11/21/2010

Pemanfaatan Multimedia Pembelajaran

Pemanfaatan Multimedia Pembelajaran
Commentby: Uwes A. Chaeruman on: June 18th, 2010

1. Pikirkan Apa yang Kita akan Tawarkan sebelum Bicara Pemanfaatan oleh Calon Pengguna!
Urun ide pertama yang muncul dalam benak saya adalah mengajak rekan BPM untuk berpikir ulang, “Apa saja produk atau jasa yang akan ditawarkan? Seberapa banyak? Seberapa variatif? Apakah menurut kita itu yang dibutuhkan calong pengguna?” Nampaknya, pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi prioritas utama. Dari hasil diskusi, memang produk yang ingin ditawarkan adalah konten mobile learning (mobile edukasi). Dari sisi jumlah memang masih sedikit, dari sisi variasi baru terdiri dari tiga varian, yaitu model simulasi, game dan tutorial. Yang paling banyak adalah model tutorial.

2. Identifikasi Karakteristik Calon Pengguna
Urun ide yang kedua, saya ingin mengajak bersama-sama untuk menggali informasi tentang karakteristik calon pengguna yang nota bene adalah siswa. Kalau mengacu hasil penelitian terakhir, katakanlah menurut Pershin, maka calon pengguna adalah para siswa yang nota bene adalah “digital natives” yang sangat familiar dengan tool-tool ICT dan memiliki gaya belajar non-linier, dan lebih suka konten yang fokus dan bite-sized (sempit, tapi dalam) dan dikemas sedemikian rupa sehingga lebih bersifat manipulatif, simulatif, dimana mereka sendiri dapat mengendalikannya. Mengacu pada karakteristik calon pengguna tersebut, maka trend produk yang dikembangkan sebaiknya lebih banyak yang bersifat simulasi dan game, ketimbang yang bersifat tutorial. Sebaiknya, hal ini menjadi bahan pertimbangan bersama. Ke depan perlu dipertimbangkan modus konten mobile learning yang dikembangkan lebih cenderung kemana? kalau usul saya lebih cenderung yang lebih bersifat simulatif dan game atau permainan. Berat memang mengembangkannya … he he he he

Mengacu pada trend prilaku calon pengguna seperti tersebut di atas, maka tantangan kita kedepan kedepan adalah:

akselerasi konten baik dari sisi jumlah maupun keragaman jenis. artinya, biarkan pasar ditaburi oleh konten-konten yang beragam dan “bejibun”.
konten mobile learning, dan konten yang berbasis-web (seperti http://e-dukasi.net) harus lebih fokus (bite-sized) dan menekankan pengemasan konten dalam bentuk simulasi dan game ketimbang tutorial. Model tutorial dan ensiklopedi mungkin hanya cocok untuk konten yang dikemas dalam CD-interaktif untuk digunakan dalam standalone PC.
perlu dipikirkan strategi akselerasi konten yang tidak hanya mengandalkan pendekatan top-down yang selama ini terjadi. Tapi bagaimana caranya konten bisa bertambah dengan cepat dengan pendekatan bottom-up dengan mekanisme inovatif tertentu yang harus kita pikirkan bersama. Cara pertama yang paling ampu adalah melalui sayembara, lomba dan lain-lain.
3. Strategi Distribusi Konten

Setelah konten yang bejibun dan beragam dihasilkan, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana konten tersebut disebarluaskan kepada masyarakat pengguna? Maka saya mengusulkan tiga pendekatan:

Pendekatan 1: Model National Wide Area Network, dalam hal ini, semua konten disimpan dalam server farm-nya JARDIKNAS (di Ciputat). Semua masyarakat pengguna dapat mengaksesnya melalui internet (dari sekolah, warnet, rumah, dll) maupun melalui intranet jika mereka sudah terhubung dengan jaringan JARDIKNAS.
Pendekatan 2: Model Wide Area Network. Kalau dulu ada istilah WANKota. Yaitu, konten-konten yang ada, bejibun dan beragam tersebut di simpan di server-server ICT-Center. ICT Center bisa sekolah, bisa Balai Tekkom yang terdekat dengan lingkungan sekolah lain. Konten disebarluaskan ke sekolah-sekolah lain dengan memanfaatkan radio tower secara wireless.
Pendekatan 3: Model LAN (Local Area Network) Sekolah. Artinya, semua konten disimpan di server sekolah dan berfungsi sebagai Pusat Sumber Belajar Maya di sekolah tersebut. Guru dan siswa dapat mengakses konten tersebut baik secara wired (kabel) yang terhubung dengan koomputer maupun secara wireless melalui access point yang dipasang si tempat-tempat strategis (seperti taman, perpustakaan, kantin, lobby sekolah, lorong sekolah, dll) sebagai “hot spot” . Pola ketiga inilah yang sebaiknya didorong dan dibudayakan, supaya sekolah tidak menggantungkan diri pada internet yang cukup mahal dan tidak aman bagi siswa.