BAB I. PENDAHULUAN
Diakui atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini kian memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka adalah bukti bahwa pendidikan kita telah gagal membentuk akhlak anak didik.
Pendidikan kita selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan. Kita lihat berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka.
Tampak dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi kemunafikan karena yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja.
Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan.
Pendidikan kita juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah.
Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Sejarah membuktikan bahwa, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Adzariyaat ayat 34:
34. Yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas".
Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi.
Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan.
Permasalahan dunia pendidikan dinegara kita memang terlihat begitu kompleks tetapi kami optimis masalah ini akan bisa teratasi, oleh karena itu pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam hal ini memerlukan sebuah perubahan yang besar di dalam sistem pendidikan nasianal secara terencana, terarah dan terukur untuk perbaikan di dunia pendidikan. Kita akui bahwa pemerintah telah mengadakan inovasi dalam sistem pendidikan, dimulai sejak jaman kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi hingga sekarang yaitu :
RENCANA PELAJARAN 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
KURIKULUM 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
KURIKULUM 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
KURIKULUM 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
KURIKULUM 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
Kita berharap semoga perubahan untuk sistem pendidikan di negara kita ini bukan sebagai tambal sulam tetapi tentunya harus sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri seperti yang di tuangkan didalam Tujuan Pendidikan Nasional.
Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
BAB. II PERUBAHAN TERENCANA
A. Pengertian Perubahan
Masa depan kita adalah sesuatu yang belum diketahui dan jelas penuh dengan ketidak-pastian serta diiringi dengan segala dinamika perubahan yang tidak dapat dihindari. Manusia ditanatang untuk menghadapi sebab masa depan merupakan masa yang akan dihadapi, suka tidak suka, mau tidak mau.
Untuk merencanakan masa depan ada satu sisi lainnya yang perlu diperhatikan, sebagai yang dikemukakan oleh Bennis, Benne, Chin (1989, pp.550), sebagai berikut :
Dengan penuh keyakinan dapat dinyatakan : ada satu hal yang dapat kita katakan mengenai masa depan manusia kurang lebih akan mengejutkan. Gejala keterkejutan itu bukan sesuatu yang timbul hanya karena ketidak-tahuan manusia, walaupun ketidak-tahuan itu dapat berkaitan dengan apa yang sisebut keterkejutan yang tidak perlu. Akan tetapi, ada sesuatu yang mendasar dalam sifat sistem evolusioner, yang memustahilkan perbuatan peramalan yang pasti mengenai sistem itu. Sistem sosial itu sebagian bersifat revolusioner sehingga sistem-sistem itu mengandung sifat keterkejutan yang tampak sukar dihilangkan.
Ungkapan tersebut diatas menyiratkan bahwa perubahan adalah sesuatu yang akan terjadi, dikehendaki, ataupun tidak, yang bisa menimbulkan gejolak dan kejutan bagi kehidupan manusia.
Perubahan selalu terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Perubahan itu terjadi baik secara alamiah maupun secara disengaja dan direncanakan oleh manusia. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut antara lain faktor kebudayaan, lingkungan, teknologi, pendidikan dan berbagai upaya pembangunan.
Selo soemardjan memberi rumusan tentang perubahan yaitu segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soerjono, 1994, p. 337), sedangkan menurut pendapat Bennis, Benne dan Chin, mengemukakan pengertian perubahan terencana sebagai berikut :
Planned change is the application of systematic and appropriate knowledge of human affairs for the purpose of creating intelligent action and change (Bennis & Mische, 1995)
Rumusan yang lebih baru berasal dari kelompok ahli yang berasal dari bidang ilmu sosial, Lippit, Watson, dan Wetsey, misalnya, mengemukakan bahwa terdapat beberapa macam perubahan yaitu development change (perubahan karena perkembangan), furtuitous or accidental change (perubahan secara tiba-tiba) dan planned change (perubahan terencana). Baik perubahan karena perkembangan maupun perubahan secara tiba-tiba, semua merupakan perubahan yang tidak direncanakan. Keduanya merupakan bentuk perubahan yang terjadi bukan atas kemauan sendiri atau karena tekanan dari luar yang memaksa suatu sistem untuk melakukan perubahan. Sebaliknya, perubahan terencana adalah perubahan yang dilakukan secara sengaja lebih banyak atas kemauan sendiri, sehingga proses perubahan itu lebih banyak diusahakan oleh sistem sendiri.
