapi sebaliknya, bila gaya ini
tidak efektif maka akan menimbulkan suatu gaya yang disebut dengan autocrat,



hal ini dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya
mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri, baik dalam kapasitas dirinya sebagai
personal terlebih sebagai layaknya seorang pemimpin, sehingga gaya seperti ini
tidak akan memikirkan bawahannya.

Adapun gaya integrated lebih menekankan pada sisi tugas yang tinggi
dan hubungan tinggi pula, dan akibat yang ditimbulkan bila gaya ini berjalan
dengan efektif, maka akan menimbulkan gaya executive yang memberikan
kontribusi pada organisasi dengan ditandai oleh adanya pemenuhan kebutuhan
kelompok dalam menetapkan tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi sebaliknya
gaya ini kurang berjalan dengan efektif, maka akan menimbulkan gaya
compromiser hal ini ditandai dengan adanya suatu proses kompromi di dalam
memecahkan masalah yang sedang dihadapi antara tugas dan hubungan sehingga
akan selalu berorintasi pada hasil yang dicapai.

Berbeda dengan gaya separated, yang mengetengahkan hubungan yang
rendah dan tugas yang rendah pula, sehingga bila hal ini dijalankan dengan
efektif, maka akan menjadi gaya bereucrat yakni mengedepankan kekuasaan
untuk mencapai tujuan yang hendak diraih, sehingga kurang memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan yang mencakup kebutuhan anggotanya, maka akan
menimbulkan gaya diserter yaitu ditandai dengan memberikan struktur yang jelas
dan dukungan moral pada waktu diperlukan.

Berbeda dengan model kepemimpinan Tannenbaum dan Schnidt, model
ini mungkin salah satu dari sekian banyak yang memiliki keunikan, sebab satu sisi



terkadang dalam kepemimpinannya bersifat demkratis, tetapi pada satu sisi lain
terkadang bersifat otokratis.

Bersifat otokratis ketika dihadapkan pada kewenangan seorang pemimpin
yang berhak bahkan memiliki hak dalam memberikan penekanan berbagai model
kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan kepada bawahannya, sebab hal ini
berhubungan dengan keputusan yang hendak ditetapkan, akan tetapi gaya ini
berubah menjadi demokratis, ketika berhadapan dengan kewenangan-kewenangan
serta hak dan juga kewajiban yang dimikili oleh bawahan, bahkan gaya ini ketika
dihadapkan pada demokratis cenderung memberikan kebebasan-kebebasan pada
bawahannya untuk memutuskan suatu permasalahan akan tetapi sesuai dengan
batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh atasan.

Dari rangkaian model yang dikembangkan bervariasi antara demokratisasi
dan otokratisasi, maka memberikan dampak kepada pengembangan model lain,
yakni;

.
Pemimpin memberikan pemikiran serta ide yang dapat mengundang
pertanyaan-pertanyaan bagi bawahannya.
.
Pemimpin membuat suatu keputusan dan kemudian mengumumkannya
kepada bawahan, dan gaya ini cenderung bersifat komando sehingga tugas
bawahan hanya menunggu hasil intruksi dari atasan.
.
Pemimpin menjual keputusan, model ini juga sama dengan model otoritas
pemimpin yang cenderung memaksakan kehendaknya kepada bawahan,
sehingga ruang gerak bagi karyawan ketika dihadapkan pada kasus seperti
ini cenderung sempit.




.
Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang memungkinkan
daat diubah, bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka
pembuatan keputusan, sementara otoritas pemimpin sudah mulai dikurangi
penggunaannya.
.
Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan membuat
keputusan model ini jelas, otoritas pemimpin dipergunakan sedikit
mungkin, sebaliknya kebebasan karyawan atau bawahan dalam
berpartisipasi membuat suatu keputusan sudah banyak dipergunakan.
.
Pemimpin merumuskan batasan-batasannya dan meminta kelompok
bawahan membuat keputusan, partisipasi bawahan dalam kesempatan ini
lebih besar dibandingkan dengan model diatas.
.
Pemimpin mengijinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam
batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin, model ini terletak pada
titik esktrim penggunaan otoritas pada model diatas, (M. Thoha, 1983; 53-
54).