Menurut Benne & Mische, (1990 p. 48) perubahan terencana mempunyai beberapa karakteristik diantaranya adalah :
1. Planned change involves a delebrate, purposesful, and explisit decision to engage in a program of problem solving and improvement
2. Planned change reflects a process of change which can apply to a variety of human client system
3. Planned change almost always involves external profesional guidance
4. Planned change generally involves a strategy of collaboration and power sharing between the change agents and the client system
5. Planned change seeks utilization of valid knowledge or data to be used in the implementation of change.
Jadi perubahan terencana selalu mempunyai ciri untuk melibatkan langsung para penggunanya dala proses perubahan. Hal ini berarti bahwa suatu perubahan terencana bukanlah suatu progaram yang dilaksanakan dari atas, atau hanya diprogram oleh para ahli tanpa keinginan dan keterlibatan dari mereka yang nantinya terkena akan akibat dari perubahan itu. Ia selalu harus merupakan suatu kolaborasi antara agen pembaharu dengan pengunanya
B. Proses perubahan
Proses perubahan terencana adalah tahap-tahap perubahan yang dengan sadar dan disengaja direncanakan oleh pihak-pihak yang akan mengadakan perubahan dalam masyarakat . pihak-pihak yang menghendaki adanya perubahan itu disebut “agent of change” yaitu orang atau kelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Proses perubahan terencana adalah tahap-tahap perubahan yang dengan sadar dan disengaja direncanakan atau diadakan atas dasar kerjasama berupaya memperbaiki operasi suatu sistem manusiawi, baik berupa sistem diri, sistem sosial, maupun sistem kultural melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Menurut Lippit, Watson, dan Westley perubahan itu melalui tujuh tahapan, yaitu :
1. Pengembangan kebutuhan perubahan
Perubahan terencana selalu mencakup usaha untuk memecahkan persoalan tertentu atau setidak-tidaknya untuk mengatasi kesulitan tertentu. Tahapan ini diperlukan dan dapat digunakan oleh segala bentuk sistem sosial, seperti perseorangan, kelompok, organisasi ataupun masyarakat. Pada umumnya, dapat dilakukan apabila orang-orang yang ada dalam sistem itu mulai merasakan keperluannya untuk mencari agen pembaharu yang dapat membantu memecahkan persoalan tersebut.
2. Membangun hubungan
Pada tahapan ini, pengguna dan agen pembaharu mulai mengembangkan hubungan kerja antara mereka. Dalam tahapan ini terjadi proses penjajagan mengenai sistem nilai yang dianut oleh kedua belah pihak. Juga terjadi proses saling uji mengenai metode yang akan digunakan oleh kedua belah pihak dianggap tepat bagi terjadinya proses perubahan terencana yang diharapkan.
3. Diagnosis masalah klien
Aspek penting dalam tahapan ini adalah kegiatan diagnosis atau masalah yang dihadapi oleh sistem yang akan mengalami perubahan tersebut. Proses diagnosis ini harus dilakukan secara teliti dan cermat, karena akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan pelaksanaan tahap-tahap berikutnya dan malahan mungkin proses terencana itu secara keseluruhan.
4. Pengujian alternatif tujuan dari tindakan
Dalam tahapan ini hasil diagnosis dirumuskan dalam bentuk kemungkinan tindakan. Strategi pelaksanaan mulai ditentukan, dan beberapa tehnik intervensi mulai diteliti untuk dapat memilih teknik intervensi yang paling tepat.
5. Penerapan tindakan
Dalam tahapan ini beberapa teknik intervensi yang sudah dipilih mulai diterapkan. Karena dalam pelaksanaannya pengguna harus tetap terlibat secara aktif, maka seringkali para pengguna mengganggap tahapan ini tahapan yang paling berat. Selain itu, hal-hal yang praktis seperti adanya keengganan untuk berubah dari berbagai unsur yang ada dalam sistem tersebut mulai menampak nyata. Dalam tahap pelaksanaan ini langkah-langkah untuk mendapatkan umpan balik perlu juga mendapatkan perhatian.
6. Generalisasi dan stabilisasi
Hal yang utama yang perlu diperhatikan pada tahap ini adalah usaha untuk meyakinkan kedua belah pihak bahwa perubahan yang telah dilakukan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hasil tersebut bersifat relatif tetap dan stabil. Perhatian tadi diperlukan karena pengalaman yang sering menunjukkan bahwa perubahan dan hasilnya tersebut akan menghilang kembali sesudah mengalami beberapa jangka waktu tertentu.
7. Mengakhiri hubungan dengan agen perubahan dan evaluasi
Bila hasil pengamatan tadi sudah menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan sudah melembaga, maka bantuan dari luar sudah tidak diperlukan lagi. tugas dari pengguna selanjutnya adalah ,mengambil pelajaran dari proses kolaborasi yang dia lakukan bersama agen pembaharu. Hal ini diperlukan selain agar para pengguna dapat mempertahankan sistem yang sekarang ada, juga karena dengan demikian para pengguna menjadi tidak terlalu tergantung kepada agen pembaharu yang adadiluar sistem itu.