Oleh sebab diatas, maka dalam rangka pemilihan suatu model yang
dianggap efektif dalam situasi tertentu, hendaknya selalu mempergunakan
pertimbangan-pertimbangan dibawah ini, yaitu; kekuatan individu, kekuatan
bawahan, dan kekuatan dalam situasi, Oteng Sutisna(1983 ; 271), memberikan
batasan bahwa pemimpin harus senantiasa fleksibel dalam memilah serta memilih
ketiga komponen diatas dalam mengambil suatu kebijakan, dan inilah model
pemimpin yang baik.



Model kepemimpinan berikutnya adalah kontingensi, hal ini didasarkan
atas tiga cakupan utama, yakni; (a) hubungan antara bawahan dengan pemimpin
yang merupakan variabel terpenting dalam suatu organisasi apapun, sebab
pengaruh yang kuat menimbulkan efek yang kuat pula bagi model kepemimpinan
yang diembannya, sehingga kepribadian pemimpin dalam hal ini sangat dituntut
untuk dapat diterapkan kepada bawahannya, dengan berbekal kepribadian yang
kuat, maka tingkat ketaat bawahan akan semakin meningkat, (b) struktur tugas,
hal ini cenderung berhubungan dengan job diserifition masing-masing individu,
dalam kapasitas seperti ini, maka instruksi seorang pimpinan akan merupakan alat
bagi terciptanya tingkat kealifikasi, (c) kekuasaan kedudukan yang merupakan
hak dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memutuskan
dan mengembangkan suatu model kebijakan.

Memutuskan perhatian kepada otoritas seorang pemimpin, hendaknya
memperhatikan pula gaya dikembangkan melalui social learning, sebab hal ini
merupakan suatu model yang menjamin kelangsungan interaksi antara pemimpin,
lingkungan, dan perilaku sendiri, sehingga hal ini dapat memberikan dasar yang
jelas bagi suatu konsep kepemimpinan , (M. Thoha, 1983 ;48).

Social learning merupakan suatu methode yang penekannya mengarah kepada
perilaku pemimpin, kelangsungan dan iteraksi timbal balik diantara semua
variabel yang tersedia, bawahan ikut serta dalam menentukan arah secara bersama
sama dengan pimpinan guna pencapaian hasil yang telah menjadi suatu
kesepakatan bersama, bahkan dalam hal ini bawahan memperhitungkan berbagai



kemungkinan-kemungkinan lingkungan kognisi yang dapat memperantarakan,
lebih lanjut pendekatan ini memiliki anggapatn bahwa :

.
Pemimpin bersama-sama dengan bawahan berusaha untuk menentukan
cara-cara yang dianggap efektif guna mengatur perilaku individu dengan
harapan mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin.
.
Pemimpin bersama-sama dengan bawahan untuk merumuskan berbagai
permasalahan yang sedang dihadapi oleh organisasi, dan dengan menitik
beratkan pada perilaku individu bawahan.
.
Pemimpin cenderung mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapi
baik secara masalah umum organisasi ataupun masalah mikro.


Dengan pengembangan model social learnina pimpinan dan bawahan
berusaha secara bersama-sama untuk memperlajari perilaku masing-masing
individu guna tercapainya interaksi yang saling memberi dan menerima guan
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi, dengan demikian maka
model social learning tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi di dukung pula oleh
model lain yang berusaha untuk melihat segala sesuatu berdasarkan situasi yang
sedang terjadi saat itu, maka dengan melihat ini, pendekatan kepemimpinan yang
bersifat situasional memiliki peranan yang dianggap penting.

Teori kepemimpinan situasional merupakan suatu perkembangan yang
dianggap terkini dan merupakan rekayasa baru dalam ilmu pengetahuan dan ilmu
manajemen modern, walaupun sebenarnya teori ini dikembangkan oleh Paul
Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977 ; 160), yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan “ Life cycle theory laedershif.”.



Lebih lanjut Hersey dan Blanchard mengemukakan bahwa pada prinsipnya
teori ini dikembangkan melalui prinsip-prinsip seperti berikut, model
kepemimpinan seperti ini didasarkan atas hubungan garis lengkung diantara;
kadar bimbingan dan arahan yang diberikan oleh pemimpin, kadar dukungan
sosioemosional yang disediakan pemimpin, dan level kematangan yang dimiliki
oleh pemimpin (Hersey dan Blanchard; 1986 ; 178).