C. Strategi Perubahan dan Agen Perubahan
1. Strategis Empiris – Rasional
Alasan yang mendasari strategi ini adalah asumsi bahwa manusia dibimbing oleh akal budi dan bahwa manusia akan menggunakan alasan kepentingan diri sendiri secara rasional dalam menentukan perubahan yang dibutuhkan dalam perilaku. Pendidikan dan riset memegang peranan penting dalam upaya memperluas pengetahuan dan mengurangi kebodohan.
a. Riset Dasar
Merupakan suatu strategi mendorong pembentukan pengetahuan dasar dan yang menggangtungkan pada pendidikan umum untuk menyebarkan hasil riset kedalam pikiran dan otak manusia yang benar-benar masih merupakan strategi perubahan yang paling menarik.
b. Seleksi dan Penggantian Personil
Perubahan akan mengalami kesulitan personil yang menduduki posisi dan tanggung jawab dalam perubahan tersebut tidak sesuai.
c. Analisis Sebagai Staff dan Konsultan
Manusia merupakan sumber daya yang besar peranannya bagi suatu sistem atau organisasi. Pegawai-pegawai pemerintah, industri dan pendidikan biasanya bekerja dalam kebudayaan staf dengan manajemen lini yang mencerminkan bentuk organisasi lini staf birokratik, yang berkembang pesat dalam organisasi karya dan perusahaan skala besar. Dalam rangka mengejar efisiensi, menejemen lini memperkerjakan tenaga ahli untuk menganalisis system sosioteknis dan merencanakan system yang lebih efisien. Tenaga ahli yang dipekerjakan itu dapat bekerja sebagai konsultan ekstren atau sebagai unit staf intern.
d. Riset terapan dan sistem Hubungan untuk Penyebaran Hasil Riset
Riset terapan dalam aspeknya yang menyangkut pengembangan produk telah dimanfaatkan secara besar-besaran untuk menyumbang bahan dan rancangan kurikulum bagi ilmu pengajaran.Hubungan antara upaya riset pengembangan dengan upaya penyebaran inovasi memperoleh kemajuan dalam bidang pendidikan dengan adanya Pusat Riset dan Pengembangan yang berpangkalan pada universitas dan didukung oleh pemerintah.
Konsep-konsep yang berasal dari ilmu pengetahuan perilaku yang menjadi dasar strategi penyebaran ini terutama berasal dari dua tradisi. Pertama, berasal dari study mengenai penyebaran nilai-nilai kultur dari suatu system kultur ke system kultur lainnya. Kedua, berasal dari study mengenai pengaruh dalam komunikasi massa. Kedua tradisi tersebut mengasumsikan suatu penerimaan masukan yang relative pasif dalam situasi penyebaran. Dan strategi untuk membuat proses penyebaran lebih efektif harus dirancang agar bersifat transaksional dan kolaboratif.
e. Pemikiran Utopia Sebagai Suatu Strategi Perubahan
Menemukan dan merancang bentuk masa depan dengan mengekstrapolasi apa yang kita ketahui pada masa sekarang ini akan menggambarkan arah untuk perencanaan dan tindakan pada saaat sekarang ini. Jikalau gambaran mengenai suatu masa depan potensial meyakinkan dan dan secara rasional persuasif bagi orang yang ada pada masa sekarang ini, maka gambaran tersebut mungkin menjadi bagian dari dinamika dan motivasi tindakan sekarang.
f. Reorganisasi Perseptual dan Konsep Malalui Penjelasan Bahasa
Dalam liberalisme klasik, salah satu yang dianggap musuh perubahan rasional dan kemajuan adalah takhyul. Dan takhyul dibawa dari orang ke orang, dari generasi ke generasi melalui agen bahasa yang tidak jelas dan mistis. Jeremy Bentham, berusaha memurnikan bahasa dari mistik yang berbahaya melalui studinya tentang fiksi. Orang yang didik dalam semantic umum, diharapkan akan melihat secara lebih tepat, berkomunikasi dengan lebih memadai, dan memberikan pertimbangan secara lebih efektif dan dengan demikian menempatkan dasar umum yang realistik bagi tindakan dan perubahan.
2. Strategi Perubahan Normatif Re-Edukatif
Hubungan antara manusia dan lingkungannya pada dasarnya bersifat transaksional. Manusia tidak menunggu secara pasif stimulus tertentu dari lingkungannya untuk ditanggapi. Oleh karena itu, perubahan pola tindakan atau praktek adalah perubahan, bukan hanya pada perlengkapan informasional rasional manusia, melainkan juga pada tingkat pribadi, dalam kebiasaan serta nilai dan juga pada tingkat sosiokultural, perubahan dalam struktur normatif, dalam peran dan hubungan yang dilembagakan, dan dalam orientasi kognitif, dan perceptual.
Sumbangan Lewin bagi strategi normative re-edukatif berasal dari pandangannya mengenai antar hubungan yang dibutuhkan antara riset, pelatihan, dan tindakan dalam pemecahan masalah manusia, dalam identifikasi kebutuhan untuk perubahan, dan dalam usaha perbaikan pengetahuan,teknologi,dan pola tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Manusia harus berpartisipasi dalam re-edukasinya sendirijikalau dia hendak dire-edukasi sama sekali.
Beberapa unsur biasa diantara varian-varian didalam kelompok strategi perubahan ini adalah sebagai berikut, pertama, semua menekankan system klien dan keterlibatannya dalam penyusunan program perubahan dan perbaikan bagi dirinya sendiri. Kedua, masalah yang menghadang klien tidak diandaikan secara apriori merupakan salah satu masalah yang dapat dihadapi dengan informasi yang lebih memadai meskipun masalah ini tidak dikesampingkan. Ketiga, agen perubahan harus belajar saling dan secara kolaboratif campur tangan bersama-samadengan klien dengan upaya untuk menetapkan dan mengatasi masalah klien yang bersangkutan.keempat, unsure-unsur bawah sadar yang menghambat pemecahan masalahharus disadari dan diperiksa serta direkonstruksi didepan umum. Kelima, metode dan konsep mengenai ilmu pengetahuan prilaku merupakan sumber daya yang dapat dipelajari dan digunakan secara selektif, relevan, oleh agen perubahan dank lien dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi dan masalah serupa dimasa yang akan datang.
3. Pendekatan Kekuasaan Paksaan dalam Mengadakan Perubahan
Unsur kekuasaan apa yang ditekankan oleh strategi kekuasaan paksaan? Pada umumnya, tekanannya adalah pada sangsi-sangsi politik dan ekonomi dalam penggunaan kekuasaan. Namun strategi paksaan lainnya menekankan penggunaan kekuasaan moral, dengan menggunakan perasaan bersalah dan perasaan malu.
Apabila seseorang atau sebuah kelompok berkubukan kekuasaan dalam suatu system social, menguasai legitimasi politik dan menguasai sangsi politik serta ekonomi, maka orang atau kelompok yang bersangkutan dapat menggunakan strategi kekuasaan paksaan dalam mengadakan perubahan, yang mereka anggap diperlukan sekali, tanpa banyak diketahui oleh orang-orang yang tidak mempunyai kekuasaan dalam system tersebut sedang digunakan.
Bermacam strategi kekuasaan paksaan umumapakah yang akan digunakan entah oleh orang-orang yang berkuasa jika mereka berusaha mempertahankan kekuasaannya atau oleh orang-orang yang tidak berkuasa dan yang berusaha memperbesar kekuasaannya dapatlah diidentifikasi sbb:
a. Strategi tanpa kekerasan
Mahatma Gandhi dapat dipandang sebagai teoretisi dan praktisi yang
paling menonjol atas strategi tanpa kekerasan untuk mengadakan perubahan, meskipun strategi tersebut tidak berasal dari beliau. Melemahkan atau memecahkan perlawanan melalui paksaan moral dapat dipadukan dengan sangsi ekonomi-seperti penolakan Gandhi untuk membeli garam dan komoditi buatan inggris lainnya di india atau seperti boikot ekonomi terhadap produk dari pabrik atau perusahaan yang menerapkan diskriminasi rasial yang dilancarkan oleh orang-orang yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi.
b. Penggunaan lembaga politik untuk mencapai perubahan
Kekuasaan politik biasaanya memainkan peranan penting untuk mencapai perubahan dalam kehidupan kelembagaan. Kesulitan sehubungan dengan penggunaan lembaga politik untuk mengadakan perubahan muncul karena agen perubahan terlalu berlebihan mengestimasi kemampuan tindakan politik untuk mengadakan perubahan.
c. Perubahan melalui penyusunan kembali dan manipulasi elit kekuasaan.
Karl Mark berpendapat bahwa ideologi kelas yang berkuasa menentukan batas-batas pemikiran kebanyakan kaum intelektual dan orang-orang yang bertanggung jawab atas proses pendidikan serta batas-batas komunikasi, maka alasan untuk urusan yang ada, termasuk konsentrasi kekuasaan politik dan ekonominya, diadakan dan disebarkan oleh kaum intelektual, pendidik, dan komunikator dalam system yang bersangkutan.
Konsep-konsep Mark telah mempengaruhi pemikiran orang sezaman tentang perubahan sosial baik didalam maupun diluar Negara yang telah menjadikan Marxisme sebagai orientasi yang resmi. Konsep-konsepnya cendrung mendukung asumsi tentang keharusah strategi kekuasaan paksaan untuk mencapai re-dristribusi mendasar kekuasaan social ekonomi atau untuk menata kembali atau memanipulasi elit kekuasaan dalam suatu masyarakat.
AGEN PERUBAHAN
1. Definisi Agen Perubahan
Willis H. Griffin dan Uday Pareek telah mendefinisikan agen perubahan. Mereka menyatakan bahwa: agen perubahan tersebut telah muncul sebagai seorang professional yang tugas-tugasnya adalah membantu komunitas-komunitas dan kelompok-kelompokuntuk merencanakan pembangunan atau merumuskan kembali tujuan-tujuan, memusatkan perhatian pada situasi-situasi bermasalah, mencari pemecahan-pemecahan yang mungkin, mengatur bantuan, merencanakan tindakan yang bermaksud untuk memperbaiki situasi-situasi tersebut, untuk mengatasi kesukaran-kesukaran menurut tindakan yang produktif, dan mengevaluasi hasil-hasil dari usaha yang direncanakan.