Dalam teori ini, bimbingan dan arahan merupakan kebutuhan masing-
masing tiap individu dan adanya kesadaran yang saling terbuka dari masing-
masing anggota untuk saling mengingatkan, terlebih di dukung oleh keinginan
pemimpin yang memiliki jiwa dan dedikasi yang tinggi terhadap karyawan.

Dukungan sosioemosional pula merupakan suatu kebutuhan yang dapat
membantu dalam pembentukan baik perilaku maupun emosional dari masing-
masing anggota organisasi, dan penekanan utamanya diawali oleh adanya
sosioemosional yang stabil dan baik yang dikembangkan oleh pemimpin,
sehingga dengan demikian, maka tujuan utama organisasi akan semakin cepat
tercapai.

Demikian pula dengan kematangan yang diartikan sebagai kemampuan
dan kemauan para pengikut untuk bertanggung jawab dan mengarahkan perilaku
mereka sendiri, kematangan disini memiliki arti yang sangat spesifik yakni
diartikan bahwa tidak semua orang memiliki keterampilan yang mapan pada
semua faktor, akan tetapi hanya mungkin memiliki keahlian pada satu sisi saja,
dengan keahlian ini maka tingkat kematangan individu akan semakin menguat,
dan dengan kematangan ini, maka terlibat pula komponen lain, seperti, orang yang



memiliki motif berprestasi, memiliki karakteristik umum tertentu, kemampuan
dalam merumuskan pencapaian tujuan-tujuan yang cukup tinggi, berkaitan dengan
istilah tanggungjawab dapat dilihat dari dua konsep, yaitu; individu yang tidak
mau dan tidak mampu untuk bertanggungjawab, dan individu yang mau tetapi
mampu untuk bertanggungjawab, individu yang mampu tetapi tidak mau
bertanggung jawab, dan individu mau dan mamapu untuk bertanggung jawab, sisi
lain yang ikut membentuk kematangan adalah berkaitan dengan pendidikan atau
pengalaman, berkaitan dengan untuk melakukan tugas yang diangga relevan, dan
berkaitan dengan variabel-variabel situasional.

Dari demikian banyak dan macam ragam serta model kepemimpinan
merupakan dukungan teori atas pondok pesantren yang diharapkan mampu untuk
membuka diri dengan interpensi dari luar guna mempersiapkan kader
kepemimpinan di masa mendatang, sebab dengan menutup diri campur tangan
dari pihak luar, maka kemungkinan pemimpinnya di masa mendatang ataupun
terlebih dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan tersebut.

Sebenarnya berbagai gaya kepemimpinan telah di tawarkan dalam kajian
ini, nama, namun demikian adanya yang cenderung menonjol dalam mekanisme
kepemimpinan seorang kyai adalah cenderung otoriter, kharismatik dan monoton,
sedangkan sampai kapan model kepemimpinan semacam ini akan bertahan,
mungkin akan mewakili bila pemimpin ke satu, ke dua dan berikutnya sama
memiliki sifat kharismatik, akan tetapi jika tidak maka akan mengganjal
kemanjuan pesantren.



H. Studi Atas Penelitian Terdahulu

Membahas suatu model dan gaya kepemimpinan nampaknya peneliti
makin tertuju kepada dunia pesantren, hal ini memang dianggap menarik sehingga
bermunculan peneliti yang membahas tentang kepemimpinan pesantren karena
model dan gaya kepemimpinan yang ada di pesantren merupakan suatu model
yang dianggap unik, sebab hal ini biasanya dilakukan dengan turun temurun dan
hanya berputar sekitar keluarga pesantren.

Penelitian terdahulu yang dikembangkan oleh Mastuhu (1999; 123)
memberikan suatu keterangan yang menandai bahwa pesantren yang rata-rata
milik pribadi, serta kepemimpinannya adalah dilakukan dengan model
pelimpahan kepemimpinan dari dan ke pendiri, ke anak menantu-cucu-santri
senior, artinya ahli waris pertama tetap yang memegang tonggak kepemimpinan
terletak pada tangan pertama yaitu akan dari seorang kyai dan sampai urutan
berikutnya, seperti yang diterangkan di atas.