2. Beberapa Sasaran dari Agen Perubahan
Sasaran dari agen perubahan adalah usaha-usaha yang dapat menimbulkan perubahan baik secara individual maupun secara organisasi.
3. Agen Perubahan dan Wewenang
Hal ini berhubungan erat dengan usaha mengembangkan suatu peranan baru untuk kepemimpinan pendidikan, yaitu suatu peranan yang dikerjakan melalui penjelasan, konsultasi, persuasi, demonstrasi, experimentasi, pengambilan keputusan kelompok, keterlibatan nasabah, dan motivasi bukan mengejar wewenang. Agen perubahan yang dapat mencipta peranan baru ini untuk dirinya sendiri akan mencapai keberhasilan. Agen perubahan yang tergantung pada wewenang akan mengalami kegagalan kedalam pola lama dan ia sendiri seolah-olah sibuk tetapi hanya mencapai hasil yang kecil saja.
4. Beberapa Fungsi Agen Perubahan
Agen perubahan itu melaksanakan fungsi-fungsi atau peran-peran tertentu untuk mencapai sasaran-sasarannya. Satu fungsi yang dimainkannya adalah fungsi dari spesialis professional atas satu atau beberapa aspek dari pendidikan. Fungsi lain yang mungkin dilaksanakannya adalah memberikan bantuan pada beberapa proyek atau program-program perbaikan. Fungsi lainnya adalah ia berfungsi sebagai agen katalik. Dan yang terakhir ia berperan sebagai pembentuk system dan organisasi.
5. Peran-Peran Terkait
Fungsi-fungsi atau peran-peran utama lain adalah: pertama, fungsi pelaksanaan studi secara konstan atas system dari klien yaitu studi mengenai orang-orang, bidang-bidang, lembaga-lembaga, dan unit-unit yang membentuk system itu secara keseluruhan dengan system mana agen perubahan itu bekerja. Kedua, adalah fungsi pemeliharaan effisiensi perencanaan dan administrasi.
6. Pemilihan dan Pelatihan Agen Perubahan
Agen perubahan itu, apakah ia bekerja dalam budaya masyarakat atau bekerja dalam suatu budaya lembaga seperti budaya dalam suatu universitas tau bekerja dalam keduanya, harus memahami budaya tersebut dan menggali kemampuan untuk mengamati hal-hal itu dari sudut pandang para kliennya. Kemampuan melaksanakan hal ini ditentukan oleh factor-faktor kepribadian dan nilai-nilai, tetapi kemampuan itu akan dapat dikembangkan melalui pengalaman dan pelatihan. Fakta-fakta, hubungan-hubungan, proses-proses, dan nilai-nilai dari masyarakat atau lembaga dan staf lembaga itu perlu dipahami. Hal ini mengandung pengertian bahwa agen perubahan itu meninjau dari dalam sehingga agen perubahan dapat memahami mengapa orang-orang itu berprilaku dan melakukan reaksi seperti itu.
Para agen perubahan dalam bidang pendidikan perlu juga memahami model-model pendidikan. Perbedaan model pendidikan sebagai usaha mengejar keunggulan (education as market mechanism), dan model pendidikan sebagai suatu proses seleksi (education as a selection process).
D. Perubahan Terencana Bidang Pendidikan
a. Latar Belakang Kondisi Pendidikan Indonesia
Pendidikan dimasa orde baru dinilai berhasil secara kuantitatif, namun belum terlihat pemberdayaan masyarakat secara luas , hal ini dikarenakan setelah lima tahun pertama berkuasa secara sistematis telah menyiapkan scenario untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode . Akibatnya system pendidikan kemudian dijadikan sabagai salah satu instrument untuk menciptakan safetynet bagi pelestarian kekuasaan. Sehingga melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jaket.
Pendidikan produk orde baru belum bisa diharapkan untuk membangun dan memberdayakan masyarakat , karena pendidikan yang berjalan pada masa orde baru dan produknya sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan dan memasung kretifitas. Patut diakui bahwa produk orde baru masih diraskan pengaruhnya hingga saat ini, sedangkan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini sudah berubah yaitu era reformasi, sehingga pendidikan nasional dikembalikan pada fungsinya yaitu memberdayakan masyarakat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat untuk membangun dirinya sendiri.
Selain kondisi diatas, realitas abad 21 membawa sejumlah impilkasi bagi dunia pendidikan . Ini karena pendidikan bertugas mencaetak sumber daya manusia (SDM) yang langsung atau tidak langsung mempunyai andil dalam membangun dan mengarahkan peradaban, mengkonstruksi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang secara empiric terbukti sebagai kekuatan produktif dalam konstruksi peradaban.Bagi Indonesia, setidaknya ada tiga agenda pokok dalam merekrontuksi pendidikan nasional , yaitu : agenda daya saing ekonomi, agenda ekonomi politik dan agenda etik.
Pertama, agenda daya saing. Pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan manusia. Pendidikan merupakan kegiatan investasi SDM, dimana pengembangan ekonomi sangat berkepentingan. Pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM, yang unggul baik kapasitas penggunaan IPTEK maupun sikap mental, agar supaya menjadi subjek atau pelaku pembangunan ekoomi yang handal. Oleh karena itu pendidikan seringkali berkembang dengan tuntutan pembangunan ekonomi, dalam konteks ini kebijakan link and match dapat dipahami. Saat ini daya saing SDM Indonesia (World Competitiveness Report, 1996) terpuruk pada urutan ke 45 dibawah Singapura (ke 8), Malaysia (ke 34), Cina (ke 35) Filipina (38) dan Thailand (40)
Kedua, agenda ekonomi politik. Menurut data diatas menunjukan bahwa daya Saing SDM kita sangat rendah. Ini merupakan masalah structural dari kelangsungan pendidikan selama ini, sehingga menjadi agenda ekonomi politik. Begitu juga menyangkut politik anggaran, dimana kurun waktu 1983-1993 alokasi pendidikan di Indonesia hanya sebesar 10 persen, lebih rendah dari Singapura (22 persen), Thailand (21 Persen), Malaysia (20 persen) dan Filipina (15 persen) (DATA UNICEF, 1996)
Disini dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait melalui ekonomi politik yang diciptakan pemerintah. Pengembangan pendidikan semakin kondusif dan memiliki pengaruh positif bagi kondisi ekonomi politik, bila pemerintah semakin konsisten dalam memprogresifkan marketisasi ekonomi, seperti deregulasi, debirokratisasi, transparansi, serta keterbukaan politik agar kondisi ekonomi makro mendukung pengembangan SDM dari proses pendidikan formal sampai dengan memasuki dunia kerja.
Ketiga, agenda etik. Kapasitas penguasaan teknologi disertai etos kerja kuat saja tidak cukup membekali manusia untuk mengkontruksi peradaban abad 21. Modernisasi yang gencar dengan pemasyarakatan IPTEK, tidak saja membawa kemajuan berarti melalui indicator-indikator ekonomi dan teknis, tetapi juga menimbulkan dehumanisasi yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Oleh karenanya agenda etik, ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan kualitas SDM, agar kemampuan IPTEK diimbangi dengan nilai etika.
Melihat kondisi kondisi diatas maka perlu dilakukan perubahan terencana dalam pendidikan , meliputi bebrapa inikator perubahan, yaitu: perubahan terencana sekala makro dan mikro. Perubahan terencana dalam pendidikan dalam sekala makro meliputi : manajemen pendidikan, arah pendidikan, kebijakan link and match, pendidikan era globalisasi. Peran menejemen pendidikan dalam perubahan terencana ini dilakukan dari menentukan tolak ukur keberhasilan pendidikan, Kriteria hasil yang dicapai, strategi pengolahan pendidikan.
Tolak ukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan ialah dilihat dari efektifitas dan efesiensi pendidikan. Efektifitas pendidikan dapat dilihat dari sudut prestasi dan proses pendidikan. Prestasi dapat dilihat dari segi pemerataan, mutu, relevansi (link and Match) pendidikan. Sedangkan efesisnsi pendidikan dapat dilihat dari kemampuan menggunakan waktu, tenaga dan fasilitas sesedikit mungkin tetapi hasilnya banyak dalam arti merata, bermutu relevan dan menyenangkan atau secara umum dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyat dan menunjang pembangunan nasional pada umunya seoptimal mungkin.
Hasil pendidikan (produktifitas) pendidikan diukur berdasarkan : adanya kesejajaran antara tingkat pendidikan dengan pendapatan rakyat, hasil pendidikan digunakan sebagai tenaga pembangunan, adanya kepedulian dari bangsa indonesia ,orang tua, peserta didik, tenaga kependudukan maupun pemakai jasa pendidikan.
Strategi dasar pengolahan pendidikan nasional yang dikembangkan di Indonesia adalah: pertama, penyempurnaan Kesepakatan Nasional Pendidikan, GBHN 1993 menggariskan bahwa prioritas pembangunan nasional diletakan pada bidang ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas Sumber DAya Manusia. Kedua, diperlukan Strategi Operasional Pengelolaan Pendidikan Nasioanal. Secara rinci, minimal ada lima nuansa utama dalam masalah pengeloaan penddikan. Pertama, pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang merata, bermutu dan relevan disertai dengan pusat-pusat unggulan. Kedua, pengelolaan pendidkan dan tenaga kependidikan yang professional disertai dengan kesejahteraan yang memadai. Ketiga, pengelolaan peran dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan keluarga dalam melaksanakan pendidikan yang proposional. Keempat, penelitian pendidikan dan kebudayaan yang mendasar dalam kurun waktu yang cukup. Kelima, pengelolaan pembiayaan pendidikan yang efektif dan efesien.