Hal ini masih mungkin dapat dilakukan bila seorang Kiai memiliki anak
laki-laki, akan tetapi bila tidak memiliki anak yang dianggap sanggup untuk
memimpin pesantren tersebut, maka biasanya dilimpahkan pada santri seniornya,
sedangkan dalam kasus sperti ini, terkadang santri seniornya lebih memilih untuk
mendirikan pesantren sendiri.

Ketika kasusnya dihadapkan pada kenyataan seperti ini, maka berakhirlah
pesantren yang bersangkutan karena tidak ada yang meneruskannya, seperti dapat
dilihat dari kasus pergantian pesantren Tebuireng, di awali dari ponok pesantren
Nggendeng, yang didirikan oleh Kiai Usman pada pertengahan abad ke 19,



kemudian diteruskan oleh menantunya, Kiai Asy’ari dengan mendirikan pondok
pesantren di Keras pada tahun 1876-an, dan popularitas pndok pesantren
Nggendeng akhirnya menurun bahkan akhirnya tutup, yang akhirnya
kemunculannya kembali di gantikan oleh putranya dengan merintis kembali oleh
Muhamad Hasyim dengan mendirikan pondok pesantren baru yang lebih dikenal
dengan pondok pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari,
popularitas pesantren Keras menurun pula, yang akhirnya setelah pendirinya
K.H. Hasyim Asy’ari meninggal, maka dilanjutkan oleh K.H. A. Wahid Hasyim
(1974-1950), kemudian karena Wahid Hasyim pindah ke Jakarta sehingga dengan
berbagai kesibukannya, maka dilanjutkan olwh saudaranya K.H. A. Karim
Hasyim, yang hanya sempat memimpin sampai dengan satu tahun karena
meninggal dunia, selanjutnya pimpinan pesantren di ganti oleh saudara iparnya,
K.H. Ahmad Baidhawi (1951-1952), dan demikian pula tidak bertahan lama, lalu
dilimpahkan ke keturunan pendiri utama, yaitu, K.H. A. Khaliq Hasyim (1952-
1965), dan setelah beliau meninggal dilanjutkan oleh saudaranya K.H. Yusuf
Hasyim sampai dengan sekarang.

Berbeda dengan riwayat kepemimpinan yang dikembangkan oleh pondok
pesantren Sukorejo, yang pendiri utamanya adalah K.H. Raden Syamsoel Arifin
(1914-1951), lalu digantikan oleh putranya K.H. Raden As’ad Syamsoel Arifin
(1951-1988) dan sekarang dilanjutkan oleh K.H. Fawaid, yaitu oleh putranya.

Demikian halnya dengan pesantren Gontor Ponorgo, saat ini ada dua dari
trimurti kepemimpinan pondok pesantren Gontor Ponorogo, yaitu keturunan
langsung dari pendiri pesantren, hal ini terjadi karena masih dekatnya periode dari



genersi kesatu ke generasi lainnya, sehingga pengaruhnya dari pendiri pertama
masih terasa kuat, dan sekaligus sebagai pernyataan terima kasih dan rasa
penghormatan kepada pendirinya, dan karena dua ari trimurti sekarang ini
memiliki tingkat pendidikan tinggi, salah satunya adalah bergelar magister,
sehingga suksesi itu karena faktor pendidikan keturunan keluarga pesantren ikut
mewarnainya.

Kasus diatas memberikan suatu kejelasan bahwa faktor utama yang harus
di perhatikan oleh keluarga pesantren adalah mengutamakan pendidikan
keturunan pesantren yang nantinya akan dipersiapkan untuk melanjutkan tahta
kepemipimpinan berikutnya telah dipersiapkan secara matang guna menghadapi
berbagai kemungkinan yang akan terjadi, yakni terutama ketika Kiai dari pendiri
pesantren tersebut meninggal dunia, dan sinyalemen ini sekaligus merupakan
suatu ulasan atas hasil yang diharapkan dari studi teoritis terdahulu,yaitu
mengenai suksesi kepemimpinan Kiai di pesantren.