Perubahan terencana dalam bidang pendidikan lima tahun kedepan dapat kita lihat pada uraian berikut ini yang tertuang dalam Rencana Strategis KEMENDIKNAS 2010-2014. Pembangunan pendidikan dilaksanakan dengan mengacu pada Rencana Pembanguna Jangka Menegah Nasional (RJPMN) Tahun 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025. RPJPN telah dijabarkan ke dalam empat tema pembangunan pendidikan, yaitu tema pembangunan I (2005-2009) dengan focus pada peningkatan kapasitas dan modernisasi; tema pembangunan II (2010-2015) dengan focus penguatan pelayanan; tema pembangunan III (2015-2020) dengan focus pada penguatan daya saing regional; dan tema pembangunan IV (2020-2025) dengan focus pada penguatan daya saing internasional.
b. Landasan Filosofis Pendidikan Nasional
Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar pembangunan pendidikan. Berdasarkan landasan filosofis tersebut, system pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya dengan tugas memimpin kehidupan yang berharkat dan bermartabat serta menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur dan berakhlak mulia. Pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma agama dan ketuhanan, norma persatuan bangsa, norma kerakyatan dan demokrasi dan nilai-nilai keadilan sosial.
c. Paradigma Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan didasrkan pada beberapa paradigma universal, yaitu : pemberdayaan manusia seutuhnya, pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik, pendidikan untuk semua, pendidikan untuk perkembangan, pengembangan dan atau pembangunan berkelajutan.
d. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan
Startegi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan 2010-2014 dirumuskan berdasrkan visi dan misi serta tujuan strategis kemendiknas dan memperhatiakan komitmen pemerintah terhadap konvensi Internasional mengenai pendidikan, khusunya Konvensi Dakar tentang Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak ( Convention of The Right Of Child), Milenium development Goal (MDGs) dan World Summit on Sustainable Development. Selanjutnya strategi tersbut diruaikan menjadi : Tujuan Strategi T1, yaitu tersedia dan terjangkaunya layanan PAUD bermutu dan berkesetaraan di semua propinsi, kabupaten dan kota. Strategi T2, yaitu : terjaminnya kepastian memperoleh layanan pendidikan dasr bermutu dan berkesetaraan di semua propinsi, kabupaten dan kota . Strategi T3, yaitu tersedi dan terjangkaunya layanan pendidikan menengah bermutu, relevan dan berkesetaraan disemua propinsi, kabupaten dan kota. Strategi T4, yaitu tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan tinggi bermut, relevan, berdaya saing ineternasional dan berkesetaraan di semua propinsi. Startegi T5, yaitu tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan orang dewasa berkelanjutan yang berkesetaraan, bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Strategi T6, yaitu tersedianya system tata kelola yang handal dalam menjamin terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional.
Dari strategi tersebut menghasilkan arah kebijakan pembanguna pendidikan nasional yang dirinci sebagai berikut :
1. Peningkatan Kualifikasi dan Sertifikasi Pendidik
2. Peningkatan Mutu Lembaga Pendidikan Tenaga Kpendidikan (LPTK) dan Lulusannya
3. Pemberdayaan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah
4. Pengembangan Metodologi Pendidikan yang Membangun Manusia yang Berjiwa Kreatif, inovatif, Sportif dan Wirausaha
5. Keterpaduan Sistem Evaluasi Pendidikan
6. Penguatan dan Perluasan Pemanfaatan TIK di Bidang Pendidikan
7. Penyedian Buku Teks Murah
8. Rasionalisasi Pendanaan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
9. Pemberdayaan Masyarakat, Dunia Usaha dan Dunia Industri
10. Penguatan dan perluasan Pendidikan Non formal dan Informal
11. Reformasi Birokrasi
12. Koordinasi antar Kementrian dan atau Lembaga Pemerintahan Pusat dan Daerah
13. Akselerasi Pebanguna pendidikan Daerah Perbatasan, Tertinggal dan Rawan Bencana
14. Penyelenggaraan dengan kebutuhan Dunia Usaha dan Dunia Industri
Demikianlah Perubahan terencana dalam pendidkan khusnya di Indonesia untuk jangka waktu lima tahun kedepan. Perubahn tersebut lebih kepada pendidkan secara makro. Adapun perubahan terancana dalam pendidikan secara mikro dapat dilakukan oleh guru sebagai slah satu unsure dalam pendidikan.
Guru dapat melakukan perubahan terencana dalam pendidikan diantaranya dalam metodologi pembelajaran dan melakukan class action research (penelitian tindakan kelas) ditempat mengajarnya.
Bab. III Kesimpulan
Ada beberapa inovasi yang telah dilaksanakan dalam sistem pendidikan di Indonesia, yaitu :
1. RENCANA PELAJARAN 1947
2. RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952
3. KURIKULUM 1968
4. KURIKULUM 1975
5. KURIKULUM 1984
6. KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999
7. KURIKULUM 2004
8. KTSP 2006
Perubahan selalu terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Perubahan itu terjadi baik secara alamiah maupun secara disengaja dan direncanakan oleh manusia. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut antara lain faktor kebudayaan, lingkungan, teknologi, pendidikan dan berbagai upaya pembangunan.
perubahan terencana selalu mempunyai ciri untuk melibatkan langsung para penggunanya dala proses perubahan. Hal ini berarti bahwa suatu perubahan terencana bukanlah suatu progaram yang dilaksanakan dari atas, atau hanya diprogram oleh para ahli tanpa keinginan dan keterlibatan dari mereka yang nantinya terkena akan akibat dari perubahan itu. Ia selalu harus merupakan suatu kolaborasi antara agen pembaharu dengan pengunanya.
Menurut Lippit, Watson, dan Westley perubahan itu melalui tujuh tahapan, yaitu :
1. Pengembangan kebutuhan perubahan
2. Membangun hubungan
3. Diagnosis masalah klien
4. Pengujian alternatif tujuan dari tindakan
5. Penerapan tindakan
6. Generalisasi dan stabilisasi
7. Mengakhiri hubungan dengan agen perubahan dan evaluasi
Ada 2 strategi perubahan yaitu :
1. Strategi Empiris-Rasional, terdiri dari :
• Riset Dasar
• Seleksi dan Penggantian Personil
• Analisis Sebagai Staf dan Konsultan
• Riset terapan dan Sistem Hubungan Untuk Penyebaran Hasil Riset
• Pemikiran Utopia Sebagai Suatu Strategi Perubahan
• Reorganisasi Perseptual dan Konseptual Melalui Penjelasan Bahasa
2. Strategi Perubahan Normatif Re-Edukatif, terdiri dari :
• Sistem klien dan keterlibatannya dalam perubahan
• Masalah yang menghadang tidak diandaikan secara apriori
• Mengatasi masalah klien secara kolaboratif
• Unsur-unsur bawah sadar yang menghambat harus di rekonstruksi
• Penggunaan secara selektif dan relefan terhadap metode dan konsep
AGEN PERUBAHAN
Willis H. Griffin dan Uday Pareek telah mendefinisikan agen perubahan. Mereka menyatakan bahwa: agen perubahan tersebut telah muncul sebagai seorang professional yang tugas-tugasnya adalah membantu komunitas-komunitas dan kelompok-kelompokuntuk merencanakan pembangunan atau merumuskan kembali tujuan-tujuan, memusatkan perhatian pada situasi-situasi bermasalah, mencari pemecahan-pemecahan yang mungkin, mengatur bantuan, merencanakan tindakan yang bermaksud untuk memperbaiki situasi-situasi tersebut, untuk mengatasi kesukaran-kesukaran menurut tindakan yang produktif, dan mengevaluasi hasil-hasil dari usaha yang direncanakan.
D. Perubahan Terencana Bidang Pendidikan
Tolak ukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan ialah dilihat dari efektifitas dan efesiensi pendidikan. Efektifitas pendidikan dapat dilihat dari sudut prestasi dan proses pendidikan. Prestasi dapat dilihat dari segi pemerataan, mutu, relevansi (link and Match) pendidikan. Sedangkan efesisnsi pendidikan dapat dilihat dari kemampuan menggunakan waktu, tenaga dan fasilitas sesedikit mungkin tetapi hasilnya banyak dalam arti merata, bermutu relevan dan menyenangkan atau secara umum dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyat dan menunjang pembangunan nasional pada umunya seoptimal mungkin.
Perubahan terencana dalam bidang pendidikan lima tahun kedepan dapat kita lihat pada uraian berikut ini yang tertuang dalam Rencana Strategis KEMENDIKNAS 2010-2014.
Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar pembangunan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada beberapa paradigma universal, yaitu : pemberdayaan manusia seutuhnya, pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik, pendidikan untuk semua, pendidikan untuk perkembangan, pengembangan dan atau pembangunan berkelanjutan.
Startegi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan 2010-2014 dirumuskan berdasarkan visi dan misi serta tujuan strategis kemendiknas dan memperhatikan komitmen pemerintah terhadap konvensi Internasional mengenai pendidikan, khusunya Konvensi Dakar tentang Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak ( Convention of The Right Of Child), Milenium development Goal (MDGs) dan World Summit on Sustainable Development
Guru dapat melakukan perubahan terencana dalam pendidikan diantaranya dalam metodologi pembelajaran dan melakukan class action research (penelitian tindakan kelas) ditempat mengajarnya.