Suksesi kepemimpinan yang dijadikan sumber dalam penelitian ini adalah
di fokukan di wilayah kota Cirebon, sebab disamping masih membutuhkan
berbagai perhatian dari praktisi, peneliti, dan masyarakat akademik serta
masyaraat umum yang senantiasa memberikan perhatian yang cukup serius guna
kemajuan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di masa mendatang,
sehingga akibat yang akan muncul ketika hal ini terabaikan oleh berbagai pihak
tersebut, maka tidak mustahil pesantren akan mengalami nasib yang sama dengan
pesantren terdahulu, yakni mengalami kemandegan karena tidak adanya pimpinan



berikutnya yang melanjutkan tampuk kepemimpinan pesantren di masa
mendatang.

I. Wilayah Kajian Penelitian Administrasi Pendidikan

Kajian penelitian yang dibahas adalah termasuk ke dalam kajian bidang
administrasi pendidikan, dan ruang lingkupnya meliputi bidang kegitan, pertama,
manajemen administrative (administrative management), dimana kegiatan pada
bidang ini disebut juga dengan management administrative function yang
memiliki tujuan mengrahkan agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan semua orang
dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan kedua,
adalah manajemen operatif (operative management) dan kegiatan yang dilakukan
pada bidang ini adalah disebut juga dengan management by operative , dan
wilayah kerjanya meliputi sekitar pengadaan, pengarahan, dan pembinaan agar
dalam mengerjakan kegiatan organisasi yang menjadi tugas masing-masing dapat
dilaksanakan tidak hanya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi
juga dapat berjalan dengan tepat dan benar.

Dalam keterangan lain dikatakan mengenai ruang lingkup administrasi
pendidikan, yaitu meliputi pendekatan yang bersifat teoritik, dimana hal ini
berhubungan erat dengan perilaku dalam melaksanakan kegiatan administrasi
sekolah, dan berbagai kegiatan serta pendekatan yang bersifat teoritik dapat
digunakan untuk menganalisa administrasi pendidikan sepanjang hal demikian
konsisten untuk menjadi landasan pedoman kerja administrasi pendidikan.

Engkoswara (1987; 42-43) mengemukakan bahwa administrasi meliputi
wilayah kerja yang bertujuan untuk mempelajari penataan sumber yang ada,



dimana di dalamnya meliputi penataan dalam bidang manusia, atau personel,
kurikulum atau sumber belajar lainnya yang berupa fasilitas guna mendukung
keberhasilan belajar secara optimal.

Pada dasarnya administrasi pendidikan merupakan suatu media untuk
mencapai tujuan pendidikan secara produktif, yaitu efektif dan efisien, dimana
ruang lingkup efisien itu sendiri meliputi, pertama, kegairahan dan motivasi
belajare yang tinggi, kedua, semangat kerja yang besar, ketiga, kepercayaan
berbagai pihak, keempat, pembiayaan yang hemat dan tenaga yang
sekecilmungkin tetapi mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya, sedangkan
efektifitas itu sendiri meliputi; pertama, masukan yang berarti, kedua, keluaran
yang bermutu, ketiga, ilmu keluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang sedang membangun, keempat, luaran yang memadai.

Kriteria keberhasilan diatas memerlukan suatu proses administrasi
pendidikan, minimal meliputi perilaku manusia berorganisasi dalam kebudayaan
yang dapat dinyatakan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, pengsawan, serta
pembinaan terhadap sumber daya pendidikan lainnya.

Di awal telah diterangkan bahwa kajian kepemimpinan merupakan bagian
dari ilmu manajemen yang berguna bagi peningkatan mutu proses menuju hasil
yang optimal bagi suatu kinerja organisasi, dan hal ini termasuk kedalam bagian
yang dibahas oleh pesantren, juga termasuk kealam katagori yang dikehendaki
oleh bidang administrasi pendidikan, yakni bagaimana efektifitas pembuatan
model re-generasi kepemimpinan di pesantren, dengan terciptanya itu semua,



maka proses percepatan inovasi kepemimpinan di pesantren akan tetap tercipta
sesuai dengan norma kebijakan manajemen modern.

Pada akhirnya, utaian teoritik diatas menunjukkan kepada salah satu
prinsip kebersamaan tujuan, baik berupa tujuan Kiai yang dibentuk melalui visi
dan misinya lewat pesantren, juga pemberdayaan masyarakat yang dibentuk
berdasarkan tuntutan, harapan, dan desakan suatu perubahan menuju sesuatu yang
dianggap lebih baik dan dapat menjamin stabilitas organisasi pesantren.

J. Analisis Hasil Antara Teori dengan Lapangan

Kajian teoritik memberikan gambaran bahwa penataan sistem
kepemimpinan pondok pesantren memerlukan suatu model penanganan yang cukp
serius (terintegrasi, dan komprehenshif), baik ditinjau dari sudut administrasi
pendidikan maupun manajemen pemberdayaan masyarakat, maka pesantren
sebagai suatu lembaga pendidikan yang berakar dari masyarakat memerlukan
peningkatan efektifitas dan efisiensi kinerjal lembaga guna mendapatkan hasil
yang optimal, hal ini sangat erat hubungannya dengan pertama, potensi strata
masyarakat, kedua, saluran interaksi masyarakat dan pemerintah, ketiga, peranan
aspirasi dan saluran masyarakat, keempat, pemberdayaan peranserta, dan katagori
tersebut mengarah kepada produktivitas kinerja lembaga pesantren, baik dilihat
dari sudut personel Kiai sebagai pengasuh pesantren dan pemegang terpenting
sebuah kebijakan, juga sebgai kelompok atau organisasi pesantren.

Mengacu kepada teori diatas, maka dapat ditarik suatu benang merah
mengenai sistem suksesi kepemimpinan Kiai di pesantren berikut manajemen
pemberdayaan masyarakat, antara lain meliputi;



.
Efektifitas pergantian kepemimpinan Kiai di pesantren sangat erat
hubungannya dengan masalah siapa dan bagaimana sosok penggantinya,
dan hal inilah yang cenderung memiliki kendala yang cukup berarti, sebab
penilaianmasyarakat dengan bergatinya pemimpin pesantren, maka akan
memberikan alasan yang tersendiri bagi terbentuknya sebuah kepercayaan
yang baru, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup panjang.
.
Tingkat pemberdayaan masyarakat tidak terlepas dari bagaimana intensitas
keterlibatan masyarakat berperanserta dalam merumuskan suatu model
kebijakan, sebab selama ini masyarakat termasuk golongan yang
termarjinalkan oleh pesantren, walaupun pada teorinya lembaga
pendidikan islam seperti pesantren termasuk kedalam lembaga milik
masyarakat, dimana hidup dan matinya pun masyarakat ikut
menentukannya, namun pada kenyataannya lembaga ini termasuk sulit
sekali dijangkau oleh masyarakat, terutama dalam merumuskan model
kebijakan pesantren.
.
Inovasi kepemimpinan Kiai sebenarnya tidak terlepas dari pemegang
teguh kebijakan Kiai itu sendiri, oleh sebab itu wlaupun pada landasan
teorinya sistem suksesi di dalam pesantren di serahkan kepada masyarakat,
namun pada kenyataannya Kiai memegang teguh kendali pelimpahan
wewenang tersebut.


Hubungan yang dilakukan oleh Kiai sebagai administrator di
pesantren hendaknya memperhatikan kelemahan dan keunggulan serta prestasi
kerja yang selama ini dicapai oleh pesantren tersebut, terutama dalam menjalin

kerjasama dengan pihak lain, dalam hal ini masyarakat, sehingga dengan
demikian, maka pesantren juga berfungsi dalam mengadakan kontak kerjasama
dengan pihak masyarakat (Made Pidarta, 1986; 367).

Selanjutnya, tugas utama yang diemban oleh masyarakat dalam rangka
menerima amanat dari pesantren sebagai penerus gerak langkah dan majunya
pesantren, sehingga dapat dianalisa bagaimanapun baiknya suatu model kebijakan
Kiai di pesantren, namunketika hal ini tidak dapat diterima oleh masyarakat,
makaakan mengalami hambatan yang cukup berarti, demikian pula sebaliknya
dengan model perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat ketika Kiai sebagai
pemegang teguh kebijakan pesantren masih menutup diri,maka akan mengalami
kesluitan bagi tingkat perkembangan dan kemajuan pesantren.